Share

Kematian, Lagi

“Le, jangan menangis, semuanya terjadi karena ada sebabnya. Aku ingin bertemu Laut dan Glagah,” kata Ratih melihat semuanya menangis.

Diara segera meraih ponselnya dan menghubungi Laut. Glagah kembali bersama dokter dan memeriksa Ratih. Glagah tak melepaskan lagi tangannya dari tangan Ratih.

“Mas Laut, Nenek ingin bertemu,” kata Diara setelah teleponnya tersambung.

“Baik Mas, kita tunggu.” Diara menutup sambungan dan bergabung di dekat ranjang.

“Kondisinya sudah stabil, tetapi kita masih harus mengawasinya. Perdarahan sudah terhenti, tetapi karena lukanya dalam, jadi kemungkinan komplikasi dari operasi juga masih ada,” jelas dokter membuat mereka lega sekaligus waspada.

“Terima kasih Dokter,” kata Darma membuat dokter mengangguk dan berlalu.

“Nenek, Glagah di sini, harus bertahan ya,” kata Glagah seraya menciumi tangan Ratih.

“Kamu ini,” kata Ratih sambil tersenyum melihat tingkah cucunya itu.

Ketukan pintu membuat mereka menoleh. Laut datang bersama Karya, ayahnya.

“Bu, Laut sudah di sini,” bisik Sari lembut di telinga Ratih.

Ratih mengulas senyumnya saat melihat Karya, mantan menantunya itu.

“Apa kabarmu?” tanya Ratih.

“Saya baik Bu, jangan banyak pikiran biar lekas sembuh,” kata Karya seraya mendekat.

“Laut dan Glagah, Nenek ingin bicara. Dengarkan baik-baik, urip iki sak dermo mampir, ojok dumeh¹. Semuanya akan berakhir bila kematian menjemput. Siapa yang melakukan ini, dia hanya membisikkan kata 'arumdalu’. Siapa pun dia, dia tahu tentang Wita. Apa maksud dan tujuannya, kita tak tahu. Aku tak sempat melihat dia perempuan atau laki-laki.” Ratih menghela napasnya berat, beban berat seolah mengimpit dadanya.

“Sudahlah Nek. Jangan dipikirkan, kita masih punya banyak waktu sampai dia tertangkap,” kata Laut.

Sementara Glagah menepis prasangka bahwa Ratih akan meninggalkannya.

“Waktuku sudah di ujung, apa pun yang terjadi, Prana Jiwo berada di tangan kalian. Lanjutkan apa yang sudah menjadi pedoman keluarga kita,” kata Ratih dengan sedikit tersengal-sengal.

Diara menyusup keluar dan memanggil dokter, karena perasaannya tak enak.

“Aku meminta maaf, atas semua yang kulakukan dan tak berkenan bagi kalian, aku ingin kalian terus sehat untuk melanjutkan hidup.” Mata Ratih mulai memejam, napasnya mulai melambat.

Tangan kanannya yang dipegang Glagah sedari tadi mulai melemas. Glagah tak bisa mengucapkan sepatah kata pun,  dia hanya menggenggam erat tangan Neneknya itu.

Dokter memasuki ruangan tepat di saat mata Ratih terpejam sempurna. Semuanya tak bisa lagi berkata, larut dalam duka.

Dokter memeriksa keadaan Ratih dan menghela napasnya berat.

“Maaf, Nyonya Ratih sudah berpulang. Maafkan kami tak bisa menyelamatkannya,” kata dokter itu seraya menundukkan kepalanya hormat di hadapan Darma dan Sari.

Glagah tak bisa lagi membendung rasa kehilangannya, dia memeluk tubuh Ratih dan enggan melepasnya. Dia masih tak percaya Neneknya sudah meninggalkannya.

Diara, merangkul Glagah untuk menguatkan. Sari berdiri di sebelah kiri Ratih dan masih mencoba percaya bahwa mertuanya itu sudah meninggalkan mereka. Darma berusaha tegar, sosok yang selalu menjadi panutannya itu sudah pergi, melepas bebannya, meninggalkan tanggung jawab Prana Jiwo kepadanya. Laut dan Karya mematung, menyaksikan kepergian orang yang mereka hormati.

Tanpa perlu waktu lama untuk meratapi kematian, yang sekali lagi mendatangi mereka dalam waktu yang belum terlalu lama, mereka harus segera melakukan penghormatan terakhir.

“Bin, Nenek sudah pergi,” Laut menelepon Bintang untuk mengabari.

Setelah masing-masing meredakan perasaan mereka, maka segera berbenah untuk pemakaman.

Laut sibuk menghubungi beberapa orang untuk menyiapkan rumah.

