Acara makan-makan seblak di kost Mega sudah selesai. Menyisakan keadaan kost-an yang mirip helikopter pecah. Bubuk rengginang dan rempeyek berserakan di mana-mana. Kuah seblak yang muncrat di sana-sini. Lalu, wadah seblak menggunung di tengah-tengah.
Kost Mega memang selalu menjadi markas gengster. Yang biasa mampir itu geng k-pop yang terdiri dari tiga personil; geng dangdut terdiri dari empat personil; geng JD yang datang cuma satu orang dari delapan personil; dan yang terakhir geng tak bernama yang terdiri dari aku, Niara, dan Disa.
Empat puluh empat murid di kelasku memang berkubu-kubu. Namun, kalau sudah menyangkut PR dan sejenisnya, kami pasti bersatu. Kalau ada masalah yang menyangkut kelas, kami juga siap membela. Mei lalu, salah satu murid di kelasku juga punya masalah dengan salah satu guru. Masalah lainnya muncul, mengakibatkan kami berselisih paham dengan kelas sebelah. Aku dapat melihat emosi tiap orang di kelas. Mereka membalas semua nyinyiran kelas sebelah yang pro terhadap guru bermasalah tadi. Intinya, mereka bakal bangkit bareng buat dobrak orang yang punya masalah dengan penghuni kelas kami. Karena kami keluarga. Satu orang menangis, empat puluh tiga orang pasti merangkulnya.
"Mau bareng?"
Nah, itu yang tadi bertanya sama aku namanya Eris. Biasanya dia naik angkot plus metromini sama aku. Karena sekarang dia bawa motor, dia memberiku tumpangan. Dia orangnya baik. Walaupun kadang blak-blakan. Dulunya seorang santri. Namun, karena lelah di pesantren ia balik kanan bubar jalan. Lantas memilih pulang dan fokus di Sekolah Negeri saja.
"Alhamdulillah, rezeki anak sholehah." Kupasang muka semringah yang kelewat narsis. Sedangkan Eris mungkin lagi nahan muntah sekarang.
Aku berpamitan pada kedua sahabatku. Kecup-kecup manjah di tangan biar sayang. Terus lambai-lambai tangan di motor yang sekarang melaju meninggalkan pekarangan kost-an.
Berat banget rasanya jauh dari mereka. Kemarin saja pas libur aku nggak tahan pengin ketemu. Itu baru sepuluh hari. Gimana nanti PKL, tiga bulan? Kita bertiga itu udah kayak saudara. Ke mana-mana bertiga. Ngelakuin apapun bertiga. PKL nanti kita berpencar. Apa jadinya hidupku?
Sejarah pertemananku agak panjang untuk diceritakan. Namun, nggak ada salahnya aku kasih tahu kalian.
Kita bertiga itu adalah orang asing. Dulu, pas masuk SMEA dan tinggal di kelas Akuntansi 1 aku duduk sebangku bersama Riani. Orangnya supel, pake behel, tapi selalu aja bikin aku kesel. Kupikir karena dia banyak bicara, dia orangnya cerdas. Eh, nggak tahunya otaknya nol segede gaban. Bukan maksud mau menghina. Namun, memang setiap belajar dia main hape terus sama selfie. Abis itu tulisannya juga kayak ceker ayam. Kelihatan banget kalau dia jarang nulis.
Setelah berkenalan dengan Riani, aku berkenalan dengan penghuni meja depan. Yang tembem namanya Disa dan yang dagunya agak lancip namanya Ira. Aku memang berkenalan dengan Disa lebih dulu, tapi aku menjalin pertemanan dengan Niara lebih dulu.
Aneh, kan?
Jadi, karena kesel sama Riani aku berinisiatif untuk pindah meja. Serius, Genks, sebulan duduk sama dia otakku langsung mandek. Aku nggak bisa nyerap pelajaran. Karena dia mengganggu konsentrasiku belajar dengan mengajakku ngobrol terus.
Aku pindah meja dan rekanku kali ini cewek cantik dari Negeri Dongeng. Namun, dia cuek bebek dan minta banget digeprek. Aku kayak patung pancoran kalau dekat dia. Diem terus karena nggak diajak ngobrol.
Akhirnya, aku melakukan PDKT sama Niara. Dia itu cewek polos yang selalu minjemin pulpen pada siswa sekelas. Dia punya pabrik pulpen kali. Dia itu banyak bicara ternyata. Tampangnya saja yang polos, otaknya patut diacungi jempol. Aku betah duduk sama dia. Dari mulai kelas satu sampai sekarang aku nggak ada niatan buat pindah meja.
Kelas dua semester satu aku duduk di belakang meja Disa dan temannya Mita. Karena keseringan ngobrol, kita bertiga jadi akrab. Kemudian, kita jadi sahabatan bertiga.
"Mampir dulu ke minimarket depan, ya." Eris bicara dengan lantang guna aku mendengar suaranya di tengah bising mesin kendaraan di jalan.
