Bintang memasuki ruangan di mana Laut, Glagah dan Diara menunggu.
“Maaf, lama menunggu. Ada klien yang insist, dan menyebalkan,” keluh Bintang seraya duduk di kursi.
“Mas Bintang bisa kesal juga?” tanya Diara menggoda.
“Menurutmu?” Bintang melayangkan pandang sinis, membuat Diara terkekeh.
“Besok, aku akan memberimu banyak pekerjaan,” ancam Bintang membuat Glagah tertawa, Diara mati kutu kini.
“Belum ada perkembangan apa pun tentang kasus Nenek,” desah Laut membuat ketiga orang itu menoleh padanya.
“CCTV pasar tak melihat sesuatu yang mencurigakan. Bibi bahkan tak melihat pelakunya karena ramainya orang di pasar saat itu,” lanjut Laut membuat Glagah mendesah.
“Sepertinya, orang ini mempunyai dendam tersendiri kepada kalian, apalagi dengan karangan bunga yang kamu perlihatkan kemarin,” kata Bintang.
“Benar, dia bahkan membisikkan kata ‘arumdalu’, nama belakang Bibi.” Glagah mengingat kata terakhir Neneknya.
“Berarti, dia memiliki hubungan dengan Wita,” ujar Laut membuat semua mata memandangnya.
“Jangan melihatku seperti itu. Aku belum bisa mengikhlaskan tentang kenyataan bahwa dia Ibuku.” Laut balas menatap mereka tajam.
“Mungkin, aku bisa mengunjungi Gita. Siapa tahu dia tahu soal orang lain yang kenal dengan Wita,” usul Bintang.
“Apakah dia baik-baik saja?” tanya Diara sedikit lega Bintang masih mengingat Gita.
“Kabar terakhir yang aku terima, dia baik-baik saja di sana,” jawab Bintang.
“Baiklah, makan saja. Aku lapar.” Bintang mulai menyendok sayur asem yang tersaji dengan sambal dan ikan asin, khas masakan Heritage.
“Mas Laut dan Mas Bintang ini tak ingin menikah apa?” tanya Diara tiba-tiba membuat Laut dan Bintang kompak tersedak.
Glagah melayangkan pandang sinis ke arah Diara yang tak merasa berdosa.
“Bisa, bahas masalah ini nanti? Saat kita cuma berdua di ruangan kerja?” Bintang menggoda Diara.
“Dih, ya tidak maulah, nanti yang ada Mas Bintang akan berkilah, lihat Di, berkas saja menumpuk, bagaimana bisa aku memikirkan wanita,” celetuk Diara membuat Laut tertawa.
“Jangan, tertawa. Nasibmu juga sama,” sela Bintang.
“Belum menemukan yang tepat,” alibi Laut.
“Yakin?” Diara bahkan tak yakin dengan jawaban Laut.
Bintang dan Laut seketika berpikir, selama ini mereka berkutat dengan pekerjaan yang tak berhenti, hingga lupa untuk menjalin hubungan romantis dengan seorang wanita. Mereka bahkan lupa kapan terakhir kali dekat dengan wanita secara intens.
“Glagah, sepertinya Diara perlu kita kerjain agar diam,” desisi Laut membuat Diara ciut.
“Aku akan menyuruhnya tidur di luar jika dia berani mengerjaiku,” keluh Diara membuat mereka bertiga tertawa.
“Besok, sopir akan menjemputmu, tak usah repot untuk membawa mobil sendiri. Aku tak ingin ada hal yang tak diinginkan.” Laut menatap Diara.
“Siap Bos,” kata Diara seraya tersenyum.
“Glagah, besok kita harus berdiskusi tentang sesuatu,” kata Laut diangguki Glagah.
Sangka dan Wira keluar dari Heritage. Mereka menuju hotel tempat mereka tinggal sementara di Jakarta. Besok, mereka akan kembali ke Surabaya.
