Bab 32: Antara Berkah dan SerakahRadit sepertinya terlalu lambat mendekati. Mbak Runi saja tidak menyadari kalau dia mengincar Ana. Radit terlalu takut Ana mundur dan malah membuat mereka menjadi jauh.Beberapa kali Radit bertanya tentang kehadiran Ana di yayasan pada Mbak Runi. Mbak Runi selalu bilang tidak ada karena sibuk mengurus Diana. Mbak Runi juga tidak memberi tahu Radit kalau Ana sudah menikah. Jadi saat ini Radit tidak tahu kalau Ana sudah menjadi istri orang lain.Radit datang takziah pada saat Diana meninggal, hanya saja Radit tidak bisa masuk rumah karena sedang dibatasi. Dia duduk saja di luar bersama yang lain. Informasi penting itu tidak sampai padanya.“Ana, kamu sudah di yayasan lagi?” Radit melihat Ana dengan sorot mata cerah. Radit sudah mempersiapkan cincin di dalam kantung celana. Radit merasa sepertinya ini waktu yang tepat.“Iya, Mas baru sempat ke yayasan lagi.”“Kamu sekarang ngurus anak-anak Pak Rafa?”Pada saat itu Ana membetulkan letak posisi kerudung Na
Bab 31: Bertemu RaditEsok harinya Ana dan Rafasya jalan-jalan di pondok pesantren Pak Kiai. Melewati rumah Pak Kiai yang sederhana, masjid, bangunan sekolah, juga hunian santri. Mereka sampai di ujung jalan yang merupakan persawahan.Semalam, Rafasya melarang uang yang diberikan untuk Ibu dan Bapak dibagi dengan pesantren. Uang yang Rafa berikan itu untuk nafkah. Untuk mengganti baju-baju Ibu dan Bapak yang mungkin sudah usang; Untuk membeli makanan enak agar Ibu Bapak bisa membeli apa yang anaknya makan; Untuk membeli perabotan rumah yang sudah lapuk; Untuk semua kebutuhan agar Ibu Bapak tidak perlu lelah bekerja.Rafasya ingin melihat Ibu Bapak gemuk dan tak perlu memeras keringat lagi. Meski begitu Rafasya tidak melarang mertuanya pergi ke sawah. “Kalau Ibu sama Bapak suka bekerja di sawah, silakan saja lanjutkan. Tapi bukan untuk mencari nafkah. Untuk mengisi waktu luang saja. Biar sawah dikerjakan orang lain, Ibu sama Bapak tinggal jadi mandornya,” pesan Rafasya malam tadi.Seka
Bab 30: Kampung HalamanTangisan selalu mengiringi kepergian orang-orang baik. Beragam kenangan tentang jasa-jasanya membuat orang yang ditinggalkan tak kuasa menahan air mata.Bagi Rafasya, Diana adalah wanita paling sempurna. Meski banyak aktivitas di luar, Rafasya tidak pernah kehilangan perhatian. Wanita itu cerdas. Saran-sarannya selalu bisa dipertimbangkan. Diana menghandle semua pekerjaannya dengan amat baik. Mengurus anak, mengurus rumah. Rafasya tidak banyak ikut campur tentang kepengurusan anak, ilmu parenting Diana sangat beragam dan selalu berhasil.Rafasya mengingat penggalan perjalanan mereka. Sejak cinta tumbuh sampai punya anak dua. Saat mereka membawa buku-buku yang banyak dan berkejaran di halaman kampus; Ketika mereka makan berdua dan dipenuhi tawa; Ketika Rafasya kelabakan membawa Diana ke rumah sakit saat mau melahirkan Kaidan, Diana yang malam menertawakan kepanikannya tergambar jelas di benak Rafasya.Bagi Ana, Diana adalah malaikat. Diana menyelamatkan Ana saat
