Netranya terus menatap spion taksi, yang sedang dia naiki. Bukan tanpa alasan, melainkan melihat cowok yang masih berdiri di tempatnya semula. Bagaimana bisa pandangannya beralih ke arah lain, sementara cowok yang berdiri itu adalah cinta pertamanya. Namun, hanya Eca yang memiliki perasaan pada cowok itu. Ya, cinta tak terbalaskan, tepatnya.
Cowok itu sudah tidak terlihat lagi, karena tikungan tajam yang baru saja dilewati Eca.
Eca kembali memperhatikan jalan, melalui jendela mobil. Sekarang dirinya sedang berada di dalam taksi. Sejujurnya dia masih belum mengerti apa arti dari pesan yang dikirimkan oleh ayahnya. Pesawat? Pesawat apa maksudnya? Eca sama sekali tidak paham.
Tidak butuh waktu lama, Eca tiba di kediamannya. Setelah membayar, Eca menyusuri halaman rumahnya sampai di teras rumah langkahnya terhenti. Pandangannya tertuju pada dua buah koper berukuran sedang yang tergeletak di teras.
Eca memicingkan matanya. Dia kenal koper itu. Koper milik Gerald, yang biasa digunakan pria itu untuk pergi ke luar kota.
"Assalamualaikum, Ayah!" teriakan melengking yang keluar dari mulut Eca membuat seluruh penghuni rumah berhamburan menghampirinya, termasuk Bi Imah.
"Waalaikumsalam, Non Eca, kok, teriak-teriak?" tanya Bi Imah yang baru saja keluar dari dapur.
"Ayah mana?" tanya Eca. Manik matanya tiada henti berputar, menyisir setiap sudut rumahnya dari depan pintu. Namun, sosok yang dicari belum juga menampakkan wajahnya.
"Di ruang kerja, Non."
Eca langsung mengayunkan langkahnya menuju ruangan di sudut kiri. Baru saja ingin masuk, tetapi seorang pria sudah lebih dulu membuka pintu. Sehingga Eca harus mundur selangkah untuk membuka jalan agar pria itu bisa keluar.
"Jelasin sama Eca!"
Gerald menarik napasnya dalam-dalam, lalu membuangnya. Tangannya merangkul bahu putri kesayangannya. Napasnya begitu berat, dadanya sesak, pikirannya kacau. Sulit sekali mengatakan semuanya pada Eca. Namun, dia tidak boleh egois. Eca harus tahu kebenarannya.
"Ayah!" rengek Eca seraya melepas rangkulan sang ayah.
"Ayah mau pergi ke Palu."
Mata Eca membulat sempurna. "Ayah bercanda, 'kan?"
Gerald mendekatkan wajahnya, "Apa Ayah terlihat sedang bercanda?"
Eca terdiam. Sedetik kemudian dia menggeleng cepat. "Tapi buat apa?"
"Ayah ditugaskan untuk mengawasi proyek pembangunan gedung di sana. Hanya dua bulan, kok."
Gerald adalah salah satu arsitek terkenal di beberapa perusahaan. Design rancangannya selalu dilirik banyak klien. Termasuk rancangannya kali ini, yang di desain khusus oleh dirinya sendiri, sebuah gedung serbaguna.
Terkadang dia juga sering ditugaskan untuk mengawasi langsung proses pembangunan dari rancangannya sendiri. Alasannya untuk meminimalisir kesalahan tata letak atau tidak keselarasan antara desain dan bangunan aslinya.
"Hanya, Ayah bilang!" Eca berdecih seraya membuang tatapannya ke arah lain. "Dua bulan itu lama, Ayah!"
"Kalau nggak dinanti-nanti, pasti terasa sebentar, sayang."
Bagaimana tidak kesal, pasalnya Gerald baru saja pulang dari Semarang seminggu yang lalu dan sekarang pria itu harus pergi lagi.
"Lagian kenapa harus Ayah? Ayah itu arsitek, tugas ayah kan hanya merancang gedung. Kalau mengawasi, itu tugas mandor 'kan?"
