Beranda / Romansa / Retak Janji Pernikahan / Bab 7. Pakaian Bekas

Share

Bab 7. Pakaian Bekas

Penulis: Rina Novita
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-17 13:15:32

Aku masih terdiam setelah Galang memutuskan panggilan. Rasanya tak percaya aku telah melakukan ini. Tapi ini demi Ibu. Apapun akan aku lakukan agar ibu selamat.

"Van, gimana? Dokter bilang ibumu harus segera mendapatkan tindakan." Suara Bude Narti menyadarkanku. Astaga! Aku harus segera ke bagian administrasi.

"Aku selesaikan administrasinya dulu, Bude." Dengan langkah cepat aku urus semua hingga ibu akhirnya bisa dibawa ke ruang khusus untuk tindakan kateterisasi.

Malam itu aku sama sekali tidak pulang. Sedangkan Bude Narti sudah pulang sejak sore tadi.

Aku duduk mematung di kursi ruang tunggu rumah sakit, menunggu tindakan kateterisasi pada ibu selesai. Tanganku dingin, telapak basah oleh keringat. Aku berdoa lirih, menyebut nama Ibu berulang kali, berharap Tuhan memberi keajaiban.

Jam terus berputar. Satu jam, dua jam, sampai akhirnya menjelang tengah malam dokter keluar dengan wajah lelah. “Tindakannya sudah selesai. Sekarang pasien dipindahkan ke ruang ICU untuk pemantauan intensif.”

Aku langsung mengangguk, air mata deras mengalir di pipi. “Alhamdulillah …” Napasku yang sejak tadi sesak akhirnya bisa lega, meski rasa cemas itu masih ada.

Aku ikut mendorong brankar Ibu hingga ke ruang ICU. Melihat tubuhnya terbaring dengan selang di hidung dan alat monitor berdetak di sampingnya membuat dadaku kembali sesak. Tapi aku berusaha menenangkan diri, yang penting Ibu masih tertolong.

Aku memutuskan berjaga di kursi ruang tunggu sepanjang malam. Badanku pegal, kepalaku berat, tapi aku tidak berani meninggalkan Ibu. Hingga subuh menjelang, aku akhirnya tertidur sebentar dengan posisi duduk, kepala bersandar di dinding dingin rumah sakit.

Pagi harinya, setelah memastikan kondisi Ibu stabil dan dijaga perawat, aku memutuskan untuk pulang sebentar. Aku butuh mandi, ganti baju, dan mungkin sekadar merenggangkan tubuh yang lelah ini di rumah.

Akan tetapi, begitu tiba di depan rumah, aku terkejut. Pintu kayu rumahku sudah rusak, bekas congkelan jelas terlihat. Jantungku berdegup panik.

“Maling?” pikirku spontan. Aku menoleh ke kanan-kiri, tapi jalan masih sepi. Dengan hati-hati aku mendorong pintu, dan …

“HEH! Dari mana aja kamu, hah?!”

Aku langsung terlonjak. Di dalam rumah, Bimo berdiri dengan wajah garang, bertolak pinggang. Napasnya kasar, matanya merah penuh emosi

“Mas …” suaraku tercekat.

“Jangan sok manis di depanku! Kamu pikir aku nggak tahu? Semalaman kamu nggak pulang! Kamu kabur, kan?! Atau—” matanya menyipit sinis, “—kamu nginep sama laki-laki lain?!”

Dadaku berdegup keras. “Kamu benar-benar keterlaluan, Mas! Aku semalaman di rumah sakit jagain Ibu!”

“Bohong!” bentak Bimo, langkahnya maju mendekat. “Kamu kira aku bego, hah?! Udah jelas kelakuanmu itu mencurigakan. Sekarang berani-beraninya ngelawan aku, hilang semalaman pula!”

Aku menahan tangis, tapi amarahku lebih kuat. “Kalau Mas masih punya hati, harusnya Mas sadar! Gara-gara Mas marah-marah kemarin, Ibu sampai kena serangan jantung! Ibu sekarang di ICU! ICU, Mas! Kamu masih tega nuduh aku macem-macem?!”

