LOGINPOV VANIA“Mana Vania?!”Suara Ratna terdengar lantang dari pintu masuk restoran. Dari dalam ruang private yang sebagian dindingnya terbuat dari kaca, aku bisa melihat Ratna dengan jelas. Wajahnya tegang, matanya menyala penuh emosi. Untungnya, keluarga besar Bimo sedang fokus menikmati hidangan, tertawa kecil dan saling berbincang, sehingga mereka tidak mendengar suara Ratna. Hanya beberapa pelanggan yang duduk dekat pintu masuk yang sempat menoleh sekilas.Dadaku langsung berdegup kencang. Aku tidak bisa membiarkan Ratna membuat keributan di sini.Aku segera bangkit dari kursiku dan melangkah cepat keluar dari ruang private, menghampirinya sebelum suasana menjadi semakin buruk.“Mbak Ratna?” sapaku pelan. “Ada apa, Mbak?”Meski suaraku bergetar, aku berusaha terlihat setenang mungkin. Sebenarnya aku panik. Kedatangan Ratna yang tiba-tiba, dengan ekspresi seperti itu, jelas bukan pertanda baik.Ratna melotot tajam ke arahku. “Heh, Vania! Aku perlu bicara sama kamu. Empat mata.”Aku
POV VANIA“Memangnya Bimo kenapa?”Pertanyaan itu meluncur dari salah satu tamu, seorang tante berusia lima puluhan yang sejak tadi duduk di ujung meja. Suaranya terdengar santai tapi tatapannya sangat penasaran.Aku menarik napas perlahan. Tanganku refleks mengelus punggung Ankala yang masih terlelap di gendonganku. Jantungku berdetak lebih kencang. Aku tahu, kalimatku barusan pasti akan membuat Bimo dan mamanya ketakutan.“VANIA!” Bu Marni memekik lantang. Matanya melotot, wajahnya merah padam. “Kamu jangan coba-coba jelek-jelekan suami kamu di depan orang-orang! Istri macam apa sih kamu ini!”Suaranya penuh amarah, tapi aku bisa menangkap sesuatu yang lain di sana, ketakutan. Bu Marni jelas panik. Dia tahu, kalau aku mulai bicara, semua cerita versinya tentang aku akan runtuh.Aku menatapnya datar. Dadaku memang panas, tapi anehnya kepalaku justru terasa jernih. Mungkin karena terlalu lama ditekan, akhirnya aku kebal.Belum sempat aku menjawab, pintu ruang private terbuka.“Sudah-
POV VANIA“Bu Vania?”Suster Lani kembali memanggilku. Aku tersadar dari lamunan. Sejak tadi aku memang hanya diam, menatap Ankala yang kembali terlelap di gendonganku. Kepalaku penuh memikirkan kenyataan yang satu per satu terbuka.“Iya, Mbak,” jawabku akhirnya, meski suaraku terdengar lebih pelan Lani tampak bingung. Tatapannya bergantian antara wajahku dan Ankala. Seperti ada banyak pertanyaan yang ingin ia lontarkan, tapi ia menahannya.“Mbak Lani,” aku menarik napas panjang, lalu menatapnya lurus, “karena Mbak sudah tahu sejak awal … saya akan jelaskan yang sebenarnya. Tapi tolong, simpan dulu rahasia ini rapat-rapat.”Wajah Lani langsung berubah serius. Ia mengangguk cepat. “Iya, Bu. Saya janji.”Aku menelan ludah. Sebenarnya aku ragu, tapi aku memaksakan diri untuk bicara.“Ankala memang anak Mas Galang,” ucapku akhirnya. Kalimat itu keluar lirih. “Dan … saya akan segera mengurus perceraian saya dengan Bimo.”Lani menghela napas lega. Bahkan terlihat seperti beban di dadanya i
POV VANIA“Astaga, Mas … bagaimana ini?” Suaraku gemetar begitu menutup panggilan dari Rini. Dadaku terasa sesak, telapak tanganku dingin, aku sangat mengkhawatirkan Ankala.Galang langsung menoleh, wajahnya berubah tegang. “Ada apa? Ankala baik-baik saja, kan?” Galang jugapanik, matanya menelusur wajahku seakan mencari jawaban sebelum aku sempat bicara.“Cepat, Mas. Cepat kita balik ke restoran,” kataku nyaris terisak. “Bimo dan ibunya berusaha mau ambil Ankala dari Suster Lani.”Wajah Galang seketika memerah. Rahangnya mengeras. “Bimo brengsek!” umpatnya pelan tapi penuh amarah.Tanpa menunggu lagi, Galang langsung menyalakan mesin mobil. Mobil melesat meninggalkan taman, kembali ke arah restoran. Aku menangis sepanjang jalan. Air mataku tidak bisa kutahan. Bayangan Ankala menangis, ketakutan, diperebutkan orang-orang yang tidak pernah benar-benar menjaganya, membuat dadaku terasa seperti diremas.“Tenang, Nia,” Suara Galang terdengar menenangkan meski jelas ia juga cemas. “Selama
POV VANIAPerlahan aku membuka isi amplop itu. Jantungku seakan berhenti berdetak saat menangkap satu kata yang langsung mengusik kesadaranku ... "DNA".Tanganku bergetar ketika menarik kertas di dalamnya. Ada namaku di sana. Ada nama Galang. Huruf-huruf tercetak rapi, dan resmi hingga dadaku berdebar sebelum sempat membaca lebih jauh.Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Pandanganku menyusuri baris demi baris, sampai akhirnya berhenti pada angka yang membuat mataku membulat."99%".Dunia seperti berhenti berputar dalam beberapa detik. Kertas di tanganku bergetar, seiring degup jantung yang kembali berpacu tak karuan.“A-apa maksudnya ini, Mas?” tanyaku lirih, nyaris seperti bisikan. Aku menoleh pada Galang, berharap ia menyangkal, menjelaskan bahwa aku salah membaca, atau mengatakan ini hanya kekeliruan.Namun, Galang tidak mengalihkan pandangan. Wajahnya tenang, namun matanya tampak berbinar oleh sesuatu yang selama ini ia simpan rapat-rapat “Tes DNA itu dilakukan
POV VANIA “Nia, bisa kita keluar sebentar?” Galang bicara pelan, namun tegas, seakan sulit untuk dibantah. Seperti ada sesuatu yang penting hendak dia sampaikan. Aku yang sejak tadi masih terpaku karena ucapan Suster Lani refleks menoleh ke arahnya. Jantungku kembali berdebar, seperti ada firasat aneh yang sulit kujelaskan. Aku melirik Ankala yang masih terlelap di gendongan Lani. Wajahnya damai, napasnya teratur. Sebagian diriku ingin tetap berada di dekatnya. Bagaimanapun juga, aku belum sepenuhnya tenang setelah kejadian siang tadi. “Tenang saja,” lanjut Galang seolah membaca keraguanku. “Ankala aman dengan Suster Lani.” Aku menarik napas pelan. “Memangnya kita mau ke mana, Mas?” “Ada yang ingin aku bicarakan,” jawabnya singkat, Sepertinya benar, dari nada suaranya ada sesuatu yang serius. Ada apa gerangan? “Kalau begitu …” aku ragu sejenak, “… aku ganti pakaian dulu.” Galang mengangguk. Aku pun melangkah menuju paviliun, sementara Suster Lani mengikutiku sambil t







