Share

Kepanikan Keluarga

Langit kian pekat, ditemani lolongan anjing serta cuitan para binatang malam. Desau angin menciptakan suasana hening di Desa Mekarwangi. Cahaya bulan purnama seakan mengundang pasang-pasang tak kasat mata untuk memperhatikan laju delman yang menyelusup dalam kabut malam di antara rindangnya pepohonan.

Nilam masih belum menyadari apa-apa. Tangannya diselipkan pada lengan Aris yang sedingin es. Meski terbalut jas hitam tebal dan terhalang kebaya tipis, ia bisa merasakan betapa dinginnya kulit seputih pualam itu. Nilam menyandarkan kepalanya di bahu Aris, merasa tubuhnya lemah dan sangat mengantuk.

Aris masih menatap jalanan yang hanya bisa dilalui oleh kereta kencananya. Suara seringai kuda terkadang memecah kesunyian. Roda kian berputar, membelah jalan di antara pohon bambu yang menjorok ke dalam—seakan berperan menjadi terowongan—menembus dunia yang sulit terjangkau manusia.

Pria itu menoleh ke arah Nilam, membelai pipinya yang halus. Dengkuran halus mulai terdengar, menandakan gadis bermata sipit itu sudah terlelap dalam kedamaian. "Memang seharusnya kamu tidur, jangan melihat jalanan yang akan kita lalui nanti," bisiknya, membuat Nilam sedikit bergerak untuk menyamankan posisinya.

Semakin lama, delman yang dihias sangat indah itu menghilang ditelan kabut tanpa meninggalkan jejak-jejak keberadaannya.

Sementara itu, Teh Rita yang sudah menutup telepon langsung terduduk lemas di bangku bekas ia menghias Nilam tadi. Wanita bertubuh gempal itu hanya menyampaikan bela sungkawa pada si penelepon lalu berjanji akan mengabari keluarga mempelai wanita secara pelan-pelan. Namun, ia tidak menceritakan apa yang terjadi barusan dikediaman Nilam.

"Kenapa, Teh?" tanya asisten Teh Rita yang bernama Ela. Tentu ia panik melihat wajah pucat atasannya. Apalagi pundak Teh Rita sampai naik turun. Melihat sesuatu tidak kondusif, buru-buru Ela menyodorkan segelas air yang langsung diteguk hingga tak bersisa.

"Begini kalau apa-apa gak sesajen dulu, La. Kacau jadinya," bisik Teh Rita masih dengan wajah panik dan pias.

Ela yang tidak sabar dengan cerita Teh Rita, buru-buru duduk di samping wanita itu. Ia mengguncang lengan sang atasan, berharap kalimatnya tidak menyiratkan bencana. Perasaan Ela sedari awal memang sudah tidak enak, apalagi saat melihat proses rias tadi yang memakan waktu cukup banyak karena kendala-kendala yang tidak terduga.

"Sesajen? Setahu Ela mah, keluarga Nilam ziarah dulu da Teh. Ela lihat beberapa hari yang lalu. Terus tadi juga ada sesajen di dapur," ucap Ela yakin. Desa Mekarwangi memang masih kental dengan adat dan budaya yang diterapkan leluhur zaman dulu, meski sebagian dari mereka sudah menentang jika perbuatan yang dilakukan termasuk syirik.

"Ya tapi, kan, ganti hari seenaknya, La. Barusan Teteh dapet kabar, katanya keluarga Aris kecelakaan tadi Magrib di tol." Teh Rita masih memelankan suaranya, sebab ia memikirkan kata-kata yang nanti akan disampaikan pada Bu Rodiah dan Pak Wahyu.

"Hah?"

"Sttt ...." Teh Rita menutup mulut asistennya yang masih berstatus gadis itu. Ia meminta agar Ela tidak bersuara kencang.

Ela sampai menelan ludahnya sendiri, bulu kuduknya meremang seketika. "Terus, yang bawa Nilam siapa atuh Teh?" tanyanya. Kini bukan hanya wajah Teh Rita yang pias, begitu juga wajah Ela. Tangannya meraba-raba tengkuk yang dingin.

Mau tak mau, siap tak siap, Teh Rita langsung berdiri dari tempat duduknya sambil menggenggam ponsel milik Nilam. Ia meminta Ela untuk menemaninya pergi ke ruang tengah, tetapi sebelumnya, mereka membiarkan pihak di luar keluarga menyelesaikan acara makan-makan.

Setelah suasana kondusif, sebagian tetangga pun sudah pulang, bahkan Bu Rosidah sudah terlihat berbaur dengan yang lain, buru-buru kedua wanita itu menghampiri keluarga yang masih duduk di atas karpet yang digelar. Tangan Teh Rita mendadak dingin, degup jantungnya sulit sekali dikontrol, perutnya pun mulas.

"Teh Rita, ada apa? Makan dulu atuh, kelihatannya kok pucet," ucap Bu Rosidah sembari menyodorkan piring.

"Enggak usah, Bu. Saya teh ke sini cuma mau ngabarin berita, mungkin bukan berita baik. Tapi gimana pun harus saya sampaikan," ucap Teh Rita. Dua tangannya memegangi ponsel Nilam kuat-kuat.

Seketika suasana menjadi hening. Tawa tadi berubah menjadi tatapan tajam. Semua orang yang berkumpul mendadak bisu. Darsan dan Hasim yang tengah makan di bangku plastik—di teras rumah—sejenak menghentikan dulu aktivitas mereka. Kedua pria itu saling pandang lalu memposisikan diri untuk mencuri dengar.

