Share

Taruhan

Remaja itu sedang duduk di sebuah kafe, sambil sesekali menyesap kopi susu yang sudah hampir tandas di depannya. Sudah hampir setengah jam dia menunggu kedatangan temannya.

"Sorry, telat," ucap seseorang seraya menarik kursi untuk duduk. Napasnya terdengar sangat memburu, seperti baru saja melakukan lari maraton jarak jauh.

Emil melirik arloji di pergelangan tangannya. "Masih 30 menit lagi, kok. Lo pesan minum dulu aja!" 

Evan mengangguk. "Elang mana?"

Emil mengedikkan bahunya. Beberapa menit yang lalu Elang bilang akan pergi ke toilet. Namun, sampai saat ini belum juga kembali. Netra Emil menangkap sosok pemuda berkemeja biru tua dan jeans hitam, tak lupa snakers bertengger di kakinya. Dia sedang berdiri di depan kafe bersama seorang gadis, mereka terlihat begitu akrab.

"Noh, lihat teman lo kelakuannya!" desis Emil sambil menggerakkan dagunya ke arah dua remaja yang sedang mengobrol di depan kafe.

Evan melirik sekilas, lalu kembali menatap Emil dan keduanya menggeleng pelan. Punya teman buaya rawa memang sebuah problematika kehidupan yang paling rumit bagi Evan dan Emil.

"Cewek aja terus dikumpulin!" cibir Emil.

"Namanya juga buaya rawa. Ya, kerjaannya nyari mangsa!" seru Evan tak mau kalah menghujat temannya itu.

Emil terkekeh mendengar penuturan Evan. Tumben-tumbenan Evan ikut menghujat Elang. Biasanya dia akan selalu memilih bungkam, karena percuma saja bicara. Itu tidak penting menurut Evan.

Emil berdehem. Pandangannya beralih pada Evan, yang ditatap hanya mengerutkan keningnya. "Jadi, gimana, nih?"

"Gimana apanya?" tanya Evan tidak mengerti.

"Lo sama Eca?" Emil memainkan alisnya.

"Bentar dulu, emang gue sama Eca kenapa?" Evan memasang mimik wajah polosnya. Ya, sudah dipastikan bahwa Evan tidak akan mengerti maksud dari perkataan Emil.

"Gak peka banget jadi cowok, heran gue!" desis Emil.

"Hai ... guys!" seru Elang seraya ikut bergabung bersama Evan dan Emil.

"Gimana, lancar pedekate-nya?" cibir Evan, yang bermaksud untuk mengalihkan pembicaraannya dengan Emil.

Elang hanya menaik turunkan kedua alisnya. "Yoi, lo tau nggak? Gue ketemu teman SMP gue. Anjir tambah cantik aja. Apalagi bodynya ... beuh, montok bener!" oceh Elang heboh.

Emil dan Evan kesekian kalinya harus merutuki nasib, dipertemukan dengan orang seperti Elang saat Masa Orientasi Siswa setahun yang lalu.

Tak lama ketiganya terdiam dalam pikirannya masing-masing, tetapi tidak dengan Elang. Dia sudah sibuk bermain ponsel sambil senyum-senyum sendiri, seperti orang tidak waras di luaran sana.

"Emil," panggil Evan. Nadanya terdengar begitu serius. Membuat kedua tempannya langsung menoleh.

"Tadi lo nganterin dia sampe rumah, kan?"

Emil menautkan kedua alisnya. "Nganterin siapa?" tanya Emil pura-pura tidak tahu. Dia sedang meledek Evan. Agar Evan mau menyebutkan nama gadis yang sudah membuat pikirannya bertaut pada nama itu.

Elang yang diam-diam mendengarkan pun mulai penasaran. Dia memasukkan ponselnya ke saku celana dan mulai menyimak pembicaraan kedua temannya.

"Yang tadi pulang sekolah?"

"Oh, si Eca?" tanya Emil sambil manggut-manggut.

"Eca?" Elang mencodongkan tubuhnya ke depan Emil sebelum kembali bersuara. "Aresha Veranka Putri, maksud lo?"

Evan tertegun, matanya membulat sampai pada ukuran sempurna. Dirinya ingin mengumpat. Ah, sial! Elang malah sengaja menyebutkan nama gadis itu secara lengkap dan jelas.

