Share

Revenge
Revenge
Penulis: Crearuna

Kebahagiaan Sesaat

Glagah dan Diara sedang menikmati bulan madu mereka di Madla, Norwegia, tempat di mana mereka mengakui perasaan mereka masing-masing. Tempat di mana mereka menyatukan hati dalam kemelut yang melibatkan mereka. Bulan madu ini hadiah dari Bintang dan akomodasi di tanggung oleh Laut. Dua orang yang telah bersama mereka belakangan ini karena kemelut yang terjadi.

“Aku tak menyangka kita akan kembali ke sini,” kata Diara saat mereka berada di restoran yang menjadi saksi pertautan hati mereka berdua.

“Aku lebih tak menyangka kamu menjadi istriku sekarang,” balas Glagah membuat Diara cemberut.

“Kenapa? Apa kamu tidak berencana untuk memperistriku?” omel Diara membuat Glagah tertawa.

“Jangan tertawa!” sergah Diara

“Maafkan. Aku tak tahan untuk tidak menggodamu, reaksimu selalu membuatku terhibur,” kata Glagah seraya memegang tangan Diara.

“Gombal.” Diara masih memasang wajah kesal.

Ponsel Glagah berbunyi membuyarkan romansa mereka. Ada sebuah email masuk.

Kalian harus pulang. Aku tak bisa mengatakannya di sini. Akan tetapi ini keadaan gawat. Aku sertakan tiket pesawat untuk besok siang. Ini tentang keluarga kita.

Laut yang mengirim email tersebut. Membuat Glagah dan Diara saling berpandangan tak mengerti. Mereka hanya paham harus segera pulang, Laut orang yang serius .

Mereka menyantap makanan mereka dengan tergesa. Malam ini harus kembali ke Tananger dan besok pagi langsung ke Oslo untuk kembali ke Indonesia. Perasaan campur aduk karena kabar apa yang coba Laut katakan membuat mereka berdiam sepanjang waktu.

Setibanya di rumah Tananger, mereka mengemas barang bawaan yang kemarin baru mereka keluarkan dari koper.

“Kira-kira apa yang terjadi?” tanya Diara seraya memasukkan semua baju mereka.

“Aku juga penasaran. Apakah kita telepon saja Ayah?” usul Glagah disambut anggukkan Diara.

Nada sambung saluran telepon terdengar saat Glagah mencoba menghubungi Darma, Ayahnya. Tidak diangkat. Sekian menit Glagah mencoba kembali, hasilnya sama.

“Sepertinya Laut menyuruh mereka untuk tidak menjawab agar kita tidak kepikiran,” kata Diara.

“Benar, mungkin memang lebih baik kita bersabar sampai kembali ke Jakarta,” ucap Glagah.

“Apa yang terjadi, semoga bukan hal yang buruk,” kata Diara menenangkan.

Glagah menghela napasnya. Pikirannya juga berharap seperti itu, akan tetapi nuraninya berkata lain. Laut tidak pernah memberikan perintah kalau itu tidak penting. Pengalaman bekerja sama dengan Laut dan pertautan darah mereka mengasah instingnya lebih peka satu sama lain.

Mereka akhirnya tertidur setelah menyetel alarm jam tiga pagi karena mereka harus ke Stavanger Lutfhavn agar tidak ketinggalan pesawat ke Oslo. Tiket yang dikirim Laut sangat mendadak.

Sementara itu di Jakarta Laut sedang mondar-mandir di lorong rumah sakit. Darma dan Sari duduk termenung di kursi ruang tunggu kamar operasi.

“Duduklah Le, kamu nanti capek,” tegur Darma.

“Aku akan lebih gelisah jika duduk, Paman,” jawab Laut.

“Ayo, duduklah.” Sari berdiri dan memegang pundak Laut untuk menenangkan.

“Polisi sedang mengusut kejadian ini Bi, aku berharap lusa sudah ada titik terang. Pelaku memanfaatkan kondisi pasar yang ramai dan tidak ada CCTV.” Laut menutup wajahnya dengan kedua tangannya.

“Iya Le, kita harap segera terungkap. Ini bukan salahmu kalau Nenek mengalami kejadian seperti ini. Dengan terungkapnya anonimitas beliau sebagai Prana Jiwo memang membuka peluang bagi orang yang mendendam kepada kita untuk bertindak jahat,” kata Darma dengan nada menenangkan.

Laut mengangguk. Tetapi tetap saja perasaan bersalah menghantuinya. Seharusnya dia melakukan penjagaan meskipun Neneknya akan menolak.