Bimo terdiam, lalu mendengus kasar, wajahnya merah padam. “Dasar ibumu itu bisanya cuma bikin susah! Selalu sakit-sakitan! Kamu kira biaya rumah sakit itu kecil, hah? Uang dari mana lagi kita?! Atau jangan-jangan …” Ia menyeringai, “kamu udah jual diri ke laki-laki lain?”

Tangisku pecah. “Cukup, Mas! Teganya kamu hina Ibu. Kamu juga udah hina aku, Mas! Aku memang dapat bantuan uang, tapi itu karena aku minta tolong, bukan seperti yang Mas pikirkan! Lagian, Mas sendiri ngapain aja? Hutang numpuk di mana-mana, tiap hari aku yang ditagih rentenir, Mas cuma bisa kabur, mabuk, bikin masalah!”

Bimo terkejut sejenak, lalu wajahnya makin memanas. “Istri kurang ajar!” teriaknya dengan tangan terangkat. Namun tiba-tiba, sebuah suara berat memotong dari luar.

“Ada apa ini?” Suara berat itu membuat Bimo sontak menghentikan gerakannya. Ia menoleh ke arah pintu.

Aku pun ikut menoleh dan terkejut saat melihat sosok yang telah berdiri di ambang pintu. Itu Galang.

Tanganku masih bergetar saat Galang melangkah masuk. Bimo yang tadi nyaris menamparku kini buru-buru menurunkan tangannya.

“E-eh, Galang! T-tumben mendadak ke sini?” balas Bimo selagi tertawa hambar seolah-olah tak terjadi apa-apa.

Mata Galang tajam menyapu cepat ke arahku, membuat jantungku terasa berhenti berdetak. Tatapannya menusuk, seakan bisa membaca seluruh kekacauan yang baru saja terjadi di ruang ini. 

Tak lama, pandangannya beralih pada Bimo. “Kita perlu bicara.”

Deg!

Satu degupan jantung keras membuat napasku agak sesak. Apa … yang ingin dia bicarakan dengan Bimo? Apa mungkin … tentang ‘perjanjian’ kami itu!?

Aku mendongak, menatap sosok Galang yang tampak tenang. Tidak mungkin ‘kan dia akan mengungkit masalah tersebut?! Tapi, mengingat dia adalah sahabat Bimo sejak lama—

“Vania!” sentak Bimo tiba-tiba, nadanya tajam, menyadarkanku dari lamunan. “Dipanggil kok bengong sih?!”

Aku terlonjak kecil, lalu langsung menatapnya. “Y-ya? M-maaf, Mas. Ada apa?”

Bimo mendengus kesal, kentara menahan emosi karena ada Galang di sini. Lalu, dia menurunkan perintah, “Ambilin minum buat Galang!”

“B-baik, Mas,” jawabku sebelum berbalik untuk pergi ke dapur.

Tak lama kemudian, aku kembali dengan nampan berisi teh hangat. Keduanya duduk di ruang tamu. Aku meletakkan gelas di meja, lalu duduk sedikit menjauh. Tapi telingaku mendengar percakapan mereka.

“Bim,” suara Galang terdengar tenang tapi tegas, “aku kemari untuk menawarkan pekerjaan. Bayarannya cukup bagus dan bisa bantu menutup sebagian hutangmu.”

“Serius, Lang?!” suara Bimo langsung berbinar. “Kerjaan apa, Lang?!”

Galang mencondongkan tubuhnya sedikit. “Gak susah. Aku perlu kamu jadi sopir cadangan di perusahaanku. Kadang mengurus kiriman, kadang mengantar paket, kadang bisa juga gantiin sopir pribadiku kalau dia sedang cuti. Cuma butuh ketelitian sama tanggung jawab saja. Kalau kamu siap, besok bisa langsung mulai, dan gaji bulan pertama bisa kubantu bayarkan di muka.”

“Ya ampun, ini beneran rejeki banget!” wajah Bimo makin sumringah, matanya berbinar tak percaya. “Gue siap, sumpah gue siap. Kerjaannya juga pas banget, gak ribet-ribet amat. Makasih, Lang!”