"Begini, Bu, Pak. Ini HP Nilam ketinggalan di kamar. Barusan pas saya baru masuk ada telepon, katanya ... katanya ... rombongan pria mengalami kecelakaan di tol."

"Astagfirullah hal adzim!" seru semua orang. Jerit tangis dari Bu Rosidah membuka keheningan. Suaranya melengking memanggil nama Nilam. Kakak-kakak Nilam berusaha menenangkan ibunya, memeluk dari belakang, meminta mengucap istigfar. Dalam hitungan detik, wanita bertubuh sedikit berisi itu akhirnya pingsan. Padahal, Teh Rita belum menyelesaikan ucapannya.

Merasa semua harus tuntas, Teh Rita menggeser duduknya menjadi lebih dekat dengan Pak Wahyu yang masih berusaha tegar. Meski wajahnya terlihat tegang, tetapi beliau masih tetap menjaga kewarasan.

"Pak, punten. Ada masalah lain sebenarnya," ucap Teh Rita, suasana kembali hening dibarengi tatapan penuh penasaran.

"Ada apa lagi Teh?" tanya Nur, kakak Nilam yang nomor satu.

"Rombongan teh kecelakaannya sekitar Magrib. Entahlah, saya sulit menjelaskan dengan logika, Pak. Tapi begitulah kabar yang saya terima."

Suasana kembali riuh. Tentu saja mereka ketakutan. Isi kepala mereka dipenuhi seribu pertanyaan. Kalau mempelai pria mengalami kecelakaan, lantas siapa yang tadi datang membawa Nilam?

Ada yang buru-buru pulang karena takut, ada juga yang masih menunggu di sana untuk mendengar lebih jelas kabar yang beredar. Salah seorang langsung lari ke rumah Bah Karsun—pria yang dituakan di desa. Sementara itu Pak Wahyu yang sedari tadi berusaha tegar, akhirnya terkapar lemas, untung saja di belakang ada orang yang menahan tubuhnya.

Indah, kakak Nilam yang kedua pun ikut pingsan, badannya ditahan oleh para ibu-ibu yang masih berkumpul. Suasana rumah semakin mencekam. Puluhan mulut seolah berspekulasi, menarik kesimpulan masing-masing.

Di tengah kericuhan, Bah Karsun datang tergopoh-gopoh, dituntun oleh putranya. Ia mencoba menanyakan apa yang terjadi, meski sudah diceritakan secara singkat oleh yang menyusulnya. Akhirnya Teh Rita kembali menceritakan kejadian tadi, meski bulu kuduknya selalu meremang saat bercerita.

"Sudah saya duga, rombongan tadi bukan manusia, Bah. Masa iya dari Sukabumi ke sini gak pake mobil," sela Darsan, sebab ialah orang yang pertama kali merasakan keanehan ini.

"Betul, Bah. Suasana tadi juga kayak aneh banget. Duh Gusti, kenapa saya teh kudu salaman sama makhluk halus!" Hasim bergedik ngeri, apalagi ia masih ingat wajah-wajah pucat keluarga Aris.

Salah satu pria pun turut bicara. "Apa Nilam dibawa sama arwah suami dan keluarganya?"

"Hus, gak mungkin. Mana ada orang meninggal bisa bawa orang hidup ke alam sana. Ngaur, Kang." Kali ini ibu-ibu menimpali.

"Sudah-sudah, jangan bikin suasana semakin gak enak. Bah, saya harus gimana? Tolong adik saya Bah." Nur anak paling tua berusaha untuk paling kuat menghadapi masalah ini. Kalau sampai keluarganya tumbang semua, lantas siapa yang akan mencarikan jalan keluar?

Bah Karsun yang sudah duduk bersampingan dengan Pak Lurah yang baru datang juga, menarik napas panjang. Beliau tidak mau gegabah dalam melihat peristiwa. Pria yang sudah sangat tua itu akhirnya berkata, "Jangan panik dulu. Sekarang mah, mending cari tahu keadaan sebenarnya. Siapa tahu, ada orang yang iseng."

Semua orang mengangguk, merasa ucapan abah ada benarnya. Darsan dan Hasim saling pandang, seperti memberi kode satu sama lain. Langsung Darsan duduk di lantai, menyeimbangi tamu yang lain. "Ya sudah, kalau begitu, saya sama Hasim mau ke lokasi kejadian. Teh Rita punten, tanya di mana rumah sakit atau polsek mana yang harus kami datangi."

Teh Rita pun langsung mengangguk karena memang si penelepon memberi rincian alamat, kalau-kalau pihak Nilam memang akan datang. Setelah mendapat secarik kertas berisi alamat, Darsan dan Hasim segera keluar menuju rumah Darsan. Rencananya, mereka akan pergi menggunakan motor milik Darsan.

"Kang, kejadian ini teh, mirip yang diceritain Emak saya puluhan tahun yang lalu. Di desa kita, kan, pernah ada pengantin yang hilang," ucap Hasim.

"Justru saya juga ngelamunin itu. Cerita ini sudah jadi legenda di desa kita. Jangan-jangan, masa lalu teh keulang lagi, Kang. Mudah-mudahan jangan sampe, ya. Ngeri." Darsan menimpali.

Sebenarnya rahasia apa yang tersimpan di desa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status