“Jangan ke mana-mana, pesawat kita akan berangkat pagi. Aku tak ingin kena masalah dari Ayahmu jika terlambat,” pesan Wira membuat Sangka memutar bola matanya malas.
“Kenapa Paman takut sekali dengan Ayah,” desis Sangka, mengempaskan tubuhnya di kasur.
Sangka teringat dengan Ayahnya. Keras, disiplin, dan bila dibilang culas, ya, memang seperti itu. Itulah kenapa sekarang perusahaannya mengalami kemunduran, banyak hal yang Ayahnya tak bisa pertahankan seperti jaman Kakeknya.
Diara dan Glagah sampai di rumah saat menjelang tengah malam, perbincangan mereka berempat dengan Laut dan Bintang membuat mereka melupakan waktu.
“Besok, jangan lupa untuk membangunkanku, bila kamu bangun lebih awal,” pinta Diara setelah mereka berbaring di tempat tidur.
“Bukankah seharusnya kamu yang membangunkanku?” tanya Glagah seraya memiringkan tubuhnya agar bisa menatap Diara.
“Hm ... jangan meledek.” Diara mengerucutkan bibirnya, kesal.
“Kamu ini,” kata Glagah lalu memeluk Diara.
Sementara itu seseorang sedang menatap cermin di depannya, mematut diri, dan bergumam sendiri.
“Penampilanku harus meyakinkan, peranku harus tepat saat masuk. Akan kubuat semuanya bertekuk lutut.”
Kemudian dia merebahkan dirinya di kasur tipis yang berada di atas ranjang besi. Sambil mendekap sebuah buku bertakhta huruf jawa, dia memejamkan mata dan berdoa.
“Kuatkan diriku untuk menghadapi dunia esok hari.”
Bintang sedang menunggu Diara yang sedang dalam perjalanan, hari ini, dia akan mengunjungi Gita di lembaga pemasyarakatan. Papanya, Hardjo, menitipkan sepucuk surat untuk anak perempuannya yang tinggal satu itu.
Diara melangkah terburu-buru saat Bintang berjalan ke arahnya.
“Lah, Mas Bintang mau ke mana?” tanya Diara setelah Bintang mengisyaratkan untuk mengikutinya.
“Kita akan bertemu Gita,” kata Bintang sambil membukakan pintu mobil untuk Diara.
“Tahu gitu, aku kan tidak turun dari mobil, Mas,” gerutu Diara dalam hati.
“Aku sudah kirim berkas kerja sama yang ditawarkan oleh PT. Daya Cipta. Kamu pelajari dan lihat ada celah atau tidak,” kata Bintang begitu mobil meluncur ke arah tujuan.
“Siap.” Diara membuka tabletnya, berkas yang dikirim Bintang sudah masuk ke dalam emailnya.
“Mas, ini agak fishy, gak sih? Ada beberapa celah yang sangat riskan kalau kita ambil. Pengadaan buku untuk seluruh anak di Indonesia, pelosok? Mereka tidak menyebutkan masalah pendistribusiannya bagaimana, mereka hanya mengatakan tanpa rincian.” Diara menskrol berkas dari atas ke bawah berulang kali.
“Nah, itulah, aku sudah membacanya dan merasa kerja sama ini hanya akalan mereka untuk mendapatkan dana,” jawab Bintang.
“Kalau Mas Bintang mau menerima ini, kita harus bertemu mereka lagi dan menanyakan detail,” saran Diara.
“Aku malas, yang mereka suruh datang adalah seorang wanita cantik, insist, dan menggoda,” desis Bintang membuat Diara tertawa.
“Mas Bintang tertarik padanya?” tanya Diara.
“Hm ... aku benci wanita yang memiliki aura penggoda.” Bintang teringat dengan Wita yang menjerat Papanya.
“Oh, my mistake.” Diara menepuk mulutnya sendiri.
Giliran Bintang yang tertawa melihat tingkah Diara.
Percakapan mereka terhenti, saat mobil mereka sampai di lembaga pemasyarakatan. Bintang menarik napasnya dan mempersiapkan hatinya, menemui adik tak seibunya itu. Adik yang membunuh Bulan, adik kesayangannya.
