Share

8. Cemburu

Istirahat makan siang kali ini begitu ramai. Beberapa dokter tengah berbincang-bincang mengenai pesta pernikahan Dokter Kepala UGD. Mereka yakin, banyak tamu penting yang hadir di sana. Dari kalangan dokter sampai pemilik rumah sakit terkenal di kota ini. Banyak yang berencana akan memanfaatkan acara ini untuk memperluas jaringan atau kolega. Bahkan dokter muda banyak yang ingin mencari jodoh di pesta itu.

Restya mengambil earphone miliknya karena dia merasa terganggu akan pembicaraan itu. Perempuan ini tak tertarik sama sekali.

“Dokter Restya,” sapa Devan seraya menaruh piringnya di meja makan Restya. Perempuan itu mendongak seraya tersenyum. Meski dalam hati, ia merasa malu dengan kejadian beberapa hari lalu, di mana dia mengaku menjadi kekasih lelaki itu. Untungnya Devan tak membahas masalah itu lagi sepanjang perjalanan pulang kemarin. Jadi, dia merasa tak begitu terbebani.

Restya langsung melepas earphone bewarna biru itu.

“Iya, Dok,” jawab Restya lembut.

“Saya makan di sini, ya,” katanya meminta izin seraya memandang lekat Restya.

Restya hanya mengangguk. “Dokter, tidak makan dengan Dokter Zio?” tanya Restya basa-basi. Hanya sekadar sopan-santun.

Devan tersenyum. “Harusnya saya yang bertanya seperti itu,” ujar Devan seraya mencampur baksonya.

“Untuk apa saya makan siang dengan Dokter Zio? Itu hanya akan menurunkan mood saya,” balas Restya santai sambil menggeser es jeruknya.

“Kalau makan siang dengan saya merusak mood tidak, Dokter?” Devan menyandarkan punggungnya ke punggung kursi.

Restya menggeleng. “Tentu saja tidak. Dokter begitu baik. Mana mungkin mengganggu.”

Manik mata Restya tak sengaja mendapati Zio yang tengah berdiri memasuki kantin. Ia melihat dengan jelas lelaki itu tengah memandang ke arahnya. Namun, perempuan itu tak acuh dengan Zio.

“Dokter Zio,” panggil Emma dengan suara begitu manis. Lelaki yang dipanggil itu langsung mengalihkan pandangannya ke arah Emma, lalu tersenyum singkat.

“Kenapa?” tanya Zio dengan nada datar, ia berusaha menyembunyikan perasaannya sekarang dengan berbicara sebaik mungkin.

“Tadi kata Dokter Kepala, Anda disuruh menemui beliau, nanti sebelum jam pulang,” terang Emma dengan diakhiri senyum menawan.

Zio hanya mengangguk, lalu kembali menatap ke arah Restya. Ia tampak iri melihat perempuan itu berbincang dengan asyiknya bersama Devan. Tak pernah seperti itu kalau dengannya. Entah kenapa hatinya terasa nyeri, bagi gergaji tengah memotong hatinya.

Emma mengikuti arah pandang Zio. Ia mengerti begitu mendapati lelaki itu tengah memandang Restya dengan raut wajah murung. Dia ingin memanfaatkan kejadian itu.

“Dokter Devan,” panggil Emma dengan nada menaik, raut wajahnya begitu sumringah. Devan kontan langsung menengok, ia memandang Emma dengan kening berkerut. Setelah itu, tersenyum kepadanya seraya melambaikan tangan.

“Dokter Zio, kita makan di tempat Dokter Devan, yuk,” ajak Emma dengan nada halus.

Zio menoleh ke arah Emma dengan tatapan yang sulit diartikan.

“Kenapa Dokter menatap saya seperti itu? Dokter marah.”

“Tidak, apa kita tidak menganggu, kalau makan dengan mereka?” kilah Zio mencoba menyembunyikan rasa sakit hatinya. Emma tersenyum santai.

