Beberapa orang masih bertahan di rumah Nilam sembari menunggu azan Subuh. Sebagian lagi memutuskan pulang dan menunggu saja kabar baiknya besok pagi dengan harapan cahaya matahari membawa sinar kebahagiaan pada warga Desa Wangunsari. Terutama kabar tentang kepulangan Nilam.
Bah Karsun akan berusaha memanggil Nilam dengan zikir ketika detik-detik menjelang azan di mesjid nanti. Kalau sampai fajar datang gadis itu tak kembali, maka jalan selanjutnya adalah menyisir wilayah desa. Apalagi Sungai Niskala terkenal sebagai gerbang menuju alam lain.Karena waktu masih tersisa beberapa jam, warga mendesak Pak Wahyu untuk mengatakan apa yang terjadi sebenarnya. Pantrangan apa yang sudah dilanggar? Atau mungkin proses mana yang terlewat ketika hari pernikahan. Aturan desa cukup ketat untuk calon pengantin, bahkan sang pengantin wajib menyucikan diri di sungai dekat makam keramat. Konon, untuk membuang sial.Sementara itu, Pak Wahyu terkenal sebagai orang yang tak acuh pada aturan desa. Maka, bisa saja semua terjadi karena sikap tidak pedulinya.Sebenarnya sulit bagi Pak Wahyu menceritakan kisah yang terjadi kemarin—yang menurutnya aneh—di tengah suasana kalang kabut seperti ini. Namun, sikap Basir yang terkesan menyudutkannya, membuat Pak Wahyu terpaksa menjabarkan apa yang sudah terjadi.Satu minggu yang lalu sebelum pernikahan dilaksanakan, Nilam sudah terlihat sibuk memilih kebaya mana yang akan dipakai. Ada beberapa kebaya milik Bu Rodiah yang dirasa sangat cantik jika dipakai oleh Nilam karena memang kulitnya cenderung kuning langsat.Fokus Nilam berada pada dua pilihan antara putih dan cream. Setelah dicoba-coba, putih terlihat elegan ketika dipakai. Ia pun tidak berniat melepas kebaya itu dan tetap memakainya sembari membereskan beberapa kain batik yang juga dikeluarkan dari lemari sang ibu.Pak Wahyu yang berada di depan pintu mengetuknya sembari mengucap salam. Nilam menjawab salam dengan tangan sibuk melipat kain-kain sambil menumpuknya kembali dengan sangat rapi."Cantik sekali putri bapak teh. Mirip ibu waktu masih muda," ucap Pak Wahyu berjalan mendekati putrinya."Bapak mah bisa aja. Kalo bapaknya bukan Pak Wahyu, gak akan secantik ini." Nilam tertawa begitu renyah, begitu juga Pak Wahyu, pria itu menyeka rambut berubannya setelah mendapat pujian dari sang putri bungsu."Oyah, Pak. Semalam Neng mimpi, lumayan aneh. Tandanya apa, ya."Merasa akan ada obrolan yang serius, Pak Wahyu lantas menarik kursi di depan meja rias. Ia duduk di depan Nilam, mencoba menjadi pendengar yang baik. Moment ini mungkin tidak akan bisa diulang kalau Nilam sudah sibuk dengan suaminya nanti. Pikir Pak Wahyu."Mimpi apa?"Sebelum bercerita, Nilam menarik napasnya dalam-dalam. Tangannya yang tadi sibuk melipat kain, kini terhenti sejenak. Hanya saja, ada selendang keemasan yang Nilam ambil. Gadis itu berkata, "Ada dua orang wanita berkebaya hijau datang menemui Neng, Pak. Mereka sangat cantik. Keduanya ngajarin