Home / Pendekar / Rimba Memburu Senala / 64- Ancaman Mengintai Akarlangit

Share

64- Ancaman Mengintai Akarlangit

Author: Erbidee
last update Last Updated: 2025-07-05 19:58:33

Penghuni Akarlangit menghadapi tantangan alam. Terik saat kedua matahari di Tilangkar sewaktu-waktu dapat berubah drastis kala kedua benda langit itu menghilang di cakrawala. Dingin bagai menusuk kulit. Beberapa penghuni Akarlangit menyiasatinya dengan membuat pakaian yang mampu menghalau dingin.

Selain itu, mereka menggali lereng gunung lebih dalam agar terhindar dari kedinginan. Meski begitu, keadaan yang ekstrem tetap memakan korban jiwa. Anak-anak dan orang tua yang kondisi tubuhnya kalah oleh situasi ekstrem harus mengalah, mati dan dikubur. Beberapa gua dijadikan sebagai makam mereka yang kalah oleh kondisi cuaca ekstrem Tilangkar.

“Ini anakmu?” tanya Ma’ira.

Satu penghuni Akarlangit mengangguk sembari menggendong tubuh yang sudah kaku itu menuju peristirahatannya yang terakhir.

“Hari ini, sudah berapa banyak lagi korban?” tanya Bu Senja kepada Bagan.

Bagan tak menjawab, hanya menghela napas. Sementara Nari, memegang tongkat batunya erat-erat, berdiri di sisi Bagan.

“Siapa saja
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Rimba Memburu Senala   85- Pertarungan Darah dan Nama

    Salju turun perlahan di atas puncak Gunung Xuelan, menyelimuti tanah dengan keheningan yang menyesakkan. Di bawah langit kelabu, dua bendera berkibar: satu berwarna biru keperakan bertuliskan Yǒngjiǔ, satu lagi merah darah bertuliskan Shèng Xuè. Dua sekte, dua jalan, dua darah yang sama—namun kini saling menantang.Di aula utama Sekte Darah Suci, Lou Cho Nghek berdiri di depan para murid barunya. Matanya tajam, penuh bara yang tak padam. Di belakangnya, Guru Duan duduk bersila, wajahnya tenang lamun penuh perhitungan.“Mulai hari ini,” kata Lou Cho Nghek. Suaranya menggema, “kita tidak tunduk pada warisan yang membusuk. Kita tidak tunduk pada nama yang hanya menjadi beban. Kita adalah darah yang murni, yang memilih jalannya sendiri.”Seorang murid muda, Liang Fei, mengangkat tangan. “Tapi ..., Tuan Lou, apakah benar Sekte Yǒngjiǔ adalah tempat kelahiranmu? Tempat ayahmu mengajar dan membesarkanmu?”Lou Cho Nghek menatapnya lama. “Benar. Dan karena itulah aku tahu betapa rusaknya akar

  • Rimba Memburu Senala   84- Keakraban Para Pengembara

    Rimba memandang sahabatnya. Raut wajahnya bingung. Sementara, Cucu, sahabatnya pun ekspresi wajahnya bingung.“Mengapa dalam pandangan mereka berdua, kita adalah binatang?”Cucu menggeleng bingung dan tak mengerti.“Aku tidak melangkah dengan empat kaki.”“Aku juga begitu,” sahut Cucu.Akibat bertemu tiba-tiba dengan Cucu yang tinggi besar dan Rimba Rangkuti, Lon Chang, si Pengembara Botak dan Yu Lie berhalusinasi. Mereka mengidentikkan tubuh Cucu dan Rimba ramping seperti kijang, tapi kulitnya bersisik keperakan dan matanya bersinar kehijauan. Mereka berdua hanya menatap dengan sorot yang tak manusiawi. Lalu halusinasi mereka mulai ngaco, hingga mitos Qisao, Gunung Xuelan dan sebagainya menjadi igauan. Di padang rumput, mereka berhalusinasi, mengigau. Sementara Rimba dan Cucu hanya mampu tertegun melihat tingkah Lon Chang dan Yu Lie.“Kita masih beruntung.”“Beruntung?”

