“Mas, Ana pergi. Ana sekarang sadar bahwa Mas Adrian tidak pernah dan tidak akan mungkin mencintai Ana. Ana tidak ingin semakin banyak dosa atas hubungan yang tidak Mas inginkan ini. Ana izin membawa pergi buah hati kita. Ana akan mencukupkan cinta kasih untuknya. Semoga Mas menemukan kebahagiaan yang selama ini Mas harapkan.”
Aku terpaku membaca pesan itu. Tangan dan kaki mendadak lemas. Dadaku tiba-tiba nyeri dan berat. Beberapa ketakutan membayang dalam pelupuk mata.
Bagaimana kalau Ana kenapa-napa, bukannya rujak super pedas itu mengenai matanya? Bagaimana dengan kehamilannya? Bagaimana kalau Ibu tahu Ana kabur? Bagaimana kalau ... kalau Ana pergi untuk selamanya?
Tidak. Semoga Ana hanya menggertak saja.
Aku segera menelepon Ana, tapi nomornya sudah tidak aktif. Aku beranjak ke luar rumah dan bertanya pada tetangga. Barang kali Ana bersembunyi di salah satu rumah. Namun jawaban mereka sama, tidak ada yang melihat Ana.
Ana memang tidak punya banyak teman di sekitar sini. Setelah menikah, Ibu memintanya berhenti bekerja. Ana menurut tanpa banyak bicara. Dia hanya mengajar ngaji anak-anak di mushola dekat rumah. Lingkar sosialnya sangat kecil, hanya Ibu dan beberapa teman kajian. Jika mengingat pesan terakhir Ana, aku yakin dia tidak akan pergi ke rumah ibuku.
Matahari sudah naik ketika aku memutuskan untuk mengambil cuti hari ini. Pikiran tentang ke mana Ana pergi terus menghantui, membuat kepalaku terasa berat. Aku duduk di ruang tamu dan meresapi rumah yang terlalu sepi ini.
Aku memang tidak pernah mencintai Ana. Tapi kepergiannya membuatku sadar kalau dia punya posisi tersendiri di rumah ini.
Aku memandangi pintu yang menjadi saksi kepergian Ana. Berharap Ana tiba-tiba muncul dan semuanya kembali normal.
Aku menyusuri jalanan ibukota tanpa tujuan. Asap kendaraan dan hiruk-pikuk kota pagi ini terasa lebih mencekik dari biasanya. Aku berusaha memutar otak, mencari kemungkinan ke mana Ana pergi. Akhirnya, aku memutuskan pergi ke kantor lama Ana untuk mencari temannya. Satu-satunya nama yang kuingat adalah Zihan, teman yang pernah hadir di pernikahan kami.
Di meja resepsionis, aku minta bertemu dengan Zihan.
“Saya ingin bertemu dengan Zihan dari divisi akuntansi,” kataku dengan nada pelan.
Resepsionis menelepon sebentar, lalu mengarahkan aku ke ruang tunggu. Tak lama kemudian, Zihan datang dengan raut wajah bingung.
“Mas Adrian? Ada apa ya?” tanyanya sambil duduk di depanku.
“Zihan, maaf mengganggu waktumu. Apa Ana sempat menemuimu atau menghubungi?” tanyaku hati-hati.
“Tidak, Mas. Memangnya kenapa? Ada masalah?” Wanita berkerudung lebar itu malah kembali bertanya.
“Oh, tidak, ya,” jawabku cepat, mencoba terlihat tenang.
Zihan menatapku dengan tatapan curiga. “Sudah tiga hari Ana tidak menghubungi. Biasanya kalau mau ada kajian saja kami saling chat.”
Aku menelan ludah, bingung harus berkata apa.
“Sebenernya ... kami sedang ada masalah. Ana sedang marah ... lalu dia kabur dari rumah.”
Sebelum sempat melanjutkan, ponselku berdering. Nama Ketrin muncul di layar. Aku menekan tombol jawab dengan enggan.
