Matahari belum menampakkan wujudnya di permukaan langit, tetapi gadis itu sudah bangun sejak tadi. Rutinitas yang selama dua minggu ini tidak dilakukan, sekarang kembali terjadi. Bangun pagi, mandi, menyiapkan perlengkapan untuk sekolah. Bahkan beberapa menit yang lalu dia sempat heboh sendiri hanya karena kaus kaki tanpa pasangan, karena sikapnya yang sedikit ceroboh.
Gadis itu tengah menata rambut yang sudah hampir sepinggang. Dua hari yang lalu dia pergi ke salon untuk memperindah tampilan rambutnya, ujungnya dibuat bergelombang dengan poni depan yang hampir menutupi seluruh keningnya. Tampilan itu sangat cocok untuk Eca.
Eca memang selalu menggunakan poni. Bukan untuk menutupi lapangan sepak bola di kepalanya, melainkan karena dia adalah pecinta Dora the Explorer, kartun favoritnya sejak kecil.
Di sudut kamar sebelah kanan, adalah saksi bahwa dia pernah memenangkan audisi "anak yang paling mirip dengan Dora". Ya, dia pernah mengikuti audisi itu saat masih berumur lima tahun dan berhasil mendapatkan posisi juara dua.
Selesai dengan rambutnya, kini Eca beralih pada sepatu di kakinya dan berkutat dengan tali di bawah sana. Sudah pukul 06:00 pagi, dia harus bergegas. Kalau tidak, bisa dipastikan dia akan kehabisan tempat duduk, karena hari ini adalah pertama kalinya sekolah setelah libur akhir semester selama dua pekan.
Selesai menata rambut dan menggunakan sepatu. Dia meraih tas yang tergeletak di atas meja belajar. Kakinya mulai melangkah, menuruni setiap anak tangga dari depan kamarnya menuju meja makan.
Dentingan sendok dan garpu yang beradu dengan piring seketika tidak terdengar lagi saat Eca memijakkan kakinya di anak tangga terakhir.
"Manisnya putri, Ayah."
"Satu hal yang harus Ayah tahu, Eca bukan cokelat ataupun permen!" elaknya seraya menarik kursi dan ikut bergabung di meja makan bersama sang ayah.
Mendengar suara putrinya, pria itu hanya terkekeh pelan. Eca mulai melahap sandwich yang ada di piring dengan terburu-buru. Sampai suara ponsel menghentikan pergerakannya. Bukan ponselnya, melainkan milik Gerald, ayahnya.
"Pagi, Pak."
Eca sama sekali tidak bisa mendengar pembicaraan itu, hanya suara ayahnya yang bisa dia dengar. Di detik berikutnya Gerald kembali bersuara. "Baik, Pak. Terima kasih."
Eca menatap Gerald, yang baru saja meletakkan ponselnya di atas meja, dengan alis terangkat.
Gerald paham kalau putrinya pasti ingin mengetahui siapa yang meneleponnya. Namun, pria itu hanya menggeleng singkat.
"Pulang sekolah, langsung pulang ya!"
Eca menggeleng pelan. "Mau ke club dulu sama oppa-oppa."
"Siapa yang ngajarin ke club?"
"Ke club gak perlu dipelajari, Yah. Cukup langsung datang aja, nanti akan terbawa suasana kok."
Eca mengerjapkan matanya beberapa kali. Namun, tatapan Gerald justru terlihat tajam dan mengintimidasi. Eca menghela napasnya panjang. "Oke, Eca cuma bercanda," kata Eca seraya menadahkan tangannya. "Minta uang!"
"Jangan di pakai ke club. Awas aja kalau sampai berani kayak gitu!" ancam Gerald.
Eca langsung menyambar lembaran uang dari tangan ayahnya dan melangkah mendekati Gerald. Eca mencium punggung tangan sang Ayah. Lalu, diakhiri dengan sebuah kecupan singkat di pipi pria itu.
"Pak Tono!" teriak Eca.
Pria yang dipanggil, langsung menampakkan dirinya dari arah luar.
"Pak Tono, nganterin Eca, 'kan?"
