Suami Baru untuk Istriku

Suami Baru untuk Istriku

Oleh:  Ana Battosai   On going
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
10
1 Peringkat
55Bab
3.6KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

Aku adalah seorang suami mandul. Aku tidak bisa menjadikan istriku wanita sempurna dan seorang ibu nantinya. Aku harap aku bisa memberikan sebuah kebahagiaan dengan menceraikannya.

Lihat lebih banyak
Suami Baru untuk Istriku Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen
user avatar
Rusman Plafon
crita yang sangat menyenangkan
2022-07-25 07:08:19
1
55 Bab
jatuhnya talak
❤️“Rabbana atinaa fiddunya hasanah, wafilaakhirati hasanah, waqinaa 'adzaabannaar.” Nisa mengusap wajahnya, lalu kedua tangannya menengadah, berdoa memohon pada Sang Khalik agar senantiasa melindungi keluarga kecilnya.Usai berdoa, tanpa melepas mukena yang dikenakannya, ia mendekati lelaki yang masih berbaring di ranjang.“Mas, bentar lagi masuk waktu subuh, tahajud dulu, Mas.” Nisa mengusap pelan bahu Imran-suaminya, tapi lelaki itu enggan membuka mata.“Mas ....”Imran mengedikkan bahunya. “Mas masih ngantuk.”Kening Nisa bertautan, tidak biasanya Imran menolak ajakan untuk tahajud. Biasanya lelaki itu yang selalu bersemangat mengingatkan. Ia pun mencoba untuk membangunkan Imran sekali lagi, siapa tahu berhasil.“Mas ... solat tahajud dul ....” Nisa urung melanjutkan perkataannya saat Imran bangun.“Kamu dengar, nggak, Mas bilang!” Imran memutar tubuhnya menghadap Nisa. Matanya yang berwarna merah menatap istrinya dengan marah.“Maaf, Mas. Nisa ....”“Lagian percuma juga tahajud.
Baca selengkapnya
perpisahan
❤️❤️Tidak ada perpisahan yang berujung bahagia, meski keduanya sudah tak ada lagi rasa. Lalu, bagaimana dengan hati Nisa dan Imran yang masih saling mendamba, masih saling mencinta, tapi keadaan yang sudah tak ingin saling menyapa. Sakit!Meski nasib bisa diubah, tapi jalan hidup yang sudah Allah gariskan harus dijalani dengan baik. Jangan mengeluh.Nisa sudah bisa menguasai dirinya. Tidak menangis seperti tadi, wanita itu bahkan beranjak dari pelukan mertuanya, lalu ke dapur guna menghangatkan sayur dan menyiapkan makan siang. Pak Surya ke luar dan memilih duduk di teras, sedangkan Bu Surya naik ke lantai atas.Tangan tua wanita itu membuka pintu perlahan, tanpa mengetuk terlebih dahulu. Kamar itu terlihat lebih berantakan, dengan beberapa hiasan meja tercecer di lantai. Juga beberapa buku berserakan. Ia melihat Imran tengah berdiri di balkon kamar dengan kedua mata tertutup.“Mama nggak paham dengan jalan pikiranmu, Imran.” Bu Surya berdiri di sebelah putranya. Wanita itu menoleh,
Baca selengkapnya
nasi goreng bumbu air mata
❤️❤️Imran berbaring dengan kedua tangannya menumpu kepala. Matanya menatap langit-langit kamar. Sesekali napas panjang keluar dari mulutnya. Tak jauh dari sisinya, seorang wanita berhijab berdiri di dekat meja rias memerhatikan.“Mas ....”Imran menoleh ke arah wanita yang masih mengenakan pakaian pengantin berwarna putih. Tiba-tiba ada hasrat yang menyuruhnya untuk tersenyum.“Ya, Nis?”“Nisa boleh rebahan di situ?” tanya Nisa, sambil telunjuknya mengarah ke lengan Imran. Wanita itu ingin tidur di lengannya. Kening Imran mengernyit, tapi detik berikutnya ia mengangguk. Ia merentangkan tangan kanannya, seolah mempersilakan. Nisa berjalan mendekat lalu meletakkan kepalanya di sana.Jantung keduanya berdetak cepat saat keduanya saling bertatapan. Tangan kiri Imran menyentuh pipi Nisa, keduanya pun tersenyum.“Nisa?”“Iya, Mas?”“Kenapa mau dijodohkan sama, Mas?”“Karena Allah!”“Seyakin itu, Nis?”“Iya. Nisa percaya. Allah akan menghadirkan pada Nisa, pasangan yang baik. Juga soleh.”K