"Eca," ucap sang ayah lembut.
"Jangan mempersulit Ayah, ya. Kamu udah besar, harusnya kamu ngerti, apa yang Ayah lakukan ini demi masa depan kamu."
Eca menghela napasnya gusar. Perasaannya benar-benar bimbang sekarang. Eca tidak ingin egois, tetapi dia juga tidak ingin ayahnya pergi.
"Tapi Eca sendirian di rumah." Sekarang matanya mulai panas. Kabut hitam sudah menghalangi penglihatannya.
"Ada Bi Imah sama Pak Tono, 'kan?"
Eca mengusap pipinya yang mulai basah. Gadis itu bukan menangisi kepergian ayahnya. Namun, meratapi nasibnya yang tidak punya siapa-siapa lagi selain Gerald.
Eca mendongak, menahan air matanya agar tidak kembali terjatuh. "Ayah boleh pergi," ucapnya dibarengi dengan helaan napas yang begitu berat.
Gerald tersenyum seraya menangkup wajah putrinya, lalu mengecup puncak kepala gadis itu dengan penuh kasih sayang. "Makasih, putri kecil Ayah yang paling cantik."
Eca mengangguk. Dia berusaha untuk tersenyum, meski hatinya tidak baik-baik saja.
"Kita berangkat sekarang ya!"
"Hmm."
Gerald merangkul Eca menuju mobil. Gadis itu sesekali melirik Gerald. Hatinya terlalu berat untuk mengizinkan ayahnya pergi ke Palu, tetapi lagi-lagi Eca harus mengesampingkan egonya.
Eca mengeratkan pelukannya. "Eca sayang, Ayah!"
***
Sore hari ini bandara cukup ramai dengan beberapa orang yang berlalu lalang ke sana kemari. Ada yang sekedar menjemput sanak saudara dan bahkan yang sedang menanti seseorang pun terlihat di sini.
Eca sedang pergi ke toilet. Kini hanya ada Gerald dan Tono yang tengah menunggu Eca.
"Pak Tono, saya boleh minta tolong?"
Tono menoleh, dia mengangguk sebagi tanda persetujuan. "Boleh, Tuan. Silakan."
"Tolong jagain Eca! Awasi dia, jangan sampai lengah," ucap Gerald. Ada nada cemas dalam bicaranya.
"Baik, Tuan. Saya akan menjaga, Non Eca, seperti anak saya sendiri."
"Laporkan setiap apa pun yang dilakukan Eca. Saat saya tidak ada, Bapak bertindak sebagai bodyguard untuk Eca."
Tono tersenyum, lalu mengangguk. "Siap, Tuan."
Kedua pria itu kembali diam dengan isi kepalanya masing-masing.
"Ayah, kapan take off?" suara Eca membuat keduanya terdiam kikuk.
Gerald tidak ingin pembicaraannya dengan Tono didengar Eca. Kalau tidak, maka gadis itu pasti akan marah kepadanya. Eca tidak pernah mau terlihat lemah. Dia gadis keras kepala yang selalu berusaha melakukan apa pun sendirian. Namun, satu hal yang paling dia tidak sukai adalah ditinggalkan ayahnya.
"Sebentar lagi."
Eca mengangguk.
Tidak lama kemudian, pengumuman dari pengeras suara terdengar mendominasi dalam bangunan ini. Terakhir, Eca memeluk sang Ayah. Gadis itu akan kembali menanggung hari-hari penuh kerinduan sendirian.
Beberapa kali gerald mengecup puncak kepala putri kecilnya. "Jaga diri baik-baik, ya!" pesan Gerald.
Eca mengangguk cepat. "Iya. Ayah juga hati-hati di sana. Jangan sampai telat makan. Jaga kesehatan!"
"Siap, putri kecil," ledek Gerald.
Pria itu melepas pelukannya. Panggilan boarding di bandara menandakan bahwa penumpang harus segera menuju gerbang keberangkatan untuk segera naik pesawat.