Aku menggenggam ujung bajuku erat. Jadi… inikah yang dimaksud Galang dengan ‘solusi’? Memberi pekerjaan pada Bimo, supaya beban utang suamiku itu bisa dia tanggung dan tidak lagi perlu bagiku untuk dikejar-kejar rentenir?

Dadaku mendadak terasa sesak. Semakin kemari, kurasa utangku kepada Galang semakin banyak saja. Kalau terus seperti ini, bukankah itu berarti aku semakin terikat padanya?

Namun, aku tidak mengatakan apa-apa dan hanya bisa terdiam. Lagi pula, sekarang … aku tidak memiliki pilihan selain menerima.

Setelah kurang-lebih setengah jam mengobrol, Galang akhirnya bangkit dari duduknya. “Kalau begitu, aku pamit dulu. Nanti aku akan kirim alamatnya, dan kamu bisa langsung datang besok. Di sana sudah ada orang yang akan menjelaskan detail pekerjaannya.”

“Siap, Lang! Makasih banyak, gue tunggu,” ujar Bimo dengan wajah penuh semangat, matanya berbinar penuh harapan. Aku ikut berdiri, menunduk sopan meski hati terasa berat.

Kami berdua mengantar Galang hingga ke depan rumah. Saat ia hendak melangkah menuju mobil, mendadak langkahnya terhenti. Seolah baru mengingat sesuatu, ia berbalik menatapku.

“Oh iya. Aku hampir lupa. Vania,” panggil Galang seraya menatap ke arahku, mengunci diriku dengan tatapannya yang dalam dan menenangkan. 

“Y-ya, Mas?”

“Ada titipan dari Ratna untukmu.”

Alisku menekuk. “Titipan?”

Galang mengangguk pelan. “Pakaian. Masih baru dan bagus, hanya saja ukurannya terlalu kecil untuk Ratna. Tapi sepertinya akan cocok untukmu. Tadi aku lupa membawanya. Bisa ikut aku sebentar ke mobil untuk mengambilnya?”

Aku tercekat, ragu untuk menjawab. Ada rasa takut kalau Bimo akan salah paham dengan interaksi ini. Namun, sebelum sempat berkata apa-apa, suara Bimo terdengar.

“Loh, kok ditanya malah bengong?” Bimo mendecakkan lidah dengan ekspresi jengkel. “Jawab dong! Ikut aja, udah. Rezeki jangan ditolak, Nia!”

Aku menelan ludah, dan akhirnya mengangguk dan menuruti. Kami berdua pun melangkah pelan menuju mobil Galang yang terparkir di pinggir jalan.

Ketika sampai, Galang membuka pintu belakang mobil, lalu mengambil sebuah paper bag besar berwarna krem. Ia menoleh padaku, menyerahkan tas itu dengan kedua tangan.

“Ini,” katanya singkat. “Coba kamu lihat dulu.”

Aku ragu sejenak sebelum menerimanya. Saat melongok ke dalam, mataku membesar. Beberapa potong pakaian terlipat rapi, jelas masih baru dengan label toko yang belum dilepas. Bahannya halus, warnanya lembut, jauh berbeda dengan bayangan awalku tentang pakaian bekas.

“Ini … sepertinya bukan pakaian bekas, Mas,” ucapku terbata.

Galang menatapku lekat-lekat. “Memang bukan. Itu kubeli untukmu.”

Aku tertegun. Lidahku kelu. Sepanjang hidup, belum pernah ada yang membelikanku baju sebagus ini. Bahkan Bimo sekalipun tidak pernah. Dadaku menghangat. Aku terharu dan ... bingung.

“Terima kasih…,” suaraku lirih. “Bukan hanya untuk baju ini, tapi juga… untuk pekerjaan yang Mas berikan pada Bimo.”

Galang hanya menatapku lama, matanya dalam dan sulit ditebak. Lalu, dia berkata pelan, dengan kalimat yang membuat jantungku seolah berhenti berdetak.

“Aku hanya menepati janji.”