"Emang ada apa, sih?" tanya Elang sambil mengembalikan posisinya seperti semula.

"Jadi...," Emil menjeda ucapannya.

"Aresha tadi mau diculik sama om-om," sambar Evan dengan cepat.

Emil tersenyum melirik Evan yang jadi salah tingkah sendiri.

"Om-om?"

"Itu loh yang tadi siang di depan gerbang. Yang kumisnya lebat banget kayak hutan blackforest. " tutur Evan menjelaskan.

"Yang perutnya buncit, kayak orang hamil tujuh bulan?"

Evan mengangguk setuju. Wajahnya yang begitu polos, membuat kedua temannya ingin sekali memukul wajah itu dengan penggorengan.

Elang melirik Emil. Lalu keduanya tergelak bersamaan. Menyisakan tanda tanya bagi Evan, sampai remaja itu tidak sadar kalau wajahnya terlihat seperti orang bodoh. Elang mendekatkan wajahnya sampai sejajar dengan Evan.

Tuk!

Elang menyentil dahi Evan, sampai sang empunya meringis kesakitan. "Lo tau itu siapa?"

Evan menggeleng sambil sesekali melirik Emil yang hanya tersenyum tipis. "Jangan bilang kalau itu bok ...."

"Bokep?"

Pletak!

Kini giliran Emil yang menjitak kepala Elang cukup keras. Cowok itu hanya berdecih seraya mengusap kepalanya yang seketika terasa nyeri.

"Dia bokapnya, Aresha?" tanya Evan dengan raut wajah serius.

Emil menggeleng. "Dia Pak Tono, supir si Eca."

"Wahahah." Elang terbahak begitu keras. "Puas gue lihat muka si Evan, kayak bocah idiot!"

Sementara Emil hanya terkekeh kecil melihat kedua temannya.

Tak lama terdengar suara dari speaker. Bisa dipastikan acara reuni malam ini sudah  dimulai beberapa menit yang lalu. Tiga pemuda itu akan segera dipanggil untuk mengisi suara di acara ini.

Emil sang vokalis, yang memiliki suara cukup indah untuk didengar. Suara Emil begitu lembut ketika sedang bernyanyi. Sementara Evan, dia menjadi gitaris, terkadang evan juga mengisi suara dua. Sementara Elang, dia sangat mahir memukul drum. Drummer kebanggaan bagi Emil, meski tingkahnya yang sangat menjengkelkan.

"Yuk, udah waktunya," kata Emil seraya bergegas menuju panggung kecil di depan ruangan.

"Bentar, penampilan gue udah oke belum?" tanya elang heboh.

"Percayalah, lo selalu memesona!" Kata Evan seraya menepuk bahu Elang.

Elang langsung merangkul bahu Evan. "Lo emang yang terbaik, Van."

***

Suasana kafe saat ini sudah mulai sepi. Beberapa lampu sudah dipadamkan, bertanda bahwa tempat ini akan segera tutup. 

Emil sedang berbicara dengan pemilik kafe di dalam. Sementara Evan dan Elang sedang menunggu cowok itu sambil duduk di atas motornya masing-masing.

"Evan," panggil Elang.

Evan menoleh, memasang wajah datar andalannya.

"Gue mau cerita, nih. Mau dengerin nggak?"

"Apa?"

"Waktu SMP, gue pernah suka sama si Eca. Plis ... jangan ketawa dulu, ini beneran ceritanya."

"Ya, terus?"

"Si Eca itu keras kepala banget. Anjir. Nggak ada cowok yang berhasil dapetin dia."

Evan berdecih. "Termasuk lo?"

"Hmm." Elang mengangguk, membenarkan ucapan Evan.

Keduanya terdiam beberapa detik sebelum Elang kembali bersuara. "Taruhan sama gue, kalau lo sampe bisa dapetin Eca, motor ini buat lo," kata Elang seraya mengetuk-ngetukan jarinya di atas stang motor sport miliknya.

Evan tercengang. "Gila lo, Lang!" sentak Evan. Wajahnya sudah merah padam. Bagaimana bisa Elang menjadikan perempuan sebagai bahan taruhan.

"Gue gak main-main. Motor ini bakalan jadi milik lo, kalau lo berhasil dapetin...." Elang mengedipkan sebelah matanya.