Gerald beranjak dari hadapan Eca. Gadis itu hanya bisa menatap punggung sang ayah sampai akhirnya hilang tertutup beberapa orang.
Eca menghela napasnya berat. Dia harus bisa mandiri. Eca membalikkan badan dan mulai melangkahkan kaki lagi.
Seandainya ibunya masih hidup, mungkin dia tidak akan kesepian seperti sekarang. Itulah hal yang selalu eca harapkan. Memiliki orang tua yang utuh, sama seperti teman-temannya yang lain.
Ibunya meninggal ketika melahirkan Eca. Itu lah hal yang tidak pernah bisa diterima oleh Eca. Seandainya wanita itu tidak mementingkan dirinya, mungkin saja dia masih hidup dan bisa bersama dengan Gerald sampai saat ini.
Mengingat kenyataan hidupnya, beberapa bulir air mata berhasil lolos, membuat jejak lurus di pipinya.
Sekarang Eca sudah duduk manis di dalam mobil, bersama Tono yang sudah siap melajukan mobil milik majikannya. Eca menatap keluar melalui kaca mobil.
Matahari sudah hampir tenggelam seluruhnya. Hanya terlihat sisa-sisa cahaya jingga pada sela-sela gedung pencakar langit di Ibu kota.
"Eca mau punya ibu," ucapnya pelan. Bahkan hanya Eca sendiri yang bisa mendengar ucapannya.
***
Benda bulat yang sudah tergantung di langit sejak tadi itu mulai memancarkan sinarnya, sebut saja dia Sang Raja malam. Benda itu bertengger dengan tenang di atas sana, meskipun tanpa bintang-bintang yang selalu menemaninya untuk bersinar. Langit Ibu kota memang jarang sekali menampakkan gemerlapnya cahaya bintang. Sebuah motor Vespa melaju dengan kecepatan sedang. Lampu pinggir jalan yang sedikit redup membuat malam ini begitu tamatan.
Dari arah yang berlawanan, seorang gadis berjalan sendirian dengan kresek yang bertuliskan nama salah satu minimarket di daerah itu. Pandangannya menunduk, tubuhnya cukup ideal jika dipandang dari jarak yang cukup jauh. Rambutnya yang dibiarkan terurai hampir sepinggang. Wajahnya tidak terlihat begitu jelas, karena jaraknya cukup jauh.
Dengan hati-hati Evan memperlambat laju motornya. Namun, bayangan gadis itu semakin tampak jelas. Evan mengerjapkan matanya beberapa kali, lalu dia menarik rem tangan sekali hentakan. Membuat tubuhnya hampir terjungkal ke depan.
"Aaaa!" teriak gadis itu seraya memejamkan matanya rapat-rapat.
Sepersekian detik, waktu seperti berhenti. Gadis itu merasa tidak ada reaksi apa-apa. Dia membuka matanya perlahan.
Gadis itu tercengang saat melihat sebuah roda motor Vespa yang sudah berada di ujung sepatunya.
Evan menghela napasnya gusar. "Untung aja gak ketabrak!" desisnya sedikit merasa bersalah.
Evan mematikan motornya, lalu turun dan menghampiri gadis di depannya sambil mengoceh, "Mbak, kalo jalan jangan melawan arah gini dong. Bukan cuma membahayakan diri sendiri, tapi juga orang la ...."
"Evan?" sambar gadis itu seraya tersenyum tipis ke arah lawan bicaranya.
"Aresha, ngapain?"
"Abis dari minimarket," sahutnya seraya menunjukkan kresek di tangan kanannya. Senyumnya merekah begitu saja.
Evan menghela napasnya dalam-dalam, lalu membuangnya. "Selarut ini?"
Eca melirik benda putih yang melingkar di pergelangan tangannya. "Baru jam delapan."
"Bahaya tau, Sha. Keluar malam gini."
