Suara langkah kaki di atas ubin dingin mengalihkan pandanganku dan Zihan. Kami sama-sama terbelalak melihat siapa yang datang.
"Ibu." Zihan buru-buru berjalan menghampiri ibu mertuaku.
Bapak, Ibu, dan adiknya Ana berkunjung. Aku tertegun. Apa yang harus kujelaskan pada mereka.
Zihan mencium tangan wanita berkerudung lusuh itu dengan takzim. "Ibu baru datang?"
"Ana di mana, Mbak Zihan?"
"Zihan belum dapat kabar, Bu. Tapi Zihan pasti cari tahu terus."
"Bagaimana keadaan Bu Santi?"
"Kurang baik, Bu."
"Ya Allah."
Mereka terus berjalan ke sini. Detik demi detik terasa membeku. Aku diimpit rasa bersalah. Petuah Mas Radit kemarin terekam dalam ingatan. "Yang kamu perlakukan dengan tidak manusiawi itu anak orang, Adrian. Di keluarganya dia disayangi, kamu malah memperlakukan dengan tak layak. Apa yang akan orang tuanya katakan?"
Aku menunduk begitu jarak dengan keluarga Ana hanya tinggal beberapa langkah. Aku menyalami bapak mertua. Pria tua itu tidak menolak uluran tanganku tapi juga tidak bicara apa pun. Mereka langsung masuk ke kamar rawat.
Mulanya mertua dan ibuku bercengkerama layaknya besan yang berduka karena ditimpa musibah. Basa basi memberi motivasi. Setelah itu membahas urusan yang lebih pelik. Di mana Ana berada?
"A--Na--hah--hah--da." Ibu bicara dengan sangat kesulitan. Air matanya berderai. Kami tidak tahu benar apa yang Ibu katakan. Hanya saja ini pasti seputar Ana.
"Apa Ana pulang ke kampung, Bu?" tanya Mbak Yuki.
"Justru itu, Mbak Yuki. Kita juga tidak tahu Ana di mana. Kami tidak mendapat kabar sama sekali. Tidak biasanya Ana seperti ini."
Suara desis tak sopan mengalihkan perhatian kami. Indira tersenyum miring dengan raut sangat judes. "Mana mungkin Mbak Ana ngabarin. Tiap ngabarin dizalimi suaminya aja Ibu suruh sabar-sabar mulu." Anak SMA itu memandangku dengan tak sopan.
"Indira!" Bapak menarik tangan Indira untuk duduk di sofa. Adik iparku itu menolak. Dia tetap berdiri dengan melipat tangan di dada.
"Mbak Ana gak akan ngabarin Bapak sama Ibu. Soalnya tiap curhat juga dibilang sabar-sabar terus. Sabarnya manusia mah ada batasnya."
"Indira, diam." Pak Abdul melihat Ibu dengan sungkan.
"Diam mulu. Dari dulu disuruh diam mulu. Napa sih, Pak? Karena kita miskin? Mbak Ana kabur, Bapak Ibu nangis semaleman terus kita di sini cuma buat nengok orang sakit gitu? Kita aja belum dapat kejelasan kabar Mbak Ana gimana."
Kami semua diam. Tidak ada yang bicara.
"Gara-gara Mbak Ana nikah hidup kita jadi belangsak. Mbak Ana lagi kerja disuruh berhenti. Mbak Ana jadi gak bisa bantu kita lagi. Bapak harus kerja siang malam ngurus sawah punya orang lain yang gak ada hasilnya. Ibu kalau rematiknya kumat aja harus gusur-gusur kaki bantu di sawah. Kalau Mbak Ana dibahagiain di sini sih gak masalah. Ini mah udah ngambil anak orang dari ayah ibunya. Ngambil kakak dari adiknya. Diperlakukan semaunya pula. Kalian pikir kakakku hewan ternak yang bisa kalian perlakukan semena-mena."