“Mana mungkin mereka terganggu, pasti Dokter Devan tak keberatan,” bujuk Emma dengan nada santai.

Zio hanya mengangguk seraya melangkah di belakang Emma. Meski dalam hati ia resah.

“Dokter Devan, kami duduk di sini, ya,” mohon Emma dengan nada ceria.

Devan melirik ke arah Restya sebelum mengiyakan. Perempuan itu mengedipkan matanya, tanda mengizinkan.

“Silakan,” balas Devan singkat.

Zio langsung duduk, tepat di hadapan Restya. Perempuan itu tampak biasa saja.

“Dokter Restya, jepitan Anda bagus sekali,” puji Emma basa-basi.

“Oh, ini. Dokter Zio yang membelikannya,” jawab Restya santai.

Emma langsung menekuk wajahnya mendengar ucapan Restya.

“Zi, akhir-akhir ini sepertinya kau sibuk sekali,” cibir Devan dengan nada santai. Ia mengamati ekspresi temannya itu yang tampak muram. Dia curiga kalau Zio tengah cemburu dengan kedekatannya bersama Restya.

“Wajar kalau sibuk. Aku kan dokter spesialis bedah bukan tukang tebar pesona,” sindir Zio dengan nada dingin.

Restya menaikkan sebelah alisnya. Ia paham dengan ucapan Zio barusan, tapi perempuan ini tak peduli akan pemikiran Zio. Biarkan saja lelaki itu berpikir apa pun. Restya ingin tenang tanpa gangguan dari siapa pun untuk beberapa hari ini. Pikirannya masih kacau karena dia direcoki oleh mantan kekasihnya dan tak mau menambah masalah dengan Zio yang suka mengganggu.

“Siapa yang kau maksud  suka tebar pesona, Zi?” tanya Devan pura-pura tak mengerti. Ia yakin kalau temannya memang cemburu.

“Pastinya bukan Dokter Devan. Semua tahu, tanpa Dokter Devan tebar pesona, banyak perempuan sudah terpesona. Tidak seperti Dokter yang sering terkena skandal dengan model itu. Wajah pas-pasan tapi gaya selangit,” balas Restya santai.

Zio terdiam. Tak berminat menanggapi ucapan Restya. Ia tak ingin berdebat dengan perempuan itu.

“Memangnya Dokter Restya juga terpesona dengan Dokter Devan?” Emma menatap Restya dengan tatapan yang sulit diartikan.

“Kenapa Dokter bertanya dengan saya? Dokter sendiri juga terpesona dengan Dokter Devan, kan? Saya mengagumi Dokter Devan sebagai senior saya. Bukan cara kerjanya saja, tapi perilakunya juga. Baik, cerdas, dan tak aneh-aneh. Namanya bersih pula dari skandal,” tutur Restya dengan nada serius.

Zio menunduk. Dia merenungi semua yang dikatakan Restya. Kalau ia dibandingkan dengan lelaki itu, pasti sangat jauh. Dia tak sebaik Devan. Pantas kalau Restya menyukai Devan.

“Iya, berarti secara tak langsung Dokter Restya mengatakan, kalau Dokter menyukai Dokter Devan?”

“Saya menyukai Dokter Devan sebagai teman, tidak lebih.”

“Dokter Emma bisa saja. Dokter Restya jelas menyukai Zio. Calon suaminya,” balas Devan dengan nada datar.

***

Tiga puluh menit tanpa suara dan aku ...

Lagu milik Jamrud itu mengalun dengan indahnya di tengah keheningan dua dokter yang saling membisu, cocok sekali menggambar perasaan mereka. Mereka tak ada yang memulai pembicaraan. Restya sibuk dengan ponselnya, sementara Zio hanya menunduk, tak tahu ingin bicara apa.

Restya sesekali melirik Zio, ia hanya tersenyum.

“Kak Zio, mau bicara apa?” tanya Restya pada akhirnya, seraya meletakkan ponselnya di meja makan.