Eca melirik Evan. Tatapan cowok itu begitu serius. Apa sekarang Evan sedang mempedulikannya? Eca mengerjap beberapa kali. Jantungnya berdegup dua kali lebih cepat dari biasanya. Bukankah gadis lain juga akan merasakan hal yang sama jika ditatap oleh orang yang disukai? Jadi, hal ini wajar terjadi pada Eca.
"Untung aja tadi gue pelan bawa motornya." Evan kembali bersuara. "Jangan diulangi lagi!" tegasnya.
"Hmm." Eca mengangguk cepat. Secepat denyut nadinya saat ini.
Evan kembali ke motornya dan mulai menyalakan mesin motornya. "Gue duluan, ya. Hati-hati, disini banyak om-om buaya darat," ucap Evan sambil tersenyum menahan tawanya.
Senyuman itu justru malah menjadi pemandangan indah yang tidak bisa dilewatkan sedikit saja untuk tidak menatapnya.
Evan mulai melajukan motornya. Membelah jalan Ibu kota. Udara malam ini tidak seperti biasanya, karena angin yang berembus terasa sangat dingin, sampai menusuk pori-pori kulit pemuda itu.
Sementara Eca kembali melangkahkan kakinya. Minimarket yang baru saja dia datangi memang cukup jauh dari rumahnya. Awalnya Eca hanya ingin pergi ke minimarket di depan kompleks rumahnya. Namun, tiba-tiba saja minimarket itu tutup, biasanya tidak seperti itu.
Sebenarnya Eca ingin memesan taksi online, tetapi dia lupa membawa ponselnya. Taksi biasa sangat sedikit yang lewat di area kompleksnya. Karena udah setengah jalan, maka Eca memutuskan melanjutkan langkahnya menuju minimarket yang cukup jauh.
"Aresha!" suara khas milik seseorang itu memenuhi rongga telinga Eca. Perasaannya sedikit was-was, tetapi dia memberanikan diri untuk menoleh, karena dia hafal betul siapa pemilik suara itu.
"Sha."
Eca menatap orang yang baru saja memanggil namanya. "Ada yang ketinggalan?"
Cowok itu menggeleng. "Nggak ada."
Eca mengerutkan keningnya sambil berujar, "Terus?"
"Gue anterin lo pulang, ya?"
Eca mematung sejenak. Darahnya berdesir sangat cepat. Bukan hanya kupu-kupu yang berterbangan dalam perutnya, tetapi bunga juga bermekaran di dalam sana. Menyukai seseorang secara diam-diam selama satu tahun, sepertinya bisa membuat hal-hal sederhana menjadi begitu istimewa.
"Sha," panggil Evan seraya mengibaskan tangannya di depan wajah Eca.
Eca menoleh seraya mengangguk pelan. Gadis itu menjatuhkan bokongnya tepat di jok belakang motor Evan. Perasaannya tidak bisa lagi diungkapkan dengan kata-kata.
Evan mulai melajukan motornya. Dua anak muda itu menikmati dinginnya malam di atas motor.
Sepanjang perjalanan tak ada yang bersuara. Sampai mereka tiba di depan sebuah rumah berwarna dark grey.
"Makasih, Evan," ucap Eca setelah turun dari motor Evan.
Evan hanya mengangguk. "Sama-sama. Gue duluan, ya." Evan langsung melajukan motornya. Dia lupa kalau sudah berjanji akan pulang tepat waktu.
"Hati-hati, Evan!" teriak Eca seraya mengukir senyum bahagia di wajahnya.
