Hidup Gadis berubah total sejak ia menolong seorang pria asing yang terluka. Tanpa diduga, karena fitnahan keji, ia dan pria itu malah menikah. Tanpa tahu bahwa pernikahan itu akan mengikatnya pada rahasia kelam. Mahen, suami yang dingin tapi penuh perhatian, membawanya ke kota dan memberi kehidupan baru. Segalanya tampak sempurna, hingga Gadis tahu kebenarannya. Mahen bukan pria biasa. Ia adalah ayah dari sahabatnya sendiri. Dan lebih buruk lagi, Gadis hanyalah istri kedua yang disembunyikan. Antara cinta dan persahabatan, Gadis harus memilih bertahan dalam kebohongan, atau kehilangan segalanya demi kebenaran.
View MoreSenja merangkak perlahan di langit desa Karangmulyo. Cahaya emas merembes di antara rimbun dedaunan, menimbulkan bayangan panjang yang bergoyang lembut mengikuti hembusan angin sore. Di tengah keheningan itu, langkah kaki seorang gadis terdengar berderap pelan di tanah berbatu.
Gadis menggenggam erat kantong anyaman pandan, warisan terakhir dari ibunya. Di dalamnya tersimpan beras sekarung kecil, beberapa batang kangkung layu, dan sepotong ikan asin yang aromanya menyengat. Ayah dan ibunya telah berpulang tiga tahun lalu karena demam berdarah yang melanda desa. Kini ia hidup sebatang kara di rumah kayu sederhana yang mulai lapuk, namun tetap ia rawat dengan penuh cinta. "Harus cepat sampai rumah sebelum gelap," gumamnya sambil mempercepat langkah. Langit mulai berubah warna, dari jingga menjadi ungu kebiruan. Alih-alih mengambil jalan utama yang meski lebih aman namun memakan waktu lebih lama, Gadis memutuskan memotong jalan melalui hutan kecil di belakang bukit. Jalan setapak itu memang jarang dilalui warga karena konon angker dan rawan pencuri, tapi bagi Gadis yang sudah terbiasa sejak kecil, jalan itu adalah rute tercepat menuju rumah. Kicauan burung sore mulai mereda, digantikan oleh suara jangkrik dan katak yang bersahutan. Namun tiba-tiba, langkah Gadis terhenti. Dari balik semak belukar yang lebat, terdengar suara yang aneh. Bukan suara binatang, melainkan... rintihan manusia? Gadis menajamkan pendengarannya, jantungnya mulai berdetak kencang. Suara itu terdengar lagi, lemah, tertahan, penuh kesakitan. Rasa takut dan keingintahuan berperang dalam dadanya. "Siapa di sana?" teriaknya dengan suara bergetar. Hanya angin yang menjawab. Dengan langkah hati-hati, Gadis mendekat ke arah sumber suara. Ia menyingkirkan semak-semak dengan tangannya, hingga matanya membelalak terkejut. Seorang pria tampan berusia sekitar tiga puluhan tergeletak bersandar pada batang pohon. Wajahnya pucat pasi, bibir kering, dan keringat membanjiri dahinya. Kemeja putihnya kini berlumuran darah segar, terutama di bagian lengan kiri dan sisi perutnya. Celana kain hitamnya robek di beberapa bagian, menunjukkan luka-luka yang masih menganga. "Ya Allah..." Gadis menahan napas, tangannya bergetar menutupi mulut. Gadis ingin berlari, naluri bertahan hidupnya berteriak agar ia segera pergi. Tapi, hati nuraninya tak tega melihat seseorang sekarat begitu saja. "Mas... Mas, bisa dengar aku?" bisiknya pelan sambil jongkok di samping pria itu. Perlahan, pria itu membuka matanya. Iris hitam kelam menatap Gadis dengan tatapan yang dalam, tajam, namun penuh kesakitan. Mulutnya bergerak lemah. "To...long..." hanya satu kata itu yang berhasil keluar sebelum ia kembali kehilangan kesadaran. Gadis segera memeriksa nadinya, masih berdetak, meski lemah. Darah terus mengalir dari luka di perutnya. Kalau dibiarkan begini, pria itu pasti akan mati kehabisan darah. "Tidak bisa dibiarkan," tekadnya bulat. Dengan segala kekuatan yang ia miliki, Gadis