Perkataan Indira membuat ibu terisak-isak. Ibu tampak kesulitan bernapas. Kami langsung memanggil perawat, memperbaiki letak posisi oksigennya. Sementara Ibu mertua membawa Indira ke luar kamar.
*
Beberapa hari kemudian, aku kembali ke kantor. Di lobi, Ketrin sudah menungguku.
"Kenapa baru masuk?" Ketrin berjalan mengiringi langkahku.
"Ana kabur," seruku pelan mengingat kondisi lobi cukup padat.
"Kabur?" Aku bisa mendengar nada bahagia dari pertanyaannya. Saat kulirik, wanita dengan rambut keriting bagian bawahnya itu sedang tersenyum miring.
"Bagus dong."
"Ibu syok dan terkena stroke." Kami bicara sambil terus berjalan.
"Ha? Serius? Kok kamu gak bilang sih?"
"Mau apa? Mau nengok? Bisa meninggal ibuku kalau lihat kamu."
"Kesel deh. Ibu kamu itu suka banget sama cewek kampungan itu. Dia punya apa sih?"
Aku menggeleng pelan. "Semua kacau. Aku masih mencari Ana."
"Biarin aja sih. Dia ini yang milih pergi kan?"
"Dia lagi hamil, bawa anak aku."
"Ya anak dia juga kan? Lagian itu juga salah dia, ganjen godain kamu udah tahu kamu gak pernah cinta juga. Ya, tanggung sendiri lah resikonya."
Wanita yang tingginya nyaris sama denganku ini terus mengimbangi langkah. Kami masuk lift dan naik ke lantai tujuan.
"Pekerjaan kamu udah numpuk. Pak Hartono terus nanyain kamu. Tahu lagi banyak PHK juga."
Aku menggeleng saja. Bagaimana lagi, kondisinya sedang darurat.
Aku sekantor dan satu divisi dengan Ketrin. Hari ini kami bekerja seperti biasa. Pak Hartono memanggilku sebelum makan siang. Aku segera menemui kepala HRD itu.
"Adrian, ini gimana absensikau? Berturut-turut tiga hari tak masuk. Sebelumnya sudah banyak merah pula."
"Maaf, Pak. Ibu saya mendadak stroke."
"Alasan saja kau, Adrian. Ibu sakit, istri sakit, nenek sakit, sama buyut kau sakit terus. Kalau baru kali ini bisa lah kumaklumi. Kalau sering macam begini rugi lah perusahaan mempekerjakan kau.
"Jangan kau pikir aku tak tahu gosip yang beredar. Kau pacaran terus dengan Ketrin."
Aku diam saja. Sebenarnya tidak pantas dia mengomentari urusan pribadiku.
"Bereskan pekerjaanmu segera. Tamat riwayat kau di perusahaan ini."
"Pak. Tidak bisa begini dong, Pak. Saya sudah ijin cuti."
"Kau bolos dulu baru minta cuti. Kau pikir perusahaan ini punya nenek moyang kau. Asal kau tahu, banyak yang butuh kerja. Tak perlu lah kupertahankan manusia macam kau."
"Pak." Aku mulai frustrasi. Bagaimana ini, aku tidak bisa kehilangan pekerjaan. "Pak, jangan begini, please. Ibu saya terkena stroke."
"Pergi lah cepat. Aku masih banyak kerjaan."
"Pak!"
Pak Hartono menolak. Aku meninggalkan ruangan kepala HRD itu dengan kalut.
Bagaimana ini? Ana pergi, ibu sakit, dipecat pula. Kalau aku menganggur, Ketrin pun bisa ikut kabur.
Bersambung ....
