Share

Bab 8

"Oke!"

Diego berjalan mendekat, bersiap bertarung dengan Revin untuk merebut Reina.

Tidak disangka, Diego baru saja menjulurkan tangan, tubuhnya sudah lebih dulu dihajar dan ditendang Revin.

"Buak!" Diego sampai terlempar beberapa meter ke belakang, dia menangkupi dadanya dan tidak bisa berkata-kata.

Treya langsung membantu Diego berdiri, lalu menatap Revin dengan marah, "Berani sekali kamu menendang anakku!"

Revin menggendong Reina sambil menatap kedua orang itu dengan dingin.

Buliran air hujan menetes dari ujung rambut Revin.

Dia berjalan menghampiri Treya dan Diego, selangkah demi selangkah. Sosoknya sangat berbeda, dia terlihat tegas dan garang.

"Kalian cari mati?"

Treya dan Diego ketakutan dengan sosok Revin, seketika mereka diam membisu.

Sambil membopong Reina, Revin tidak lupa mengingatkan Treya.

"Dalam surat wasiatnya, Nana bilang dia punya rekaman di mana kamu berjanji untuk memutuskan hubungan dengannya, kamu nggak lupa, 'kan?"

Reina tidak mau jadi putrinya lagi ....

Reina tahu sebenarnya rekaman itu tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak bisa memutuskan hubungan ibu-anak di antara mereka.

Namun, Reina paham betul sifat Treya.

Treya adalah orang yang gila hormat.

Kalau rekaman ini sampai terungkap ke publik, dia akan dicap sebagai ibu yang sudah mencelakai putrinya.

Setelah diancam oleh Revin, Treya dan Diego pun pergi.

Dari kaca spion mobil, Treya melirik putrinya yang terlihat sudah tidak bernyawa dalam pelukan Revin, dia mengepalkan tinjunya kuat-kuat.

"Jangan salahkan Ibu, ini semua salahmu sendiri yang nggak berguna dan nggak mampu merebut hati Maxime."

"Kamu yang membawa semua petaka ini pada dirimu sendiri."

Treya merasa sedih, tetapi hanya sesaat.

Dibanding dengan kematian putrinya, dia lebih peduli bagaimana caranya menjelaskan situasi ini pada Pak Jeremy.

Revin membawa Reina ke rumah sakit terdekat.

Reina dibawa masuk ke ruang operasi.

Lampu ruangan operasi menyala terang dan membuat hati Revin menegang, dia sangat gelisah.

Dokter yang menangani Nana keluar ruangan dan memanggil pihak keluarga, "Kondisi pasien kurang optimis, di mana anggota keluarganya?"

Revin tercekat.

"Dia ... kenapa?"

"Apa Anda adalah anggota keluarga pasien? Silakan tanda tangani surat keterangan sakit kritis. Pasien mungkin nggak bisa diselamatkan," jawab dokter.

Revin tercekat. Dia yang tidak bisa menerima fakta ini langsung bertindak kasar dan mencengkeram kerah dokter.

"Nggak ada yang namanya sakit kritis. Kalau dia nggak selamat, aku akan menguburkan kalian semua di rumah sakit ini bersamanya!"

Revin menyingkirkan dokter itu ke samping.

Sebelum dokter itu sempat merespon, sekelompok ahli medis terkenal Kota Simaliki berjas putih bergegas menghampiri.

Mereka semua membungkuk hormat waktu melihat Revin. "Pak Revin."

Revin memerintah, "Selamatkan dia."

"Baik."

Dokter tadi baru sadar kalau ternyata mereka kedatangan orang penting.

Saat ini di Grup Sunandar.

Maxime tidak bisa fokus bekerja.

Jovan yang ingat hari ini hari apa pun bertanya-tanya, "Katanya hari ini kalian mau menyelesaikan prosedur perceraian?"

Maxime mengernyit dan tangannya yang sedang membolak-balikkan dokumen terhenti sejenak.

"Nggak jadi."

"Kenapa?"

Jovan ingin tahu kebenarannya.

Maxime tidak suka hati, tetapi tetap menjawab santai, "Reina menyesal, tadi pagi dia bilang dia nggak jadi pergi."

Jovan yang sedang duduk di sofa merentangkan tangannya dan mencibir.

"Sudah kuduga nggak gampang menyingkirkan si tuli. Dia ini sedang bermain tarik ulur dan di saat terdesak dia mengajukan gugatan cerai ...."

Jovan menghina Reina.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status