Pagi ini Evan memilih untuk mengisi perut di kantin. Sejak tadi malam dia lupa memberi makan cacing-cacing di perutnya. Di sampingnya sudah duduk Emil, teman sejak di sekolah dasar. Keduanya sibuk dengan makanan masing-masing.Evan hanya menyantap nasi goreng dengan es teh manis. Berbeda dengan Emil, yang lebih senang dengan mie instan dan kopi susu favoritnya. Meski berbeda, tetapi mereka selalu rukun satu sama lain.Seorang gadis baru saja menyodorkan kotak makan bergambar Teddy bear berwarna cokelat, di depan Evan. Membuat manik mata Evan tertuju padanya.Cowok itu hampir saja tersedak jika tidak buru-buru meminum es teh di depannya.Evan menelan nasi goreng yang masih di dalam mulutnya sambil berujar, "Apa nih?" Matanya melirik kotak makan itu."Sarapan buat Evan, tapi karena Evan lagi sarapan. Jadi, ini buat makan siang aja."Emil meletakkan sendok dan garpu di mangkuknya, dia melirik Evan dan Eca bergantian. Sebetulnya Emil
Remaja itu sedang duduk di sebuah kafe, sambil sesekali menyesap kopi susu yang sudah hampir tandas di depannya. Sudah hampir setengah jam dia menunggu kedatangan temannya."Sorry, telat," ucap seseorang seraya menarik kursi untuk duduk. Napasnya terdengar sangat memburu, seperti baru saja melakukan lari maraton jarak jauh.Emil melirik arloji di pergelangan tangannya. "Masih 30 menit lagi, kok. Lo pesan minum dulu aja!"Evan mengangguk. "Elang mana?"Emil mengedikkan bahunya. Beberapa menit yang lalu Elang bilang akan pergi ke toilet. Namun, sampai saat ini belum juga kembali. Netra Emil menangkap sosok pemuda berkemeja biru tua dan jeans hitam, tak lupa snakers bertengger di kakinya. Dia sedang berdiri di depan kafe bersama seorang gadis, mereka terlihat begitu akrab."Noh, lihat teman lo kelakuannya!" desis Emil sambil menggerakkan dagunya ke arah dua remaja yang sedang
Matahari kembali muncul di peradaban. Menampakkan wujud berupa cahaya terang yang cukup menyilaukan. Burung berkicau tiada henti, sesekali mengepakan sayapnya untuk pindah dari dahan pohon ke sisi yang lainnya.Di sanalah Evan. Di depan motor Vespa berwarna biru yang penuh dengan sejarah itu. Cowok itu baru saja mengelap debu-debu yang menempel di beberapa bagian motornya.Setelah selesai mengelap debu dengan kanebo. Evan kembali masuk ke dalam. Dia berjalan ke dapur, menghampiri Sri, ibunya."Ibu, udah siap?" tanya Evan seraya mencuci kanebo di wastafel."Belum. Ibu mau ganti baju dulu, kamu tolong masukin kue ke dalam box ini, ya." Evan mengangguk.Sri adalah seorang singgle parents. Pekerjaannya hanya berjualan kue di belakang stasiun. Kue buatannya selalu habis terjual. Selain harganya yang murah, kue buatan Sri juga rasanya sangat enak. Cocok dengan para mahasiswa atau
Evan terus melangkah menyusuri koridor, sampai langkahnya terhenti di depan sebuah ruangan. Sebuah nama terpampang jelas di daun pintu ruangan itu.Indah Suryani S.Pd.Tanpa ragu Evan mengetuk pintu. Tak lama terdengar sahutan dari dalam ruangan ini."Masuk!"Evan menghela napas berat. Sedikit takut, karena pasalnya dia belum pernah membuat kesalahan apa pun sampai harus dipanggil dengan wali kelasnya."Ibu manggil saya?"Wanita berpakaian formal khas PNS itu mengangguk. "Duduk."Evan terdiam. Dia bingung harus memulai pembicaraannya dari mana. Karena dia tidak tahu untuk apa dipanggil ke ruangan ini.Wanita yang masih duduk diam di sebuah kursi itu kini sibuk mencari beberapa tumpukan kertas di atas mejanya."Maaf Bu, kenapa saya dipanggil ke sini?" tanya Evan dengan ragu.