memapah tubuh pria itu yang jauh lebih besar darinya. Langkah demi langkah, ia menyeret tubuh yang hampir tak sadarkan diri itu menuju rumahnya. Berkali-kali ia terjatuh karena beban yang terlalu berat, namun ia bangkit lagi dengan gigih. "Tahan ya, Mas. Sebentar lagi sampai," bisiknya di telinga pria itu. Sampai di rumah, Gadis segera membuka pintu kayu yang berderit. Ia menidurkan pria asing itu di dipan bambu satu-satunya yang ia miliki. Tanpa membuang waktu, Gadis berlari ke dapur kecil di belakang rumah. Ia menyalakan tungku kayu dan memanaskan air dalam panci tanah liat. Dari rak bambu, ia mengambil kain-kain bersih, serta beberapa jenis dedaunan yang biasa ia gunakan untuk obat. Ibunya dulu seorang dukun beranak sekaligus tabib tradisional yang terkenal di desa. Sejak kecil, Gadis diajarkan cara meramu obat dari tumbuh-tumbuhan, cara membersihkan luka, dan cara menangani berbagai penyakit dengan bahan-bahan alami. Kembali ke kamar dengan membawa peralatan medis seadanya, Gadis mendapati pria itu menggeliat kesakitan. Wajahnya yang tampan kini meringis menahan sakit. "Mas, aku harus buka bajunya untuk bersihin lukanya," katanya dengan suara bergetar. Dengan hati-hati, ia membuka kancing kemeja yang sudah sobek dan berlumuran darah. Matanya sempat terpana melihat tubuh atletis yang penuh luka lebam dan sayatan. Ini bukan luka kecelakaan biasa, seperti bekas terkena senjata tajam atau pukulan yang disengaja. Siapa sebenarnya pria ini? pikirnya sambil mulai membersihkan luka dengan air hangat. "Mas, ini mungkin sakit, tapi harus dibersihkan," ucapnya lembut sambil menempelkan ramuan tumbukan daun sirih dan kunyit ke luka di perut. "Arghhh!" Pria itu terbangun, menggenggam erat tepi dipan hingga buku-buku jarinya memutih. "Maaf, maaf... tahan sebentar ya. Ini untuk menghentikan pendarahannya," Gadis berbisik sambil tangannya cekatan membersihkan dan membalut setiap luka dengan kain yang sudah ia sobek-sobek. Keahliannya merawat luka membuat pria itu terpana. Gadis bekerja dengan teliti dan lembut, seolah ia adalah seorang tabib berpengalaman, bukan sekedar gadis desa biasa. Setelah selesai membalut semua luka, Gadis mengambil kemeja tua milik ayahnya dari peti kayu. Baju itu sudah lama tidak terpakai, tapi masih bersih dan layak. "Mas, pakai ini dulu. Baju Mas sudah tidak bisa dipakai lagi," katanya sambil meletakkan kemeja itu di sisi dipan. Pria itu membuka matanya perlahan. Tatapannya kini lebih jernih, menatap wajah Gadis dengan penuh rasa ingin tahu dan... sesuatu yang lain. "Kenapa... kamu menolong orang asing sepertiku?" suaranya serak namun terdengar dalam. Gadis terdiam sejenak, lalu tersenyum tulus. "Karena aku tidak bisa membiarkan seseorang mati begitu saja di depan mataku. Ibuku dulu selalu bilang, kalau kita menolong orang, Allah akan mengirimkan pertolongan untuk kita juga suatu saat nanti." Jawaban polos itu membuat sesuatu bergetar di dalam dada pria itu. Sudah lama ia tidak bertemu dengan ketulusan seperti ini. --- Malam telah tiba dengan sempurna. Gadis menyalakan lampu minyak tanah yang cahayanya hangat menerangi ruangan sederhana. "Mas, minum dulu," Gadis menyodorkan segelas air putih dingin. Pria itu menerima gelas dengan kedua tangannya yang masih bergetar lemah. Air dingin itu mengalir di tenggorokannya yang kering, memberikan kelegaan luar biasa. "Terima kasih," ucapnya tulus, matanya tak lepas mengamati gadis yang kini duduk di kursi kayu di pojok ruangan. Untuk pertama kalinya, ia benar-benar memperhatikan penolongnya. Gadis berusia tujuh belas tahun dengan rambut hitam panjang yang dikuncir