Belum juga dijawab olehku, Eris sudah menepikan motornya di minimarket. Cewek itu hendak parkir di lahan yang kosong. Namun, tiba-tiba sebuah motor yang mundur hendak keluar dari lahan parkir tak sengaja menubruk ban bagian depan milik Eris.
"Woy, hati-hati, dong! Bisa bawa motor apa nggak?!" Aku turun dari motor dan langsung melabrak si pengendara motor yang tadi menabrak motor Eris.
"Maaf," ucap si pengendara motor. Ia membuka helm dan ternyata oh ternyata dia cowok. Ganteng. Kece. Kumis tipisnya membuat aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Adegan slow motion di FTV sedang kurasa.
Eh!!! Aku geleng-geleng dan langsung mengenyahkan pikiran negatif yang mangkal di otakku.
"Maaf-maaf, ganti rugi!" Kupasang kembali wajah sangar ala guru killer di SMEA.
"Motornya nggak roboh, nggak lecet pula. Orang saya nabrak bannya doang."
"Yaelah, itu kalo tenaga temen saya nggak kuat, kami bisa jungkir balik tahu."
"Tapi, sekarang nggak jungkir balik, kan? Habis perkara."
"Tapi ..."
"Yang punya motor juga diem aja tuh. Masa kamu yang nebeng marah-marah? Masih waras, nggak?"
Belum sempat aku balas memakinya, si cowok sudah tancap gas. Tak lupa ia memberi senyum mautnya pada Eris.
Gila itu orang!
"Udahlah, Pril, ngapain marah-marah?"
Eris melangkah lebih dulu memasuki minimarket. Aku menyusul, masih dengan wajah yang ditekuk. Aku mengurut dada. Sabar. Orang sabar kuburannya lebar.
"Kenapa dia senyum ke kamu? Lah, sama aku dia kayak singa."
"Dia temennya pacarku."
"Oh, pantesan. Siapa namanya?"
"Naksir, ya?"
"Enggak. Seratus persen nggak! Aku cuma akan menandai dia sebagai orang terjudes zaman milenial."
"Serius? Nggak akan kepo stalk instagramnya?"
"Serius. Ogah banget stalk ig-nya. Udahlah lupain aja pertanyaan aku tadi."
Aku melangkah begitu saja menyusuri rak makanan. Mataku langsung melotot saat melihat kuaci ukuran jumbo. Secepat kilat aku membawa kuaci itu ke kasir. Sedangkan Eris masih mencari-cari sesuatu. Entah apa yang Eris cari. Yang pasti ia lama sekali. Aku hampir lumutan nungguin dia di sebelah meja kasir.
Begitu datang Eris bawa keranjang belanja lengkap dengan ciki-cikian yang menggunung. Gila!
"Buat apa ciki sebanyak itu, Ris?"
"Dimakanlah. Masa aku pake buat mancing ikan."
Eris memang doyan makan. Namun, ia tak pernah gendut. Sedangkan aku, kalau banyak makan perutku pasti langsung melebar.
Usai membayar belanjaan, kami keluar dari minimarket. Eris meminta bantuanku untuk membawa belanjaannya.
"Pril?" tanya Eris saat motor sudah melaju.
"Kenapa?"
"Cowok yang tadi namanya Nanta."
"Hah? Fanta?"
"Nanta, bukan Fanta."
Aku hanya meng-oh-kan jawaban Eris. Aku mengutuk nama Nanta. Nama jelek super absurd. Masih bagusan nama Nathan di novel best seller Erisca Febriani.
***
Bisa dibilang hari ini aku sedikit beruntung, karena selain dipertemukan dengan orang ganteng aku juga diberi kesempatan untuk mengetahui namanya. Kabar baik lainnya adalah ternyata Oppa Korea yang tadi papasan sama aku di parkiran itu adalah karyawan baru yang dikirim dari kantor pusat untuk menggantikan Bu Jihan. Di sisa-sisa masa PKL ini, akhirnya aku bisa cuci mata, nggak melulu melihat wajah Pak Arip yang kerutan. Hehe.“Mit, namanya Zikri,” bisikku pada Mita yang baru saja datang. Cewek itu rupanya kesiangan karena semalam Ozan mengajaknya jalan-jalan. Pantas saja nomor WA-nya nggak aktif semalaman rupanya teman PKL-ku ini sedang berbucin ria dengan doinya.“Manggil orang yang lebih tua itu mesti pakai sapaan di depannya, Pak atau Aa, kek.”“Dia nggak pantes disebut Pak, wajahnya masih muda. Aa juga nggak pantes, karena mukanya nggak Sunda banget, mestinya dipanggil Sayang.”Aku cengar-cengir, sedangkan Mita malah