“Kamu di mana? Kok gak masuk kantor?”
“Maaf, Ketrin. Aku sedang ada urusan.”
“Urusan apa lagi sih? Sama si Kampungan? Dia sakit? Kontrol? Aduh, Mas, istrimu itu manja banget. Kerjaan kamu di sini banyak loh!”
Aku melirik Zihan yang sedang memperhatikanku. Dia menyilangkan tangan di dada sambil tersenyum miring. Senyum itu penuh sindiran. Aku merasa diriku makin kecil.
“Maaf, Ketrin. Aku tidak bisa bicara sekarang,” jawabku sambil memutus panggilan.
Zihan menghela napas panjang, tampak kesal.
“Mas Adrian, kalau mau tanya tentang Ana, saya tidak tahu. Harusnya Mas lebih tahu. Kan Mas suaminya,” katanya dengan nada dingin.
“Tapi... aku benar-benar tidak tahu ke mana dia pergi."
“Itu karena Mas Adrian tidak pernah memperlakukan Ana dengan baik. Harusnya bagus dong kalau Ana pergi. Kalian bisa saling membebaskan.”
“Tidak seperti itu, Zihan.” Melihat Zihan yang tampaknya tahu banyak tentang rumah tanggaku, aku yakin dia tahu di mana keberadaan Ana. “Kamu pasti tahu Ana di mana kan?”
“Kalau saya tahu, saya tidak akan sudi menemui Mas Adrian di sini.” Zihan berdiri, mengakhiri percakapan tanpa basa-basi. “Saya permisi, Mas.”
“Zi. Zihan! Tolong bilang ke Ana jangan pergi dengan cara seperti ini.”
Zihan terus berjalan menjauh.
“Zihan. Ibuku akan mencarinya.”
Aku hanya bisa memandangi punggung Zihan yang terus menjauh. "Zihan. Ana bawa anak kami."
*
Setelah gagal mendapatkan petunjuk dari Zihan, aku memutuskan menghubungi ibu mertuaku.
“Assalamualaikum, Bu,” sapaku ragu-ragu.
“Oh, Adrian. Kok kamu yang telepon? Ana mana?” tanyanya heran. Selama menikah, aku memang tidak pernah menelepon ibu mertua.
Aku terdiam beberapa saat, bingung harus berkata apa. Kalau ibu mertua malah menanyakan keberadaan Ana, itu berarti Ana tidak ada di sana. Dia benar-benar pergi tanpa meninggalkan jejak.
“Adrian? Ana kenapa? Kehamilannya baik-baik saja, kan? Kenapa kamu diam saja?” suara ibu mertua terdengar khawatir.
Aku mencoba menguasai diri. “Iya, Bu. Ana sehat kok. Semuanya baik-baik saja. Ya....” Aku meyakinkan.
“Alhamdulillah. Dari kemarin perasaan Ibu enggak enak. Untunglah kalau kalian sehat. Jadi ada apa, Adrian?”
Aku menggigit bibir, berpikir cepat. “Ini, Bu. Saya dapat bonus kerja, jadi mau berbagi buat Ibu. Bisa minta nomor rekeningnya, Bu?” Pertama kalinya dalam hidup aku harus memberi uang pada mertua. Ini karena kepepet saja, tak ada ide lain.
“Masya Allah, kamu baik sekali. Nanti Ibu kirimkan nomornya, ya. Terima kasih sebelumnya,” jawab Ibu mertua dengan nada amat bahagia.
Aku menghela napas lega setelah menutup telepon. Aku tahu itu bukan cara yang benar, tapi setidaknya aku berhasil menutupi masalah untuk sementara waktu.
*
Sore hari, pencarianku masih belum membuahkan hasil. Aku bahkan tidak tahu lagi harus ke mana. Ketika aku sedang duduk di dalam mobil, ponselku berbunyi. Kali ini dari ibuku.
