 LOGIN
LOGIN
“Vania?!”Suaranya cukup keras. Aku menoleh. Dan benar saja, itu Sela. Ia berdiri tak jauh dariku, dengan wajah yang sengaja dibuat terkejut. Tangannya memegangi tas mahal berwarna krem, bibirnya tersenyum miring.“Eh … Mbak Sela,” sapaku pelan, mencoba ramah.Dia memandangku dari ujung kepala sampai ujung kaki, lalu tertawa kecil. “Kamu ke salon juga? Wah, hebat juga, ya. Tapi percuma, deh. Suami kamu juga jarang pulang, kan."Aku menahan napas, tersenyum getir. Orang-orang di ruang tunggu menoleh sekilas. Sela jelas sengaja bicara cukup keras untuk mempermalukan aku.“Sis, bisa tolong ambilkan bill aku?” katanya pada Siska tanpa menoleh padaku lagi. “Aku buru-buru, mau dijemput.”Siska yang sedari tadi menatap kami dengan wajah heran hanya menjawab singkat, “Iya, sebentar.”Sela menatapku lagi, menegakkan bahu. “Ya udah. Semangat ya … meski kayaknya percuma juga. Namanya laki-laki kalau udah bosan, mau kamu rawat kayak apa juga nggak akan balik.” Dia tertawa pelan, meninggalkan aro
Aku terpaku. Pandanganku berpindah dari wajah Bu Marni ke arah Adrian yang berdiri tak jauh dariku. Wajahnya tenang, sepertinya dia sudah siap menghadapi pertanyaan tajam dari mertuaku itu.“Saya yang langganan makan di warungnya Mbak Vania, Bu,” jawab Adrian cepat, suaranya terdengar mantap tapi sopan. “Kebetulan semalam saya lewat depan rumahnya, terus dengar ribut-ribut. Waktu tetangganya teriak minta tolong, saya ikut bantu bawa Mbak Vania ke sini.”Bu Marni yang tadinya masih menyipitkan mata perlahan melunak. Ia menatap Adrian beberapa detik, lalu mengangguk kecil. “Oh ... gitu, ya. Ya sudah, makasih, Nak. Udah ngerepotin, ya?”“Enggak, Bu, sama sekali,” balas Adrian ramah. “Sekalian saya tadi bantu ngurus administrasinya biar Mbak Vania bisa cepat pulang.”Aku menunduk, mengatur napas agar lebih tenang. Rasanya ingin cepat-cepat keluar dari tempat ini. “Terima kasih, Mas Adrian,” kataku pelan.Adrian tersenyum, matanya menatapku singkat seolah memberi isyarat agar aku tetap ten
“Mama?”Aku nyaris tak percaya dengan apa yang kulihat. Dari balik tirai putih yang terbuka lebar, di pintu masuk aku melihat seorang wanita paruh baya dengan gamis sederhana melangkah tergesa-gesa ke arahku. Napasnya teresengal, wajahnya sekilas tampak cemas , tapi sorot matanya tajam.“Itu … bukannya ibunya Bimo?” desis Galang pelan dari sisi ranjang. Ia baru saja hendak keluar refleks berhenti, menatap perempuan itu dengan mata menyipit.Aku tahu, Galang mengenal keluarga Bimo sejak lama. Mereka pernah beberapa kali bertemu saat masih sekolah SMA dulu.Bu Marni, ibu kandung Bimo, hanya sempat melirik sekilas ke arah Galang. Pandangannya tajam, tapi tampak bingung. Mungkin ia lupa atau tak mengenali Galang lagi.Aku langsung panik. Nafasku tercekat.“Mas, buruan pergi ... aku mohon!” bisikku cepat sebelum Bu Marni makin dekat. Mataku memohon.Galang sempat menatapku ragu beberapa detik, lalu akhirnya mengangguk pelan, memberi isyarat paham. Lalu ia menatap sopan ke arah Bu Marni
Aroma asing yang menusuk hidung perlahan menyadarkanku. Kelopak mataku terasa berat, tapi aku berusaha membukanya. Yang pertama aku lihat adalah langit-langit putih dengan lampu neon yang menyala. Ada bunyi beep perlahan dari alat yang sepertinya ada di balik tirai ini. Beberapa detik kemudian aku baru sadar bahwa sedang berada di rumah sakit. Tirai putih mengelilingi brankar yang aku tempati.Aku mencoba menggerakkan tangan, tapi rasanya agak berat. Ternyata tangan kananku dipasang infus. Satu tangan lainnya reflek terangkat, ingin menyentuh kepalaku yang terasa nyeri berdenyut. Dan ketika jariku menyentuhnya, ada perban menempel di sana.Apa yang sebenarnya terjadi?Siapa yang membawaku ke sini?Suara langkah kaki terdengar dari balik tirai. Samar-samar aku mendengar dua orang sedang berbicara serius. Salah satunya sangat familiar di telingaku. Dalam kesadaranku yang belum pulih sepenuhnya, aku mengenali suara berat itu. Galang. Dia ada di sini. Dia ... kembali.Aku menoleh perlaha
Sudah satu minggu berlalu. Tidak ada satu pun pesan dari Galang. Telepon pun tak pernah.Sikapnya selalu lembut, perhatian dan melindungi. Membuatku sulit untuk melupakan semua itu. Galang tidak pernah memperlakukan aku seperti wanita murahan. Ia justru selalu menjaga perasaan ini, membuatku selalu merasa dihargai.Aku tak mungkin menghubunginya lebih dulu. Aku sadar siapa aku. Bukan istrinya. Bukan kekasihnya. Bahkan mungkin, bukan seseorang yang layak dikenang olehnya.Selama seminggu ini aku tak mengantar catering ke kantornya. Menurut salah satu karyawan Galang yang masih sering memesan makan, Galang juga tidak masuk kantor, sudah satu minggu.Apa dia masih di luar kota?Apa dia sengaja menghindar?Apa dia … menyesal telah menyentuhku sedalam itu?Aku benar-benar tak bisa berhenti memikirkan pria baik itu.Ya Tuhan, perasaan apa ini. Seharusnya aku tidak boleh begini. Tidak! Aku duduk di pinggir ranjang, memeluk lututku. Sendirian. Rasanya seperti ada sesuatu yang kosong dalam di
POV Galang“Mas Galang!!”Suara Ratna terdengar semakin dekat. Aku tersentak, detak jantungku langsung berpacu tak karuan. Bibir Vania terlepas dari bibirku. Dalam sepersekian detik, kesadaran kami kembali.“Astaga …” Vania menutup mulutnya dengan kedua tangan. Wajahnya pucat. Aku bisa merasakan tubuhnya ikut bergetar, karena panik.“Mas Galang!! Kamu di mana sih!” Ratna berteriak lagi, kali ini lebih kencang, persis di depan pintu.“Aku … aku harus kembali ke kamar,” bisik Vania tergesa.Aku mengumpat dalam hati. Kenapa aku begitu bodoh sampai lupa mengunci pintu kamar. Ratna pasti sudah masuk ke kamarku dan tidak menemukan siapa-siapa.“Mas, pergi sekarang! Bimo pasti sebentar lagi ke sini!” Vania menarik tanganku.“Aku nggak bisa keluar lewat kamar mandi ini,” kataku pelan. “Ratna nggak tahu soal pintu rahasia ini.”Vania menatapku tajam, bingung. “Tapi kalau Mas keluar dari kamarku dan ada yang lihat-‐-"“Tenang,” potongku. “Ayo! .”Dengan cekatan aku membawa Vania kembali ke kam