Zia mengajakku ke suatu tempat sore ini, tapi aku lagi mager banget. Kerjaan di kantor pos lumayan banyak hari ini karena Bu Jihan sudah fix resign. Aku dan Mita sampai tepar karena mengkilokan barang yang akan dikirim. Barangnya berat-berat lagi, aku yakin nanti malam punggungku pasti minta diurut.Zia: Anter, dong.Lagi-lagi Zia mengirimiku pesan. Sembari menunggu angkot lewat, aku duduk di depan warung tukang es kelapa dan menelepon Zia.“Emang mau ke mana, sih?” tanyaku saat panggilan telepon terhubung.“Mau beli kado.”“Aku heran, deh, kenapa hari ini banyak banget yang minta aku buat nganter beli kado.”“Emang siapa yang udah minta kamu anter beli kado?”“Januari.”“Buat siapa?”“Buat sang mantan,” jawabku ketus.“Wow, ada yang cemburu rupanya,” goda Zia.“Aku kesel pokoknya. Kamu beli kado buat si An
Kemarin, Januari langsung mengantarku pulang karena aku bilang merasa lelah. Tadinya dia masih ingin mengajakku jalan-jalan. Cowok itu merasa bersalah karena pagi harinya membatalkan janji untuk mengantarku. Aku, sih, nggak marah. Cuma ... ya, kesel aja. Lain kali aku nggak mau kalau dianter ke mana-mana lagi, kecuali saat mendadak mau pergi dan kebetulan dia lagi senggang baru aku terima tawarannya.Hari ini pun dia menawarkan untuk mengantarku ke tempat PKL. Karena aku bangun kesiangan, akhirnya aku terima tawarannya. Begitu mengirim pesan dan kubalas, motor dia sudah tiba di depan rumah. Aku yang masih sarapan sontak tersedak. Aku belum dandan, Genks, rambutku pun masih basah dan acak-acakan karena baru mandi. Kasihan Januari harus melihat penampakan jelekku."Buruan makannya, itu temen kamu udah jemput," kata Ibu sembari meletakkan
Bunyi perutku yang minta diisi membuat Disa kehilangan fokus saat mengetik. Dia menatapku, lalu menaruh laptop di meja. Niara pun berhenti membaca kata pengantar yang telah dicetaknya. Ia merapikan berkas yang berceceran di lantai. Kedua temanku ini sudah hapal kebiasaanku. Kalau sudah keroncongan otakku nggak bisa diajak berpikir. Mereka mulai merapikan dandanan dan bersiap pergi. Saatnya berburu makanan.“Kita mau ke mana?” tanya Disa usai memaki helm.“Alun?”“Alun Majalengka kejauhan,” protesku.“Alun Maja, April!” Kedua manusia ini bicara barengan. Ah, kalau sudah bersama mereka ketololanku emang suka muncul tiba-tiba.“Mau makan apa emang?” tanya Niara.“Seblak?” Disa bukan memberi jawaban, tapi dia merekomendasikan.“Bosen,” jawabku.“Baso aci aja, yuk. Ada kedai yang baru buka di sekitar terminal, menurut saudaraku, sih, enak
“Hallo, Dis?” Aku mendekatkan ponsel ke kuping kanan, sambil terus melangkah menuju Pajagan. Tadinya aku hendak meminta kakak iparku untuk mengantarkan, biar cepet gitu naik motor. Namun, kata Kak Okta, suaminya lagi pergi mancing sama Pak Gus, tetangganya. Alhasil sekarang aku ngos-ngosan karena berjalan, udah gitu matahari mulai merangkak naik, bikin keringat mengucur di balik baju.“Kenapa, Pril?” sahut Disa.“Kamu belom berangkat?”“Belom, aku masih di pasar. Bentar lagi pulang. Nanti aku langsung OTW.”“Aku nggak jadi diantar Januari, kita bareng, ya. Aku tunggu di pasar Kadipaten kayak biasa.”“Kenapa nggak jadi dianterin?”“Ada urusan mendadak dia.”“Oh, oke. Kabarin aja kalau udah sampe. Kamu bawa helm, ‘kan?”“Iya, bawa.”“Ya udah, aku kabarin nanti
Aku baru saja berniat untuk tidur selepas memikirkan hal-hal nggak guna. Namun, bunyi ponsel yang meraung-raung membuat mataku terbuka lagi. Ck, sial. Tahukah dia bahwa pukul dua dini hari bukanlah waktu yang tepat untuk mengobrol? Di waktu seperti ini mendingan curhat sama Allah melalui sholat tahajud, bukannya mengganggu tidur Princess.Kuraih ponsel di atas kepala, lalu melihat layarnya yang menampilkan nama Januari. Buset, rupanya si biang kerok ini yang minta dihajar. Dia nggak kasihan apa sama aku? Gara-gara kunjungan mendadak yang membawa serta mantannya itu, aku jadi nggak bisa tidur. Sekarang saat mataku lelah, dia muncul membuat jantungku dugeman."April?" suaranya menyapa gendang telingaku begitu tombol hijau di layar ponsel kugeser."Hm ...." Aku menanggapinya dengan deheman, pura-pura baru bangun tidur biar dia merasa bersalah."Jangan pura-pura tidur, aku tahu kamu belum tidur. WA kamu aja baru dilihat beberapa menit lalu," sindir Januari.