Hari ini sabtu, anak-anak berseragam cokelat melipat kesenangan mereka di dada. Wajah diluruskan demi menatap gerik bibir Caca menjelaskan. Ada sebuah kanvas di depan papan tulis, Caca memberi coretan sketsa sungai dan rumput, kemudian bibir dan tangannya bekerjasama menuntun para siswa. Kuas bergerak ragu-ragu. Ruang kelas disorot cahaya pagi melalui gorden jendela.
Sepekan lalu ada surat datang ke rumah, sebuah permohonan pengajar ekstrakurikuler seni lukis di sebuah SMA swasta, sekali dalam satu pekan itu ia setujui. Karir Caca melonjak. Ia tidak sempat membaca komentar netizen di dunia maya. Sengaja melupakan tragedi malam pameran. Bahkan jika mampu menghapus maka akan dihapus secepat kilat. Caca tahu banyak makian dan umpatan ditujukan kepada Fira, ia hanya meyakini umpatan mereka sebentar lagi sirna. Sekali lagi ia tidak pendam amarah, hanya saja ada hal ganjil yang membuatnya belum siap menemui Fira. Entah apa itu—
'Ca, kau harus bertemu kakakm
Kisah ini akan usai, seperti pengalaman kerja Fira yang berhenti tanpa diminati. Ia anggap semua ini terjadi sudah sesuai porsi takdir. Menyesalinya? Mustahil, toh dirinya memang berbuat salah, pantas diundurkan. Ia akan berpisah dengan kamar kos, meninggalkan ballroom, dan tentunya tak akan sentuh botol miras serta setumpuk lembar rupiah di kasir. Paling akhir, ia akan menjadikan Aldi beserta rekan kerja lain sebagai kenangan."Jangan pernah main ke sini lagi!" kata Aldi terdengar seperti sebuah ancaman padahal suaranya keluar begitu lembut. Fira ditemani membereskan kamarnya. Ibu kos mengijinkan pria masuk ke tempat Fira karena ditemani Caca juga Akhtar. Barang-barang Fira dikeluarkan semua, kecuali kasur dan bantal.Caca menyeret koper baju, sementara Akhtar membawa boneka beruang dan beberapa buku bacaan. Mereka semua bergantian memasukkan ke dalam mobil. Aldi dan Fira melangkah pelan-pelan di belakang menikmati hari-hari akhir."Kenapa? Be
Caca kali ini menyadari keikhlasan kakaknya yang amat suci. Setelah tahu Fira susah payah hilir mudik dari kampung ke kecamatan, ke pusat kota, browsing sana sini, namun tak menemukan pekerjaan cocok dengannya. Ia tak tahan melihat kemurungan Fira memandang langit dengan gerakan bibir putus asa menghitung bintang-bintang sementara telunjuknya diarahkan ke angkasa, lalu pelan bulir-bulir diterpa cahaya rembulan. Malam merekam sesok gadis berambut panjang duduk bersandar tembok di balkon rumah, tangan kirinya dipangku di atas lutut sementara satunya bergerak ke kanan ke kiri di udara."Ibu, keahlian apa yang harus kubeli agar punggungmu berhenti bekerja?" ceracaunya sambil menyeka air mata sendiri.Caca mengintip dan menguping dari balik jendela. Ibu dan Lala telah pergi ke tanah mimpi untuk mengubur kepingan lelah yang dipanen sewaktu terang. Caca ingat betul ucapan terima kasih bertumpuk-tumpuk terbubuhi peluh dan ungkapan maaf ketika dirinya menyampaikan u
Cairan bening asin dan getir dimuntahkan. Wajahnya lesu. Ia tidak berselera makan. Jika diibaratkan sebagai bunga, maka kali itu dirinya adalah kelopak berguguran. Fira putus asa, ia tak tahu bagaimana lagi membuat Caca bicara apalagi sampai mau mendengarkannya. Adiknya berubah menjadi sosok tak tahu diri, egois, bahkan enggan mendengar nasihatnya untuk tidak pulang larut malam. Ia stres, sampai lupa makan sehari kemarin. Sudah bisa ditebak, maagnya kambuh.Mengapa kenyataan sering berjalan tidak seimbang? Ketika perasaan manusia siap menerima takdir yang diberikan, yang diharap malah bertolak belakang, akhirnya— menggerutu lagi, lupa bersyukur, bahkan sampai menyerah pada titik terendah. Buat apa semangat? Jika kehidupan tidak pernah berubah? Fira merasa hari-harinya berada di titik koordinat sebelah kiri, berhenti pada angka nol, jarang maju ke angka satu, lebih sering mundur menjadi minus! Ya! Perasaan bahagianya semakin berkurang seiring bertambahnya detik.&nb
Waktu cepat berlalu, pergerakan detik pada dinding berputar sangat cepat. Fira merasa Lukisan-lukisan Caca banyak yang memesan, meski potretnya hanya gambar sketsa perempuan dan pemandangan. Semula ia ingin fokus pada kegiatan baru mengurus butik pakaian bersama Mamak dan Fira, tetapi saudata perempuannya melarang. "Mimpimu harus tetap berkembang, Ca! Jangan menderita karena diriku," kata Fira di suatu senja ketika mereka menyesap teh hangat di balkon rumah. "Kau tidak suka aku melukis, kan, Kak?" "Mulanya begitu, tetapi sekarang aku tidak bisa memungkiri kemampuanmu yang hebat, orang-orang akan sedih jika kau berhenti menjadi seniman. Berkembang biaklah dengan menjadi Caca yang utuh, jangan jadikan aku alasan dirimu melukis atau menghentikan lukisanmu," ucap Fira lagi sambil menepuk bahunya. "Hmm, akan aku pertimbangkan jika kau tidak keras kepala lagi, Kak." Lalu mereka tertawa berdua. Tetiba ada bening yang singgah di wajah Fira, ada perasaan haru tak tanggung-tanggung. Ia hend
Lantas kotak yang dibawa Akhtar ia sembunyikan, ia kulum senyum sembari memandang wajah Fira. Pemuda yang dianggap tampan oleh bening embun tersebut berusaha tegar meski ada sedikit gelenyar perih yang mengendap di dadany—gadis yang diam-diam ia cintai dan ingin dimiliki—sudah disematkan cincin indah di jari manisnya—lantas berkenan untuk dijadikan putri, rupanya memikirkan laki-laki lain. Akhtar memacu kendaraannya menuju Yogyakarta, ke tempat yang dipenuhi dengan kenangan emosinya mengenai Fira. Bayangan saat dirinya memukul tubuh Aldi yang mabuk kembali terpampang. Amarahnya yang saat itu sungguh tidak mampu dibendung masih terasa kental dalam ingatan. Lantas detik itulah ia sadar bahwa Fira adalah gadis yang ingin ia jaga. "Terima kasih kau sudah banyak membuat Caca berkembang," kata Fira memulai obrolan. Di hadapan mereka bangunan ruko-ruko menjulang tinggi. Lampu-lampu kendaraan menyala terang-benderang. Senja menyelinap di ufuk timur, terlihat anggun dan mengagumkan serupa l
Fira duduk di hadapan meja kasir, menikmati malam yang dipenuhi dengan lompatan kaki anak-anak muda. Beberapa dari mereka bersorak-sorai dan bertepuk tangan. Lagu band lokal mengiring keberangkatan malam. Bintang-bintang di angkasa merasa terganggu maka mereka putuskan memilih jalur keramaian kabut. Lampu disko berkelip menerangi ballroom yang temaram. Kursi-kursi makan penuh dengan wajah-wajah orang riang namun bimbang. Mereka berpesta meski sebenarnya simpan sepi di dada masing-masing. Waiter bergerak tetap seumpama eskalator. Komputer tak henti-hentinya mencetak bukti pembayaran. Tempat itu surga bagi sebagian manusia yang dipenuhi dengan kehidupan fana. Tempat pemfilter kenangan buruk dan pengabadian kesedihan di balik kelakar-kelakar palsu. Sebuah ruang penghamburan rupiah, tak pernah mengingat buruh-buruh gendong di pasar-pasar kumuh susah payah membangunkan lutut. Fira tak menyangka hidupnya terjebak dalam garis hitam pekat. Ia tidak menangis, tidak juga tersenyum, hanya ingin
Tentangnya yang membungkuk di emper trotoar. Menelan getir, punggung ditindih beban berkilo-kilo gram. Hendak mengumpat bahwa hal itu kejam, namun senyumnya menggigit takdir. Demi hidup, ia tak menginginkan tiga ruh melayang bebas karena kelalaiannya. Mengatasnamakan cinta suci yang sudah dianggap basi oleh jutaan rakyat. Abai. Ia acuh, merangkak perlahan sementara mata puluhan menyongsongnya sangsi. Beberapa menelan cemooh kemiskinan. Acuh! Ia menyeimbangkan beban di punggung, melangkah maju. Menerabas keramaian. Menghentikan kendaraan. Tergesa-gesa, harus segera bermuara. Beban tak direlakannya menumpang terlalu lama.Jika Tuhan memberikannya pilihan, maka tak mungkin ia mengizinkan ratusan beban memperbudaknya, sementara cintanya kesepian. Terkelepar di rumah berteman kesunyian. Tatkala mengenang beberapa waktu mundur seorang gadis menatap wajah datarnya di pusar kegelapan, ia tak lagi mempunyai alasan untuk duduk berleha-leha mengusap peluh di kening. Gadis bermata
Gadis dengan rambut terurai sebahu itu memperlihatkan karya baru. Ia keluar dari kampus seni. Hari itu senja menampilkan keanggunannya. Senyum langit merekah cerah meskipun deru kendaraan di jalan raya tak pernah menampilkan kesunyian. Kabut terbang ke tempat asing yang tak tampak. Alam riang menyenangkan sepadan bibir Caca yang menyudut. Ia raba lukisan seorang gadis sedang menangis, digambarkan meratap-ratap, dalam imajinasi kuasnya, gadis itu memeluk lutut, rambut panjangnya awut-awutan amat berantakan, gaun abu-abu dikenakan sang tokoh, lukisan sedikit diperciki noda berwarna cokelat, bigronnya dinding putih kusam pelengkap kesenduan.“Itu pasti kakakmu lagi,” kata Akhtar sembari menarik kursi.Mereka berdua sedang menikmati sore di depan toko Indomaret. Parkiran lengang. Beberapa lampu jalan mulai dihidupkan. Angkringan di seberang jalan mengepulkan asap. Pengamen memetik gitar. Pelancong berjalan hilir mudik bergandengan tang