Neng nari. Pake selendang kayak gini, sama persis.""Hemmm." Pak Wahyu mengangguk sambil menatap selendang tersebut. Setahu Pak Wahyu, itu juga milik Bu Rosidah ketika masih muda. "Lalu?" tanya pria itu."Di mimpi, Neng teh pinter nari. Padahal aslinya kaku," jawab Nilam, dibarengin dengan kekehan pelan. "Neng kayaknya ingat gerakannya. Bapak mau lihat?""Boleh. Mangga atuh." Tanpa ragu Pak Wahyu menjawab. Tangan sebelah kanan terulur ke depan ranjang, seolah mempersilakan putrinya menari di tempat yang lebih luas.Bibir merah muda itu merekah. Dengan penuh semangat Nilam berdiri, lalu menalikan selendang tadi ke pinggangnya dengan posisi tali di depan. Gerakan pertama diawal dengan kibasan pada helai kanan dan kiri. Selanjutnya, kakinya sedikit ditekuk di bagian lutut.Mata Nilam mulai bermain, mengikuti gerakan tangan yang lemah gemulai. Seolah ada irama lagu yang Nilam ikuti, ia melenggok dengan gerakan yang indah. Pak Wahyu tersenyum, bahkan bertepuk tangan seperti sedang menyaksikan anak TK melakukan pentas seni.Gerakan Nilam mulai berputar beberapa derajat, jemarinya kian lentik. Kaki melompat begitu lihai tanpa takut terjatuh sedikit pun. Tarian yang awalnya dirasa wajar, mulai menunjukan keanehan. Nilam seperti kehilangan kendali akan dirinya, bahkan Pak Wahyu merasa Nilam tidak menyadari ada bapaknya di sana."Sudah, Neng, cukup. Tariannya bagus," ucap Pak Wahyu.Bukannya berhenti, bibir Nilam mulai bersenandung lirih, menyanyikan lantunan kalimat yang membuat bulu kuduk merinding.Putri raja, putri wangi, Neng GeulisAur-aur kembang sajatiNapak kanu angkara murkaNaskala bumi sajati. Bray buka, bray katenjoPak Wahyu langsung beranjak dari tempat. Ia menarik tangan Nilam untuk menghentikan gerak tarinya, sebab ia merasa ada hal yang tidak beres dengan lantun tembang yang dinyanyikan Nilam."Istigfar, Neng. Nyebut!" Pria itu terpaksa mencengkram lengan Nilam, mengguncang tubuh kurus itu agar tatapan Nilam yang terkesan kosong bisa kembali. Tarian Nilam memang terhenti, tetapi tidak dengan bibir yang masih melantunkan kalimat-kalimat aneh.Kuring katenjo na babantarBuuk ngerewig panon ngagenclangMuka panto nepi ngablagYu hayu, asup kana dangkalna cai embun"Astahfirullah hal azim, astagfillah hal azim. Allahu Akbar!" Telapak tangan Pak Wahyu diusapkan pada wajah Nilam, membuat mata gadis itu melotot seketika hingga pupil matanya nyaris memutih semua. Ada jeritan tertahan beberapa detik. Nilam seperti orang yang kehilangan napas.Tubuh Nilam akan terjengkang ke belakang, Pa Wahyu buru-buru menangkap tubuh putrinya agar tidak terjatuh. Ia berteriak-teriak memanggil Bu Rosidah supaya datang menolong. Wanita yang berada di dapur itu seketika datang, ia tercengang melihat keadaan Nilam karena berusaha mencekik lehernya sendiri."Indit sia jurig, tong ngangganggu kaluarga simkuring! [Pergi kamu setan, jangan ganggu keluargaku]!" teriak Pak Wahyu sembari mengusap ubun-ubun Nilam sambil