sederhana. Wajahnya cantik alami tanpa riasan, kulit putih yang sehat, dan mata yang jernih penuh kebaikan. Pakaian sederhana yang dipakainya tampak bersih meski sudah lusuh. Ada sesuatu tentang gadis ini yang membuatnya terpesona. Mungkin caranya tersenyum dengan tulus meski jelas ia hidup pas-pasan. Atau mungkin keberaniannya menolong orang asing meski ia sendiri hidup sebatang kara. "Siapa namamu?" tanya pria itu. "Panggil saja aku Gadis," jawabnya sambil sibuk merapikan peralatan medis improvisasi. "Gadis..." pria itu mengulang nama itu perlahan, seolah merasakan setiap hurufnya di lidah. "Namaku Mahen." Gadis menoleh dan tersenyum tipis. "Mas Mahen sebaiknya istirahat. Besok pagi aku buatkan ramuan yang lebih kuat biar lukanya cepat sembuh." "Kamu tinggal sendirian di sini?" tanya Mahen, rasa penasaran tak tertahankan. Gadis mengangguk. "Iya. kedua orangtuaku sudah meninggal tiga tahun lalu." "Dan kamu tidak takut menolong orang asing seperti aku?" Kali ini Gadis terdiam lebih lama. "Takut sih. Tapi lebih takut kalau aku biarkan Mas Mahen mati, terus hantu Mas Mahen gentayangan di hutan itu," jawabnya polos. Mahen tidak bisa menahan tawa pelan meski dadanya sakit. Sudah lama ia tidak bertemu dengan seseorang yang begitu jujur dan polos. Jam dinding tua di sudut ruangan terus berdetik, menandai berjalannya malam. Gadis duduk di kursi kayu dekat jendela, kadang mengintip untuk memastikan Mahen tidak demam atau kondisinya memburuk. Yang tidak ia ketahui, Mahen sejak tadi hanya berpura-pura tidur. Matanya sesekali mengintip mengamati setiap gerakan gadis itu. Cara ia menguap tapi memaksa mata tetap terbuka. Cara ia menggigil kedinginan tapi tidak mau merebut selimut darinya. Cara ia sesekali tersenyum sendiri entah mengingat apa. Dalam hati, Mahen berbisik kagum. Di dunia yang keras dan kejam tempat ia berasal, sangat jarang menemukan seseorang dengan hati sebaik ini. Gadis sederhana dari desa terpencil ini tidak tahu siapa dirinya, tidak tahu dari mana asalnya, bahkan tidak tahu apakah ia orang baik atau jahat. Tapi ia tetap menolongnya tanpa pamrih.Matahari sudah mencapai puncaknya ketika Gadis akhirnya melangkah gontai di jalan setapak menuju rumah. Keringat membasahi pelipis dan tengkuknya, pakaian sederhana yang dikenakannya lengket di kulit karena sengatan panas yang menyiksa. Namun bibirnya tetap tersenyum tipis, rasa syukur sederhana yang tak pernah luntur meski hidup keras terus menghadangnya.Di pelukan tangannya, tergenggam beberapa ikat sayur segar hasil jerih payahnya di ladang Pak Warno, bayam hijau mengkilat, kangkung yang masih segar, dan kacang panjang yang panjang-panjang. Pemberian sang pemilik ladang karena ia bekerja ekstra keras hari ini. Setidaknya untuk makan siang dan malam nanti, perut tidak akan keroncongan."Alhamdulillah," bisiknya pelan sambil mengelap keringat dengan punggung tangan. "Mas Mahen pasti sudah menunggu."Hanya menyebut nama itu saja membuat jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. Ada perasaan aneh yang berkembang di dadanya, sesuatu yang hangat namun membingungkan. Mahen memang masih mi