“Kami akan mengunjungi Nona Gita Sriwedari,” kata Diara di loket pendaftaran pengunjung.
Seorang petugas mengantarkan mereka ke ruangan pertemuan. Berisi 3 buah kursi dan meja.
Selang beberapa menit kemudian Gita masuk dengan diawasi oleh petugas.
“Apa kabar Mbak Gita?” sapa Diara kemudian memeluk Gita.
“Ya begitulah. Terima kasih masih mau mengunjungiku. Selamat atas pernikahanmu,” kata Gita.
“Papa menitipkan ini untukmu.” Bintang mengangsurkan sepucuk surat untuk Gita.
“Bacalah nanti, sekarang aku ingin bertanya tentang Ibumu,” kata Bintang membuat Gita terenyak.
Wanita itu, pantaskah disebut Ibu?
“Apakah kamu mengetahui lingkaran Wita? Maksudku siapa saja yang berhubungan dengannya,” tanya Bintang membuat dahi Gita mengerut.
“Yang aku tahu, dia tak pernah terlihat berhubungan dengan orang lain, tapi aku juga tak tahu, dia sering menghilang beberapa waktu, lalu kembali lagi.” Gita mengingat interaksinya dengan Wita.
“Aku tak sedekat itu dengannya. Dia lebih seperti bos yang memerintah anak buahnya daripada Ibu,” lanjut Gita, menghela napasnya berat.
“Jangan pernah kembali ke jalan gelap. Kami, masih menerimamu dengan lapang dada, Papa, masih memikirkanmu,” kata Bintang menepuk pundak Gita dan berlalu. Diara menganggukkan kepalanya.
Gita kemudian kembali ke selnya dengan air mata yang menetes. Mereka bahkan masih menerimanya setelah semua yang dia lakukan.
Diara, Bintang, Laut berkumpul di apartemen Anton. Menunggu Glagah kembali dari kantor polisi.Sementara di televisi, media sudah memberitahukan soal penangkapan Randu sebagai pembunuh Ratih Prana Jiwo. Keberadaan Glagah di kantor polisi bahkan tersorot kamera dan memperkuat opini publik tentang hal itu.“Pelaku penusukan Ratih Prana Jiwo ditengarai sudah ditangkap. Seorang wanita muda yang belum diketahui secara detail identitasnya. Beberapa orang juga ikut ditangkap, dan sepertinya hanya sebagai saksi. Bahkan Glagah sendiri yang menangani kasus ini.” Penjelasan pembawa berita itu membuat mereka bertiga saling pandang lalu tersenyum bersamaan.“Suamiku terlihat tampan di televisi.” Diara membanggakan wajah Glagah yang terlihat di sana.Bintang dan Laut seketika mencibir ke arahnya lalu tertawa. “Besok, Ayah dan Ibu ingin berziarah ke makam Nenek. Mas Laut mau ikut?” tanya Diara.“Aku masih harus mengurusi bebe
Gita terkejut dengan keakraban Rana dan Laut.“Paman dalam keadaan sehat saja aku sudah tenang. Aku kira Paman sudah pulang ke kampung, karena tak pernah memberiku kabar.” Laut menepuk pundak Rana.“Aku harus menjaga agar rumah itu tak jatuh ke tangan yang salah,” jawab Rana membuat Laut menganggukkan kepalanya.“Ini, bukti dari kejahatan Randu. Aku memungutnya saat dia membuangnya ke tempat sampah di rumah setelah kejadian itu,” kata Rana.“Dia tidak begitu pintar.” Gita menambahkan informasi yang membuat Laut paham.“Maafkan aku telah membiarkan dia sampai sejauh ini. Kedatangan Non Gita sudah memberiku kekuatan untuk menemuimu,” kata Rana lirih.Selama ini dia berusaha untuk mengekang Randu, terlebih setelah wanita itu pulang ke rumah. Tapi, semua perkataannya tak pernah didengar. Laut menerima pisau yang berada di dalam kantong plastik itu. Bersih.“Dia sudah membersihkanny
