Kenapa harus aku, Bu? Apakah tidak ada orang lain selain aku? Pembantu kita bisa kan, Bu? Gerutu Akhtar dalam batin.
Ia mengamati ruang tamu dengan ekspresi kecut. Bibirnya didatarkan. Senyum dikubur dalam-dalam ke palung waktu. Kantuknya sudah membenam setengah jam lampau. Jika saja mampu dan tidak merasa terbebani kepada seorang ibu, lelaki muda itu hendak protes langsung dengan mengelak ajakan Fira ke alun-alun kota. Minggu menyebalkan sedunia!
Akhtar mengarahkan kursi roda menuju ruang tamu. Ia menganggukkan kepala tanpa bantahan ketika Bila menyuruh menemani Fira. Ia tidak bisa menolak karena hal tersebut mampu membuat Bila kecewa. Kelembutan karakter Bila membuat perasaannya luluh.
"Pangeran Kursi Roda, sudahkah kau mandi?" sapa Fira. Ia yang semula duduk mendadak mengubah posisi, berdiri menyambut kedatangan Akhtar. Ada berkas cahaya matahari yang menerpa wajah Akhtar. Celah jendela membiakkan kehangatan di pagi beku. Lantai ubin
Sama seperti waktu lampau, ibu ketakutan hebat usai mendengar Fira sedang berada di rumah sakit. Dulu hujan deras di penghujung tahun, detik itu hanya mendung. Sungguh mengerikan kabar yang dilayangkan oleh Caca. Putri gadis terpintarnya datang mengoleh-olehi air mata. Sontak beban di punggung langsung diturunkan. Tak peduli upah dan lelah, ia buru-buru menginjakkan kaki menuju kota Fira bekerja.Caca dan ibu naik bus demi berjumpa dengan sosok sedarah di tanah asing. Sosok yang pernah ia buai dalam rahim, sosok yang di waktu purba sering memanjakan senja dengan kelakar, sosok lugu penabur kerinduan di penghujung fajar, sosok mungil yang dahulu mengurangi beban tanggung jawabnya mengurusi titipan Tuhan, sosok yang kini terkapar di bangsal rumah sakit sedang menatap langit-langit ruang. Pikirannya beranjangsana ke bumi-bumi masa lalu, juga masa-masa yang belum teraba.Akhtar sungguh memberitahukan kondisi Fira kepada keluarganya. Fira hendak ma
Tentang murka yang hendak dipadamkan oleh angin. Lensa serupa saganya menjilat kesalahan yang tak pernah diadili oleh dunia. Wajahnya menunduk, mengamati permukaan lantai yang tak pernah memahami rasa sakit hati. Melodi memantul di dinding yang kusam. Jendela kelas ikut berderit meramaikan dendangan lagu dengan angin. Daun-daun bambu di belakang sekolah berguguran, terbang melintasi gedung yang tinggi, kemudian mendarat di halaman sekolah, tergeletak layu. Waktu cerah, culumus bersenda gurau dengan sahabat sejatinya para sirrus, megah panorama yang dipamerkan pemilik Kekuasaan Semesta. Si mungil masih santai di punggung. Kakinya bergoyang-gorang menendang udara.Sosok bertubuh gempal dengan senyum tak menawan berkacak pinggang. Seragam sewarna tanah liat itu menggugurkan karismayang biasanya tersenyum ramah. Aura tegang tergambar dengan jelas di atas penyesalan yang tidak pernah disesali Fira. Gadis itu dihardik. Bahu tak bergidik. Ia ditegur, agar t
Musim basah telah berlalu. Januari pembuka tahun menjadi lintasan tercepat memperbarui masa lampau. Hidup kembali berulang dengan usia berkurang. Sebagian orang mengartikan awal tahun adalah lembaran baru dengan menutup semua kejadian-kejadian perih di tahun sebelumnya ada yang melaluinya dengan suka cita, ada juga yang justru menyesal karena telah menyia-nyiakan waktu lalu dengan menorehkan catatan hidup kurang berguna. Sesuatu paling pedih yang dipikir oleh kaum peka terhadap kehidupan yaitu waktu hilang tak akan kembali datang. Kembang api meletus di langit, menyaingi keindahan alamiah bintang-bintang. Malam itu Fira menyaksikan dari beranda rumah. Fira tidak bisa menutup mata sampai kalender berganti.Ia berdiri di beranda rumah menyaksikan sekitar. Hening. Jalanan sepi tak perbenghuni. Lampu lima watt di pertigaan jalan dikerubungi serangga kecil-kecil, ada siluet melingkar seperti cincin. Matanya bergerilnya mengamati gerbang pintu masuk rumah. Kunci
Kawan lihatlah. Ia Fira. Camkan dalam otakmu!Ia gadis yang pandai berkelit dari hardikan guru. Bibirnya belum mampu menyenandungkan alvabet dengan benar meski sudah menduduki kelas 3 SD. Ia seringkali membuat guru-guru gemas dengan ulahnya, apalagi jika pagi datang dan ia terlambat. Ruangan guru mendadak akan ramai dipenuhi kasak-kusuk yang tidak jelas. Hendak melabelinya anak pemalas, namun sesungguhnya ia tidak malas, mengatakannya gadis nakal, ia tidak pernah melanggar peraturan.Yang ia lakukan hanya sederhana, ya begitu kata imajinasinya, ia melakukan kesalahan yang sederhana sehingga tidak layak mendapatkan hukuman. Fira baru saja tidak mengerjakan PR dan kembali datang terlambat. Guru Bahasa Indonesia menggebrak mejanya. Penghapus bergetar ketakutan. Kapur yang bersangkar di dalam kotaknya menerima sebuah guncangan kecil. Buku pelajaran yang terbuka di atas permukaan taplak lusuh itu malas mendengarkan ocehan, andaikan mampu maka ia hendak menyuruh