“Adrian, kamu masih kerja? Kenapa rumah sepi? Ana tidak di rumah?”
Aku menepuk kening. “Waduh, bagaimana ini? Kalau Ibu tahu Ana kabur, bisa gawat,” pikirku panik.
Bersambung ...
Bab 45. Rujak PedasSesungguhnya setelah kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya setelah kesulitan ada kemudahan. Ayat itu diulang dua kali. Salah satu guruku pernah bilang, diulanginya ayat itu memiliki makna kalau setelah kesulitan kita akan mendapat kebahagiaan yang berlipat.Ayat itu dari Allah—yang menciptakan kehidupan ini, tapi aku pernah ada di titik ragu. Seolah masalahku tak ada akhirnya. Sekarang, aku hanya bisa tersenyum melihat ujian yang sangat berat itu. Ini bukan hanya tentang aku, bahkan kisah para penghuni yayasan pun sama. Banyak yang datang dalam keadaan menangis, dan sekarang mereka bisa tertawa.Aku pernah mengharapkan Mas Adrian mencintaiku, setelah aku ikhlas melepaskannya dan tak berharap lagi, aku malah mendapatkannya sekarang. Suamiku tak pernah melewatkan satu hari pun tanpa mengatakan cinta atau sayang.“Sayang celana dalam yang ini kekecilan.”Aku sedang mencari pakaian untuk pergi siang ini, jadi tak melihat apa maksudnya. Aku sudah tahu pasti bercanda. Mem
Bab 44: LoveAna selalu memimpikan tanah suci. Hatinya selalu sedih setiap kali melihat teman-temannya yang bisa umroh. Rindu tak terhingga Ana pada tempat itu. Minimal sekali seumur hidup, Ana ingin sekali menginjakkan kaki di sana. Haji mungkin sulit digapai, kalau tahun ini daftar, entah kapan dapat giliran. Minimal umroh saja dulu. Ana sangat ingin melihat rumah Allah, juga persinggahan terakhir Baginda Nabi.Hari ini, suaminya, memberikan hadiah tiket haji. Ana tidak bisa menahan tangis. Hatinya penuh syukur. Dari milyaran manusia, Ana terpilih untuk menyempurnakan agamanya tahun ini.Rafasya mendekati wanita yang baru saja sujud syukur dan langsung melantunkan doa itu. Rafasya duduk di samping Ana. Mengusap pucuk kepala istrinya. Rafasya merasa tak pernah melihat Ana sebahagia ini. Hati Rafasya ikut hangat.Ana meraih tangan Rafasya. Diciumnya punggung tangan dan telapak suaminya berkali-kali. "Terima kasih, Mas. Terima kasih." Tatapan Ana berkaca-kaca.Rafasya mengangguk dan te
Bab 43: Sujud SyukurUlang tahun Kaidan dan Nadhifa hanya beda dua minggu saja. Adik kakak yang terpaut dua tahun itu merayakan ulang tahunnya bersama. Mereka mengadakan syukuran bersama yatim piatu dan semua penghuni yayasan. Diadakan makan-makan dan aneka hiburan anak-anak.Malamnya Ana memberikan hadiah. Sebuah CD pemberian Diana. Mereka menonton CD itu bersama-sama sambil berbaring di atas kasur. Di kamar Rafasya.Pada rekaman itu, Diana mengucapkan selamat ulang tahun untuk Kaidan dan Nadhifa. Selamat untuk ulang tahun hari ini dan ulang tahun yang selanjutnya. Diana berharap anak-anaknya kelak menjadi anak-anak yang bermanfaat bagi banyak orang.Rekaman itu diambil ketika Diana sudah sangat lemah. Diana mungkin sedang menahan kesakitan hari itu, tapi bibirnya tetap tersenyum seraya menyampaikan beberapa pesan. Pesan seorang ibu yang berharap anaknya sukses menjalani kehidupan di dunia yang fana ini.Semua orang meneteskan air mata. Rafasya mengusap kepala Kaidan yang sedang mena
