Share

Revansha
Revansha
Penulis: Siskapuspus

Gadis incaran om-om

Matahari belum menampakkan wujudnya di permukaan langit, tetapi gadis itu sudah bangun sejak tadi. Rutinitas yang selama dua minggu ini tidak dilakukan, sekarang kembali terjadi. Bangun pagi, mandi, menyiapkan perlengkapan untuk sekolah. Bahkan beberapa menit yang lalu dia sempat heboh sendiri hanya karena kaus kaki tanpa pasangan, karena sikapnya yang sedikit ceroboh.

Gadis itu tengah menata rambut yang sudah hampir sepinggang. Dua hari yang lalu dia pergi ke salon untuk memperindah tampilan rambutnya, ujungnya dibuat bergelombang dengan poni depan yang hampir menutupi seluruh keningnya. Tampilan itu sangat cocok untuk Eca.

Eca memang selalu menggunakan poni. Bukan untuk menutupi lapangan sepak bola di kepalanya, melainkan karena dia adalah pecinta Dora the Explorer, kartun favoritnya sejak kecil.

Di sudut kamar sebelah kanan, adalah saksi bahwa dia pernah memenangkan audisi "anak yang paling mirip dengan Dora". Ya, dia pernah mengikuti audisi itu saat masih berumur lima tahun dan berhasil mendapatkan posisi juara dua.

Selesai dengan rambutnya, kini Eca beralih pada sepatu di kakinya dan berkutat dengan tali di bawah sana. Sudah pukul 06:00 pagi, dia harus bergegas. Kalau tidak, bisa dipastikan dia akan kehabisan tempat duduk, karena hari ini adalah pertama kalinya sekolah setelah libur akhir semester selama dua pekan. 

Selesai menata rambut dan menggunakan sepatu. Dia meraih tas yang tergeletak di atas meja belajar. Kakinya mulai melangkah, menuruni setiap anak tangga dari depan kamarnya menuju meja makan.

Dentingan sendok dan garpu yang beradu dengan piring seketika tidak terdengar lagi saat Eca memijakkan kakinya di anak tangga terakhir.

"Manisnya putri, Ayah."

"Satu hal yang harus Ayah tahu, Eca bukan cokelat ataupun permen!" elaknya seraya menarik kursi dan ikut bergabung di meja makan bersama sang ayah.

Mendengar suara putrinya, pria itu hanya terkekeh pelan. Eca mulai melahap sandwich yang ada di piring dengan terburu-buru. Sampai suara ponsel menghentikan pergerakannya. Bukan ponselnya, melainkan milik Gerald, ayahnya.

"Pagi, Pak."

Eca sama sekali tidak bisa mendengar pembicaraan itu, hanya suara ayahnya yang bisa dia dengar. Di detik berikutnya Gerald kembali bersuara. "Baik, Pak. Terima kasih."

Eca menatap Gerald, yang baru saja meletakkan ponselnya di atas meja, dengan alis terangkat.

Gerald paham kalau putrinya pasti ingin mengetahui siapa yang meneleponnya. Namun, pria itu hanya menggeleng singkat.

"Pulang sekolah, langsung pulang ya!"

Eca menggeleng pelan. "Mau ke club dulu sama oppa-oppa."

"Siapa yang ngajarin ke club?"

"Ke club gak perlu dipelajari, Yah. Cukup langsung datang aja, nanti akan terbawa suasana kok."

Eca mengerjapkan matanya beberapa kali. Namun, tatapan Gerald justru terlihat tajam dan mengintimidasi. Eca menghela napasnya panjang. "Oke, Eca cuma bercanda," kata Eca seraya menadahkan tangannya. "Minta uang!"

"Jangan di pakai ke club. Awas aja kalau sampai berani kayak gitu!" ancam Gerald.

Eca langsung menyambar lembaran uang dari tangan ayahnya dan melangkah mendekati Gerald. Eca mencium punggung tangan sang Ayah. Lalu, diakhiri dengan sebuah kecupan singkat di pipi pria itu.

"Pak Tono!" teriak Eca.