Terang cepat menjadi lalu. Sunyi dipinang keramaian titik hitam. Remang cahaya bergelayut manja pada denting-denting waktu. Meja-meja dipenuhi minum penglayang akal. Piring, tisu, gelas berserak di meja-meja tamu. Biduan terus bergoyang menyesuaikan dengan irama gendang. Lantunan lagu menelusup ruang telinga, masuk ke dalam jiwa-jiwa lena. Pengunjung menyesap rasa masing-masing, mencairkan perih yang dibekam kesadaran. Langkah-langkah menyelinap ragu, naik ke panggung hendak menyelipkan rupiah di genggaman biduan. Perih kehidupan tersimpan pada rekahan senyuman mereka. Ada yang hendak menggenggam kuasa, namun kekuasaan tak mau bersahabat. Ada yang hendak ikat takdir bersama, sayang keputusan detik tak mengikat.Satu sendok, dua suap, tiga tenggak air minum, lalu gerakan tangan Fira terhenti. Ada suara aneh yang menahan pencernaan, suatu hal yang menghambarkan rasa makanan. Ia sedang mengambil jatah istirahat malam. Langit menjelma kenangan dalam bungkusan gerimis. Titik
Tubuh siang berangsur melepaskan diri, terang melayang ke naungannya di balik malam. Azan maghrib berteriak membangunkan jiwa-jiwa yang kelelahan. Penduduk bergegas mengambil air wudu, sebagian masih asyik di depan layar bercahaya. Anak-anak dibimbing melangkah menuju masjid dekat rumah atau surau-surau terdekat. Langit tetap biru, namun birunya pudar, ada abu yang tidak terlalu jelas. Mentari tenggelam, nyawanya tersisa remang di balik pegunungan. Bintang perlahan menyembul, bulan siap-siap membuka matanya. Jalanan remang dipenuhi penduduk yang menyandang sajadah menuju tempat ibadah. Sementara Ibu justru bermuka pucat, langkahnya tergopoh-gopoh. Ranjang sayurnya dijatuhkan begitu saja ke lantai. Tempe goreng dan cotot, jajanan yang dibeli dari pasar tercecer di lantai. Ibu bergegas memapah Fira yang tersungkur di lantai. Ia lantas duduk di anak tangga ke dua.“Apa yang kau lakukan Fira?”“Kepala Fira sak
Pipinya tertimpa reruntuhan sinar ruangan. Terlihat berseri-seri manis meski keningnya ditambal perban. Malam menggantungkan bulan di musim tanpa hujan. Lorong ruang sunyi, jejak-jejak telah berhenti. Pasien-pasien rebah dalam mimpi di atas bangsal masing-masing. Kota menyalakan lampu-lampu ketika mentari melengserkan tugas. Denting detik dan cicak di dinding saling melengkapi siulan. Hening. Bila terlelap di pinggiran bangsal sembari menggenggam telapak tangan Akhtar. Sementara gadis itu, —Fira, sedang lelap di kursi sofa. Tubuhnya dibalut selimut. Pandangan Akhtar t ertuju pada wajah Fira. Ia mencermati setiap lekuk permukaan rupa gadis itu. Rambut poni berantakan menutup sebagian perban. Bibir mungilnya sedikit terbuka, seolah tidak peduli nyamuk masuk ke rongga mulut.'Aku benci dirimu karena selalu memanggil kekurangan fisikku. Aku bersumpah pada takdir, kelak akan bisa berjalan normal seperti orang-orang lainnya lagi, Fir.' Umpatnya dalam hati. Ia lantas men
Tatapan Fira kosong, ia tidak mendengarkan nasihat guru, justru mengajak imajinasinya berjalan-jalan ke negeri antah berantah. Perasaan bersalah tidak mengendap di dadanya. Baginya, apa yang ia ucapkan telah tepat dan tidak melesat dari yang diharapkan teman-teman. Kenyataannya mereka semua terbahak, bukankah itu yang dinamakan dengan mendukung? Lantas mengapa guru dengan kaca mata tebal, sebut saja Pak Ano itu menatapnya geram? Ini tidak adil! Ya menurutnya Pak Ano berbuat tidak adil. Kini justru ia berbalik menatap Pak Ano, menggelembungkan pipi, berkacak pinggang, matanya melotot tajam. Dua manusia itu kini pelotot-pelototan! Lala sedang bermain tepuk tangan di bangku paling belakang dengan Devi. Kakaknya diabaikan.Kawan, baru saja Fira melamun, ia tidak mengerjakan PR yang diberikan Pak Ano minggu lalu. Guru dengan kumis tipis di bawah hidungnya itu masih bersabar, sayang ketika soal dipecahkan, Fira tetap tidak memerhatikan. Kesabaran Pak Ano lenyap dicuri h