"Apa? Dipecat?" Ketrin terbelalak. Wanita berlensa biru ini tampak murka. "Tuh kan, ini gara-gara cewek kampung pembawa sial itu."Perkataan Ketrin membuatku semakin stres. Aku mondar-mandir dekat dinding kaca yang tinggi. Dari mana aku bisa makan kalau tidak punya upah. Cicilan pun banyak, Oh Tuhan."Mas, sebaiknya kamu sekarang temui Pak Rafasya. Minta pengertian." Ketrin menyebutkan nama CEO perusahaan.Aku menggeleng kecil. Tidak yakin dengan cara itu. "Sulit, Ketrin.""Coba saja dulu. Kalau ditolak pun gak ada resikonya kan. Tapi kalau berhasil?Ayolah, Mas. Jangan patah semangat. Kita punya mimpi yang besar. Sekarang cari kerja susah."Aku mengusap kening. Betul juga kata Ketrin. Kalau usaha ini gagal juga toh aku tetap dikeluarkan. Mana tahu berhasil."Oke, akan kucoba.""Nah gitu dong. Bilang kalau Ibu lagi sakit. Pak Rafasya biasanya lebih manusiawi."Seperti saran dari Ketrin, aku menemui CEO perusahaan di ruangannya. Sayangnya aku ditolak oleh sekretarisnya. Tidak bisa semb
Aku duduk di sofa sambil melipat tangan. Kaki terjulur ke atas meja. Di depan sana televisi menyiarkan pertandingan bola. Akalku bukan terletak pada si bundar yang melambung-lambung, tetapi pada rumah ini yang kehilangan warnanya.Setahun berlalu, ternyata Ana sudah menguasai rumah ini, sehingga pada saat dia pergi rumah ini terasa aneh. Jika aku pulang kerja, Ana biasanya langsung mencium tangan. Dia akan mengambil sepatu yang baru kulepas asal dan menyimpannya di tempat khusus. Setelahnya aku akan duduk di kursi ini, lalu Ana akan melepas kaus kakiku sambil duduk di lantai.Dia akan bertanya. “Mas Adrian mau makan dulu atau mandi dulu. Ana sudah masak dan Ana sudah siapkan air hangat kalau Mas mandi.”“Dari jam berapa kamu masak air?” Air panas di rumahku mati jadi harus merebus dulu kalau mau mandi dengan air panas. Aku tidak pernah bilang jam berapa akan pulang. Kadang kemalaman karena jalan dengan Ketrin dulu. Kalau tiap aku pulang air hangat sudah tersedia pastinya dia merebus s
Bab 7: Kejutan dari AnaPertengkaran dengan Mas Radit membawa emosi sampai rumah. Aku mencengkeram rambut dan terus mondar-mandir di ruang tamu.Punya kakak kok sialan sekali. Istri dan anakku dia jadikan lelucon. Meski aku mencintai Ketrin, aku tak ikhlas kalau Ana menikah dengannya. Mana mungkin kubiarkan anakku memanggil ayah pada orang lain.Aku menepuk-nepuk jidat. Ke mana lagi harus kucari Ana.“Ustazah ... Ustazah ....” suara panggilan anak-anak terdengar ramai di depan rumah.Aku segera menghampiri mereka. “Cari siapa kalian?”“Ustazahnya belum pulang, Om?”“Belum. Tidak ada Ustazah di sini.”“Yaaah ....” Mereka mengeluh, lalu pergi meninggalkan halaman rumah.“Ana...!” Aku menggaruk kepala agak kasar. “Semua orang mencarimu.”*Bulan berganti. Ana tak juga kembali. Ibu tetap sakit. Hubunganku dengan Mas Radit juga kurang baik. Aku tak memiliki keberanian untuk datang ke kampung Ana karena mereka pasti menolak kehadiranku.Sedikit sekali yang kutahu tentang Ana. Selain tempat