Zio mendongak, manik matanya tampak gusar.

“Saya minta maaf,” katanya dengan nada lembut. Tangannya tampak bergetar. Restya mengernyit. Dia melihat ada keputusasaan di manik mata lelaki itu, seperti bukan Zio.

“Untuk apa?” Restya  memajukan tubuhnya, ia tatap manik mata Zio lembut.

“Saya tidak bisa menjadi seperti apa yang Dokter inginkan,” lirih Zio dengan suara yang tampak berat.

Tangan Zio bergetar, tetapi perlahan-lahan tangan itu bergerak untuk menggenggam tangan Restya. Perempuan itu dapat merasakan dinginnya tangan lelaki di hadapannya, padahal cuaca hari ini begitu cerah.

“Saya akan mengabulkan apa yang Dokter Restya mau. Saya akan pergi menjauh dari Dokter selamanya, tak akan melihatkan diri saya lagi di hadapan Dokter,” sambung Zio dengan nada sedikit membaik, meski hatinya kacau.

Mimik wajah Restya yang terlihat santai, kini menjadi kaku. Manik matanya menyipit dan dahinya berkerut. Perempuan ini mencoba berpikir dengan jernih mencerna setiap ucapan Zio. Ia tak mengerti kenapa pria itu tiba-tiba berkata seperti itu dan beberapa hari sebelumnya sulit dihubungi, seolah-olah menjauh darinya.

Zio menatap lurus manik mata Restya mencoba memahami tanggapan Restya akan ucapannya barusan. Dapat ia lihat Restya hanya kebingungan, tak ada gurat sedih. Membuatnya semakin yakin, kalau dia memang tak diinginkan. Bodoh, pikirnya. Tak seharusnya dia berharap kalau Restya akan sedih karena perkataannya karena tak ada namanya di hati wanita itu.

Tangan kanan Restya mencoba melepaskan genggaman Zio, lalu tangannya ia letakkan di punggung tangan Zio.

“Kenapa Kak Zio tiba-tiba berubah pikiran?” tanya Restya tanpa basa-basi. Ia sangat penasaran dengan apa yang terjadi sebenarnya.

“Saya sadar, saya tidak pantas untuk Dokter. Mengejar cinta Dokter sama seperti ‘pungguk yang merindukan bulan’. Saya tidak mau lagi, jatuh ke lubang yang sama. Mengejar seseorang yang mencintai dan dimiliki orang lain. Saya tidak sanggup kalau harus bersaing dengan Devan,” terang Zio dengan nada setabah mungkin. Meski hatinya sangat kacau. Ia harus terlihat tegar agar Restya tak mengasihinya.

Restya bertambah bingung. “Maksudnya?”

“Saya sudah tahu yang sebenarnya. Dokter Restya dan Devan memiliki hubungan khusus. Kalian saling mencintai, saya sudah mendengar semuanya hari itu,” ungkap Zio seraya menunduk kembali.

Ingatan Restya langsung tertuju pada kejadian di mana sang mantan kekasih menampakkan diri lagi. Sontak Restya tersenyum tipis. Dalam hati, ia sudah merutuki Zio. Ternyata lelaki itu salah paham.

“Oh, begitu. Jadi, semenjak hari itu Kak Zio menjauhiku karena hal ini?”

Zio mengangguk. “Tenang, saya enggak marah, kok. Walau saya merasa dipermainkan. Dari awal kamu sudah memberikan penolakan, cuma saya saja yang tidak tahu diri. Boleh saya minta satu hal?” pinta Zio dengan nada ragu.

Restya terdiam. Ia tak habis pikir, Zio bisa salah paham sejauh itu. Namun, dia tak ambil pusing. Menjelaskan yang sebenarnya ke Zio juga bukan hal yang penting untuknya. Kalau ia menerangkan semua hal yang terjadi pun juga tak baik untuknya nanti. Pasti, Zio akan menginterogasi kehidupan masa lalunya lagi. Ia tak suka membagi cerita dengan lelaki itu, baginya Zio masih saja pria asing yang bisa saja menikamnya dengan memanfaatkan kelemahannya.