Walau tidak dia lanjutkan, tapi aku tahu kelanjutan kalimat Galang dari tatapan matanya.

“Jadi, kuharap kamu menepati janjimu juga akhir pekan ini.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Retak Janji Pernikahan   Bab 34. Kedatangan Bu Marni

    “Mama?”Aku nyaris tak percaya dengan apa yang kulihat. Dari balik tirai putih yang terbuka lebar, di pintu masuk aku melihat seorang wanita paruh baya dengan gamis sederhana melangkah tergesa-gesa ke arahku. Napasnya teresengal, wajahnya sekilas tampak cemas , tapi sorot matanya tajam.“Itu … bukannya ibunya Bimo?” desis Galang pelan dari sisi ranjang. Ia baru saja hendak keluar refleks berhenti, menatap perempuan itu dengan mata menyipit.Aku tahu, Galang mengenal keluarga Bimo sejak lama. Mereka pernah beberapa kali bertemu saat masih sekolah SMA dulu.Bu Marni, ibu kandung Bimo, hanya sempat melirik sekilas ke arah Galang. Pandangannya tajam, tapi tampak bingung. Mungkin ia lupa atau tak mengenali Galang lagi.Aku langsung panik. Nafasku tercekat.“Mas, buruan pergi ... aku mohon!” bisikku cepat sebelum Bu Marni makin dekat. Mataku memohon.Galang sempat menatapku ragu beberapa detik, lalu akhirnya mengangguk pelan, memberi isyarat paham. Lalu ia menatap sopan ke arah Bu Marni

  • Retak Janji Pernikahan   Bab 33. Di Rumah Sakit

    Aroma asing yang menusuk hidung perlahan menyadarkanku. Kelopak mataku terasa berat, tapi aku berusaha membukanya. Yang pertama aku lihat adalah langit-langit putih dengan lampu neon yang menyala. Ada bunyi beep perlahan dari alat yang sepertinya ada di balik tirai ini. Beberapa detik kemudian aku baru sadar bahwa sedang berada di rumah sakit. Tirai putih mengelilingi brankar yang aku tempati.Aku mencoba menggerakkan tangan, tapi rasanya agak berat. Ternyata tangan kananku dipasang infus. Satu tangan lainnya reflek terangkat, ingin menyentuh kepalaku yang terasa nyeri berdenyut. Dan ketika jariku menyentuhnya, ada perban menempel di sana.Apa yang sebenarnya terjadi?Siapa yang membawaku ke sini?Suara langkah kaki terdengar dari balik tirai. Samar-samar aku mendengar dua orang sedang berbicara serius. Salah satunya sangat familiar di telingaku. Dalam kesadaranku yang belum pulih sepenuhnya, aku mengenali suara berat itu. Galang. Dia ada di sini. Dia ... kembali.Aku menoleh perlaha

  • Retak Janji Pernikahan   Bab 32 Jangan Diambil, Mas!

    Sudah satu minggu berlalu. Tidak ada satu pun pesan dari Galang. Telepon pun tak pernah.Sikapnya selalu lembut, perhatian dan melindungi. Membuatku sulit untuk melupakan semua itu. Galang tidak pernah memperlakukan aku seperti wanita murahan. Ia justru selalu menjaga perasaan ini, membuatku selalu merasa dihargai.Aku tak mungkin menghubunginya lebih dulu. Aku sadar siapa aku. Bukan istrinya. Bukan kekasihnya. Bahkan mungkin, bukan seseorang yang layak dikenang olehnya.Selama seminggu ini aku tak mengantar catering ke kantornya. Menurut salah satu karyawan Galang yang masih sering memesan makan, Galang juga tidak masuk kantor, sudah satu minggu.Apa dia masih di luar kota?Apa dia sengaja menghindar?Apa dia … menyesal telah menyentuhku sedalam itu?Aku benar-benar tak bisa berhenti memikirkan pria baik itu.Ya Tuhan, perasaan apa ini. Seharusnya aku tidak boleh begini. Tidak! Aku duduk di pinggir ranjang, memeluk lututku. Sendirian. Rasanya seperti ada sesuatu yang kosong dalam di