 Berita kematian Ratih Prana Jiwo menarik banyak orang. Sosok wanita tangguh di balik anonim Prana Jiwo itu menarik untuk disimak. Beberapa media bahkan sudah mendapatkan kabar kematiannya dengan cepat. High light mereka saat ini adalah kehilangan terbesar bagi dunia audit di negara ini

Hardjo Sriwedari, pemilik Hardjo Company, bahkan meluangkan waktu untuk memberikan penghormatannya langsung ke rumah sakit, yang kebetulan adalah salah satu anak perusahaan Hardjo Company. Ratih, memiliki banyak kontribusi menyelamatkan Hardjo Company beberapa waktu yang lalu, walau itu dengan cara kehilangan anak perempuannya, Wita.

“Aku turut berduka cita. Saya bahkan belum bisa membalas kebaikan kalian terhadap keluargaku,” kata Hardjo, diikuti oleh Bintang.

“Kami yang berterima kasih, segalanya dipermudah, bahkan soal biaya rumah sakit. Kami sungkan untuk menerimanya,” kata Darma.

“Terimalah, anggap aku membalas budi kepada Prana Jiwo karena menyelamatkan Hardjo di saat kritis.” Hardjo menganggukkan kepalanya takzim.

“Aku sudah mengatur persiapan kepulangan jenazah,” kata Bintang memecah jengah antara mereka.

“Terima kasih Bin,” ucap Laut seraya menepuk pundak Bintang, sahabatnya itu.

“Tak ada yang perlu diterima kasihi. We care each other, right?” Bintang balas menepuk pundak Laut.

Di rumah duka, karangan bunga tanda bela sungkawa mulai berdatangan. Orang-orang Laut sudah menata rumah untuk menyambut kedatangan jenazah Ratih. Pemakaman akan dilakukan esok hari, di pemakaman keluarga, di mana Suryo Sudiro, suami Ratih dimakamkan.

Sebuah karangan bunga datang, dengan Anggrek hitam, dengan tulisan dari bunga mawar merah yang tercetak jelas dalam aksara jawa.

ꦲꦸꦫꦶꦥ꧀ꦩꦸꦠꦼꦏꦤ꧀ꦱꦼꦩꦼꦤꦼ꧈ꦏꦸꦮꦶꦮꦭꦼꦱꦤ꧀ꦠꦼꦏꦲꦤꦏ꧀ꦱꦶꦁꦩ꧀ꦧꦏ꧀ꦭꦫꦤꦶ1

Anak buah Laut yang bisa membaca aksara jawa terkesiap melihat karangan bunga itu.

Karena tak ingin menimbulkan banyak spekulasi dan asumsi, maka karangan bunga itu disendirikan.

“Mas Laut, saya ingin menunjukkan sesuatu,” kata Dani, salah satu orang kepercayaan Laut.

Dani mengajak Laut ke gudang sebelah rumah dan menunjukkan karangan bunga yang ganjil itu.

Seketika Laut menegang.

“Biarkan ini di sini. Jangan katakan pada orang lain.” Laut berpesan seraya berpikir, siapa orang ini.

Kemungkinan besar, pengirim karangan bunga itu adalah orang yang sama dengan yang melakukan penusukan terhadap Ratih.

“Ada apa?” tanya Glagah saat melihat Laut kembali dengan raut muka yang tak bisa dijelaskan.

“Tidak apa-apa.” Laut menyembunyikan dulu tentang karangan bunga itu, agar Glagah tak lepas kendali.

Tamu mulai berdatangan. Karena Laut tak ingin lagi kecolongan, dia memperketat protokol untuk semua tamu.

“Kematian Ratih Prana Jiwo, membuat kita menyadari bahwa hidup manusia itu terbatas. Kematian yang mendadak ini, sama sekali tidak ada informasi kenapa. Pihak keluarga, bahkan rumah sakit sepakat menutup rapat mulut mereka. Jawaban yang kami dapatkan hanya, usia Prana Jiwo generasi ini, sudah waktunya kembali.” Pembawa acara di televisi menarasikan kematian Ratih yang terkesan mendadak itu.

Seseorang memandang televisi dengan senyum tipis.

“Bukan karena sudah waktunya, tapi karena kupaksakan untuk berakhir.” Dia tertawa keras, ruangan yang gelap itu membuat gaung suaranya memantul dan memenuhi ruangan sempit itu.

Dia menyesap kopinya pelan, seraya memikirkan apa yang harus dilakukannya setelah ini. Dia tak boleh tergesa, kalau perlu dia harus merunduk dan masuk ke dalam tanpa diketahui. Dia masih mengingat pesan untuk membalaskan kematian seseorang, dan itu perlu direncanakan dengan matang. Kegagalan demi mendapatkan tujuan utama mereka, harus tercapai kali ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status