Share

Om kadal berlidah katak

Pagi ini Evan memilih untuk mengisi perut di kantin. Sejak tadi malam dia lupa memberi makan cacing-cacing di perutnya. Di sampingnya sudah duduk Emil, teman sejak di sekolah dasar. Keduanya sibuk dengan makanan masing-masing. 

Evan hanya menyantap nasi goreng dengan es teh manis. Berbeda dengan Emil, yang lebih senang dengan mie instan dan kopi susu favoritnya. Meski berbeda, tetapi mereka selalu rukun satu sama lain.

Seorang gadis baru saja menyodorkan kotak makan bergambar Teddy bear berwarna cokelat, di depan Evan. Membuat manik mata Evan tertuju padanya. 

Cowok itu hampir saja tersedak jika tidak buru-buru meminum es teh di depannya.

Evan menelan nasi goreng yang masih di dalam mulutnya sambil berujar, "Apa nih?" Matanya melirik kotak makan itu.

"Sarapan buat Evan, tapi karena Evan lagi sarapan. Jadi, ini buat makan siang aja."

Emil meletakkan sendok dan garpu di mangkuknya, dia melirik Evan dan Eca bergantian. Sebetulnya Emil sudah mengetahui kalau gadis itu menyukai Evan. Namun, dia harus tetap menjaga mulutnya. Itu semua karena Eca yang menyuruhnya.

Emil berdehem. "Kalau gak mau, buat gue aja!" sindir Emil. Tangannya sudah hampir menyentuh kotak makan itu, kalau saja Eca tidak menggeser posisinya.

"Ini spesial buat Evan!" tegas Eca.

Emil menarik tangannya kembali untuk meraih alat makan dan melanjutkan aktifitasnya untuk memberi makan cacing-cacing di dalam perutnya.

"Buat lo aja, gue udah sarapan," seru Evan seraya mengembalikan kotak itu.

"Anggap aja sebagai ucapan terima kasih." Eca tersenyum tipis.

Emil menajamkan indera pendengarannya. "Kayaknya ada yang lagi bucin, nih!"

Evan menoleh. Tatapannya datar. Yang ditatap tak berkutik. Lebih baik dia melanjutkan makannya daripada Evan semakin murka padanya.

"Btw, ucapan terima kasih apa, Ca?" Emil memainkan alisnya. Bermaksud menggoda gadis yang sudah duduk di depannya.

"Terima kasih ... karena Evan udah nganter Eca pulang." Mata Eca membulat, tangannya membekap mulutnya sebelum kembali berkata, "Eh, Eca duluan. Mau ngerjain tugas."

Gadis itu bangkit dan langsung melesat pergi dari hadapan kedua cowok itu. Dengan langkah cepat dan perasaan malu, Eca sampai tidak fokus pada keadaan sekitar.

Bruk!

Eca menubruk seseorang sampai hampir terjatuh ke belakang, untung saja kakinya mampu menumpu tubuhnya. Matanya menatap pemilik tubuh yang baru saja ditabraknya.

"Sha!" pekik Evan yang melihat kejadian itu.

Emil ikut menoleh, tetapi cowok itu hanya tersenyum menahan tawanya.

Eca semakin malu sekarang. Gadis itu menggaruk tengkuknya kikuk. "Eh, maaf, Elang." Gadis berponi itu kembali melangkah.

Elang hanya menggeleng pelan. Cowok itu sudah mengenal Eca. Karena mereka sempat satu sekolah saat SMP.

"Lucu banget," kata Evan sambil terkekeh kecil. Ucapannya itu ternyata bisa membuat sahabat di depannya menatap Evan tajam.

"Eca?"

Evan mengangguk mantap. "Iy...,"

Namun, di detik berikutnya dia menggeleng cepat. "Ng-nggak. I-ini tempat makannya lucu," timpal Evan. 

Emil hanya tersenyum seraya menggelengkan kepalanya. Heran.

Elang melangkah mendekati Evan dan Emil. "Ehem ... gue denger, ada yang abis nganterin cewek pulang, nih." Elang berdehem seraya ikut duduk di antara Emil dan Evan.