Gue cuma nggak mau lo nanti memperlakukan semua cewek dengan sama rata. Karena pada dasarnya lo harus memilih mana yang akan menjadi prioritas utama.--Emil--***Hari sudah gelap. Si raja malam sudah bertengger di atas sana. Ditemani dengan ribuan pengawalnya yang selalu memperlihatkan cahaya indahnya masing-masing. Evan duduk di depan jendela, masih denganearphoneyang sejak tadi menyumpal indera pendengarannya. Tidak seperti biasanya, kali iniearphoneitu mengeluarkan bunyi, berkat kabel yang tersambung pada ponselnya.Matanya terus menatap langit. Pikirannya lebih berisik daripada lagu yang sedang ia dengarkan. Pandangannya kosong, menatap jauh ke arah langit.Tak berselang lama, Evan bangkit dari duduknya dan menyambar jaket yang tersampir di belakang pintu kamar dan sebelah tangannya menyambar kunci motor yang tergeletak di atas nakas.Evan keluar kam
Lucu ya, kita menunggu kereta di peron yang sama. Padahal kereta tujuan kita berbeda. Sampai aku sadar, kalau tujuanku bukan lagi rumah untuk berpulang, melainkan kamu.–Revan Al-Shabab-***"J-Jalan. Y-Yuk.""Hah?" Eca tersentak dan langsung membalikkan badannya.Sinting nih orang!Datang tiba-tiba dan sekarang mengajaknya jalan. Namun, kesempatan tidak akan datang dua kali.Eca menghela napasnya berat. "Eca mandi dulu ya, tunggu di dalam aja."Evan mengangguk, seulas senyum tipis tercetak di wajah mulusnya. Meski tidak pernah perawatan di salon, wajah Evan memang mulus tanpa jerawat. Ini mungkin efek dari hidupnya yang terbilang sehat. Cowok itu mengangguk."Gue tunggu di sini aja," ucapnya saat mereka baru menginjakkan kaki di teras rumah Eca.Gadis itu kembali masuk ke dalam rumah. Dia tidak langsung ke kamar, melainkan berjalan ke dapur. "B
Satu hal yang tidak pernah bisa didefinisikan adalah cinta. Ketika rasaku dan rasamu yang tidak sama, apa bisa cinta tetap ada?–Revan–***Di dalam sini sangat padat dan pengap. Eca hampir tidak bisa bernapas. Untuk bergerak saja rasanya sulit sekali. Begitu juga tempat duduk, semuanya sudah terisi. Kini dia hanya bisa berdiri di samping Evan, sementara Evan berdiri dekat dengan pintu kereta. Tangannya tidak sampai untuk berpegangan ke atas.Sesekali Evan meliriknya. Perasaannya tiba-tiba mendadak menyesal karena telah mengajak Eca naik kereta. Sesekali kereta bergoyang, membuat Eca tidak bisa menyeimbangkan dirinya. Untung saja Evan ada di sampingnya, hal ini sangat membantu Eca, agar dirinya tidak tersungkur.Sekali lagi kereta itu bergoyang, membuat tubuh Eca harus terdorong oleh beberapa orang di belakangnya. Evan melihat itu. Cowok itu langsung menarik Eca, menukar posisinya.
Eca yakin, kalau nggak ada cinta tanpa balasan. Eca hanya perlu menunggu sampai kereta Eca datang dan berhenti pada tempat perhentian terakhir.–Aresha–****Selesai makan dua remaja itu kembali berjalan memasuki halaman gedung yang menjadi objek wisata itu. Bangunan yang di dalamnya terdapat banyak sejarah.Matahari sudah tidak terlalu terik seperti tadi siang. Karena sekarang sudah hampir jam 15:00 sore. Semilir angin menemani kedua remaja itu sore ini."Evan, bisa naik sepeda?" tanya Eca sambil menunjukkan beberapa sepeda yang khusus disewakan untuk pengunjung."Bisa.""Eca mau naik sepeda aja. Eca gak suka masuk ke museum, seram."Evan tercengang. Bisa-bisanya dia bilang museum seram. Padahal Evan lebih suka menjelajahi isi museum, karena menurutnya itu sangat menyenangkan, apalagi museum seni rupa. Dia memang sangat suka pelajaran seni rupa.Evan mengangguk.