meneriakan takbir. Sontak tubuh gadis itu terkulai, untung saja bobot tubuhnya masih bisa ditahan."Kenapa si Neng, Pak?" tanya Bu Rosidah."Sudah jangan dibahas dulu, Bu, bantu Bapak ngangkat Nilam ke kasur," jawab Pak Wahyu sembari mengangkat tubuh putrinya, dibantu Bu Rosidah di bagian kaki. Keduanya tampak terengah-engah menahan syok."Ibu buatkan teh manis sama ambilkan minyak angin. Kasihan si Neng, pasti capek," pinta Pak Wahyu."Jawab dulu ada apa, Pak!" Suara Bu Rosidah bergetar. Tentu sebagai seorang ibu ada rasa khawatir melihat keadaan putrinya."Biasa, Bu, calon pengantin mah selalu banyak yang deketin. Istilahnya mah wangi. Insya Allah gak akan ada apa-apa." Masih mencoba berpikir positif, itu yang dilakukan Pak Wahyu. Selain untuk menenangkan istri, juga untuk meyakinkan diri sendiri.Namun, kenyataannya ... keanehan di rumahnya tidak berhenti di sana saja.Keluarga Pak Wahyu hanya berdiri di depan pintu kamar Nilam, di mana dari dalam terdengar suara-suara aneh dan mengerikan. Mereka tampak pasrah, sebab Nilam kembali mengamuk sampai tali di tangan dan kakinya terlepas. Pilihan terakhir adalah mengunci pintu, membiarkan gadis itu sendirian.Knop pintu terlihat diputar-putar dari dalam. Suara gedoran yang ekstrim membuat pintu itu sedikit mengalami kerusakan. Tidak ada yang bisa dilakukan selain mengaji dari luar kamar. Begitu yang dilakukan Bu Rosidah dan Nur. Sementara Pak Wahyu hanya duduk di sofa ruang keluarga, matanya fokus menatap dinding bercat putih.Hal yang sama juga dialami oleh Indah. Wanita itu mengurung diri di kamar karena Hafiz tidak memberinya kabar. Hari-harinya disibukkan mengecek ponsel, berharap ada notifikasi dari suaminya. Indah kerap kali menelepon, hanya saja laporan selalu sama, bahwa nomor Hafiz di luar jangkauan.Seburuk-buruknya seorang suami, Indah tetaplah mencemaskan keberadaan Hafiz saat ini. Setidaknya,
Obrolan Jajang dan Ki Gendeng seketika terhenti kala mereka mendengan suara langkah kaki dari luar ruangan. Keduanya terdiam cukup lama, memastikan tidak salah dengar. Jari telunjuk Ki Gendeng terangkat, seakan memberi tanda untuk tetap diam. "Kayaknya teh ada yang ngikutin kamu, Jang," bisi Ki Gendeng. Kepalanya dimiringkan pada arah pintu masuk. Jajang terdiam sejenak, mencoba menerka siapa yang berani mengikutinya. Feelingnya tertuju pada Basir karena tadi ia sempat berpapasan dengan pria itu. Tidak menutup kemungkinan juga, sebab Basir orang yang nekatan, juga terlalu ikut campur dengan urusan orang lain. "Sepertinya, saya tahu siapa orangnya, Ki. Jadi, saya harus melakukan apa?" Yang ditanya malah terkekeh, lalu ia menjawab, "Biarkan saja. Sudah Aki bilang, yang masuk akan sulit keluar. Tadi Aki membuat jalan tipuan. Dia akan tersesat. Sekarang kita keluar dengan tenang." Setelah Jajang mengangguk, keduanya keluar dari ruangan sempit itu—menelusuri lorong demi lorong yang ha
