Share

Bab 7

Saat ini, di Vila Magenta.

Waktu pulang, Maxime langsung duduk di sofa di ruang tamu tanpa menyalakan lampu.

Saking lelahnya, Maxime memijit pelipisnya lalu tertidur, tetapi tidak berapa lama dia kembali terbangun.

Aneh sekali.

Lagi-lagi dia mimpi buruk tentang Reina.

Dalam mimpinya, dia melihat Reina sudah mati dan hal itu terasa sangat nyata ....

Maxime melirik ponselnya, sekarang baru jam empat pagi.

Maxime sadar hari ini adalah hari terakhir masa tenang dan mereka sepakat untuk bercerai.

Maxime pun tidak menahan diri dan mengirimkan sebuah pesan pada Reina, "Jangan lupa, hari ini kita harus urus perceraian."

Reina sudah mulai tidak sadar saat menerima pesan Maxime, tetapi dia tetap memaksakan diri untuk mengetik pesan balasan.

"Maaf ... sepertinya aku nggak bisa datang."

"Tapi, kamu nggak usah khawatir. Perceraian kita akan tetap berjalan ...."

Kalau Reina meninggal, tentu pernikahan mereka tidak lagi berlaku.

Maxime merasa lega setelah mendengarkan pesan suara Reina.

Sudah Maxime duga, mana mungkin wanita itu mati?

Reina tidak mungkin mati dan tidak mungkin rela bercerai darinya.

Maxime pun menelepon Reina.

Selama ini, sebenarnya Reina hampir tidak pernah menerima telepon dari Maxime.

Maxime jarang sekali bicara basa-basi dengannya, komunikasi mereka hanya melalui pesan.

Reina mengangkat panggilan itu, tetapi sebelum dia sempat menyahut, perkataan dingin Maxime sudah lebih dulu mendarat di telinganya.

"Reina, kesabaranku juga ada batasnya. Bukannya kamu yang mau bercerai?"

"Sekarang kamu menyesal karena aku nggak memberimu uang?"

"Kamu mau menikah dengan orang lain, memangnya uang 600 miliar nggak cukup?"

Reina tercekat.

Tiba-tiba dia tidak bisa mendengar apa pun.

Namun, Reina tidak mau disalahkan untuk hal yang tidak dia lakukan, jadi dia menggunakan kekuatan terakhirnya untuk menjawab.

"Max ... aku menikahimu ... sama sekali bukan karena uang."

"Sekarang aku ingin bercerai ... juga bukan demi uang ...."

"Mungkin kamu nggak akan percaya, tapi aku cuma mau bilang ... aku sama sekali nggak tahu ... masalah tentang ibu dan adikku yang melanggar perjanjian."

"Sekarang, aku juga nggak akan ... menikahi orang lain hanya demi uang 600 miliar ...."

Suara Reina putus-putus.

Maxime bisa mendengar angin yang menderu kencang dan suara hujan di ujung telepon.

"Kamu ada di mana sekarang?"

Reina tidak bisa mendengar suara Maxime, dia meremas erat ponselnya dan terus menjelaskan.

"Kalau ... aku tahu ibu dan adikku akan berbuat seperti itu, aku pasti ... nggak akan mau menikah denganmu."

"Kalau aku tahu ... hanya ada Marshanda di hatimu ... aku nggak akan menikah denganmu."

"Kalau aku tahu ... ayahku akan kecelakaan di hari pernikahanku, aku juga nggak akan ... menikah denganmu."

Tidak akan! Tidak akan menikah dengan Maxime!

Dari kata-kata Reina, Maxime bisa mendengar kepahitan yang sudah terpendam selama bertahun-tahun.

Maxime juga mendengar Reina sangat menyesal sudah menikah dengannya ....

Maxime tercekat, rasanya ada bola yang mengganjal tenggorokannya.

"Apa hakmu menyesal? 'Kan kamu yang dulu merengek untuk menikah denganku?"

Suara berat Maxime terdengar agak serak.

Di ujung telepon, suara Reina yang terus melemah pun semakin tidak terdengar.

"Reina! Kamu ada di mana sekarang?"

Sampai akhir, Maxime tidak mendapat jawaban dari pertanyaannya, dia hanya mendengar kata-kata terakhir Reina.

"Sebenarnya .... Aku selalu berharap supaya kamu bahagia. "

"Buk!"

Ponsel Reina jatuh dari tangannya.

Hujan membasahi ponsel itu dan lambat laun layarnya menjadi gelap.

...

Di Vila Magenta.

Maxime jadi panik waktu panggilannya terputus.