Embun pagi masih menempel di dedaunan, berkilau seperti permata kecil ketika cahaya rembulan yang tersisa perlahan tergantikan oleh semburat jingga di ufuk timur. Udara desa terasa dingin menusuk tulang, tetapi rumah kecil milik Gadis sudah dipenuhi dengan aroma sedap dari dapur.Sejak sebelum matahari menampakkan wajahnya, Gadis sudah terbangun. Ia tidak pernah punya kebiasaan bermalas-malasan. Hidup sendirian membuatnya terbiasa bekerja keras, mengurus rumah, kerja di ladang, dan memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan tangannya sendiri. Namun pagi ini, hatinya terasa lebih berat dari biasanya. Sebab di kamar kecil di sudut rumahnya, ada seorang pria asing yang semalam resmi menjadi suaminya.“Mas Mahen...” lirihnya menyebut nama itu sambil mengaduk panci kecil berisi bubur jagung sederhana. Masih terasa aneh baginya, mulutnya menyebut nama itu dengan status baru. Bukan sekadar orang yang ditolong, tetapi kini menjadi pasangan hidupnya, meski tanpa perencanaan sedikit pun.Ia menghela
Malam telah merangkul desa Karangmulyo dengan dinginnya yang menusuk tulang. Puluhan obor bambu yang dibakar warga berjajar di halaman rumah Gadis, menciptakan bayangan-bayangan yang bergoyang menakutkan di dinding kayu lapuk. Suara derap kaki, bisikan, dan tawa mengejek bercampur dalam satu alunan yang menyesakkan dada. Hampir seluruh warga desa berkerumun, dari anak-anak yang mengintip di balik kain sarung ibunya, hingga para tetua yang duduk dengan wajah masam. Udara malam yang sejuk berubah menjadi panas menyesakkan karena desakan tubuh manusia dan asap obor yang mengepul. Di tengah kerumunan yang riuh itu, Pak Kades Sutarman duduk di kursi kayu dengan wibawa yang dipaksakan. Di hadapannya, sebuah meja kecil dengan kitab nikah lusuh yang sudah berdebu, buku yang jarang digunakan karena kebanyakan warga menikah di kantor catatan sipil kota. Gadis duduk di tikar pandan dengan wajah pucat pasi, mata sembab merah karena tangisan yang tak henti-henti. Rambutnya yang biasanya rapi ki
Hujan baru saja reda ketika Gadis akhirnya bisa memejamkan mata. Seharian ia kelelahan mengurus Mahen yang masih lemah karena luka-lukanya. Lelaki itu kini terbaring di dipan kayu sederhana dengan tubuh yang sebagian terbalut kain perban seadanya.Suasana hening. Hanya suara jangkrik dari luar jendela yang sesekali terdengar. Gadis menghela napas panjang, berusaha menenangkan hatinya yang masih kacau. Ia belum sempat memikirkan siapa sebenarnya Mahen, dari mana asalnya, atau mengapa ia bisa terluka separah itu. Yang ia tahu hanyalah satu, ia tidak bisa membiarkan seorang manusia mati begitu saja.Baru beberapa menit matanya terpejam, tiba-tiba suara ketukan keras menggema dari pintu depan.Dug! Dug! Dug!“Gadis! Gadis! Buka pintunya sekarang!”Gadis tersentak kaget. Mahen yang masih setengah sadar ikut membuka matanya. Suara ketukan itu begitu keras dan kasar, disertai teriakan yang sudah tidak asing lagi.“Itu… suara Bibi Nimas,” bisik Gadis panik.Mahen menoleh lemah. “Siapa dia?”“
Senja merangkak perlahan di langit desa Karangmulyo. Cahaya emas merembes di antara rimbun dedaunan, menimbulkan bayangan panjang yang bergoyang lembut mengikuti hembusan angin sore. Di tengah keheningan itu, langkah kaki seorang gadis terdengar berderap pelan di tanah berbatu.Gadis menggenggam erat kantong anyaman pandan, warisan terakhir dari ibunya. Di dalamnya tersimpan beras sekarung kecil, beberapa batang kangkung layu, dan sepotong ikan asin yang aromanya menyengat.Ayah dan ibunya telah berpulang tiga tahun lalu karena demam berdarah yang melanda desa. Kini ia hidup sebatang kara di rumah kayu sederhana yang mulai lapuk, namun tetap ia rawat dengan penuh cinta."Harus cepat sampai rumah sebelum gelap," gumamnya sambil mempercepat langkah. Langit mulai berubah warna, dari jingga menjadi ungu kebiruan.Alih-alih mengambil jalan utama yang meski lebih aman namun memakan waktu lebih lama, Gadis memutuskan memotong jalan melalui hutan kecil di belakang bukit. Jalan setapak itu mem
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments