Rindu yang Lupa

Rindu yang Lupa

By:  Titin Widyawati  Completed
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
10
13 ratings
49Chapters
2.6Kviews
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
Leave your review on App

Fira bernasib malang, di usia belia ia diperlakukan tidak adil oleh lingkungan hidupnya karena ayahnya sakit jiwa. Ia terpaksa bekerja di sebuah restoran Cina demi membantu ibu mencari nafkah.

View More
Rindu yang Lupa Novels Online Free PDF Download

Latest chapter

Interesting books of the same period

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments
user avatar
eka astutik
Selalu terterter pokoknya, semangiiitttt By Meyyis
2021-10-30 16:36:55
1
user avatar
Nasyifa Kirani
Pas baca judul unik. Pas baca selanjutnya bagus alurnya. Semangat kak
2021-10-30 15:24:29
1
user avatar
RIA
Begitu kerennya karyamu kk.. bab 1 aja dah bikin kemal dg kelanjutannya... semangat up nya kk titin ...
2021-10-30 15:06:10
0
user avatar
Cucu Suliani
Semangat, jangan pantang menyerah
2021-10-30 14:45:07
0
user avatar
AISHA BELLA
Semangat, Kakak. Lanjut lagi! ......
2021-09-26 10:44:49
0
user avatar
Murninulis
ngeri juga kalau fira dah marah ...
2021-09-25 18:52:09
0
user avatar
Erni sari
keren Thor, semangat
2021-09-19 20:01:01
1
user avatar
Tithi
baru baca episode satu udah nagih. keren kak Titin. semangat nulisnya
2021-09-19 14:24:36
1
user avatar
Jannah Zein
Semangat ya kak ...
2021-09-10 22:23:24
1
user avatar
Cucu Suliani
Lanjut kakak Author..
2021-09-10 22:00:23
1
user avatar
Putra Nurul Yaqin
Lanjutkan!
2021-08-11 10:54:43
1
user avatar
Titin Widyawati
fighting! selesaikan naskahnya!
2021-07-30 15:59:17
2
user avatar
Titin Widyawati
semangat terus nulisnya!
2021-07-26 09:35:35
1
49 Chapters
Episode Satu : Kesedihan dan Amarah
Fira duduk di hadapan meja kasir, menikmati malam yang dipenuhi dengan lompatan kaki anak-anak muda. Beberapa dari mereka bersorak-sorai dan bertepuk tangan. Lagu band lokal mengiring keberangkatan malam. Bintang-bintang di angkasa merasa terganggu maka mereka putuskan memilih jalur keramaian kabut. Lampu disko berkelip menerangi ballroom yang temaram. Kursi-kursi makan penuh dengan wajah-wajah orang riang namun bimbang. Mereka berpesta meski sebenarnya simpan sepi di dada masing-masing. Waiter bergerak tetap seumpama eskalator. Komputer tak henti-hentinya mencetak bukti pembayaran. Tempat itu surga bagi sebagian manusia yang dipenuhi dengan kehidupan fana. Tempat pemfilter kenangan buruk dan pengabadian kesedihan di balik kelakar-kelakar palsu. Sebuah ruang penghamburan rupiah, tak pernah mengingat buruh-buruh gendong di pasar-pasar kumuh susah payah membangunkan lutut. Fira tak menyangka hidupnya terjebak dalam garis hitam pekat. Ia tidak menangis, tidak juga tersenyum, hanya ingin
Read more
Episode Dua : Kuli Panggul Pemburu Apel Merah
Tentangnya yang membungkuk di emper trotoar. Menelan getir, punggung ditindih beban berkilo-kilo gram. Hendak mengumpat bahwa hal itu kejam, namun senyumnya menggigit takdir. Demi hidup, ia tak menginginkan tiga ruh melayang bebas karena kelalaiannya. Mengatasnamakan cinta suci yang sudah dianggap basi oleh jutaan rakyat. Abai. Ia acuh, merangkak perlahan sementara mata puluhan menyongsongnya sangsi. Beberapa menelan cemooh kemiskinan. Acuh! Ia menyeimbangkan beban di punggung, melangkah maju. Menerabas keramaian. Menghentikan kendaraan. Tergesa-gesa, harus segera bermuara. Beban tak direlakannya menumpang terlalu lama. Jika Tuhan memberikannya pilihan, maka tak mungkin ia mengizinkan ratusan beban memperbudaknya, sementara cintanya kesepian. Terkelepar di rumah berteman kesunyian. Tatkala mengenang beberapa waktu mundur seorang gadis menatap wajah datarnya di pusar kegelapan, ia tak lagi mempunyai alasan untuk duduk berleha-leha mengusap peluh di kening. Gadis bermata
Read more
Episode Tiga : Pulang ke Rumah Akhir
 Gadis dengan rambut terurai sebahu itu memperlihatkan karya baru. Ia keluar dari kampus seni. Hari itu senja menampilkan keanggunannya. Senyum langit merekah cerah meskipun deru kendaraan di jalan raya tak pernah menampilkan kesunyian. Kabut terbang ke tempat asing yang tak tampak. Alam riang menyenangkan sepadan bibir Caca yang menyudut. Ia raba lukisan seorang gadis sedang menangis, digambarkan meratap-ratap, dalam imajinasi kuasnya, gadis itu memeluk lutut, rambut panjangnya awut-awutan amat berantakan, gaun abu-abu dikenakan sang tokoh, lukisan sedikit diperciki noda berwarna cokelat, bigronnya dinding putih kusam pelengkap kesenduan. “Itu pasti kakakmu lagi,” kata Akhtar sembari menarik kursi. Mereka berdua sedang menikmati sore di depan toko Indomaret. Parkiran lengang. Beberapa lampu jalan mulai dihidupkan. Angkringan di seberang jalan mengepulkan asap. Pengamen memetik gitar. Pelancong berjalan hilir mudik bergandengan tang
Read more
Episode Empat : Sebuah Pertemuan di Bawah Hujan
 Pukul lima senja, ia belum melayangkan tekad pulang. Hujan membasahi aspal. Ribuan air mengguyur tubuhnya. Baju dan selendang basah kuyub. Titik-titik air meresap ke dalam kepala. Bibirnya membiru pucat. Raganya bergetar. Kedinginan. Namun ia tetap mengangsur langkah. Menggendong beban, berjalan ke arah tuan menunjukkan. Tak peduli kepala langsung mencium reruntuhan air hujan. Tidak sempat meneduhkannya menggunakan payung. Yang penting baginya adalah uang ribuan di kantongnya bertambah. Hujan membuat pelanggannya kabur. Tiga jam lamanya ia duduk di emperan toko. Mengadu harap pada pencipta langit agar ada yang menggunakan punggungngnya. Malang, tak seorang pun. Membeli beras dan sayuran menjadi momok mustahil beberapa waktu. Getir. Tak lagi hendak dibayangkan. Mobil melaju cepat, sepeda motor saling menyalib. Tukang parkir meringkuk di bawah ruko-ruko, menutup jog sepeda motornya menggunakan mantel. Angkutan umum melangkah perlahan, menjauhi h
Read more
Episode Lima : Senyuman yang Hilang di Masa Depan
Tangisan tumpah di mana-mana, membuat penyaksinya menelan bulir demi bulir perih tanpa kejelasan. Sebaris kalimat membuat air liur tak tertelan. Mereka merupakan kata-kata terkutuk yang dibenci waktu. Angin senja menggiring kesengsaraan tajam yang menyusup ke relung jiwa keluarga Fira. Meski ia berdiri tegak tanpa tetes berarti di pipi, makhluk langit dapat menyaksikan betapa terlunta-lunta perasaannya. Caca tak kuasa menahan sesak dadanya, Lala menjerit meronta. Ibu pasrah dengan sungai-sungai yang membanjir di dagunya. Sebuah mobil plat A datang menjemput mereka. Keluarga Fira pergi tanpa salam perpisahan. Akhtar masih belum mengerti dengan apa yang terjadi, ia hanya menunaikan tugas mengantar Caca pulang. Fira mengacuhkan Aldi, ia bahkan belum sempat mengucap terima kasih, namun langkahnya telah pergi, hanya punggung mobil yang menyampaikan lambaian juga permintaan maaf karena telah merepotkan. Lelaki itu memahami, ia bukanlah bocah yang segalanya harus
Read more
Episode Enam : Yang Tidak Ia Mengerti
 Embun mengusap kening bumi. Angin bersenandung riang dengan menggesekkan tubuhnya pada puluhan daun bambu. Burung duduk manis menyambut sapaan mentari. Pagi terbangun. Detik menunjukkan waktu terang. Aktivitas mulai meratap. Peluh bersiap mengeluh. Penduduk telah berbisik-bisik membahas gosip selebriti di teras rumah masing-masing sembari menggesekkan lidi ke tanah, yang lain ikut menyahut, tertawa atau hanya diam saja. Tiga gadis masih meringkuk di dalam selimut. Bibirnya menganga, matanya sedikit terbuka, begitulah ia lelap sepanjang hari. Fira memeluk tubuh mungil, membelakangi adik kecilnya. Ia lelap sangat, matanya belum terbuka sama sekali semenjak pukul dua dini hari. Kelelahan. Tubuhnya menggigil, selimut kembali ditarik, memeluk lebih erat tubuh yang lembut. Bantal guling seukuran tubuh Lala menjadi tempatnya membuang rindu pada peluk ibu. Kaki Lala terbuka lebar, yang kiri di atas punggung Fira, yang satu di perut Caca. Wajahnya telah diperciki s
Read more
Episode Tujuh : Cinta yang Lupa
 Damai sekali melihatnya lelap usai sebulan bekerja meninggalkan rumah, meninggalkan cinta hanya mengangkut jejak ke tanah rantau. Ia menggadaikan lelahnya demi kasih tak terhingga dalam hayat. Ia pelipur lara yang tertanam dalam ceruk-ceruk rindu. Ia penerang gulita saat malam terpeluk. Sesosok pria dewasa yang kini rebah di pembaringan. Ialah yang menggendong Fira kecil, penumpah cinta dalam jantung gadis lugu itu yang penuh. Sepaham Fira ayah tidak pernah marah. Ia selalu berbuat baik, terbukti ketika ayah pulang dari pekerjaannya, ia membawa banyak jajanan, esoknya mengajak Fira dan kedua adik jalan-jalan ke pasar, bahkan tak segan menuruti seluruh permintaan anak-anaknya. Ayah sosok ramah, setiap tetangga bahkan orang asing yang berpapasan dengannya akan mendapatkan lengkung pelangi di bibir dengan gratis. Ayah bukan orang pelit, jika ada pengamen dan pengemis, satu lembar entah seribu, atau lima ribu bahkan sepuluh ribuan diberikan cuma-cuma. Ayah buk
Read more
Episode Delapan : Salah Alamat! 
 Tidur nyenyak Akhtar terganggu dering telpon. Pukul satu dini hari, ponselnya bergetar memohon perhatian. Ia acuh, membalik punggung dan menarik selimut. Malam telah larut, tidak logis orang menelpon di waktu istirahat seperti itu jika bukan hal mendesak. Sayangnya Akhtar tak berpikir panjang. Ia melanjutkan tidur, melipat mimpi-mimpinya dengan rapi. Membuang lelah ke dalam pejaman mata rapatnya. Memeluk dingin di balik selimut tebal. Hujan di luar menciptakan suasana tidur yang nikmat. Cicak bernyanyi mengiringi kegaduhan percik air yang jatuh menimpa asbes-asbes rumah. Dedaunan di luar basar kuyup, bunga mawar menggugurkan beberapa kelopak cantiknya sebab tak mampu menampung beban hujan dari langit. Angin berembus kencang. Orang tua Akhtar lelap saling peluk. Pembantu mendengkur. Ponsel Akhtar masih berdering, melantunkan lagu Westlife, Flying Without Wings. Kali ini Akhtar membuka selimut, membuang bantal guling ke lantai, dengan geram ia menggayuh pons
Read more
Episode Sembilan : Kesempatan Emas
 Ibu gesit meracik bumbu, memasukkan ke dalam wajan. Mengingat kekasih dalam setiap adukan. Membayangkan senyum menawan saat yang dicinta merasakan masakan. Peluh tak lagi dipikirkan, bau badan menjadi aroma yang menyempurnakan. Butiran keringat menetes di kening. Ia usap, lantas merapikan rambut yang berantakan. Hari ini ia ingin memberikan perhatian lebih kepada buah kasih sayangnya. Tak rela jika waktu terus memanjakannya hidup susah di sudut-sudut pasar, memohon receh dengan mengorbankan punggung menjadi bengkok. Ada waktu yang memang disenggangkan untuk beristirahat di rumah bersama anak-anak. Sebuah kebebasan direngkuh oleh Fira.  Hari ini ibu tidak memanggul beban di pasar. Fira melonjat histeris. Gadis periang dua kali lebih senang. Esok, tak dipersibuk meracik sarapan. Ia juga cuti sejenak dari membersihkan badan Lala. Malam tak bangun menciderai raga dengan gigil. Ia beristirahat melototi jalanan menanti obor melintas. Layaknya seorang PNS ya
Read more
Episode Sepuluh : Masa Depan Vs Masa Lampau
Aroma tanah menguar, menghantarkan perasaan-perasaan kelabu di bulan ini. Langit yang mengabu membuat tunggu menjadi membosankan. Bumi terasa basah, amat basah hingga membangunkan gigil pada sela-sela kebimbangan seorang gadis. Ia mengenakan pakaian rapi, sebuah kemeja sewarna melati dengan stelan rok panjang berwarna hitam, poninya diombang-ambingkan tanpa arah oleh angin. Hujan dan menunggu seperti paket setia di pertengahan tahun. Dan gadis itu terus menunggu ponselnya berdering meski hujan melambai-lambai riang. Waktu tidak tenang, ia gusar, khawatir acaranya terpaksa ditinggalkan, bukan tersebab hujan turun mendayu-dayu membuat pedagang asongan meringkuk di bawah atap-atap ruko, menghalangi pejalan kaki menuju tempat terdekat, membiarkan lampu merah diterobos laju mobil-mobil mewah, mengacuhkan riak air yang menggenang di jalan berlubang, hujan tetaplah menjadi momen menyenangkan baginya meski perasaannya gelisah, ia tidak marah hujan turun bukan pada waktu senggan
Read more
DMCA.com Protection Status