Dia menelepon kembali, tetapi langsung disambut jawaban operator, "Maaf, nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi, cobalah beberapa saat lagi ...."

Maxime berdiri, mengenakan mantelnya dan bersiap pergi.

Namun, langkahnya terhenti di depan pintu.

Reina pasti sedang bermain tarik ulur.

Mereka berdua akan segera resmi bercerai, Reina tidak ada hubungannya dengan Maxime.

Maxime pun kembali ke kamar, tetapi entah mengapa dia tidak bisa tidur.

Perkataan Reina terus terngiang di benaknya.

"Kalau ... aku tahu ibu dan adikku akan berbuat seperti itu, aku pasti ... nggak akan mau menikah denganmu."

"Kalau aku tahu ... hanya ada Marshanda di hatimu ... aku nggak akan menikah denganmu."

"Kalau aku tahu ... ayahku akan kecelakaan di hari pernikahanku, aku juga nggak akan ... menikah denganmu."

Maxime bangun lagi dan tanpa sadar berjalan ke kamar Reina.

Sudah sebulan Reina meninggalkan tempat ini.

Maxime membuka pintu kamar dan mendapati kamar itu gelap, suasananya sangat muram.

Maxime menyalakan lampu, kamar Reina sangat kosong, tidak ada barang pribadi yang tersisa.

Maxime duduk di kasur dan membuka laci meja di sampingnya, di dalam ada sebuah buku catatan kecil.

Hanya ada satu kalimat yang tertulis di sana.

"Menurutku orang yang memilih untuk pergi adalah yang paling menderita karena dia sudah melewati berbagai macam pergumulan batin sebelum akhirnya mengambil keputusan."

Maxime mencibir saat membacanya, "Menderita?"

"Kamu pikir aku nggak menderita selama bersamamu?"

Maxime membuang buku itu ke tempat sampah.

Namun, sesaat sebelum meninggalkan kamar Reina, dia kembali meletakkan buku catatan itu di atas meja.

Setelahnya, Maxime tetap tidak bisa tidur.

...

Di sisi lain.

Revin juga tidak bisa tidur nyenyak, dia merasa ada yang tidak beres dengan Reina dalam dua hari terakhir, tetapi dia tidak tahu apa yang janggal.

Sekitar pukul empat pagi, Lyann meneleponnya.

"Vin, apa kamu bisa membantuku? Coba jenguk Reina, barusan aku mimpi aneh."

Revin pun duduk di kasur, "Mimpi apa?"

"Aku mimpi sesuatu terjadi pada Nana. Dia datang padaku dalam kondisi basah kuyup dan memintaku jangan sampai lupa menjemputnya pulang."

Tangis Lyann pun pecah. "Aku takut terjadi sesuatu padanya, teleponnya nggak diangkat dari tadi."

"Beberapa hari yang lalu, dia menyuruhku untuk menjemputnya di tanggal 15."

"Aku merasa ada yang nggak beres ...."

Revin mendengarkan cerita Lyann sampai selesai lalu menggabungkannya dengan sikap Reina belakangan ini. Revin pun langsung ganti baju.

"Jangan khawatir, aku akan mencarinya sekarang."

Rumahnya sangat dekat dengan apartemen tempat Reina tinggal.

Revin sampai sepuluh menit kemudian dan langsung membuka pintu kamar, tetapi yang menyambutnya adalah suasana sunyi.

Pintu kamar tidur Reina terbuka dan di dalamnya kosong.

Reina tidak ada di rumah.

Pergi ke mana wanita itu?

Revin melihat ada dua buah amplop di dekat bantal, dia mengambil dan membukanya. Setelah dibaca sedikit, barulah dia sadar kalau itu adalah surat wasiat.

Salah satunya adalah pesan untuk Revin.

"Revin, uang sewa kamar ini sudah aku transfer ke rekeningmu, ya. Terima kasih sudah menjagaku belakangan ini."

"Kamu tahu nggak, aku itu nggak punya teman sejak datang ke Kota Simaliki. Sebelum akhirnya bertemu denganmu, kukira aku ini orang yang nggak berguna sampai nggak ada yang mau berteman denganku."

"Untungnya, kita bisa bertemu. Kamu membuatku sadar kalau ternyata aku nggak sejelek itu. Terima kasih banyak, ya .... Kamu nggak boleh sedih, aku cuma mau ketemu ayah, dia pasti akan menjagaku."

Surat wasiat lainnya ditulis untuk Lyann.

Revin membuka surat itu dan membaca isi suratnya. Di baris terakhir surat, dia menemukan sebuah alamat untuk Lyann.

Revin bergegas pergi.