Pria yang disebut Tono mengangguk. Tono adalah seorang supir pribadi Gerald. Pria ini sudah bekerja hampir sepuluh tahun, jadi wajar saja jika keduanya sudah akrab dan saling bicara satu sama lain.
Namun, selama di perjalanan Eca tak banyak bicara. Pagi ini jalan Ibu kota tidak begitu padat. Sehingga hanya butuh waktu lima belas menit untuk tiba di sekolah, SMA Negeri Serang.
Eca melangkahkan kakinya menuju lobi untuk melihat mading dan mencari tahu dimana kelasnya. Untung saja tidak terlalu ramai di depan mading sehingga memudahkan Eca untuk melihat beberapa kertas pengumuman yang ditempel.
Matanya terus menyusuri setiap deretan nama yang tertulis di kertas.
Aresha Veranka Putri.
Itulah namanya. Ternyata dia berada di kelas XI IPA 2. Tidak hanya melihat namanya. Eca juga mencari satu nama yang selama satu tahun belakangan ini dia sukai, Revan. Sudah tidak diragukan lagi, cowok itu berada di kelas sebelah. Tempat para siswa berprestasi, IPA 1.
Takut tidak kebagian tempat, Eca langsung melesat ke kelasnya. Suasana sudah cukup ramai, meski belum sepenuhnya hadir. Baru satu langkah masuk ke dalam kelas. Gadis ini sudah disambut dengan beberapa percekcokan yang terjadi.
"Gue datang duluan. Jadi gue di sini!" teriak seorang pemuda kesal.
"Gue di sini, lo ngalah dong sama gue!" sentak gadis di sebelahnya yang sama keras kepala dengan pemuda tadi.
Eca melangkahkan kakinya, menuju meja paling pojok di barisan pertama. Tempatnya strategis, dekat dengan jendela dan hanya ada satu bangku. Itu artinya, penghuni kelas ini ganjil.
"Mending lo berdua duduk bareng aja. Adil 'kan?" Eca menepuk punggung gadis itu, lalu melewatinya.
Semua atensi mata tertuju pada Eca. Usulan Eca memang ada benarnya juga.
"Iya, bener tuh. Kalian duduk bareng aja!" seru beberapa siswa lainnya yang menyaksikan.
Keadaan semakin riuh. Sampai Eca kembali bersuara, "Bangku ini kosong, 'kan?"
Gadis yang sempat bicara dengan Eca menoleh. "Di sana hanya ada satu bangku. Emang lo mau duduk sendirian?"
"Why not?" kata Eca seraya meletakkan tasnya di atas meja. Duduk sendiri membuatnya lebih leluasa menikmati meja sendirian.
Sudah dipastikan seisi kelas IPA 2 melongo dengan perkataan Eca. Sudah dibilang kan, Eca ini berbeda. Meskipun selalu terlihat ceria. Namun, Eca lebih suka sendirian. Alasannya, hanya karena ingin mendapatkan sebuah ketenangan.
"Kalau gitu, gue duduk sama lo aja deh, boleh?"
Eca hanya mengangguk sebagai jawaban. Tidak enak juga jika Eca menolak. Gadis itu langsung menarik kursi yang sejak tadi dipegangnya, ke sebelah Eca.
"Santi," ucapnya seraya mengulurkan tangan. Senyumnya merekah begitu saja.
"Aresha. Lo bisa panggil gue Eca."
***
Bel pulang sekolah sudah berbunyi beberapa menit yang lalu. Hari ini pulang lebih cepat, karena tidak ada jam pelajaran. Waktu lima jam hanya digunakan untuk perkenalan wali kelas dan seluruh penghuni kelas IPA 2.
"Lo belum pulang?" tanya Santi. Mereka menjadi akrab setelah beberapa saat yang lalu mengobrol bersama.
"Eh, belum."
"Gue duluan, ya. Sampai ketemu besok!" ucapnya seraya mulai melangkah pergi. Kelihatannya rumah Santi dekat dari sekolah, karena gadis itu berjalan kaki.
Eca mengangguk sambil tersenyum tipis. Pandangan matanya tiba-tiba berhenti saat melihat kafe di seberang sekolah. Dua Minggu yang lalu, bangunan itu masih kosong, tetapi sekarang sudah berubah menjadi sebuah kafe.
