 Masuk
MasukSendok di tanganku bergerak pelan, menyuapkan nasi dan lauk seadanya ke mulut. Hari sudah siang, dan aku duduk di ruang makan seorang diri.
Setelah kedatangan Galang beberapa hari yang lalu, di mana dia menyerahkan pakaian yang katanya titipan Ratna—tapi jelas aku tahu itu pemberian darinya—beberapa masalah besar dalam hidupku perlahan terselesaikan. Yang pertama, utang Bimo. Rentenir yang biasanya datang dengan suara kasar sempat terkejut ketika kutransfer semua uangnya sekaligus. “Lho… beneran lunas?!” Ia menatapku dengan mata menyipit, lalu tertawa kasar. “Heh, jangan-jangan kamu jual ginjal, ya? Atau…” tatapannya merendah penuh sindiran, “jangan-jangan kamu jual diri?” Dadaku seketika panas. Tanganku mengepal di pangkuan. “Jaga mulutmu! Urusan kita sudah selesai, jadi silakan pergi!” bentakku, meski suaraku bergetar menahan marah. Rentenir itu hanya tergelak, lalu menyelipkan ponselnya ke saku. “Hahaha… ya sudah. Tapi ingetin suamimu itu. Kalau mau ngutang lagi, jangan nyusahin istrinya. Bayar yang bener, jangan kabur-kaburan.” Ia sempat berhenti sejenak, menatapku dengan tatapan mengejek. “Atau lebih gampangnya, kamu ceraikan saja laki-laki itu. Percuma dipertahankan, cuma bikin hidupmu sengsara.” Aku hanya bisa terdiam, bibirku bergetar menahan isak, hingga akhirnya dia pergi meninggalkan aroma penghinaan yang masih menggantung di udara. Yang kedua, soal Bimo. Setelah mendapatkan pekerjaan, ia jadi lebih teratur pulang pergi. Tak ada lagi malam-malam panjang ia menghilang entah ke mana. Bahkan sikapnya lebih ceria. Pernah suatu sore, saat aku menjemur cucian di halaman, Bu Rini—tetangga depan rumah—menyapaku sambil tersenyum. “Wah, Van. Suamimu sekarang rajin ya. Pulang pergi kerja kelihatan rapi. Katanya kerja sama orang kaya, ya? Keren banget sih, info-info juga dong kalau ada loker buat anak Ibu.” Pak Rudi yang kebetulan lewat juga menimpali, “Iya, saya dengar gajinya lumayan. Baguslah, akhirnya dia punya kerjaan tetap, nggak serabutan kayak dulu.” Aku hanya tersenyum tipis, meski di dalam hati ada getir yang tak bisa kukatakan. Malamnya, Bimo pulang dengan wajah berbinar. Ia langsung bercerita sambil membuka kemeja kerjanya. “Van, tahu nggak, tadi tetangga pada nyapa aku. Katanya aku kelihatan keren sekarang, nggak kayak dulu-dulu. Rasanya… gimana ya, dihargai gitu. Enak juga ternyata.” Aku menatapnya sekilas, lalu mengangguk pelan. Bibirku tersenyum samar, tapi dada terasa berat. Ada lega karena hidupku sedikit lebih mudah, namun juga ada luka yang sulit terobati, sebab aku tahu semua ini bukan berkat usahanya sendiri, melainkan hasil dari sesuatu yang harus kukorbankan diam-diam. Tetap saja, untuk sesaat, aku mencoba meyakinkan diri: mungkin beginilah satu-satunya cara agar hidupku ini bisa berjalan dengan baik. Namun kini, setelah semua masalah itu perlahan tersingkir, aku harus menghadapi kenyataan lain. Kenyataan bahwa ada sebuah janji yang belum kutuntaskan dengan Galang. Dan itu… perlu dilunaskan hari ini. Selesai makan dan mencuci piring, ponselku bergetar. Sebuah pesan singkat muncul di layar. [Datang ke alamat ini.] Itu dari Galang. Aku menelan ludah, jantungku berdetak lebih cepat. Dengan tangan gemetar, aku membalas. [Baik.] Setelah itu, aku bersiap. Memilih pakaian terbaik yang kupunya, merapikan rambut, lalu akhirnya melangkah keluar rumah. Perjalananku berakhir di sebuah hotel mewah berbintang lima. Tempat yang seumur hidup bahkan tak pernah kubayangkan bisa kujejaki. “Apa … benar di sini?” gumamku dengan ragu. Merasa sangat salah tempat. Tepat di saat aku mengatakan hal itu, seseorang tiba-tiba menghampiri. “Bu Vania?” Aku menoleh, dan seketika, aku langsugn mengenali orang tersebut. Dia adalah salah satu bawahan Galang yang sering kulihat bersamanya. Namanya… Adrian, kalau aku tak salah ingat. “Pak Adrian,” sapaku sopan. Adrian mengangguk singkat, wajahnya tetap tenang seperti biasa. “Silakan ikut saya.” Dengan langkah hati-hati, aku mengikuti Adrian menuju lift khusus yang langsung membawa kami ke lantai teratas hotel. Tak lama, pintu lift terbuka, menyingkap sebuah pintu besar dengan ukiran elegan. Adrian mendorongnya terbuka dan mempersilakanku masuk. “Silakan, Bu Vania. Pak Galang sudah menunggu di lantai dua ruangan ini.” Aku mengangguk pelan, “Terima kasih ….” Tidak lama, pintu tertutup di belakangku, menyisakan kesunyian yang justru membuat nafasku semakin berat. Pandangan mataku menyapu sekeliling, dan seketika aku terpukau. Ruangan ini lebih pantas disebut rumah daripada sekadar kamar hotel. Sofa kulit, meja makan panjang, dapur modern, bahkan ada tangga kayu elegan yang menghubungkan ke lantai dua. Rumahku jelas tak ada apa-apanya dibandingkan kemewahan ini. Ternyata, cerita-cerita Mas Bimo tentang Galang ada benarnya. Pria itu memang memiliki kekayaan yang tidak bisa orang biasa sepertiku duga. Di saat itu, tiba-tiba— “Nia….” Sebuah suara berat dan familier terdengar memanggil, membuat tubuhku menegang. Dengan cepat, aku menoleh ke arah tangga, dan dari atas sana, berdiri seorang pria dengan tatapan tajam yang seakan menelanjangiku dari kejauhan. Galang. Ia bersandar ringan di pembatas tangga, sorot matanya tak lepas dariku. “Aku sudah menunggumu dari tadi.”
“Mama?”Aku nyaris tak percaya dengan apa yang kulihat. Dari balik tirai putih yang terbuka lebar, di pintu masuk aku melihat seorang wanita paruh baya dengan gamis sederhana melangkah tergesa-gesa ke arahku. Napasnya teresengal, wajahnya sekilas tampak cemas , tapi sorot matanya tajam.“Itu … bukannya ibunya Bimo?” desis Galang pelan dari sisi ranjang. Ia baru saja hendak keluar refleks berhenti, menatap perempuan itu dengan mata menyipit.Aku tahu, Galang mengenal keluarga Bimo sejak lama. Mereka pernah beberapa kali bertemu saat masih sekolah SMA dulu.Bu Marni, ibu kandung Bimo, hanya sempat melirik sekilas ke arah Galang. Pandangannya tajam, tapi tampak bingung. Mungkin ia lupa atau tak mengenali Galang lagi.Aku langsung panik. Nafasku tercekat.“Mas, buruan pergi ... aku mohon!” bisikku cepat sebelum Bu Marni makin dekat. Mataku memohon.Galang sempat menatapku ragu beberapa detik, lalu akhirnya mengangguk pelan, memberi isyarat paham. Lalu ia menatap sopan ke arah Bu Marni
Aroma asing yang menusuk hidung perlahan menyadarkanku. Kelopak mataku terasa berat, tapi aku berusaha membukanya. Yang pertama aku lihat adalah langit-langit putih dengan lampu neon yang menyala. Ada bunyi beep perlahan dari alat yang sepertinya ada di balik tirai ini. Beberapa detik kemudian aku baru sadar bahwa sedang berada di rumah sakit. Tirai putih mengelilingi brankar yang aku tempati.Aku mencoba menggerakkan tangan, tapi rasanya agak berat. Ternyata tangan kananku dipasang infus. Satu tangan lainnya reflek terangkat, ingin menyentuh kepalaku yang terasa nyeri berdenyut. Dan ketika jariku menyentuhnya, ada perban menempel di sana.Apa yang sebenarnya terjadi?Siapa yang membawaku ke sini?Suara langkah kaki terdengar dari balik tirai. Samar-samar aku mendengar dua orang sedang berbicara serius. Salah satunya sangat familiar di telingaku. Dalam kesadaranku yang belum pulih sepenuhnya, aku mengenali suara berat itu. Galang. Dia ada di sini. Dia ... kembali.Aku menoleh perlaha