Bab 8: Menyerah (POV Anaya)Malam tragedi itu. Mataku sangat perih dan rasanya seperti terbakar. Aku buru-buru ke kamar mandi dan membilas muka. Seluruh wajahku terasa panas. Perihnya bahkan tidak bisa hilang dengan dibilas air. Apa lagi di bagian mata. Sangat sakit.Aku mengganti pakaian, lalu duduk di sofa sambil memeluk lutut. Tangan tidak henti-hentinya mengusap mata. Sebetulnya ada yang lebih sakit dari mataku ini, yaitu seonggok daging yang bernama hati. Nyeri sekali rasanya. Aku jarang sekali meminta, aku memohon hanya karena sudah tak kuasa menahan. Ini juga karena mengandung anaknya. Jika Mas Adrian tak punya kasih sayang seharusnya punya empati.Aku menunggunya dengan penuh harap dan air liur yang seperti meleleh. Aku begitu bahagia saat motornya kembali terdengar, terbayang saja bagaimana enaknya makan rujak setelah seharian tak ada makanan yang masuk. Namun seperti ini lah sikapnya.Air mataku mulai berderai. Merasakan hati yang seperti diiris-iris. Sakitnya bukan hanya di
Bab 9. Rumah BaruIstana. Ini terlalu mewah jika dibilang yayasan. Ini rumah konglomerat. Sangat megah, besar, dan luas.“Ana, karena yayasan sudah tutup, jadi malam ini kamu tidur di rumahku. Besok saya berjanji akan mengantarkanmu ke yayasan.”Aku sungkan. Memangnya boleh orang asing masuk ke rumah semegah ini. Mbak Diana menjelaskan kalau ini biasa baginya, dia tak khawatir memasukkan orang yang butuh bantuan karena niatnya tulus.Aku langsung dijamu begitu memasuki rumah megah itu. Banyak sekali makanan yang mereka sediakan, aku tidak bisa makan banyak karena selalu mual. Beberapa kali menahan muntah saat makan sepotong apel.Mbak Diana melihatku dengan aneh.“Maaf, Mbak, Bukan tak sopan. Saya sebenarnya sedang hamil muda.”“Hamil muda?” Mbak Diana mengernyit. “Terus suamimu melakukan KDRT saat kamu hamil begini?”“Saya tadi mengganggu tidurnya karena pingin rujak. Tapi suami saya marah dan malah menumpahkan semua rujaknya ke muka saya.”“Astagfirullah. Kok ada ya lelaki sejahat i
Bab 10: Upah NgajiAku melihat Mas Adrian ada di parkiran bersama dengan kekasihnya. Ketrin memakai selendang dan kaca mata hitam, Mas Adrian membetulkan letak selendang Ketrin dengan sangat perhatian.Aku mengusap perut. Menghela napas dengan berat. Kuurungkan niat bertemu Bu Santi. Untuk apa aku peduli pada ibunya Mas Adrian sementara Mas Adrian saja berusaha menggantikan namaku di hati ibunya.Aku mengawasi mereka dari kejauhan sampai mereka pulang. Aku harus bisa menerima dengan ikhlas kesakitan ini. Rasanya dicampakkan memang tidak enak, tapi inilah yang terbaik. Kita bisa saling melepaskan.“Ya Allah, jika istri yang dicampakkan suaminya termasuk orang yang terdolimi, maka tolong kabulkan doaku. Engkau tak perlu menghukum Mas Adrian, cukup limpahkan rezeki anakku hingga tumpah ruah, sehatkan badannya, sempurnakan fisiknya, jadikan di sebagai qurotaayun-ku yang akan mengganti setiap air mata ini.”Aku pulang dan kembali mengabari ibu. “Ana tak bisa menengok Bu Santi karena Ketrin