[Besok datang dan bawa buktinya ke Heritage]Rana membaca pesan dari nomor asing. Tapi dia menyimpulkan ini Laut, karena Gita sudah menghubungi Laut tadi.Dengan langkah mengendap, Rana menuju kamar Gita. Memastikan Randu tak melihatnya. Dia mengetuk pintu kamar Gita perlahan. Saat Gita membuka sedikit celahnya, Rana mengulurkan ponsel dan menutup pintu. Kembali ke kamarnya.Gita membaca pesan itu, dan mengerti apa yang harus dilakukan. Dia menatap jendela dan langit malam tertangkap oleh matanya. Menatap bulan yang mengantung di sana. Ingatannya melayang kepada Bulan, adik yang dia bunuh dengan tangannya sendiri. Hanya sebuah ambisi. Menuruti keinginan orang yang bahkan tak peduli tentang orang lain.Randu masih tak bisa memejamkan matanya. Dia duduk di tepi ranjangnya. Rencananya tak mengarah ke mana pun, yang menandakan ini akan berhasil. Satu per satu orang yang dia harap bisa menjembatani keinginannya sudah pergi.Keinginannya untuk membantu Daya Cipta
Laut menatap tajam Frasa yang menunduk di depannya. Tak percaya wanita itu sudah membuatnya kelimpungan. Tidak terlihat kalau dia mempunyai kemampuan yang mumpuni. Kecil, tak terawat, walau jelas terlihat gurat kecantikan di sana. Seperti gelandangan yang tak punya rumah.“Siapa yang menyuruhmu?’ Tanpa basa-basi Laut langsung menanyakan hal itu.Frasa terlihat gelisah, jika dia menyebut nama Randu, dia tak tahu apakah Laut akan mengenal wanita itu atau tidak.“Randu, dia yang menyuruhku, karena aku mempunyai hutang budi dengan Ibu angkat dari wanita itu,” kata Frasa pada akhirnya.“Randu?” Laut langsung teringat dengan rumah masa kecilnya yang sudah beralih tangan atas nama Randu.“Bagaimana rupa orang itu?” selidik Laut.“Dia tak lebih tinggi dari aku, berwajah lonjong dan mempunyai mata bulat yang khas,” papar Frasa mencoba mengingat rupa Randu yang hanya ditemuinya sesekali.Kriterianya
“Jebak dia,” kata Laut di ponselnya setelah Glagah membuat harinya bertambah pusing.“Bagaimana? Anton harus menemuinya dan mengonfrontasinya?” tanya Glagah di seberang sana.“Ya, lakukan saja dan buat dia mengaku. Kita harus tahu intensi dia yang sebenarnya,” papar Laut Glagah mengerti, dia mematikan ponsel dan menatap Anton yang masih kebingungan di depan layar.“Temui dia, kita akan mengonfrontasinya,” kata Glagah.Anton menghela napasnya berat dan mengangguk mengerti.Temui aku di kafe dekat kampus.Anton membalas email Frasa singkat. Kemudian dia berdiri, bersiap untuk pergi.“Aku akan mengantarmu, tenang saja, aku tidak akan memperlihatkan diri sebelum waktunya,” kata Glagah.Anton sebenarnya enggan, karena ini akan membuatnya dalam kesulitan. Tapi jika dia tak menuruti keinginan Laut, maka dia melakukan wanprestasi akan kontrak kerja mereka.Glagah mematikan laptopny