Alamat yang berada di pinggir barat kota itu tidak jauh dari posisinya sekarang, bisa ditempuh sekitar 20 menit dengan mobil.

Namun, bagi Revin sekarang, tempat itu terasa sangat jauh.

Dia tidak mengerti bagaimana seseorang yang dulunya begitu cemerlang dan punya masa depan yang cerah bisa-bisanya memilih untuk mati.

Di saat bersamaan, Treya juga menuju pinggir barat kota.

Hanya saja, Treya datang menjemput Reina yang akan dijualnya seharga 600 miliar pada kakek tua.

Di Heaven Stair, sebuah taman makam di pinggir barat Kota Simaliki.

Hujan turun begitu deras.

Reina terkulai di depan batu nisan ayahnya. Hujan deras membuat tubuhnya basah kuyup, rupanya saat ini seperti setangkai bunga layu di pinggir jalan yang bisa menghilang dari dunia dalam sekejap.

Revin menerobos hujan dan berlari menghampiri Reina.

"Reina!!"

Hanya suara angin dan hujan yang menjawab teriakan Revin, tidak ada respons apa pun dari Reina. Saat Revin memeluknya, barulah dia sadar ada sebotol obat kosong di samping Reina.

Revin mengangkat tubuh Reina dengan tangan gemetar.

Ringan sekali tubuhnya?

"Reina, bangun!"

"Reina, sadarlah!"

Revin terus memanggil Reina sambil menggotongnya ke mobil.

...

"Nyonya, kita sudah sampai," kata sopir.

Treya melihat ke luar jendela dan melihat seorang pria asing sedang menggendong ... Reina.

"Bagus sekali ya kelakuanmu, Reina!"

Trenya mengernyit dan turun dari mobil.

Hari ini, Treya mengenakan gaun berwarna merah meriah, percikan air hujan membasahi gaunnya.

Treya bergegas menghampiri untuk memarahi Reina.

Namun, saat Treya baru saja mau buka mulut, dia mendapati Reina bersandar lemas di pelukan Revin, wajahnya pucat dan matanya terpejam ....

Treya mematung.

"Reina ...."

Treya baru akan bertanya apa yang terjadi saat matanya tertuju pada botol obat yang tertiup angin.

Treya buru-buru mengambil botol obat itu dan membaca labelnya, "Obat Tidur."

Treya jadi teringat perkataan Reina beberapa hari yang lalu.

"Kalau aku mengembalikan nyawaku padamu yang sudah melahirkanku, apa artinya kamu bukan lagi ibuku dan aku nggak lagi berutang padamu?"

Payung di tangan Treya jatuh ke tanah.

Treya meremas botol obat di tangannya sambil menatap Reina tidak percaya, entah matanya basah karena hujan atau air mata.

"Kurang ajar! Bisa-bisanya kamu melakukan hal ini!"

"Nyawamu itu milikku!"

Bibir merah merona Treya bergetar.

Diego tidak ikut turun, dia tetap di mobil dan jadi bertanya-tanya kenapa ibunya berdiri lama sekali di tengah kuburan.

Diego pun menyusul dan langsung terhenyak begitu tahu kondisinya.

Dia tidak menyangka kakaknya benar-benar berani bunuh diri ....

Diego yang sadar dari lamunannya pun jadi panik, "Bu, bagaimana ini? Uang Pak Jeremy sudah kupakai untuk membuka perusahaan baru."

Sekarang akhirnya Revin mengerti kenapa Reina yang awalnya ceria dan kuat berubah menjadi seperti ini!

Treya mengepalkan tinjunya, sorot matanya terlihat murka. Dia berteriak, "Kenapa kamu nggak mati setelah menikah saja? Kenapa!"

Revin tidak sanggup mendengarkan ucapan ibu dan adik berhati kejam ini.

"Pergi!"

"Jangan sampai aku mengulangi perkataanku."

Treya dan Diego baru menyadari ternyata pria di hadapan mereka cukup berkarisma, sama seperti Maxime.

"Siapa kamu?" Diego melangkah maju. "Dia itu kakakku, apa hakmu mengusir kami?"

Setelah itu, Diego berujar pada Treya, "Bu, orang-orang Pak Jeremy sudah mendesak kita, katanya kalau nggak segera mengantar Reina, mereka akan menghajar kita."

Treya menenangkan diri lalu berujar dengan kejam, "Masukkan dia ke mobil, dalam kondisi mati pun dia harus menyelesaikan prosedur pernikahannya dulu."

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Puji Green Shoop
air mataku tiba2jatuh nangis sesenggukan 🥲🥲🥲🥲
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status