Bab 11: Minta MaafMas Radit turun dari mobil dan menghampiriku. “Astaga, Ana. Susah sekali mencarimu.”“Untuk apa mencari Ana, Mas?”“Ibu selalu menangis ingin bertemu kamu.”“Ana sudah memaafkan Ibu.”“Ibu ingin bertemu denganmu langsung. Kalau kamu benci pada Adrian, seharusnya tidak perlu membenciku dan Mbak Yuri, apa lagi Ibu.”“Ana tidak membenci kalian.”“Kalau begitu jangan menghindar. Kasihan Mbak Yuri, Ana. Ibu selalu mengamuk. Dimandiin ingin Ana, disuapin nolak pengin Ana. Pokonya Mbak Yuri gak bisa istirahat karena ibu selalu mengamuk ingin ketemu Ana.”Aku menghela napas. Aku bisa membayangkan kesulitan Mbak Yuri yang harus mengurus orang tua stroke yang punya keinginan.“Please, Ana. Kalau tidak bisa datang buat ibu setidaknya datanglah untuk Mbak Yuri.”Aku menimbang. “Oke, Ana akan datang. Tapi ada syaratnya.”“Apa?”“Jangan bilang Mas Adrian kalau kalian bertemu Ana. Ana tidak mau bertemu dengan Mas Adrian. Dan kedatangan Ana hanya untuk menengok, tidak untuk yang la
Aku membuka bingkisan yang dikemas keresek ini. Begitu membuka isinya aku langsung merasa mual sampai ulu hatiku terasa nyeri. Aku masih ingat bentuk, rasa, dan pedasnya rujak yang diberikan Mas Adrian. Aku masih hafal bagaimana menyambutnya dengan segenap suka cita berharap bisa memakan rujak. Aku juga tak akan pernah melupakan Mas Adrian yang menumpahkan seluruh rujak pedas ke mukaku. Perut mual dan ulu hatiku sakit. Aku tak bisa menahan diri hingga aku mengotori mobil Mas Radit. Mas Radit langsung turun dan membuka pintu belakang. Mulanya aku menduga bahwa dia akan marah atau memaki-maki karena sudah membuatnya jijik, tapi Mas Radit malah menyerahkan tisu. "Cium ini Ana." Mas Radit buru-buru menyerahkan obat oles. Dia mengajakku ke luar karena mobil jadi kotor. "Maaf Mas, aku mengotori mobilnya." "Kamu bicara apa? Itu hanya mobil." Mas Radit menyerahkan tisu basah. "Bersihkan diri kamu ke toilet, Mas akan membersihkan mobil." "Jangan, Mas. Mas Radit tunggu saja, biar Ana yang
“Kenapa kamu harus beli lagi peralatan bayi? Padahal kita punya banyak.”“Ini pemberian kakaknya suamiku, Mbak.”“Lucu-lucu sekali. Dia lebih baik dari pada suamimu.”Ana mengusap pakaian kecil itu. “Iya ya, Mbak, lucu.” Ana sudah tak sabar memakaikan baju itu pada bayi kecilnya. Terbayang mengusap pipi lembut dan tangannya yang mungil.“Mbak pasti kesulitan tanpa adanya kamu.”“Masih banyak yang lain, Mbak.”“Urusan administrasi Mbak cuma percaya sama kamu. Kamu teliti dan rapi.”“Pasti yang lain ada yang lebih baik dari Ana. Hanya belum ketemu saja.”“Kamu gak akan balik lagi setelah lahiran?”“Belum tahu, Mbak. Mungkin Ana akan tinggal di kampung sampai anak Ana besar.”“Gugatan kamu?”Ana terdiam. Gugatan itu masih ditahan Radit karena Adrian berjanji akan berubah. “Ana belum tahu kelanjutannya.”Minggu terakhir Ana di Jakarta. Dia pergi ke rumah Diana, mengajar Kaidan dan Nadhifa sebagaimana biasanya. Ana pamitan pada seluruh anggota keluarga sebelum pulang. Ini hari terakhir dia