Bab 42: Kita SekarangSentuhan semalam seperti sebuah klarifikasi bahwa rumah tangga kami bukan rumah tangga yang aneh, melainkan rumah tangga pada umumnya. Ketika kami berjalan-jalan menyusuri Tokyo, aku tak segan menautkan tangan pada lengannya saat menyeberang. Atau ketika berbelanja, aku berani melingkarkan tangan di pinggang Mas Rafa saat dia memilih boneka kokeshi.“Umma suka yang mana?” Mas Rafa melirik.“Untuk di mana?”“Meja kantor.”“Umma suka yang ini.” Aku menunjuk boneka kayu dengan bentuk tubuh yang bulat dan kepala besar yang ada di tangan kanan Mas Rafa. Mas Rafa setuju dan langsung membayarnya.Setelah belanja bermacam oleh-oleh, dan makan, Mas Rafasya pamit pergi sebentar. Katanya dia ada urusan. Aku dan anak-anak dipinta menunggu di restoran. Mas Rafasya kembali sekitar 15 menit kemudian. Dia menjinjing paper bag yang berisi sebuah kotak.“Apa itu, Papa?” tanya Nadhifa.“Bukan apa-apa.”“Aku mau lihat.”“Ini hanya kado untuk teman Papa.”“Aku mau lihat!”“Tidak bole
Bab 41: Malam PertamaAku baru tahu kalau jatuh cinta itu sangat indah. Aku tidak pernah merasakan kebahagiaan yang seperti ini sebelumnya. Pagi, ketika aku bertemu tatap dengan Mas Rafasya, pipiku langsung menghangat. Aku tak kuasa memandangnya. Aku lebih banyak menunduk.Kaidan dan Nadhifa kujadikan sebagai pengalihan atas grogiku. Aku fokus pada mereka meski hati rasanya ketar-ketir.Aku tak tahu apa yang Mas Rafasya pikirkan. Mungkin sebuah kecupan hal biasa baginya. Beliau terbentuk dari lingkungan yang heterogen. Mungkin saja mewajarkan hal itu. Mas Rafa terlihat biasa saja, tidak nampak grogi atau sungkan."Umma, hari ini kita pindah ke Kyoto," katanya sambil duduk dan memakai kaus kaki.Aku sangat senang setiap kali Mas Rafa memanggilku Umma. Aku selalu merasa diakui."Di sana ada apa, Mas?""Di sana banyak kuil dan kastel yang memukau. Banyak tempat indah untuk berfoto.""Terus ke Disneylandnya kapan? Anak-anak katanya mau ke Disneyland.""Habis dari Kyoto kita ke Tokyo."Har
Bab 40: Sebuah KecupanKami berangkat menuju Jepang. Sepanjang perjalanan Mas Rafasya banyak menerima telepon. Meski tak bicara, aku tahu pasti ada masalah. Mungkin ada hubungannya dengan kejadian semalam.Ketika menunggu penerbangan, aku menyempatkan untuk bertanya.“Kenapa kita mendadak pergi, Mas. Ini tidak ada hubungannya sama kejadian semalam kan?”Pria yang sedang menatap ponsel itu langsung menengok padaku. “Freyza yang menyabotaseku semalam.”Aku mengingat nama itu. Semalam kami berkenalan dan dia terlihat tidak menyukaiku.“Menyabotase bagaimana?”“Dia yang mengunciku semalam dan meminta MC memanggilmu.”“Aku tidak masalah kok, Mas. Acara semalam berhasil kan? Mas yang bilang sendiri tak mau aku disepelekan Ayah. Semoga saja kejadian semalam bisa membuat ayah berubah.”“Aku tidak akan memaafkan mereka hanya karena kamu berhasil. Bagaimana kalau kamu tidak bisa membawa presentasi semalam? Aku sangat panik takut kamu malu dan malah nangis di sana. Mas tidak bisa membayangkan ka