Eca melangkahkan kakinya menuju kafe itu. Matanya terbelalak begitu menyaksikan pemandangan dalam kafe ini. Nuansa yang serba cokelat, dari mulai dinding, tempat duduk, hingga sebuah panggung kecil di sudut ruangan. Sudah ada beberapa pemuda yang berdiri di atas panggung. Sepertinya sebentar lagi akan ada pertunjukan musik.
Eca segera ke pantri untuk memesan minum, matcha adalah pilihannya. Gadis ini segera mencari tempat duduk yang kosong, karena hampir setiap tempat sudah terisi dan beberapa pengunjung kebanyakan berasal dari sekolah yang sama dengan Eca, termasuk pemuda yang berdiri di atas panggung kecil itu.
Alunan musik mulai terdengar mendominasi ruangan ini. Minuman pesanan Eca baru saja datang. Dia menyeruput minumannya, tetapi pandangannya tidak bisa beralih dari para pemuda yang sedang mempertunjukkan penampilannya.
Netranya terhenti tepat di depan wajah pemain gitar itu. Pandangannya bertemu, sehingga menciptakan garis lurus antara keduanya. Namun, pemuda itu segera mengalihkan pandangannya. Jantung Eca berdegup dua kali lebih cepat dari biasanya. Baru kali ini dia bertatapan dengan mata yang begitu terlihat menenangkan.
Sudah sekitar sepuluh menit. Alunan musik pun sudah berhenti dan minuman Eca sudah tandas tak tersisa. Dia membayar minumannya dan beranjak untuk pulang. Tanpa disadari sejak tadi ada yang memperhatikan gerak-geriknya.
"Non Eca!" teriakan dari arah seberang membuat Eca terdiam.
Eca langsung lari. Orang yang barusan berteriak memanggil namanya adalah Tono. Sudah dipastikan pria itu akan membawa Eca pulang. Namun, Eca tidak mau pulang sekarang. Dia masih ingin pergi ke toko buku untuk membeli novel terbaru.
"Non, disuruh pulang sekarang!"
Napasnya semakin memburu, Eca sudah tidak kuat lagi untuk berlari. Namun, langkah Tono semakin mendekat.
Seseorang baru saja membekap Eca dan menariknya ke belakang.
"Eughh." Eca memberontak. Namun, tenaganya tidak ada bandingannya ketimbang orang yang sedang membekapnya.
"Jangan takut, gue mau nolongin lo," bisik cowok itu di telinga Eca.
Eca tercengang. Apa yang barusan dia katakan? Menolongnya? Apa yang mesti ditolong? Eca semakin kebingungan. "Lepasin!"
"Gue lepas, tapi jangan teriak ya!"
Eca mengangguk. Menuruti orang di sampingnya. Setelah mulutnya terbebas, Eca ingin mengeluarkan sumpah serapah pada orang ini. Namun, saat melihat wajahnya Eca kembali terbelalak.
"Revan?"
Itu adalah cowok yang tadi bermain gitar di dalam kafe bersama kedua temannya. Entah kenapa tiba-tiba cowok itu bisa berada di sini.
"Iya, gue tadi gak sengaja liat lo dikejar om-om itu. Makanya gue tolongin," ucapnya santai.
Eca menganga, lalu mengerjapkan matanya beberapa kali. "Oh, oke makasih."
Tak lama ponselnya bergetar. Eca langsung membaca sebuah pesan dari seseorang.
Ayah: pulang sekarang! Pesawat ayah dua jam lagi take off.
Setelah membaca pesan itu Eca langsung pergi. Tidak mempedulikan cowok yang sedang bersamanya.
"Hati-hati ya. Lo masih jadi incaran om-om yang tadi!" teriak cowok itu.