"Punten, Ki, saya baru datang," ucap Jajang sedikit membungkuk, menunjukkan rasa hormat pada pria tua yang tubuhnya sudah sangat bongkok itu.Namanya Ki Gendeng. Ia berasal dari desa sebelah—Desa Patapaan. Sesuai namanya, Gendeng, orang-orang menganggapnya tidak waras karena terlalu banyak belajar ilmu hitam. Kerap kali Ki Gendeng bicara seorang diri. Namun, Tak jarang pula ia kedatangan pasien yang meminta petunjuk agar bisa melakukan pesugihan ataupun menyantet orang lain.Ki Gendeng mengangguk. Ia mengajak Jajang untuk masuk, sebab ada ritual yang sedari kemarin Jajang minta, tetapi belum bisa dilaksanakan karena syarat belum memenuhi. Keduanya berjalan menuju lorong gue, di mana di bagian paling dalam terdapat sebuah ruangan yang dulu sering dipakai oleh para sesepuh desa.Ruangan tersebut berukuran kecil, di atasnya terdapat bebatuan yang menonjol ke bawah. Menurut Ki Gendeng, orang yang sembarang masuk, akan susah kembali lagi karena gua dijaga oleh para pengikutnya. Dalam arti
Sepulang dari pencarian, Basir memilih untuk tidak pulang ke rumah, melainkan berbelok arah menuju rumah Darsan. Sebelum Bagas datang, ia harus jadi orang pertama yang mengetahui apa yang terjadi pada Darsan. Jika ia simak obrolan Bagas tadi, pria itu menjadi salah satu orang yang dicurigai.Sepanjang jalan, pria itu menoleh kanan kiri, memastikan tidak ada orang yang peduli akan langkah kakinya. Beberapa memang berpapasan, bertanya Basir mau pergi ke mana. Pria itu hanya menjawab, mau ke perkebunan.Awan di langit sudah tak seputih kapas, berumah menjadi jingga kemerahan. Basir semakin mempercepat langkahnya karena waktu Ashar akan segera berkahir. Beberapa meter dari tempatnya kini, sudah terlihat rumah Darsan yang dindingnya masih berupa bilik bambu. Dari luar, tampak begitu sepi.Setelah sampai, Basir mengetuk pintu perlahan seraya mengucapkan salam, "Assalamualaikum."Hening, belum ada jawaban. Yang terdengar hanya geresak-gerusuk langkah kaki dari dalam. Kembali Basir mengucap s
Bu Rahayu yang sudah mendekati Teh Rita dibuat terkejut ketika pintu tiba-tiba menutup dengan begitu kencang. Wanita yang memakai abaya hitam itu masih berdiri di belakang, memberi jarak kalau-kalau terjadi sesuatu. Tak berapa lama, Teh Rita menoleh dengan raut wajah datar, bawah matanya menghitam. Tanpa rasa gentar, Bu Rahayu bertanya, "Ada apa kau ke sini, Kusuma?" Gerakan spontan Teh Rita saat berdiri sedikit membuat Bu Rahayu tersentak. Kusuma seakan sengaja menggunakan tubuh Teh Rita untuk membuat Bu Rahayu lemah. Sampai-sampai, wanita yang masih memakai mukena itu dibawa merayap di dinding. "Hentikan, Kusuma!" bentak Bu Rahayu, ia takut jika Nyai Kusuma sengaja menjatuhkan Teh Rita dari atas langit kamar. "Urusan kita belum selesai, Rahayu!" Suara serak dan berat itu menggema, seperti sebuah ruangan kosong yang menghasilkan pantulan. "Matinya manusia sama dengan menyelesaikan urusan dunia. Jadi, sudah tidak ada lagi yang perlu diselesaikan. Pulanglah dengan tenang Kusuma."