Sementara Elang dan Emil hanya saling melirik. Emil mengarahkan dagunya ke arah Evan. Seolah memberitahu bahwa sahabatnya sedang pubertas.

Evan yang menyadari kelakuan dua sahabatnya hanya menaikkan sebelah alisnya. Lalu kembali menandaskan nasi gorengnya.

"Evan mulai bucin, guys!" ujar Elang.

***

Tatapannya masih terus fokus pada kotak makan bergambar Teddy bear. Padahal sejak tadi sudah bel istirahat. Namun, Evan memilih untuk tetap di kelas.

"Liatin aja terus itu kotak makan!" cibir Emil yang baru saja kembali dengan dua botol air mineral di tangannya.

Emil meletakkan satu botol di depan Evan, tapi hanya dibalas dengan tatapan singkat. 

"Bingung gue," kata Evan memulai pembicaraan.

"Bingung kenapa?" tanya Emil seraya mulai memainkan ponsel miliknya.

"Aresha."

Emil menghentikan pergerakan jarinya. Dia memasukkan kembali ponselnya ke saku kemeja putih. Emil tahu kalau obrolan Evan kali ini pasti serius. Jadi, dia tidak ingin mengabaikan sahabatnya itu.

Emil memang selalu menjadi tempat keluh kesah bagi Evan. Dengan sikapnya yang pengertian dan bijak, dia mampu memberikan saran ketika Evan sedang membutuhkannya.

"Eca?" tanya Emil dengan alis yang terangkat sebelah.

"Gak ngerti aja sama itu anak. Cuma gara-gara dianterin pulang, masa sampe ngasih gue makanan gini."

"Ya, 'kan sebagai ucapan terima kasih."

"Aneh tau, Mil. Lo gak tau sih, berapa kali gue ketemu dia dalam sehari."

"Emang berapa kali sih? Yaelah udah, sih, gak usah dipikirin. Mending lo makan aja, tuh. Hargai pemberian orang!"

Evan mengangguk seraya mulai membuka kotak makan pemberian Eca. Diam-diam Emil melirik isi dalam kotak makan itu, ternyata isinya roti tawar dengan selai nanas, Evan sangat suka buah berwarna kuning itu.

"Enak, nih. Bagi gue!" cetus Emil. Tanpa menunggu persetujuan dari Evan, dia berhasil mengambil satu potong roti dan melahapnya.

Dua sahabat itu terdiam dalam pikirannya masing-masing. Evan hanya memikirkan bagaimana Eca bisa tau rasa favoritnya. Berbeda dengan Emil, yang melihat Evan melamun, dia bisa tahu kalau sahabatnya pasti sedang memikirkan gadis pemberi kotak makan itu.

Sejujurnya Emil sudah tidak tahan untuk terus merahasiakan perasaan Eca pada Evan. Namun, dia juga tidak bisa ambil tindakan begitu saja, tanpa persetujuan dari Eca.

"Kalau gue boleh menyarankan. Bersikap ke cewek itu sewajarnya aja," kata Emil.

Evan menoleh dengan mengerutkan keningnya. "Emang selama ini sikap gue gimana?"

"Lo itu terlalu ramah ke semua orang. Sampe cewek-cewek ngiranya lo memperlakukan dia spesial. Padahal aslinya lo bersikap kayak gitu ke semua orang."

"Jadi maksud lo, Eca baper gitu sama gue?"

Emil mengangkat kedua bahunya. "Gue gak bisa pastiin, sih. Tapi coba, deh, gak usah terlalu ramah sama banyak cewek."

Evan menghela napasnya panjang. Dia memang seperti itu, ramah kepada semua orang. Bukan hanya kepada para gadis, tetapi pada teman dan lingkungan sekitarnya juga. Semua itu tidak terlepas dari bimbingan ibunya, yang selalu mengajarkan Evan untuk bersikap ramah kepada semua orang, terutama kaum hawa.

"Woi, gue cariin. Malah pada asik ngobrol di sini. Gak ngajak-ngajak lagi!" pekik Elang yang baru saja memasuki kelas. Elang dan Evan memang beda kelas. Dia berada di kelas IPA 2 bareng dengan Eca. Sementara Emil dan Evan berada di kelas IPA 1.