Bab 29: Pernikahan ke DuaBapak dan Ibu sedang memupuk padi ketika Indira berlari-lari di pematang sawah sambil menunjukkan ponsel. Bapak mengernyit dan Ibu pun sama.“Kenapa itu anak kita, Pak?” tanya Ibu.“Tidak tahu. Pakai lari-larian segala.” Bapak dan Ibu menghentikan pekerjaannya.“Kenapa, Indira?” tanya Bapak setelah mereka cukup dekat.Indira ngos-ngosan, mengatur nafas. “Mbak Ana, Pak. Ada telepon dari Mbak Ana. Katanya mau nikah. Huh, huh.” Masih mengatur napas.Bapak dan Ibu berekspresi heran, tapi mereka menepi ke pematang sawah. Mendekati Indira.“Menikah bagaimana?”“Mau nikah sama Om-Om konglomerat itu, Bapak.”“Siapa?”“Suaminya Mbak Diana?”“Suaminya Mbak Diana?”“Tidak! Kenapa menikah sama suami orang lain?” Mbak Diana sudah sangat baik mengurus dan membayar pengobatan Ana saat sakit dulu. Kenapa sekarang malah jadi merebut suami orang.“Iih, dengar dulu penjelasannya.”Ponsel Indira kembali berdering. “Nah, Mbak Ana. Halo, Mbak. Ini aku sudah sama Bapak ... oh, iya
Bab 28: Tak Punya PilihanRadit mematut diri di depan cermin. Merapikan rambut dan memakai parfum. Sebuah jaket bomber menutupi kaus putih yang dia gunakan. Radit bersiul mengalunkan irama lagu.Sudah lama Radit mendekati Ana, sekarang Radit mau meningkatkan ikhtiarnya dengan langsung mengatakan tujuannya. Kalau Ana berkenan, alhamdulillah. Kalau tidak, Radit tak masalah menambah waktu perjuangannya lagi.Radit ke toko perhiasan. Dia membeli sebuah cincin yang amat cantik. Kalau Ana memberi respon positif, maka Radit akan langsung melamar. Dia juga akan mempercepat pernikahan. Radit sudah tak sabar untuk punya istri.Jam sepuluh pagi, Radit tiba di yayasan. Ana terlihat sedang duduk di teras bersama anak-anak penghuni yayasan. Ana sedang mendongeng. Kaidan dan Nadhifa ada di dalam lingkaran itu. Radit tersenyum melihat ekspresi Ana saat bercerita. Ana mengekspresikan setiap tokoh yang ada dalam cerita. Terlihat sangat seru. Radit membayangkan bagaimana kalau Ana menjadi ibunya Denisa,
Bab 27: Ibu PenggantiDiana berbaring di ranjang pasien. Rafasya dan Ana ada di sisi kanan dan kiri Diana. Runi dan asistennya Rafasya turut hadir di sana, berdiri cukup berjarak.Setelah mendapat pemeriksaan lengkap, Diana kembali dinyatakan kanker. Dokter menjelaskan bahwa kanker yang sudah sembuh bisa kambuh lagi. Penyebabnya bisa karena Sel kanker sudah menyebar ke organ lain, tetapi tidak terdeteksi saat terapi. Atau bisa juga dari faktor genetik.Memang pada beberapa kasus sering terjadi kanker rahim mengalami perluasan ke area serviks (mulut rahim). Sebuah rumah sakit kanker di Singapura pernah menyarankan untuk melakukan pemeriksaan setiap enam bulan sekali. Namun, selama dua tahun ini Diana mengabaikan saran itu. Diana terlalu asyik dengan rutinitas sosialnya, dia mengabaikan kesehatan sendiri. Penyakit itu telat disadari, dan saat ini sudah dalam stadium lanjut.Ana menangis di samping Diana. Menciumi tangan Diana—seperti yang dilakukan Diana saat Ana sakit dulu. Ana sangat