  • Retak Janji Pernikahan   Bab 31. Proyek Hotel di Bandung

    POV Galang“Mas Galang!!”Suara Ratna terdengar semakin dekat. Aku tersentak, detak jantungku langsung berpacu tak karuan. Bibir Vania terlepas dari bibirku. Dalam sepersekian detik, kesadaran kami kembali.“Astaga …” Vania menutup mulutnya dengan kedua tangan. Wajahnya pucat. Aku bisa merasakan tubuhnya ikut bergetar, karena panik.“Mas Galang!! Kamu di mana sih!” Ratna berteriak lagi, kali ini lebih kencang, persis di depan pintu.“Aku … aku harus kembali ke kamar,” bisik Vania tergesa.Aku mengumpat dalam hati. Kenapa aku begitu bodoh sampai lupa mengunci pintu kamar. Ratna pasti sudah masuk ke kamarku dan tidak menemukan siapa-siapa.“Mas, pergi sekarang! Bimo pasti sebentar lagi ke sini!” Vania menarik tanganku.“Aku nggak bisa keluar lewat kamar mandi ini,” kataku pelan. “Ratna nggak tahu soal pintu rahasia ini.”Vania menatapku tajam, bingung. “Tapi kalau Mas keluar dari kamarku dan ada yang lihat-‐-"“Tenang,” potongku. “Ayo! .”Dengan cekatan aku membawa Vania kembali ke kam

  • Retak Janji Pernikahan   Bab 30. Kamu bikin aku gila

    Pov GalangDulu, aku selalu iri pada Bimo. Dia selalu membanggakan istrinya di depanku. Bimo sering menolak setiap aku ajak makan di restoran. Dia bilang, masakan istrinya jauh lebih enak. Bimo juga sering cerita, setiap dia bangun tidur atau pulang kerja, tanpa diminta, istrinya sudah menyiapkan teh manis hangat kesukaannya. Karena teh buatan Vania takarannya selalu pas. Manisnya tidak pernah berlebihan, hangatnya tidak pernah terlalu panas. Bahkan ia selalu memuji Vania yang tidak pernah membiarkannya keluar rumah tanpa sarapan.Aku hanya tertawa waktu itu. Tidak menyangka, rasa iri itu kini berubah menjadi sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.Berbanding terbalik dengan rumah tanggaku. Ratna jarang di rumah saat aku pulang. Dia tidak pernah memasak untukku. Ratna tidak pernah membuatkan minuman untukku. Dia selalu memikirkan dirinya sendiri. Kadang dia lupa kalau dia sudah punya suami.Aku penasaran. Seperti apa wanita yang sering dibanggakan oleh Bimo itu?Hingga kaba

  • Retak Janji Pernikahan   Bab 29. Dia Cemburu?

    Bimo bangkit perlahan dari ranjang, napasnya masih tersengal. Sisa ketakutan sejak Galang menerobos masuk tadi masih terlihat si wajahnya.Tangannya mengusap tengkuk yang memerah akibat benturan ke tembok. Ia tidak bicara padaku, hanya mendesis kesal seperti seseorang yang baru saja dipermalukan habis-habisan.“Apa-apaan sih itu orang … main masuk aja, mentang-mentang bos besar, seenaknya," gumamnya. Suaranya terdengar ciut. Ia bahkan tidak berani menyebut nama Galang dengan lantang.Aku masih duduk di tepi ranjang, tangan memeluk lutut, tubuhku masih gemetar. Sisa rasa sakit di pipi masih berdenyut, meninggalkan sensasi panas hingga ke tenggorokanku. Air mata yang sempat berhenti, kini kembali menggenang.Bimo mengambil satu stel pakaiannya dari lemari. Tangannya bergerak terburu-buru. Ia bahkan tidak menoleh ke arahku.“Mas, mau ke mana lagi?” tanyaku lirih sambil berusaha duduk tegak. Aku memandangnya heran. Buat apa ia membawa bajunya keluar?Bimo menoleh dengan tatapan jengkel.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status