Dengan wajah tanpa dosa andalannya, Elang meneguk air mineral milik Evan sampai sisa setengahnya.

"Lo dari mana, Lang?" tanya Emil.

Elang sudah sibuk dengan ponselnya. Entah hal apa yang berhasil membuat Elang sampai senyum-senyum sendiri di depan ponselnya.

"Lang."

"Hmm?"

"Lo dari mana?"

Elang kalau sudah bermain ponsel, seluruh alat inderanya tidak berfungsi. Termasuk telinganya yang mendadak tuli. Emil geram sendiri melihatnya.

"Biasalah, abis minta nomor adek-adek kelas."

"Anjir, si Aira cakep banget. Nih, lihat!" seru Elang heboh sambil menunjukkan ponselnya ke depan Emil.

Emil memijat pelipisnya yang mendadak pening, karena kelakuan Elang."Babi dibedakin juga lo bilang cakep!"

"Nggak babi juga kali. Maenannya najis lo mah."

"Sama kayak lo najis!"

"Babi sama anjing, sucian mana?"

"Sucian ubin masjid!"

Evan hanya mendengarkan percekcokan kedua temannya. Tidak ada niat sedikit pun untuk melerai, karena percuma saja. Mereka berdua tidak akan ada yang mau mengalah. Kalau sudah begini, Evan akan melakukan hal yang seharusnya dia lakukan.

Cowok itu mengeluarkan earphone yang sudah tersambung di ponselnya. Sebetulnya Evan tidak mendengarkan apa-apa. Dia hanya senang sekali suasana hening. Dan memakai earphone adalah salah satu kebiasaannya untuk menghindari perbincangan yang menurutnya tidak terlalu penting.

Sesekali Evan melirik Elang dan Emil bergantian. Elang itu playboy dan keras kepala, dia hanya memanfaatkan tampang wajahnya yang lumayan tampan sebagai ajang pendekatan kepada adik kelasnya.

"Gak usah pura-pura dengerin lagu!" Elang menarik earphone yang dipakai Evan dengan sekali hentakan. Membuat sang empu melotot tidak terima.

"Apaan, sih!"

"Ada tawaran nyanyi lagi, nih. Acara reuni. Mau diambil jangan?" tanya Emil sambil melirik kedua temannya.

"Ambil aja. Lumayan buat cuci mata," sahut Elang sambil menaik turunkan alisnya.

"Palelu cuci mata!" cibir Emil.

Evan terdiam, tidak mengeluarkan kata apa pun. Emil menyikut lengan Evan. "Gimana?"

"Terserah lo aja."

"Yes! Gue bisa tepe-tepe, nihh," sorak Elang tanpa tahu malu.

Tiga sejoli itu memang senang sekali bermain musik. Awalnya Elang mengajak Emil dan Evan untuk menggantikan sebuah grup band, yang memiliki sedikit masalah sampai tidak bisa datang di salah satu kafe daerah Menteng, Jakarta. Namun, karena banyak pengunjung yang merasa puas dengan hiburan melalui lantunan suara milik Emil, mereka jadi sering mendapat panggilan di beberapa kafe untuk mengisi suara.

"Jangan malu-maluin! Acaranya nanti jam delapan malam."

Evan dan Elang mengangguk singkat sebagai jawaban.

"Udah gue kirim alamatnya, ya!"

"Sip."

***

Evan mulai melangkahkan kakinya menuju motor Vespa berwarna biru yang terparkir rapih bersama dengan deretan motor lainnya. Parkiran itu seketika menjadi ramai. Beberapa siswa bersorak dan berteriak karena motornya tidak bisa keluar, akibat dihalangi oleh motor lain.

"Mio putih siapa, sih, ini woi? Gece lah gue mau ke salon, nih!" teriak seorang siswi dengan rok yang sangat mini dan polesan make up yang tidak wajar dipakai oleh seorang pelajar.

"Anjing, motor gue lecet. Siapa, nih, yang ngeluarin motornya gak bener?" satu lagi teriakan dari remaja dengan kemeja yang dikeluarkan.

"Eh, awas kena spion gue!"