Pria yang dipanggil, langsung menampakkan dirinya dari arah luar.

"Pak Tono, nganterin Eca, 'kan?"

Pria yang disebut Tono mengangguk. Tono adalah seorang supir pribadi Gerald. Pria ini sudah bekerja hampir sepuluh tahun, jadi wajar saja jika keduanya sudah akrab dan saling bicara satu sama lain.

Namun, selama di perjalanan Eca tak banyak bicara. Pagi ini jalan Ibu kota tidak begitu padat. Sehingga hanya butuh waktu lima belas menit untuk tiba di sekolah, SMA Negeri Serang.

Eca melangkahkan kakinya menuju lobi untuk melihat mading dan mencari tahu dimana kelasnya. Untung saja tidak terlalu ramai di depan mading sehingga memudahkan Eca untuk melihat beberapa kertas pengumuman yang ditempel.

Matanya terus menyusuri setiap deretan nama yang tertulis di kertas.

Aresha Veranka Putri.

Itulah namanya. Ternyata dia berada di kelas XI IPA 2. Tidak hanya melihat namanya. Eca juga mencari satu nama yang selama satu tahun belakangan ini dia sukai, Revan. Sudah tidak diragukan lagi, cowok itu berada di kelas sebelah. Tempat para siswa berprestasi, IPA 1.

Takut tidak kebagian tempat, Eca langsung melesat ke kelasnya. Suasana sudah cukup ramai, meski belum sepenuhnya hadir. Baru satu langkah masuk ke dalam kelas. Gadis ini sudah disambut dengan beberapa percekcokan yang terjadi.

"Gue datang duluan. Jadi gue di sini!" teriak seorang pemuda kesal.

"Gue di sini, lo ngalah dong sama gue!" sentak gadis di sebelahnya yang sama keras kepala dengan pemuda tadi. 

Eca melangkahkan kakinya, menuju meja paling pojok di barisan pertama. Tempatnya strategis, dekat dengan jendela dan hanya ada satu bangku. Itu artinya, penghuni kelas ini ganjil.

"Mending lo berdua duduk bareng aja. Adil 'kan?" Eca menepuk punggung gadis itu, lalu melewatinya.

Semua atensi mata tertuju pada Eca. Usulan Eca memang ada benarnya juga.

"Iya, bener tuh. Kalian duduk bareng aja!" seru beberapa siswa lainnya yang menyaksikan.

Keadaan semakin riuh. Sampai Eca kembali bersuara, "Bangku ini kosong, 'kan?"

Gadis yang sempat bicara dengan Eca menoleh. "Di sana hanya ada satu bangku. Emang lo mau duduk sendirian?"

"Why not?" kata Eca seraya meletakkan tasnya di atas meja. Duduk sendiri membuatnya lebih leluasa menikmati meja sendirian.

Sudah dipastikan seisi kelas IPA 2 melongo dengan perkataan Eca. Sudah dibilang kan, Eca ini berbeda. Meskipun selalu terlihat ceria. Namun, Eca lebih suka sendirian. Alasannya, hanya karena ingin mendapatkan sebuah ketenangan.

"Kalau gitu, gue duduk sama lo aja deh, boleh?"

Eca hanya mengangguk sebagai jawaban. Tidak enak juga jika Eca menolak. Gadis itu langsung menarik kursi yang sejak tadi dipegangnya, ke sebelah Eca.

"Santi," ucapnya seraya mengulurkan tangan. Senyumnya merekah begitu saja.

"Aresha. Lo bisa panggil gue Eca."

***

Bel pulang sekolah sudah berbunyi beberapa menit yang lalu. Hari ini pulang lebih cepat, karena tidak ada jam pelajaran. Waktu lima jam hanya digunakan untuk perkenalan wali kelas dan seluruh penghuni kelas IPA 2.

"Lo belum pulang?" tanya Santi. Mereka menjadi akrab setelah beberapa saat yang lalu mengobrol bersama.

"Eh, belum."

"Gue duluan, ya. Sampai ketemu besok!" ucapnya seraya mulai melangkah pergi. Kelihatannya rumah Santi dekat dari sekolah, karena gadis itu berjalan kaki.