Netranya terus menatap spion taksi, yang sedang dia naiki. Bukan tanpa alasan, melainkan melihat cowok yang masih berdiri di tempatnya semula. Bagaimana bisa pandangannya beralih ke arah lain, sementara cowok yang berdiri itu adalah cinta pertamanya. Namun, hanya Eca yang memiliki perasaan pada cowok itu. Ya, cinta tak terbalaskan, tepatnya.Cowok itu sudah tidak terlihat lagi, karena tikungan tajam yang baru saja dilewati Eca.Eca kembali memperhatikan jalan, melalui jendela mobil. Sekarang dirinya sedang berada di dalam taksi. Sejujurnya dia masih belum mengerti apa arti dari pesan yang dikirimkan oleh ayahnya. Pesawat? Pesawat apa maksudnya? Eca sama sekali tidak paham.Tidak butuh waktu lama, Eca tiba di kediamannya. Setelah membayar, Eca menyusuri halaman rumahnya sampai di teras rumah langkahnya terhenti. Pandangannya tertuju pada dua buah koper berukuran sedang yang tergeletak di teras.Eca me
Pagi ini Evan memilih untuk mengisi perut di kantin. Sejak tadi malam dia lupa memberi makan cacing-cacing di perutnya. Di sampingnya sudah duduk Emil, teman sejak di sekolah dasar. Keduanya sibuk dengan makanan masing-masing.Evan hanya menyantap nasi goreng dengan es teh manis. Berbeda dengan Emil, yang lebih senang dengan mie instan dan kopi susu favoritnya. Meski berbeda, tetapi mereka selalu rukun satu sama lain.Seorang gadis baru saja menyodorkan kotak makan bergambar Teddy bear berwarna cokelat, di depan Evan. Membuat manik mata Evan tertuju padanya.Cowok itu hampir saja tersedak jika tidak buru-buru meminum es teh di depannya.Evan menelan nasi goreng yang masih di dalam mulutnya sambil berujar, "Apa nih?" Matanya melirik kotak makan itu."Sarapan buat Evan, tapi karena Evan lagi sarapan. Jadi, ini buat makan siang aja."Emil meletakkan sendok dan garpu di mangkuknya, dia melirik Evan dan Eca bergantian. Sebetulnya Emil
Remaja itu sedang duduk di sebuah kafe, sambil sesekali menyesap kopi susu yang sudah hampir tandas di depannya. Sudah hampir setengah jam dia menunggu kedatangan temannya."Sorry, telat," ucap seseorang seraya menarik kursi untuk duduk. Napasnya terdengar sangat memburu, seperti baru saja melakukan lari maraton jarak jauh.Emil melirik arloji di pergelangan tangannya. "Masih 30 menit lagi, kok. Lo pesan minum dulu aja!"Evan mengangguk. "Elang mana?"Emil mengedikkan bahunya. Beberapa menit yang lalu Elang bilang akan pergi ke toilet. Namun, sampai saat ini belum juga kembali. Netra Emil menangkap sosok pemuda berkemeja biru tua dan jeans hitam, tak lupa snakers bertengger di kakinya. Dia sedang berdiri di depan kafe bersama seorang gadis, mereka terlihat begitu akrab."Noh, lihat teman lo kelakuannya!" desis Emil sambil menggerakkan dagunya ke arah dua remaja yang sedang
Matahari kembali muncul di peradaban. Menampakkan wujud berupa cahaya terang yang cukup menyilaukan. Burung berkicau tiada henti, sesekali mengepakan sayapnya untuk pindah dari dahan pohon ke sisi yang lainnya.Di sanalah Evan. Di depan motor Vespa berwarna biru yang penuh dengan sejarah itu. Cowok itu baru saja mengelap debu-debu yang menempel di beberapa bagian motornya.Setelah selesai mengelap debu dengan kanebo. Evan kembali masuk ke dalam. Dia berjalan ke dapur, menghampiri Sri, ibunya."Ibu, udah siap?" tanya Evan seraya mencuci kanebo di wastafel."Belum. Ibu mau ganti baju dulu, kamu tolong masukin kue ke dalam box ini, ya." Evan mengangguk.Sri adalah seorang singgle parents. Pekerjaannya hanya berjualan kue di belakang stasiun. Kue buatannya selalu habis terjual. Selain harganya yang murah, kue buatan Sri juga rasanya sangat enak. Cocok dengan para mahasiswa atau
Evan terus melangkah menyusuri koridor, sampai langkahnya terhenti di depan sebuah ruangan. Sebuah nama terpampang jelas di daun pintu ruangan itu.Indah Suryani S.Pd.Tanpa ragu Evan mengetuk pintu. Tak lama terdengar sahutan dari dalam ruangan ini."Masuk!"Evan menghela napas berat. Sedikit takut, karena pasalnya dia belum pernah membuat kesalahan apa pun sampai harus dipanggil dengan wali kelasnya."Ibu manggil saya?"Wanita berpakaian formal khas PNS itu mengangguk. "Duduk."Evan terdiam. Dia bingung harus memulai pembicaraannya dari mana. Karena dia tidak tahu untuk apa dipanggil ke ruangan ini.Wanita yang masih duduk diam di sebuah kursi itu kini sibuk mencari beberapa tumpukan kertas di atas mejanya."Maaf Bu, kenapa saya dipanggil ke sini?" tanya Evan dengan ragu.