“Jangan merasa bersalah,” kata Sari terus mengelus punggung Laut lembut untuk menenangkan keponakannya itu.

Glagah dan Diara sudah mendarat di Jakarta setelah perjalanan panjang. Anak buah Laut sudah menunggu mereka dan membawa mereka langsung ke rumah sakit.

“Kenapa ke sini Mas? Siapa yang sakit?” berondong Glagah.

“Nanti Mas Laut yang menjelaskan Mas. Saya tidak boleh mengatakan apa pun,” kata sopir itu.

Glagah dan Diara berpandangan tak mengerti dan berharap tidak ada yang sedang sakit atau apa.

Laut menunggu mereka di lobi rumah sakit. Dia sedang berbincang dengan Bintang. Dengan raut wajah yang serius. Glagah dan Diara menghampiri mereka. Sopir itu membawa semua barang mereka pulang.

“Ada apa?” tanya Glagah begitu mereka sampai di depan Laut dan Bintang.

“Kita akan berbicara di dalam,” jawab Laut semakin membuat Glagah penasaran.

“Aku akan kembali ke kantor. Nanti aku akan menghubungi kalian,” kata Bintang seraya menepuk pundak Glagah lembut.

“Maaf kami harus menyela bulan madumu,” kata Bintang pada Diara.

“Tidak apa-apa Mas. Aku sekarang lebih khawatir, ada apa sebenarnya?” tanya Diara.

“Laut yang akan menjelaskan, karena ini bukan wewenangku,” kata Bintang sambil berlalu meninggalkan mereka.

Laut kemudian mengajak Glagah dan Diara menuju ruang VVIP.

“Ada apa? Siapa yang sakit? Ayah? Ibu? Nenek?” cecar Glagah membuat Laut jengah.

Dia tak menjawab, membuat Glagah kesal. Tetapi Diara menenangkannya.

Begitu memasuki kamar maka Glagah dan Diara melihatnya. Ratih terbaring dengan berbagai alat medis di tubuhnya. Darma dan Sari segera menghampiri mereka berdua dan memeluknya bergantian.

“Ada apa ini?” tanya Glagah menuntut penjelasan.

“Ayo duduk sini, Ibu yang akan menjelaskan pada kalian. Laut, kalau kamu masih ada kerjaan, pergilah. Perkembangan Nenek akan aku informasikan. Lalu cari tahu perkembangan di kantor polisi,” kata Sari membuat Laut paham dan meninggalkan ruangan.

“Kantor polisi? Ada apa?” Glagah tak sabar.

Diara mengelus punggung Glagah untuk menenangkan.

“Nenek diserang oleh orang tak dikenal saat kita sedang berbelanja di pasar. Pelaku menusuk Nenek dan berhasil kabur. Nenek mengalami perdarahan, saat ini kondisinya masih koma, kemarin ada tindakan operasi untuk menghentikan perdarahannya,” kata Sari membuat Glagah dan Diara luruh.

Keduanya tak bisa menahan tangis.

“Lalu apakah pelakunya sudah tertangkap?” tanya Glagah geram.

“Polisi masih menyelidiki rekaman CCTV di pasar. Kita masih menunggu hasil investigasinya,” kata Sari.

Glagah mengeretakan giginya geram. Siapa yang tega melakukan ini pada Neneknya? Apakah musuh Prana Jiwo?

“Apakah ada kemungkinan pelaku adalah orang yang tak suka dengan Prana Jiwo?” kata Diara membuat Sari mengangguk.

“Kemungkinan itu ada Nduk, kita hanya berharap polisi atau orang Laut bisa menyelidikinya,” kata Sari.

“Bintang juga sudah mengerahkan orangnya untuk mencari kemungkinan lain,” imbuh Darma.

Glagah mengempaskan tubuhnya ke sofa, mencoba menahan diri untuk tak berteriak tak terima.

Diara merangkulnya, tahu apa yang dirasakan Glagah.

“Kita berdoa semoga Nenek selamat ya,” bisik Diara menenangkan.

Tangan Ratih bergerak, matanya terbuka pelan, dia berada di ruang asing, kepalanya menoleh dan melihat Darma sedang menundukkan wajahnya.

“Le.” Ratih susah payah bersuara.

Darma seketika mendongak, dan gegas mendapati Ratih.

“Ibu,” kata Darma membuat Ratih mengerjapkan matanya.

Glagah seketika berlari keluar untuk mencari dokter.

Diara dan Sari segera mendekati ranjang Ratih. Diara menyusut air matanya, Sari mengelus tangan Ratih dan berusaha tak menangis.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status