Sudah satu minggu berlalu. Tidak ada satu pun pesan dari Galang. Telepon pun tak pernah.Sikapnya selalu lembut, perhatian dan melindungi. Membuatku sulit untuk melupakan semua itu. Galang tidak pernah memperlakukan aku seperti wanita murahan. Ia justru selalu menjaga perasaan ini, membuatku selalu merasa dihargai.Aku tak mungkin menghubunginya lebih dulu. Aku sadar siapa aku. Bukan istrinya. Bukan kekasihnya. Bahkan mungkin, bukan seseorang yang layak dikenang olehnya.Selama seminggu ini aku tak mengantar catering ke kantornya. Menurut salah satu karyawan Galang yang masih sering memesan makan, Galang juga tidak masuk kantor, sudah satu minggu.Apa dia masih di luar kota?Apa dia sengaja menghindar?Apa dia … menyesal telah menyentuhku sedalam itu?Aku benar-benar tak bisa berhenti memikirkan pria baik itu.Ya Tuhan, perasaan apa ini. Seharusnya aku tidak boleh begini. Tidak! Aku duduk di pinggir ranjang, memeluk lututku. Sendirian. Rasanya seperti ada sesuatu yang kosong dalam di
POV Galang“Mas Galang!!”Suara Ratna terdengar semakin dekat. Aku tersentak, detak jantungku langsung berpacu tak karuan. Bibir Vania terlepas dari bibirku. Dalam sepersekian detik, kesadaran kami kembali.“Astaga …” Vania menutup mulutnya dengan kedua tangan. Wajahnya pucat. Aku bisa merasakan tubuhnya ikut bergetar, karena panik.“Mas Galang!! Kamu di mana sih!” Ratna berteriak lagi, kali ini lebih kencang, persis di depan pintu.“Aku … aku harus kembali ke kamar,” bisik Vania tergesa.Aku mengumpat dalam hati. Kenapa aku begitu bodoh sampai lupa mengunci pintu kamar. Ratna pasti sudah masuk ke kamarku dan tidak menemukan siapa-siapa.“Mas, pergi sekarang! Bimo pasti sebentar lagi ke sini!” Vania menarik tanganku.“Aku nggak bisa keluar lewat kamar mandi ini,” kataku pelan. “Ratna nggak tahu soal pintu rahasia ini.”Vania menatapku tajam, bingung. “Tapi kalau Mas keluar dari kamarku dan ada yang lihat-‐-"“Tenang,” potongku. “Ayo! .”Dengan cekatan aku membawa Vania kembali ke kam
Pov GalangDulu, aku selalu iri pada Bimo. Dia selalu membanggakan istrinya di depanku. Bimo sering menolak setiap aku ajak makan di restoran. Dia bilang, masakan istrinya jauh lebih enak. Bimo juga sering cerita, setiap dia bangun tidur atau pulang kerja, tanpa diminta, istrinya sudah menyiapkan teh manis hangat kesukaannya. Karena teh buatan Vania takarannya selalu pas. Manisnya tidak pernah berlebihan, hangatnya tidak pernah terlalu panas. Bahkan ia selalu memuji Vania yang tidak pernah membiarkannya keluar rumah tanpa sarapan.Aku hanya tertawa waktu itu. Tidak menyangka, rasa iri itu kini berubah menjadi sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.Berbanding terbalik dengan rumah tanggaku. Ratna jarang di rumah saat aku pulang. Dia tidak pernah memasak untukku. Ratna tidak pernah membuatkan minuman untukku. Dia selalu memikirkan dirinya sendiri. Kadang dia lupa kalau dia sudah punya suami.Aku penasaran. Seperti apa wanita yang sering dibanggakan oleh Bimo itu?Hingga kaba
Bimo bangkit perlahan dari ranjang, napasnya masih tersengal. Sisa ketakutan sejak Galang menerobos masuk tadi masih terlihat si wajahnya.Tangannya mengusap tengkuk yang memerah akibat benturan ke tembok. Ia tidak bicara padaku, hanya mendesis kesal seperti seseorang yang baru saja dipermalukan habis-habisan.“Apa-apaan sih itu orang … main masuk aja, mentang-mentang bos besar, seenaknya," gumamnya. Suaranya terdengar ciut. Ia bahkan tidak berani menyebut nama Galang dengan lantang.Aku masih duduk di tepi ranjang, tangan memeluk lutut, tubuhku masih gemetar. Sisa rasa sakit di pipi masih berdenyut, meninggalkan sensasi panas hingga ke tenggorokanku. Air mata yang sempat berhenti, kini kembali menggenang.Bimo mengambil satu stel pakaiannya dari lemari. Tangannya bergerak terburu-buru. Ia bahkan tidak menoleh ke arahku.“Mas, mau ke mana lagi?” tanyaku lirih sambil berusaha duduk tegak. Aku memandangnya heran. Buat apa ia membawa bajunya keluar?Bimo menoleh dengan tatapan jengkel.