Bab 26: Diana“Ana, kamu di mana?” Suara Radit terdengar sangat panik. Tidak sesantai biasanya.“Ana di rumah Mbak Diana. Sedang ngajar ngaji. Ada apa, Mas?”“Kamu bisa ke rumah Adrian sekarang?”“Rumah Mas Adrian? Untuk apa?”“Panjang ceritanya. Tolong cepat, Ana. Ini darurat.”“Tapi katakan dulu ada apa? Ana tak mungkin minta ijin tanpa keterangan jelas.”“Adrian membunuh Ketrin, cepat kamu ke sini!”Ana sangat kaget. Dadanya seperti terhenyak. Membunuh? Ngeri sekali Ana mendengar kata itu. Ana segera menutup telepon. Dia buru-buru mengakhiri sesi les. Ana menemui Diana yang sedang mengobrol dengan suaminya di taman. Langkah Ana rusuh dan tangannya gemetar.“Mbak, Ana ijin mengakhiri sesi, ya. Ini ada telepon urgent.”“Urgent kenapa?”“Mas Radit telepon katanya Mas Adrian membunuh Ketrin.”“Apa?”“Ana mau ke rumah Mas Adrian sekarang.”“Oh, ya sudah, ga papa. Kamu pergi saja.”“Terima kasih, Mbak.” Ana segera pergi.Diana merasa penasaran ingin mengetahui kabar yang terjadi.“Kok p
Bab 25: Akhir HidupAku menikahi Ketrin di sebuah gedung yang sengaja kami buat besar. Tidak ada keluargaku yang datang. Tamu undangan yang hadir hanya saudara Ketrin dan para teman.Setelah pernikahan, aku langsung membawa Ketrin ke rumah. Menggendongnya sampai kamar.“Mau langsung?” Ketrin tampak malu-malu.“Aku sudah tak sabar.”“Aku juga.” Pipi Ketrin merona seperti seorang gadis.Kami buru-buru menanggalkan pakaian dengan cepat, lalu aku menindihnya.Plak! Kulayangkan satu tamparan di pipinya. Itu untuk tabiatmu yang selalu mengikatku.Plak! Itu untuk malam pertama yang kulewatkan dengan Ana.Plak ...!Setelah memuaskan diri, aku duduk di ujung dipan sambil menunduk, menunjukkan penyesalan. Ketrin menangis dengan berbalut selimut.“Maaf, Ketrin. Sebenarnya aku punya kelainan. Itu juga yang aku lakukan pada Ana. Kamu akan sabar kan menemani aku untuk berubah. Iya, Kan? Kamu pasti lebih sabar dari pada Ana.”Paginya aku melihat tidak ada sarapan di atas meja. Ketrin masih tidur. Ak
Bab 24: Pembalasan Ayah“Aku akan menahan gugatan ini dan memusyawarahkan kembali dengan Ana kalau kamu bisa menepati janji. Tinggalkan Ketrin, lupakan dia, jangan pernah ada hubungan apa pun. Entah itu pertemanan, persahabatan. Atau apa pun,” ancam Mas Radit ketika dia menunjukkan surat gugatan dari Ana.Aku sadar bahwa pernikahanku sudah di ambang jurang. Aku memang harus memilih. Ana atau Ketrin. Malam itu aku benar-benar merenung. Siapa sebetulnya yang aku inginkan. Sampai aku menemukan bahwa jawabannya adalah Ana.Aku memutuskan untuk mengikuti perkataan Mas Radit. Aku menjauhi Ketrin. Dia pasti menggertak dengan bunuh diri lagi. Jadi pesan dan teleponnya sengaja kuabaikan.Di hari Ana kecelakaan, aku sedang ada di rumah. Aku membereskan rumah karena yakin Ana pasti pulang. Dia harus melahirkan di rumah kami. Kubereskan barang-barang Ana dan kupindahkan ke kamarku. Sementara kamar Ana akan kujadikan kamar bayi. Alangkah hangat hati membayangkan mereka mengisi tempat ini.Ketrin t