Bab 17: AncamanKetrin melihat kepergian Adrian dengan sangat kesal. Dia mengentakkan kaki. Ketrin yakin kalau Adrian akan kembali menemui Ana. Adrian bahkan tidak mengantarkan Ketrin sampai masuk rumah. Padahal luka Ketrin masih basah. Ketrin sangat kesal.Ketrin menelepon Adrian berkali-kali, tapi Adrian tidak mengangkat teleponnya. Ratusan chat Ketrin kirimkan, tapi diabaikan juga. Dari pesan bernada manja sampai yang mengancam, tak ada satu pun yang ditanggapi Adrian.Esoknya, Ketrin menunggu Adrian di lobi. Dia langsung mengejar begitu Adrian tiba.“Kamu ke mana sih? Dari semalam aku hubungi gak dibales. Aku sampe gak tidur.”“Kita harus putus, Ketrin.” Andrian bicara tanpa berhenti jalan.Ketrin terperangah. “Apa?”“Ana menggugat cerai. Aku tidak bisa berpisah dengan Ana. Jadi kita putus.”“Enggak, Adrian, kamu gak bisa kayak gini.”Adrian berhenti sejenak. “Aku sekarang sadar, hanya istri dan anak yang sekarang harus aku prioritaskan. Aku gak bisa hidup tanpa mereka. Tolong kam
“Mau apa kalian ke sini?” Adrian menatap Ana. Dadanya mendadak panas dan bergejolak.“Kami mau memeriksa kehamilan Ana. Bagaimana denganmu?” seru Radit dengan ekspresi songong. Dia menunjuk Adrian dengan muka.“Memeriksa kehamilan dengan orang lain?” Adrian masih menyudutkan Ana.“Bagaimana lagi. Suaminya lupa tanggung jawab.”Adrian melengos. “Jangan menjadi setan dalam rumah tangga kami, Mas!”“Setan?” Radit tersenyum mencibir. Matanya memandang lekat pada tangan Ketrin yang memeluk lengan Adrian dengan erat. “Itu apa?”Adrian buru-buru melepaskan tangan Ketrin.“Tidak perlu begitu. Santai saja. Kami sudah lihat kok. Yang gue tanya, tangan dia kenapa?”“Bukan urusan kamu!” Ketrin menyalak.Radit menggeleng pelan. “Harga dirimu tak setinggi nada bicaramu.” Radit menengok pada Ana. “Ayo, Ana!”Wanita yang sejak tadi diam itu mengekor pada Radit. Dia berusaha abai pada Adrian dan Ketrin.“Begini perilaku wanita yang dibangga-banggakan Ibu? Katanya soleha, tapi berani jalan sama laki-la
Bab 16: GugatanPilihan Ana tidak bisa ditawar lagi. Dia tetap ingin mengajukan gugatan cerai. Radit sempat memohon setidaknya tunggu sampai anak mereka lahir. Siapa tahu Adrian akan berubah setelah melihat anak mereka. Tapi Ana kukuh pada pendiriannya.Radit memberi Ana pengacara. Radit menemani Ana di setiap prosesnya. Ana mengurai semua masalah dalam rumah tangga, pengacara memberi catatan-catatan penting, Radit ikut menyimak.Di pertemuan ke dua, surat yang akan diajukan ke pengadilan itu sudah jadi. Pengacara menyerahkannya pada Ana untuk dibaca ulang.“Apa harus sekarang Ana? Apa tidak tunggu saja?”“Aku mau sekarang, Mas.”“Baiklah, biar Mas serahkan ini pada Adrian. Semoga saja Adrian berpikir ulang.”Ana diam saja. Kesehatannya seperti tidak baik. Radit melihat Ana terlalu lesu dan tak bersemangat.“Kamu sudah punya perlengkapan bayi, An?”“Banyak milik yayasan.”“Begitu ya.” Radit melihat-lihat sekeliling, lalu bertanya kembali. “Kamu punya waktu tidak, Ana. Mas butuh bantua
“Maksudmu?”“Aku akan membawa Ana pulang. Aku akan memperbaiki hubunganku dengan Ana.”Ketrin terperangah. Dia tak percaya dengan apa yang dikatakan Adrian.“Apa itu demi Ibu. Biar Ana bisa ngurus Ibu?”“Bukan. Ini demi anak kami. Aku tidak mau kehilangan anak yang dikandung Ana.”“Kamu tidak mendengarkanku ya? Bisa jadi dia bukan anak kamu.”“Waktu yang akan menjawabnya. Lihat saja nanti anak Ana mirip siapa. Pak Rafasya punya darah blasteran, keturunannya tidak seperti warga asli. Dan yang jelas aku tidak mau menyesal.”Ketrin merasa napasnya jadi berat. “Jadi kamu mau meninggalkan aku?”