Baca selengkapnya
15 tahun yang kosong
❤️❤️Sepanjang perjalanan Imran tak berhenti mengucapkan istighfar. Hatinya pun terasa sesak saat melihat pakaian kerjanya sudah rapi, juga sarapan pagi yang tersedia seperti biasa.Lima belas tahun Imran melakukan kebiasaan bersama-sama dengan Nisa, setiap hari tanpa ada kata bosan. Tapi kini ia sendiri yang harus menghentikan ini semua. Menyelesaikannya sampai akhir.Mobilnya berhenti di parkiran kantor, tapi lelaki itu tidak langsung turun. Kedua matanya terpejam, lalu sesaat setelahnya muncul bayangan Nisa yang menangis atas perbuatannya pagi ini.“Nisa ... maafin, Mas!” ucapnya lirih. Imran menangisi sikap bodohnya. Hatinya benar-benar dilema.Untuk beberapa lama Imran tidak beranjak dari tempatnya, ia begitu terhanyut pada kesedihan yang ia buat untuk wanita yang dicintainya. Nisa terluka, tapi ia pun teramat sangat sakit.Imran menoleh sisi kiri kanan, sudah ada beberapa kendaraan yang parkir di sebelahnya. Dengan tangan ia mengusap wajahnya yang basah, embusan napas panjang ke
Baca selengkapnya
cinta itu, luka
❤️❤️Fadhil mengembuskan napasnya berat. Ia bahkan tidak langsung turun dari mobil meski kendaraan itu sudah tiba di depan rumahnya. Isi kepalanya terngiang-ngiang wajah Nisa, teringat bagaimana dulu saat mereka menghabiskan waktu bersama, meski hanya dalam status teman.Nisa dan Fadhil sepakat membatasi kebersamaan mereka dalam ikatan persahabatan, meski banyak orang-orang di sekitar mereka yang berharap keduanya berjodoh. Tapi Fadhil menghargai keputusan Nisa yang hanya menginginkan hubungan mereka sebatas itu.Dirasa cukup lama melamun, lelaki berkacamata itu keluar dari mobilnya dan masuk ke rumah. Bangunan yang memiliki dua lantai itu terlihat megah, meski dekorasi ruangan yang sederhana.“Assalamu’alaikum, Bu.” Fadhil mendekati seorang wanita paruh baya yang sedang duduk di kursi kayu yang menghadap kolam ikan. Wanita menjawab salam putra semata wayangnya, tapi wajahnya terlihat berubah saat melihat ke arah Fadhil yang pulang kerja dalam keadaan murung.“Ada apa?” tanya Bu Sri.
Baca selengkapnya
Nisa pingsan
Masa Iddah Nisa sudah berjalan satu bulan. Namun tekad Imran sama sekali tidak bisa diganggu gugat. Banyak pihak yang berharap keduanya kembali rujuk, tapi sikap Imran yang kekeh membuatnya pantang untuk berkata mundur.Imran dibuat ketar-ketir, sampai saat ini ia belum bisa menemukan sosok lelaki yang akan dijodohkan untuk Nisa. Imran tidak bisa menyerahkan Nisa ke sembarang orang. Bagaimana pun, Nisa adalah wanita yang baik dan pantas mendapatkan lelaki yang baik pula.Lelaki itu tidak memprotes sikap Nisa yang tetap menyiapkan pakaian kerjanya, juga sarapan pagi dan malam yang selalu menanti untuk disentuh. Meski begitu, Imran sama sekali tidak mencicipi barang sedikit pun.Pagi ini, Nisa bangun kesiangan. Dengan cepat-cepat ia menyiapkan sarapan pagi untuk Imran setelah menyiapkan pakaian kerja lelaki itu. Tapi saat tangannya sedang menggoreng telur, Imran sudah hendak berangkat kerja.“Mas ....” Panggilan Nisa membuat langkah lelaki itu terhenti. Tanpa memutar badan, ia menanti w
Baca selengkapnya
bab 7