Gue cuma nggak mau lo nanti memperlakukan semua cewek dengan sama rata. Karena pada dasarnya lo harus memilih mana yang akan menjadi prioritas utama.--Emil--***Hari sudah gelap. Si raja malam sudah bertengger di atas sana. Ditemani dengan ribuan pengawalnya yang selalu memperlihatkan cahaya indahnya masing-masing. Evan duduk di depan jendela, masih denganearphoneyang sejak tadi menyumpal indera pendengarannya. Tidak seperti biasanya, kali iniearphoneitu mengeluarkan bunyi, berkat kabel yang tersambung pada ponselnya.Matanya terus menatap langit. Pikirannya lebih berisik daripada lagu yang sedang ia dengarkan. Pandangannya kosong, menatap jauh ke arah langit.Tak berselang lama, Evan bangkit dari duduknya dan menyambar jaket yang tersampir di belakang pintu kamar dan sebelah tangannya menyambar kunci motor yang tergeletak di atas nakas.Evan keluar kam
Lucu ya, kita menunggu kereta di peron yang sama. Padahal kereta tujuan kita berbeda. Sampai aku sadar, kalau tujuanku bukan lagi rumah untuk berpulang, melainkan kamu.–Revan Al-Shabab-***"J-Jalan. Y-Yuk.""Hah?" Eca tersentak dan langsung membalikkan badannya.Sinting nih orang!Datang tiba-tiba dan sekarang mengajaknya jalan. Namun, kesempatan tidak akan datang dua kali.Eca menghela napasnya berat. "Eca mandi dulu ya, tunggu di dalam aja."Evan mengangguk, seulas senyum tipis tercetak di wajah mulusnya. Meski tidak pernah perawatan di salon, wajah Evan memang mulus tanpa jerawat. Ini mungkin efek dari hidupnya yang terbilang sehat. Cowok itu mengangguk."Gue tunggu di sini aja," ucapnya saat mereka baru menginjakkan kaki di teras rumah Eca.Gadis itu kembali masuk ke dalam rumah. Dia tidak langsung ke kamar, melainkan berjalan ke dapur. "B
Satu hal yang tidak pernah bisa didefinisikan adalah cinta. Ketika rasaku dan rasamu yang tidak sama, apa bisa cinta tetap ada?–Revan–***Di dalam sini sangat padat dan pengap. Eca hampir tidak bisa bernapas. Untuk bergerak saja rasanya sulit sekali. Begitu juga tempat duduk, semuanya sudah terisi. Kini dia hanya bisa berdiri di samping Evan, sementara Evan berdiri dekat dengan pintu kereta. Tangannya tidak sampai untuk berpegangan ke atas.Sesekali Evan meliriknya. Perasaannya tiba-tiba mendadak menyesal karena telah mengajak Eca naik kereta. Sesekali kereta bergoyang, membuat Eca tidak bisa menyeimbangkan dirinya. Untung saja Evan ada di sampingnya, hal ini sangat membantu Eca, agar dirinya tidak tersungkur.Sekali lagi kereta itu bergoyang, membuat tubuh Eca harus terdorong oleh beberapa orang di belakangnya. Evan melihat itu. Cowok itu langsung menarik Eca, menukar posisinya.