Share

Rombongan Pengantin dari Alam Gaib
Rombongan Pengantin dari Alam Gaib
Penulis: Dini Lisdianti

Rombongan Aneh

Rombongan Pengantin dari Alam Gaib

"Kenapa seserahannya harus malem, Neng?" tanya perias pengantin pada Nilam, gadis yang akan menikah hari ini. Gadis berumur 20 tahun itu sudah sangat cantik, menggunakan singer Sunda serta kebaya putih. Ronceng melati di sebelah kanan tergerai ke depan menutupi brokat sederhana, di mana baju itu warisan dari ibunya.

"Gak tahu, Teh. Permintaan dari keluarga A Aris. Lagipula, cuma ijab qabul, pestanya mah belakangan kalau urusan Aa di kota sudah selesai," jawab Nilam sambil terus mengulum senyum. Tidak masalah untuk Nilam menikah tanpa pesta, toh lebih cepat tentu lebih baik.

"Denger-denger teh, harusnya minggu depan, kan, ya, Neng Nilam nikahnya?"

"Iya, Teh. Cuma A Aris minta tanggal dimajukan. Beliau ada kerjaan di luar kota, jadi kalau udah nikah, Nilam bisa diajak juga. Ada yang ngurus Aa di sana." Wajah Nilam mulai memerah, ia tersipu malu membayangkan betapa indahnya mahligai rumah tangga yang akan dijalani bersama pria yang ia cintai.

Teh Rita, wanita yang ditunjuk untuk jadi juru rias malam ini sibuk memasang jepit pada sanggul, tetapi sudah tiga kali jepit hitam yang lumayan tebal itu selalu saja patah. Dari beberapa pengalaman, kelancaran proses pernikahan tergantung pada proses riasnya. Meski hanya mitos, kadang selalu benar adanya.

"Bukannya pamali, ya, ngeganti waktu yang sudah ditentukan, Neng? Apalagi tanggal baiknya udah dihitung." Teh Rita mengajak Nilam untuk mengobrol kembali, meski tangannya masih aktif memperbaiki tatanan rambut.

"Ah, orang tua Nilam mah gak terpatok sama begituan, Teh. Semua waktu juga dianggap baik. Ibu udah pengen Nilam nikah, katanya keburu beliau tua." Sang pengantin terkekeh. Padahal, sudah ada dua kakaknya yang menikah, tetapi Bu Rosidah ingin segera melihat Nilam bersanding di pelaminan.

Berjam-jam mereka mengobrol sembari melakukan kegiatan merias. Beberapa kali juga Teh Rita selalu mendapatkan keanehan. Bibir yang sudah merah merona, bisa kembali pucat. Ia harus memolesnya kembali dengan alasan agar terlihat lebih mencolok. Wanita itu tidak menerangkan apa yang ia alami, takut malah merusak mood pengantin yang sedang bagus.

Bukan hanya itu, kebaya yang akan dipakai nilam tercium bau bunga-bungaan. Padahal, Nilam mengaku belum menyemprotkan parfume. Kebaya disimpan puluhan tahun, biasanya akan bau lemari atau kamper, mustahil sampai wangi seperti ini. Hal itu tidak Nilam pusingkan, ia berpikir detergen yang dipakai mencuci mungkin punya bau yang menyengat.

Nilam melirik jam di dinding, di mana waktu sudah menunjukan pukul 22.00, sedangkan rombongan pihak pria belum juga datang. Tatanan rias yang dilakukan setelah Magrib, baru selesai di jam itu. Nilam sedikit tenang, setidaknya jika calon suaminya datang, ia sudah dalam keadaan cantik.

"Alhamdulillah sudah selesai. Sudah geulis (cantik). Tinggal nunggu kedatangan calon suaminya, Neng. Teteh jadi ikut degdegan." Teh Rita mencoba mencairkan suasana karena wajah Nilam terlihat sangat tegang.

Si pengantin wanita tersenyum. Sebenarnya ia ingin melihat secantik apa riasannya, hanya saja adat di kampung melarang wanita berkaca sebelum sah jadi istri. Mitosnya, cahaya sebagai pengantin hilang. Tidak manglingi.

Sementara itu di luar, Darsan dan Hasim yang bertugas menunggu rombongan pengantin di pinggir jalan terlihat kebingungan saat dari kegelapan terlihat rombongan membawa seserahan tengah berjalan kaki mendekati mereka. Keduanya saling melirik, Hasim sampai bertanya, "Kok, gak pake mobil, ya?"

"Iya, ya. Mungkin di parkir di jalan utama," jawab Darsan asal, meski tetap saja membingungkan karena dari jalan utama ke desa lumayan jauh, harus melewati perkebunan sayuran dan beberapa lahan kosong. Kawasan Desa Wangunsari memang bukan wilayah yang padat penduduk, malah masih dikelilingi area hutan bambu serta sungai di sebelah utara.

"Padahal mobil juga masuk ke sini." Hasim menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Ah sudahlah, penting cepet selesai. Udah malem. Kang, bilang ke pihak wanita kalo rombongan teh udah datang. Biar aku yang nyambut mereka."

Hasim hanya mengangguk. Cepat-cepat ia pergi untuk memberi kabar baik ini. Darsan langsung merapikan batiknya. Dari sorot sinar rembulan dan penerangan lampu bohlam yang sengaja dipasang di sekitar jalan, terlihat wajah-wajah datar mereka. Ada sekitar 10 orang, tetapi entah mengapa suasana begitu hening tanpa ada sepatah kata pun.