"Woi, kaki gue jangan diinjak. Geseran dikit napa motor lo!"

Namun, pikiran Evan lebih berisik daripada suasana parkiran di depannya. Evan menghela napasnya berat. Dia masih berdiri beberapa meter dari parkiran. Percuma pergi ke sana, karena motornya belum bisa dikeluarkan.

Tatapannya berhenti saat netranya menatap gadis yang sedang berdiri di depan gerbang. Senyumannya yang tak pernah lepas dari wajah cantiknya, membuat siapa saja yang melihatnya pasti akan terhipnotis, siapa lagi kalau bukan Aresha Veranka Putri.

Evan memicingkan matanya. Saat melihat seorang pria di dalam mobil berwarna hitam pekat. Kaca mobil itu terbuka, pria itu seperti sedang berbicara dengan Eca, yang sedari tadi berdiri di depan gerbang.

Tunggu dulu, Evan pernah melihat pria itu, kemarin. Entah apa yang membuat kakinya ingin melangkah ke arah gerbang.

"Sha, jangan!" sentak Evan seraya menutup kembali pintu mobil yang baru saja Eca buka sebagian, sampai terdengar suara hentakan yang begitu keras.

Eca mendongak. Menatap cowok yang entah sejak kapan sudah berdiri di sampingnya dengan kedua alis yang bertaut.

"Evan, ngapain?"

"Lo dipaksa pergi bareng sama om-om itu, iya?" tanya Evan datar seraya melirik Tono yang masih duduk tenang di balik kemudi.

Eca semakin kebingungan dengan sikap Evan. Namun, sudah pasti hatinya bersorak kegirangan bisa ngobrol bareng Evan lagi.

Eca hanya menggeleng pelan sambil mengerjapkan matanya. 

Evan berjalan menghampiri Tono. "Om, saya beri peringatan, ya. Jangan ganggu anak sekolahan. Kalau mau cari perempuan, yang seumuran dong. Dasar om kadal berlidah katak!"

Tono tercengang. Dia kebingungan. Siapa yang disebut kadal berlidah katak barusan? Apa dirinya?

Tono menelan salivanya susah payah. "Maaf, tapi ...."

"Ayo, Sha. Kita pergi. Lain kali jangan mau diajak sama om-om kayak gitu!" oceh Evan seraya menarik Eca masuk kembali ke area sekolah.

Eca sesekali meringis, karena harus mengikuti langkah Evan yang begitu cepat. "Evan lepas!" ucap eca seraya menepis tangan Evan.

Evan mengusap wajahnya gusar.

"Ada apa, sih, ribut-ribut?" tanya Emil yang sudah berdiri di antara Evan dan Eca.

"Kebetulan ada lo." Evan menepuk bahu Emil, membuat sang empunya meringis kesakitan. "Anterin Aresha pulang, gih! Dia tadi mau diculik. Kalau aja gue gak lihat."

Emil terbelalak. "Lah, seriusan? Siapa yang berani nyulik lo, Ca?"

Eca berdehem. Lalu mengedipkan matanya ke arah Emil. Membuat cowok itu mengangguk paham. 

"Ya udah, gue anterin Eca pulang. Lo jangan lupa nanti jam delapan, ya!"

Emil beranjak pergi bersama Eca menuju parkiran yang sudah cukup senggang.

Tak lama Eca duduk di jok belakang motor Emil dengan perasaan campur aduk. Dia ingin tertawa mengingat kejadian beberapa menit yang lalu. Gadis itu mengeluarkan ponselnya, lalu mengirim pesan pada seseorang.

Eca : Pak, tungguin Eca di perempatan aja. Eca ada urusan bentar.

Eca kembali mengulas senyumnya. Bisa-bisanya Evan ngira kalau Pak Tono adalah om-om yang suka menculik anak gadis.

Emil melirik Eca yang sedang senyum-senyum sendiri dari spion motornya.

"Seneng banget kayaknya."

Eca terperangah. Dia menatap Emil dari spion. "Doain aja semoga Evan cepat-cepat nembak Eca."

"Mati tau rasa lo!"

Eca hanya mencebikkan bibirnya malas. "Capek ngomong sama lo!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status