Imran dibuat ketar-ketir dengan keadaan Nisa. Alifah meneleponnya saat dirinya hendak meeting pagi dengan seorang klien. Beruntung pertemuan itu belum dimulai, Imran pun mengatakan pada sekretarisnya untuk membatalkan meeting tersebut dan dengan tergesa-gesa ia meninggalkan kantor.Lelaki itu menyarankan agar Alifah menghubungi Dokter Mimi, dokter langganan Imran dan Nisa yang tak lain adalah teman kuliah Imran. Lelaki itu lebih percaya pada sang dokter karena sudah menjadi langganan selama mereka menikah jika ingin mengadakan konsultasi. Selama perjalanan Imran terus berdoa semoga Nisa tidak mengalami sakit yang serius.Jalanan yang sedikit macet membuatnya semakin tidak sabar. Berulang kali ia mengatakan sumpah serapah saat ada beberapa kendaraan roda dua menyalip di depannya dan nyaris tertabrak jika Imran tidak langsung menginjak rem.“Bego! Mentang-mentang pake motor, maen serobot aja!” seru Imran dengan nada kesal. Tangannya meninju stir mobil.Imran sendiri tahu jika ocehannya
Baca selengkapnya
bab 8
Imran keluar rumah dan menghidupkan mesin mobil, disusul Alifah di belakangnya. Tanpa keduanya ketahui, di balik pintu kamar, ada seseorang yang mendengarkan dengan hati yang semakin remuk redam.Imran masih terduduk di sofa, matanya menatap lurus ke arah kamar. Ia sendiri bingung harus bagaimana. Masuk ke dalam kamar dan mengurus Nisa, atau masuk ke dalam kamar dan menyerahkan obat lalu kembali ke kamarnya. Membiarkan Nisa mengurus dirinya sendiri.Kedua tangannya mengacak-acak rambutnya, ia benar-benar dilema kini. Matanya menatap plastik putih di meja, obat yang ditebus dari apotek sesuai anjuran Dokter Mimi. Mau diapakan obat itu.Saat tengah dilema, pintu kamar terbuka. Nisa keluar kamar dan berjalan mendekati Imran. Lelaki itu salah tingkah saat Nisa menatapnya dengan penuh kasih.“Mas ....” Nisa berjalan semakin dekat, lalu duduk di kursi yang berseberangan dengannya.“Apa yang ada dalam pikiranmu, Nisa? Sejak kapan kamu tidak bisa mengurus diri sendiri?” bentak Imran. Nisa ya
Baca selengkapnya
bab 9
Di balik pintu berbeda, ada hati yang semakin remuk redam. Imran tak henti-hentinya menangis, terlebih saat dirinya menyantap masakan Nisa. Masakan mantan istrinya itu tidak berubah, tetap enak. Ingin menolak keinginan Nisa, tapi rasanya sulit. Terasa semakin sesak saat melihat Nisa memandang dengan tatapan memohon.“Allah ... bantu hamba untuk lebih ikhlas!” Imran hanya bisa berteriak dalam hati. Dalam hal cinta, tidak ada hal yang paling membahagiakan dari pada melihat orang yang dicintai bahagia, meski harus merelakan senyum di wajah kita sendiri. Begitulah Imran, entah ini cinta atau egonya. Terlampau jauh melangkah, pantang untuk mundur.Imran bisa bernapas lega saat ia menyadari Nisa bisa bersikap seperti biasa. Saat dirinya tanpa sengaja berpapasan dengan Nisa di pintu dapur, ia bisa melihat dengan jelas gurat kesedihan yang dulu terlihat di wajah Nisa, perlahan memudar. Wanita itu sudah bisa menguasai kesedihan juga emosinya. Nisa sudah lebih ceria kini, ia bahkan sudah bisa
Baca selengkapnya
bab 10
Imran tiba di rumah Fadhil sebelum Maghrib, lelaki berkacamata itu mempersilakan tamunya masuk dan langsung memasuki ruang makan, di mana sajian sedap sudah siap.“Assalamualaikum, Bu,” sapa Imran sambil mencium punggung ta’zim.“Waalaikumsalam, Nak. Apa kabar?” Bu Sri menyapa. Wanita paruh baya itu sudah lama tidak bertemu Imran, terakhir saat Imran dan Fadhil masih kuliah. Lalu setelahnya, mereka jarang dan bahkan tidak bertemu lagi.“Saya baik, Bu.” Imran menegakkan badannya, lalu menyerahkan sesuatu yang ditaruh dalam paper bag yang dibelinya saat menuju rumah Fadhil.“Masya Allah, Nak. Repot-repot sekali.” Bu Sri menerima pemberian Imran, lalu menggandeng tangan lelaki itu mendekati kursi meja makan. Fadhil sudah terlebih dulu duduk di sebelah kiri meja.“Hanya hadiah kecil, Bu. Semoga suka.”“Makasih, Nak.” Ketiganya lalu memulai acara makan dan terlibat obrolan hangat. Dari seputar kantor sampai pada akhirnya Bu Sri bertanya perihal Nisa. Imran yang mendapat pertanyaan seperti
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status