Anton sedang mengunyah ayam kare yang Glagah masak saat layar monitornya memberikan tanda ada penyusup. Tangannya secepat kilat meletakkan piring di meja dan menyambar keyboard komputernya untuk membentuk firewall agar penyusup itu tak bisa masuk ke sistemnya.“Ada apa?” tanya Glagah melihat Anton membiarkan makanannya tergelatak di meja.“Sepertinya Frasa mulai beraksi,” desis Anton tanpa mengalihkan wajahnya dari monitor.Glagah pusing melihat kecepatan tangan Anton bermain di keyboard dan menggerakkan tetikus itu.“Sepagi ini sudah melancarkan serangan,” gumam Glagah membuka laptopnya dan melihat email yang masuk untuk Prana Jiwo.Diara keluar dari kamar dan menghampiri Glagah dan mencium kening suaminya itu. “Aku berangkat dulu. Mas Bintang sedang sensitif. Suka mengomel,” kata Diara sambil tersenyum usil.“Anton, selamat pagi,” sapa Diara sambil berlalu.“Ya, Di,” ba
Wira berjalan mondar-mandir, sementara Sangka duduk dengan enggan di kursinya. Kekuatan mereka seperti meluruh.Ponsel Sangka berbunyi, membuyarkan keheningan mereka. Gama. Nama laki-laki itu membuat Sangka mendesah.“Di mana?” tanya Gama tanpa berbasa-basi.“Aku sedang di Jakarta, di Heritage,” jawab Sangka lesu. Sedang tak ingin berbicara panjang lebar.“Tunggu aku sepuluh menit lagi,” jawab Gama membuat Sangka tersentak.“Mau apa?” tanya Sangka seraya menegakkan badannya.“Menyelesaikan masalahmu,” kata Gama menutup saluran. Tinggal Sangka masih bingung memikirkan apa yang akan dilakukan oleh Gama.“Siapa?” tanya Wira.“Gama,” jawab Sangka.“Ada masalah yang lebih besar daripada pacarmu itu!” geram Wira.Kepalanya sudah pusing dengan kenyataan bahwa mereka berada di ambang kebangkrutan.“Dia bilang akan membantu kita,&r
Suara ketukan pintu membuat Diara beranjak dari balik meja. Setelah membuka pintu kayu berat itu, sepasang laki-laki dan wanita berdiri di depannya, dengan tatapan mengintimidasi.“Saya Sangka dari PT. Daya Cipta, ini Wira, Paman saya.” Wanita itu mengenalkan dirinya. Diara paham dan mempersilakan keduanya masuk. Mata Wira menyapu ruangan dan tak menemukan baik Laut maupun Bintang. Hanya dua wanita, Diara dan Amira.“Silakan duduk. Perkenalkan, saya Diara, sekretaris Bintang Sriwedari, dia Amira, sekretaris Laut Prawirahardja. Mereka berdua akan datang sebentar lagi,” kata Diara memahami raut wajah sangsi dari Wira.Sangka menghela napasnya berat. Melirik jam tangannya, memang mereka berdua datang lebih cepat dari waktu yang ditentukan. “Apa yang akan kita lakukan dengan mereka?” tanya Bintang menatap Laut yang menyetir dengan tenang.“Kita lihat saja dahulu, apa yang mereka tawarkan dan inginkan. Aku tidak ta
Sangka sedang berada di kantor. Persiapan untuk berangkat ke Jakarta sudah siap. Mereka harus segera melobi Prawirahardja untuk mendapatkan dana segar. Wira sudah memaksa.“Paman, apakah ini akan berhasil?” tanya Sangka saat Wira masuk ke ruangannya. “Harus berhasil. Kalau tidak, kita harus bagaimana? Maka semua akan berakhir menjadi sia-sia. Kita akan bangkrut,” kata Wira tak kalah cemas.Dia terlalu menuruti seseorang sehingga kini semuanya dia pertaruhkan.Keduanya berangkat menuju bandara dengan sejuta harap. Misi mereka menyelamatkan diri dari kebangkrutan akan semakin berat. Banyak perusahaan menutup pintu kerja sama, terlebih setelah pengumuman Prana Jiwo atas potensi kebangkrutan mereka.Anton masih berkutat dengan pengambilan data di pertanahan. Sementara layar lain menampilkan data yang kemarin diserang oleh Frasa. Belum ada pergerakan sama sekali dari Frasa hari ini. “Gotcha!” teriak Anton mem