Eca mengangguk sambil tersenyum tipis. Pandangan matanya tiba-tiba berhenti saat melihat kafe di seberang sekolah. Dua Minggu yang lalu, bangunan itu masih kosong, tetapi sekarang sudah berubah menjadi sebuah kafe.

Eca melangkahkan kakinya menuju kafe itu. Matanya terbelalak begitu menyaksikan pemandangan dalam kafe ini. Nuansa yang serba cokelat, dari mulai dinding, tempat duduk, hingga sebuah panggung kecil di sudut ruangan. Sudah ada beberapa pemuda yang berdiri di atas panggung. Sepertinya sebentar lagi akan ada pertunjukan musik.

Eca segera ke pantri untuk memesan minum, matcha adalah pilihannya. Gadis ini segera mencari tempat duduk yang kosong, karena hampir setiap tempat sudah terisi dan beberapa pengunjung kebanyakan berasal dari sekolah yang sama dengan Eca, termasuk pemuda yang berdiri di atas panggung kecil itu.

Alunan musik mulai terdengar mendominasi ruangan ini. Minuman pesanan Eca baru saja datang. Dia menyeruput minumannya, tetapi pandangannya tidak bisa beralih dari para pemuda yang sedang mempertunjukkan penampilannya.

Netranya terhenti tepat di depan wajah pemain gitar itu. Pandangannya bertemu, sehingga menciptakan garis lurus antara keduanya. Namun, pemuda itu segera mengalihkan pandangannya. Jantung Eca berdegup dua kali lebih cepat dari biasanya. Baru kali ini dia bertatapan dengan mata yang begitu terlihat menenangkan.

Sudah sekitar sepuluh menit. Alunan musik pun sudah berhenti dan minuman Eca sudah tandas tak tersisa. Dia membayar minumannya dan beranjak untuk pulang. Tanpa disadari sejak tadi ada yang memperhatikan gerak-geriknya.

"Non Eca!" teriakan dari arah seberang membuat Eca terdiam.

Eca langsung lari. Orang yang barusan berteriak memanggil namanya adalah Tono. Sudah dipastikan pria itu akan membawa Eca pulang. Namun, Eca tidak mau pulang sekarang. Dia masih ingin pergi ke toko buku untuk membeli novel terbaru.

"Non, disuruh pulang sekarang!"

Napasnya semakin memburu, Eca sudah tidak kuat lagi untuk berlari. Namun, langkah Tono semakin mendekat.

Seseorang baru saja membekap Eca dan menariknya ke belakang.

"Eughh." Eca memberontak. Namun, tenaganya tidak ada bandingannya ketimbang orang yang sedang membekapnya.

"Jangan takut, gue mau nolongin lo," bisik cowok itu di telinga Eca. 

Eca tercengang. Apa yang barusan dia katakan? Menolongnya? Apa yang mesti ditolong? Eca semakin kebingungan. "Lepasin!"

"Gue lepas, tapi jangan teriak ya!"

Eca mengangguk. Menuruti orang di sampingnya. Setelah mulutnya terbebas, Eca ingin mengeluarkan sumpah serapah pada orang ini. Namun, saat melihat wajahnya Eca kembali terbelalak.

"Revan?"

Itu adalah cowok yang tadi bermain gitar di dalam kafe bersama kedua temannya. Entah kenapa tiba-tiba cowok itu bisa berada di sini. 

"Iya, gue tadi gak sengaja liat lo dikejar om-om itu. Makanya gue tolongin," ucapnya santai.

Eca menganga, lalu mengerjapkan matanya beberapa kali. "Oh, oke makasih."

Tak lama ponselnya bergetar. Eca langsung membaca sebuah pesan dari seseorang.

Ayah: pulang sekarang! Pesawat ayah dua jam lagi take off.

Setelah membaca pesan itu Eca langsung pergi. Tidak mempedulikan cowok yang sedang bersamanya.

"Hati-hati ya. Lo masih jadi incaran om-om yang tadi!" teriak cowok itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status