Darsan langsung mengajak mereka bersalaman. Bisa pria itu rasakan sentuhan sedingin es dari tangan-tangan para tamu. Ia pun bertanya pada pria yang terlihat lumayan tua untuk memecah kesunyian, "Mobilnya disimpan di mana, Pak?" 

"Di sana," jawab pria itu sambil menunjuk jalanan yang gelap. Darsan hanya meng-oh-kan, lantas mempersilakan rombongan untuk memasuki rumah Nilam yang masih memiliki halaman dengan tanah kosong lumayan luas, terdapat satu pohon mangga di sana.

***

"Neng, sudah selesai? Rombongan sudah datang," ucap Bu Rosidah di balik pintu. Matanya bebinar melihat anak bungsunya sudah sangat cantik, ditambah bau bunga-bungaan begitu semerbak, membuat wanita berkebaya cokelat itu memuji Teh Rita dan mengucapkan banyak terima kasih.

Sebelum membawa Nilam keluar, Bu Rosidah memeluk putrinya begitu erat. Tak terasa air matanya tiba-tiba menetes, seolah akan ada perpisahan di antara mereka. Apalagi Nilam bilang, besok pagi akan langsung ikut bersama suaminya karena 2 hari lagi, Aris resmi dinas di Jakarta—sementara Aris sendiri berasal dari Sukabumi.

"Jaga diri baik-baik, ya, Neng. Harus rajin kabari Ibu," ucap Bu Rosidah di sela isaknya.

Nilam langsung melepas pelukan itu. "Ibu kayak mau ngelepas Nilam ke mana aja. Akadnya aja belum, Bu. Nanti aja melepas kangennya. Dandanan Nilam luntur gara-gara nangis," ucap Nilam dengan suara bergetar.

Ibunya langsung menghapus air mata, ia pun mengangguk. Anak dan ibu itu lantas segera keluar dari kamar, berjalan saling berdampingan menuju ruang tengah di mana dua keluarga sudah berkumpul secara lesehan.

Suasana di rumah tidak seperti di luar, ada sedikit suasana hangat dan canda tawa dari penghulu dan keluarga wanita yang memang tidak terlalu banyak. Sedangkan rombongan pria hanya menimpali dengan senyum sesekali.

Akad pun dilaksanakan secara singkat, kata sah menggema dari kedua belah saksi. Semua tampak berjalan normal seperti biasa. Hanya saja, acara makan-makan harus ditunda setelah Aris berkata pada Nilam, "Kita harus pergi sekarang, Neng."

"Loh, kenapa sekarang, A? Bukannya besok? Terus keluarga Aa teh harus makan dulu. Pasti lapar dari Sukabumi ke sini," jawab Nilam dengan wajah bingung.

"Iya, A. Kenapa Aa bawa Neng sekarang? Ibu teh udah nyiapin makanan." Ada getar tertahan dari suara Bu Rosidah.

"Saya harus pergi, Bu. Gak bisa lama-lama di sini." Hanya itu jawaban Aris.

Sebagai seorang ibu, tentu ada penahanan. Namun, Pak Wahyu selaku bapak yang bijak berusaha menengahi. Beliau mengatakan kalau Nilam sudah sah menjadi istri, sudah sepatutnya mendengar perintah suami. Bagaimanapun pekerjaan Aris harus dimaklumi, apalagi hanya seorang karyawan di sebuah perusahaan, ada kendali seorang atasan yang wajib dilaksankan.

Terjadilah perpisahan singkat. Bahkan, Nilam tidak diizinkan berganti pakaian, tetap dengan baju pengantinnya karena keluarga Aris berkilah diburu oleh waktu. Aris berjanji, secepatnya akan membawa kabar baik. Pria itu menahan ibu dan bapak Nilam untuk tidak mengantar sampai mobil. Awalnya Bu Rosidah tergugu, memeluk putrinya erat. Namun, seperti ada sesuatu dari diri Aris yang membuat pihak wanita mengangguk patuh.

Kini Nilam berjalan berdampingan dengan suaminya, saling menggenggam tangan satu sama lain. Ada bahagia juga sedih yang menyelusup, tetapi Nilam yakin Aris pasti akan melakukan yang terbaik.

"Mobilnya di mana, Kang?" tanya Nilam setelah berjalan cukup jauh dari rumahnya. Aris hanya menunjuk ke area gelap di mana pohon bambu berjajar di sisi kanan dan kiri.

Nilam mencoba memperjelas pandangannya. "Delman?" tanyanya sedikit kaget karena melihat dua kereta kuda berhiaskan kain hijau dan emas. Aris pun mengangguk.

Setelah sampai, Nilam mulai naik dengan sebelah tangan berpegangan pada tangan Aris. Kedua delman pun melaju, memecah kegelapan serta kesunyian di antara lolongan anjing dan bau melati yang menyeruak.

Sementara itu, dering telepon dari ponsel Nilam yang tertinggal terus saja berbunyi. Teh Rita yang sedang beberes peralatan rias pun melihat panggilan tersebut. Ada sekitar 10 kali panggilan yang belum terjawab. Karena suasana di luar sedang sedih, terpaksa ia mengangkat panggilan itu. "Assalamualaikum."

"Waalaikumsallam. Nilam, ini Teteh Ayu, sodaranya Aris, Neng. Maaf, Teteh harus menyampaikan berita duka."

Perasaan Teh Rita mulai tidak enak. Dengan ragu-ragu ia jawab, "Ke-kenapa Teh?"

"Rombongan seserahan mengalami kecelakaan sekitar Magrib di tol." Suara itu dibarengi dengan isak tangis yang menyayat hati, sementara Teh Rita menutup mulutnya tak percaya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status