Bila suka, berilah Dukungan kepada Author "Rimba Memburu Senala".
Di sebuah pondok inap di mana Baramundi pernah terkapar, hiruk pikuk pengunjung yang tengah menyantap makanan dan minuman di area makan seketika berhenti manakala seorang perempuan masuk dengan langkah tenang. Setiap jejak kaki perempuan bercadar ungu membuat lantai kayu berderak. Semua pasang mata yang nyaris semua lelaki menuju kepada perempuan tinggi semampai itu.Topi kuncung yang bertengger di kepala perempuan bercadar ungu membuat kesan misterius dan mengundang tanda tanya. Tidak jelas wajah di balik cadar itu. Rambut terurai panjang. Selama dia melangkah, helaian rambutnya bergerak bila tertiup angin hingga dia memutuskan untuk duduk di kursi, di tengah area makan pondok inap itu.Satu pelayan dengan cekatan segera menghampirinya. Suasana area makan itu masih tetap hening.“Anda sepertinya lapar dan haus, Nona,” basa-basi si pelayan.Sepasang mata perempuan berbulu mata lentik itu hanya sekali saja menjeling, sejenak mencebik kepada si pelayan.“Mau pesan apa, Nona?”Di tengah
Langit Ragajaya berpendar jingga ketika mentari perlahan menepi di ufuk barat. Wilayah itu makmur, sawah-sawah menghampar luas, udara diwarnai aroma tanah basah dan harum jagung yang baru dipanen. Namun, di balik gemilang kemakmuran itu, sebuah sistem mencengkeram kuat kehidupan perempuan-perempuan di sana—sistem yang lahir dari ambisi seorang pria bernama Juhi bin Jihu.Di tanah Ragajaya, nama Juhi bin Jihu adalah hukum. Dia bukan sekadar pemimpin feodal yang memerintah dengan ketegasan, tetapi seorang arsitek kekuasaan yang membangun dinastinya dengan darah dan keturunan.Di dalam istana yang megah, Juhi duduk bersandar pada kursi besar yang diukir dari kayu jati. Jemarinya mengetuk-ngetuk sandaran tangan dengan ritme yang nyaris seperti alunan musik perang. Matanya menyapu ruangan, meneliti hulubalang yang berlutut di hadapannya.“Berapa banyak anak yang lahir bulan ini?” Suaranya rendah, seolah-olah tidak ingin membuang energi untuk pertanyaan yang jawabannya sudah jelas.Seorang
Rimba duduk anteng di pangkal dahan besar sebuah pohon yang tinggi menjulang. Kesendiriannya diliputi suasana khas Hutan Belubuk. Sunyi. Meski kesunyian yang begitu dia nikmati kadang terganggu oleh gemeresak dedaun atau rerumput yang terinjak oleh tubuh maupun kaki penghuni Hutan Belubuk yang gesit bergerak, semua itu tidak membuat Rimba batal anteng duduk di pangkal dahan besar sebuah pohon yang tinggi menjulang.Rimba baru saja selesai berlatih gerakan bela diri. Tanpa dia sadari, gurunya telah berhasil mendidiknya dengan menanamkan suatu pemahaman: alah bisa karena biasa. Bugar dia dapatkan lantaran rutin berlatih jurus-jurus Calistung. Setiap hari. Setiap waktu. Tidak peduli di mana tempat, Rimba tekun berlatih bela diri dengan mengulang gerakan jurus-jurus yang sudah diajarkan gurunya, Calistung.Meskipun sendirian, duduk anteng untuk mengusir lelah dan membuat keringatnya menguap, mata dan pendengaran Rimba tetap awas, waspada. Sebuah pengajaran Calistung kepadanya. Sebuah ilmu
Matahari sepenggalah. Hutan Belubuk menghangat. Begitu juga dengan Padepokan Mamak Jambul. Sebuah area di dalam jantung Hutan Belubuk yang tersembunyi itu diliputi oleh pagar bambu yang rapat, berdiri terpancang setinggi tiga meter.Di angkasa biru, Jingan melayang dengan sayap terkembang. Matanya yang awas mengawasi beberapa tubuh yang tengah bergerak kompak di area Padepokan Mamak Jambul. Tanah lapang itu menjadi saksi bagaimana lima orang yang sudah bisa disebut: bangkotan, masih sudi menimba ilmu, berguru kepada Mamak Jambul.Codet begitu bersemangat. Walau gerakan-gerakan kaki dan tangannya belum sekompak dengan murid sebangkotan lainnya, dia bersikeras. Terkadang dia meringis menahan nyeri akibat lukanya yang belum sembuh total. Untuk menghalaunya, Codet beberapa kali berteriak. Teriakan itu sebagai cara dia melampiaskan rasa nyeri bila datang tiba-tiba.Codet masih bertahan meski napasnya sudah mulai berat. Gerakan kakinya sedikit terseret, tapi pandangannya tetap tajam. Dia me
Sungguhpun lelah dan terengah-engah, Calistung segera menggunakan jurus pernapasan untuk mengatasinya. Pepohonan yang porak-poranda dan semak yang menghitam menjadi saksi bisu pertarungan sengit tadi. Udara malam membawa bau hangus dan jejak energi yang tak lagi dapat dijelaskan. Calistung, seorang pendekar berumur yang selalu tampak tenang, perlahan berdiri. Napasnya yang awalnya terengah-engah mulai teratur, berkat jurus pernapasan yang dia pelajari bertahun-tahun. Tongkat kayu tua yang kini menjadi tumpuannya terasa sedikit lebih berat, tapi dia tetap melangkah dengan langkah penuh kepercayaan diri.Sementara itu, lambat laun tubuh Siluman Ular Belubuk berubah menjadi asap dan lesap, menyatu bersama udara malam Hutan Belubuk. Kegelapan yang pekat di hutan itu terasa berbeda, bagai menyimpan rahasia yang tak mampu diungkap oleh manusia biasa. Yang tersisa hanya pepohonan yang acakadut, roboh, semak-semak menghitam dalam gelapnya malam di Hutan Belubuk.Pendekar Calistung menyeka dah
Aliran sungai jernih satu-satunya di lembah itu dikelilingi pohon-pohon besar. Tidak jauh dari sungai itu, satu dataran cukup lapang dijadikan tempat berlatih Senala barusan. Gadis remaja Hutan Belubuk itu, dengan gesit dan lincah, meliuk-liuk menghindari serangan tongkat kayu Rimba. Rimba, dengan wajah serius, berusaha keras melancarkan serangan. Namun gerakannya masih kaku dan kurang terarah.Sebenarnya, Rimba menutupi kemampuan bela diri yang sudah dimilikinya. Senala tidak mengetahui bahwa Calistung adalah pendekar digdaya yang sebenarnya. Nama Calistung tidak setenar Mamak Jambul. Justru ketidaktenarannya itu membuatnya merasa lebih aman dan nyaman. Calistung tidak membutuhkan ketenaran dan nama besar.Mereka berdua benar-benar lelah. Di pinggir aliran sungai, Rimba mengusap wajahnya dengan air sungai yang jernih. Kesegaran menyentuh pori-pori wajahnya yang hangat berkeringat. Rambut ikalnya, juntaiannya ikut pula basah.Senala ikut pula berjongkok di sisi Rimba. Dengan adat yang