“Syukurlah, kalau Kak Zio sadar diri. Saya juga enggak bermaksud menyakiti hati Kak Zio, tapi sulit kalau suruh menjelaskan hal yang sebenarnya terjadi,” kata Restya dengan memasang raut wajah datar, lalu menghela napas sejenak. Hati Zio benar-benar terluka, dia semakin menunduk tak berani menatap Restya. Ia berusaha menyembunyikan raut wajah sendunya.

“Memangnya Kak Zio mau minta apa lagi? Kalau masih wajar saya turuti,” lanjut Restya dengan nada serius.

Suara Zio seperti habis, bibirnya sudah bergerak tetapi tak ada suara di sana. Detak jantungnya semakin tak keruan. Ini pertama kalinya, merasakan sakit yang begitu menyakitkan. Lebih dari rasa sakitnya saat Elina mengatakan akan menikah dengan Glory sampai membuat tubuhnya terasa kaku semua. Dalam hati, ia terus menyerukan nama Tuhan agar membantunya untuk berkata-kata.

Keheningan itu membuat Restya bimbang, ia takut akan terjadi suatu hal yang tak mengenakan di balik sikap diamnya Zio. Dia bingung harus melakukan apa. Tak ada maksud melukai hati seniornya itu, tetapi bagaimana lagi, ia harus segera mengakhiri semuanya agar tidak semakin menyakitkan. Kesalahapahaman ini adalah hal yang tepat untuk memutuskan hubungan semu itu. Baginya, percuma saja Zio mengejar dan berusaha mendapatkan hatinya. Karena nyatanya sampai hari ini jantungnya tak bergetar untuk Zio.

“Kak Zio,” panggil Restya seraya menepuk bahu Zio mencoba menyadarkan lelaki itu. Dengan berat hati, Zio mengangkat wajah, mencoba tersenyum. Namun, begitu terlihat kaku dan canggung.

“Mau minta apa?” ulang Restya dengan nada serius.

Perlahan-lahan Zio membuka mulutnya dengan suara melemah.

“Seperti yang orang tahu, kalau Dokter itu calon istri saya. Tolong, berpura-puralah kita adalah sepasang kekasih yang saling mencintai. Kurang lebih dua bulan terakhir, sebelum saya meninggalkan negara ini,” ujar Zio dengan nada yang nyaris tak terdengar karena begitu lirih, suaranya bagai ditelan kabut asap.

“Kenapa harus ke luar negeri? Kak Zio bisa tetap kerja di sini. Kita bisa berteman baik. Kak Zio juga aneh memintaku berpura-pura menjadi kekasih Kakak, bukankah itu lebih menyakitkan,” papar Restya dengan raut wajah datar mencoba menyembunyikan rasa bersalahnya. Ia dapat melihat dengan jelas raut wajah Zio yang memucat, keringat dingin juga mulai mengucur di pelipis lelaki itu dan telapak tangannya pula mulai basah karena keringat dingin.

“Saya hanya mau meninggalkan kenangan yang manis bersama Dokter Restya karena selama ini hubungan kita tidak pernah baik, makanya saya meminta hal itu. Kalau keberatan, lupa kan saja. Saya ke luar negeri hanya ingin mencoba lembaran hidup yang baru, siapa tahu di sana kehidupan saya lebih baik,” tutur Zio lembut, diakhiri senyuman tipis yang hanya sekilas.

“Baiklah, akan aku kabulkan permintaan Kak Zio,” jawab Restya seraya menjauhkan tangannya dari Zio.

“Terima kasih,” jawab Zio dengan nada lirih.

‘Jika memang kamu bukan tulang rusukku, aku akan melepasmu. Setidaknya, aku pernah memiliki hari bahagia bersamamu,’ batin Zio.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status