  • Rimba Memburu Senala   83- Qisao adalah Mitos

    “Qisao adalah mitos,” sebut Lon Chang.Yu Lie diam, mengangguk tidak, menggeleng pun tidak.“Apa yang kualami cuma mimpi.”Yu Lie melirik gelang di genggaman Lon Chang.Lon Chang mengeratkan genggamannya.“Kalau sekadar mimpi, kenapa gelang itu bisa berada di tanganmu?”Lon Chang tersadar dan mengangkat genggamannya, melihat gelang itu dengan saksama. Kemudian dia memandang Gunung Xuelan.“Gerbang terbuka dalam semusim,” gumam Lon Chang.Yu Lie pun mencari apa yang dipandang oleh Lon Chang. Kemudian gadis itu berkata, “Kamu mau ke sana?”Lon Chang terlihat ragu. “Aku berharap ini sekadar mimpi.”---Lon Chang menatap siluet Gunung Xuelan yang menjulang dengan tenang dan dingin, seperti menyimpan ribuan rahasia dalam kabut abadi. Langit berwarna kelabu, menyiratkan musim yang berubah dan waktu yang tidak lagi pasti. Angin berdesir pelan,

  • Rimba Memburu Senala   82- Qisao

    Lon Chang sedang asyik duduk. Di sudut bibirnya, satu batang rumput jadi sasaran bermain sepasang bibir dan geliginya. Hamparan rumput membuatnya betah duduk berlama-lama di bawah naungan rimbun sebuah pohon.Matahari tidak seberapa cerah, teriknya terhalang oleh awan.Lon Chang masih menikmati kesendiriannya semasih duduk menjelepok. Batang rumput di sudut bibirnya bergoyang-goyang.“Ah, sungguh indah pemandangan yang kulihat ini,” gumamnya.Salju sedang kalah oleh hangatnya matahari, mencair lalu menuju aliran sungai kecil maupun besar hingga ke muara.Gunung Xuelan tegak berdiri bagai mengamati gerak-gerik Lon Chang. Puncaknya yang senantiasa bersalju menambah keagungan dan misteri keberadaannya.Seseorang memanggil pemuda botak yang masih asyik menikmati pemandangan di hamparan rumput. Lon Chang menoleh, mencari asal suara pemanggilnya.Lon Chang tersenyum. “Yu Lie,” gumamnya.Seorang gadis berlari-l

  • Rimba Memburu Senala   81- Pertemuan Agung yang Mengubah Segalanya

    Hari Pertemuan Agung tiba. Sekte-sekte besar berkumpul. Arena tidak berselimut salju, licin dan membeku. Suasana menegangkan.Beberapa kandidat dari tiap perguruan yang diutus, naik ke arena pertarungan di Pertemuan Agung. Pertarungan tangan kosong menjadi pembuka di arena Pertemuan Agung. Aturan mainnya sederhana: petarung yang ke luar dari arena pertarungan dianggap kalah.Arena pertarungan itu sendiri berbentuk bundar dengan diameter cukup luas, yakni dua puluh kaki. Penonton yang hadir duduk dengan posisi lebih tinggi dari arena pertarungan.Kali ini, delapan perguruan sudah menghadiri Pertemuan Agung. Dan sebagai tuan rumah, Lu Thong memberikan sambutan dan mengingatkan kembali akan sejarah Pertemuan Agung.“Pertemuan Agung adalah sarana, bukan ajang menampilkan kesombongan.”Per

  • Rimba Memburu Senala   80- AKu Bukan Bayanganmu

    Merasa sebagai putra Lu Thong, kesombongannya pun tampak. Lou Cho Nghek mengira bahwa dia sudah menggenggam kemenangan. Mempelajari Seribu Angin Membelah Salju hanyalah formalitas saja, pikir Lou Cho Nghek.“Darah yang mengalir di tubuhku adalah penentunya,” ujar Lou Cho Nghek menyeringai.Bagi Thong Chai, diberi kesempatan diajari teknik Seribu Angin Membelah Salju adalah sebuah kebanggaan. Menurut dia, dari puluhan murid Sekte Yǒngjiǔ, hanya dua yang terpilih. Itu adalah sebuah bukti bahwa Thong Chai mampu mewarisi jurus yang keberadaannya masih misteri, tetapi sudah pasti Seribu Angin Membelah Salju bakal mengguncang ajang Pertemuan Agung nantinya. Thong Chai yakin benar jurus itu akan menjadi jurus pamungkas yang akan membuat Sekte Yǒngjiǔ kian harum dan tersohor di seantero dunia persilatan. Maka dari itu, Thong Chai begitu berharap dia mampu mempelajarinya melalui Lu Thong.---Seperti apa yang dikatakan Lu Thong, Lou Cho Nghek dan Thong

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status