"Dapetin apa?"

Evan dan Elang tersentak saat mengetahui keberadaan Emil yang hanya berjarak beberapa langkah dari mereka. Dua cowok itu seketika menjadi kikuk.

Elang menunjukkan deretan giginya seraya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Dapetin ... itu ... anu ...."

"Udah selesai 'kan? Pulang, yuk," ucap Evan menetralkan suasana.

Emil mengangguk seraya menuju motornya. Evan memelototi Elang. Cowok yang dipelototi itu hanya menghela napas lega, karena hampir saja rencananya mengajak Evan taruhan ketahuan.

Tiga sejoli itu mulai melajukan motornya membelah jalan. Arah rumah mereka hampir searah kalau saja tidak dipisahkan oleh perempatan jalan. Saat di perempatan Elang mengambil arah ke kiri. Sementara Evan dan Emil mengambil arah lurus.

"Mampir gak?" tanya Emil dengan teriakan. Keduanya masih berada di atas motor yang berbeda.

Evan membunyikan klaksonnya sambil berujar. "Udah malam. Gue pulang, ya."

Keduanya pun terpisah di tikungan kompleks perumahan Emil.

Sekitar lima menit kemudian, Evan memasuki halaman sebuah rumah. Tidak terlalu besar, minimalis dan sangat sederhana. Cat berwarna tosca–yang sudah memudar–pada bagian temboknya memberi kesan kumal. Beberapa tanaman bunga di beberapa sudut halamannya, membuat halaman ini terlihat lebih indah. Jangan lupakan pagar bambu berwarna cokelat yang akan menyambut kedatangan Evan malam ini.

Evan memarkirkan motornya tepat di depan pintu rumah. Hal itu langsung disambut baik dengan anak perempuan berumur sekitar 8 tahun.

"Abang!" pekiknya sambil berlari menghampiri Evan.

"Kok, belum tidur?"

Gadis kecil itu menggeleng sambil mengerucutkan bibirnya. "Rena nunggu Abang."

Sharena Meyda Al-Shabab, adik kandung dari Revan Al-Shabab. Mereka dua bersaudara.

Rena melerai pelukannya. "Abang lupa, ya?"

Evan mengernyitkan keningnya. Pikirannya bekerja keras, mencari tahu apakah sebelumnya dia memiliki janji dengan Rena atau tidak. Namun, tak ada satu janji pun yang dia ingat. Evan tanpa ragu menggeleng. "Lupa apa?"

"Tuh, kan, Abang lupa. Dari kemarin katanya janji mau beliin aku ayam bakar yang di belakang stasiun itu. Ayam bakar Pak Sutrisno. Tapi sampe sekarang belum juga dibeliin." Rena mendumal. Bisa-bisanya Evan melupakan janji itu.

Evan terdiam. Dia mengingat kembali kejadian kemarin malam, saat dirinya mengantar Eca pulang. Seharusnya waktu itu dia membelikan adiknya ayam bakar, tetapi dia malah lebih memilih mengantarkan Eca pulang.

Evan mengelus puncak kepala sang adik. "Maafin Abang, ya. Besok janji Abang beliin. Kalau sekarang udah tutup."

Rena mengangguk. Meski hatinya sedikit sedih karena Evan melupakan permintaannya.

"Sekarang masuk sana. Udah malam kamu harus tidur, kalau nggak mau kesiangan besok!" Evan tersenyum hangat di depan Rena. Gadis kecil itu lagi-lagi mengangguk dan beranjak pergi ke kamarnya.

"Bisa-bisanya gue lupa!" umpat Evan merutuki dirinya yang begitu mudah lupa.

Evan melepas jaketnya dan memasuki rumah. Cowok itu langsung memasuki kamarnya untuk melepas sepatu dan berganti baju.

Cowok itu duduk di pinggir kasurnya. Dia membuka lemari kecil di samping kasur, lalu mengeluarkan sebuah tabung panjang. Celengan. Evan memasukkan beberapa lembar uang hasil dari manggungnya tadi.

"Untuk masa depan," gumamnya.

Setelah selesai memasukkan uangnya. Evan memijat tengkuknya yang sedikit terasa pegal. Cowok itu merebahkan tubuhnya di atas kasur berukuran kecil, yang hanya muat untuk satu orang saja.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status