"Duduk dulu, Kang, tenang. Kita bicarakan baik-baik," ucap Pak Wahyu pada Basir, di mana pria itu terus saja menanyai masalah hilangnya Karim. Suara lembut dari Pak Wahyu sedikit memberi pendinginan pada Basir. Ia pun mengajak dua pria lain yang ikut untuk duduk di sofa. Basir juga meminta Bagas untuk menghubungi Pak Lurah agar ada penindakan pada kasus yang sudah dua kali terjadi ini. Karena Bagas masih dalam keadaan lelah, ia pun sampai kebingungan mencari ponselnya. Akhirnya, Ridwan menghubungi bapaknya agar segera datang ke kediaman Pak Wahyu. Untung saja di jam seperti ini, Pak Lurah sudah bangun untuk menunaikan salat sunah. Dalam posisi duduk, Pak Wahyu meminta semua untuk beristigfar dahulu agar menemukan titik terangnya, sebab ia masih merasa bingung kenapa Basir bisa ngotot menyalahkan hilangnya Karim adalah ulah dari keluarga Pak Wahyu.Basir pun menceritakan semuanya. Dari awal mulai mereka janji bertemu, satu panggilan masuk, hingga cerita Siti yang menyebutkan bahwa s
Cahaya api dari obor tampak meliuk-liuk kala tertiup angin. Penerangan dari batang bambu itu ditancapkan di beberapa sudut. Di sebuah ruangan gua, beberapa meter dari pintu masuk, Nilam dibaringkan pada tikar cokelat yang sudah digelar. Gadis itu hanya memakai samping (kain batik) yang melilit tubuhnya, memperlihatkan kulit yang tidak terlalu putih, tetapi bersih. Ruangan yang dipenuhi memiliki batuan lancip tak beraturan itu dinamakan Tatapan Siraja, di mana para sesepuh zaman dahulu menyucikan hati, diri, di ruangan tersebut. Sedari tadi siang, asisten Bah Padri yang lain sudah mempersiapkan segalanya untuk ritual malam ini. Sebuah gentong berisi mata air tujuh sumur diletakan di samping tubuh Nilam, lengkap beserta sesajen seperti; bunga-bungaan, dupa dalam kendi, ayam cemani, dan beberapa keris. Bah Padri sudah susuk bersila, membacakan mantra seraya menebar kemenyan pada arang yang menyala. Bah Padri memberi jampi pada tempatnya berada, memberi benteng agar tidak ada makhluk l
Semua pertanyaan Ridwan mengingatkan Bagas pada kejadian di mana Hafiz pernah berbuat macam-macam pada Nilam secara mistis. Entah apa tujuannya, yang jelas pria itu selalu berkilah jika ditanya. Berawal dari suatu sore. Semua anak-anak Pak Wahyu berkumpul di rumah untuk makan bersama. Para wanita sibuk bercanda gurau di dapur, memasak serta menyiapkan hidangan penutup—termasuk minuman segar, permintaan dari Pak Wahyu. Keluarga masuk tenang, tentram. Nilam sibuk mengoceh tentang Aris yang melamarnya secara romantis. Memberi cincin, bunga, dan permintaan secara langsung kepada orang tua. Janji akan menikahi dengan pesta di sebuah hotel mewah. Sementara para pria, hanya mengobrol di ruang tamu, menyimak Pak Wahyu yang sibuk menceritakan pertandingan bola tadi malam. Hafiz lebih banyak merespons, sedangkan Bagas hanya sesekali menimpali karena dia tidak terlalu suka dengan acara olahraga. "Kang Hafiz, sini. Pasangin gas!" teriak Indah dari dapur. "Iya! Sebentar, Pak." Pria itu beranj
Selepas tahlilan di rumah Bu Ajeng, para bapak-bapak mulai membubarkan diri. Kematian tak wajar almarhumah Bu Eni membuat suasana desa kian mencekam. Maka, meski jam masih terbilang sore, semua orang memilih pulang lalu menyepi di rumah masing-masing. Karim yang baru masuk rumah langsung mengganti pakaiannya. Pria itu sudah punya janji dengan Basir dan Pak Lurah untuk pergi ke rumah Pak Wahyu—melihat keadaan Nilam. Sebelum pergi, ia sempatkan memandangi kaca lemari, memperhatikan kain kasa yang menutupi bagian belakang kepala. "Mau ke mana udah rapi, Kang?" tanya Siti, istri Karim yang baru saja melahirkan anak kedua, sekitar empat bulan yang lalu. "Ke rumah Pak Wahyu. Ada urusan sama Pak Lurah," jawabnya sambil mengusap kasanya, membetulkan penutup luka yang kurang rapat. Untung saja kepalanya pelontos, jadi tidak terlalu ribet dengan rambut. "Kan kepala Akang teh masih sakit. Inget gak kata Bu Anggita tadi pas di klinik? Jangan dulu kena angin sama air!" cerca Siti. Kini ia sibu