“Aku akan menikahimu nanti setelah hubunganku dengan Ana membaik.”“Aku mau dijadikan istri kedua?" Ketrin melotot tidak terima. “Keterlaluan kamu, Mas!” Ketrin menggebrak meja hingga membuat semua mata melihat ke sana.“Sabar dulu, Ketrin. Dengar aku.” Adrian berbisik. Malu dilihat orang.“Aku tidak mau mendengar lagi. Kamu cuma punya satu pilihan, yaitu menikahiku. Aku sudah menunggu lama. Kalau k
Bab 15: Restu IbuAna meninggalkan Adrian. Dia meminta sekuriti mengusir Adrian dari yayasan. Adrian buru-buru menghadang dan berlutut di hadapan Ana."Aku berani bersumpah akan mencintaimu dan anak kita, Ana. Mas akan adil.""Tidak perlu, Mas. Mas fokus saja pada Ketrin, tidak perlu memikirkanku. Jadikan dia wanita satu-satunya untuk Mas Adrian.""Ana, kamu mengandung anak kita.""Anak ini akan tetap menjadi anak Mas Adrian meski kita tak bersama lagi. Terima kasih tawarannya tapi aku tidak berminat." Ana menjauh. Adrian dihadang sekuriti."Ana, apa kamu mengharamkan poligami? Kamu tukang ngaji harusnya tidak menolak poligami."Ana menahan langkah dan menengok sesaat. "Aku tidak menolak poligami. Aku menolak meneruskan rumah tangga denganmu." Ana masuk rumah."Ana! Ana!"Pluk! Tongkat sekuriti memukul bokong Adrian."Aw!" Adrian menutup bokongnya dengan telapak tangan."Jangan buat keributan di sini. Pergi sana!"Pluk! Sekuriti melayangkan pukulan berikutnya.“Aw!”“Pergi cepat!”Adr
Adrian teringat Ana yang memakai pakaian dinas. Adrian melotot kaget sekaligus suka, tapi saat itu dia malah mengingat Ketrin. Adrian merasa mengkhianati Ketrin. Hingga yang keluar dari bibir Adrian bukanlah pujian, melainkan makian“Kamu memakai baju apa? Jelek sekali. Tidak perlu bersikap seperti pelacur di hadapanku karena aku tidak akan tertarik.”Lain pula ketika Ana memakai rok mini dan atasan seksi. “Apa begitu cara berpakaian wanita yang ke mana-mana pakai kerudung panjang? Sangat tak pantas sekali.” Adrian mencaci Ana karena takut jatuh cinta. Kalau Adrian sampai jatuh hati pada Ana, Ketrin akan sakit hati. Begitu pikirnya.Adrian selalu menghindar saat berpapasan. Dia tidak pernah benar-benar memandang Ana secara utuh. Pria itu lebih nyaman menghabiskan waktu di kamar dan chatan dengan Ketrin tanpa harus melihat Ana. Semua itu dia lakukan agar tidak jatuh cinta.Sesungguhnya, selama setahun ini Adrian juga merasa tersiksa. Dia pernah berjanji tidak akan menyakiti Ketrin. Adr
Bab 14: Poligami (PoV Author)Adrian meninggalkan Radit dengan bibir yang sobek dan lebam di beberapa bagian. Dia berjalan menjauh dari gudang produksi dengan penuh emosi. Sementara Radit dibantu oleh para karyawannya untuk duduk.Para karyawan sudah siap membantu saat bos mereka dipukuli, tapi Radit memberi kode penolakan agar para karyawan tak ikut campur. Radit menerima semua pukulan tanpa perlawanan. Radit hanya ingin adiknya segera sadar.Radit pernah menikah dengan seorang wanita karier. Sandrina bahkan lebih baik perangainya dibanding Ketrin. Cara berpakaian Sandrina juga tidak semewah Ketrin. Awal menikah baik-baik saja, apa lagi pernikahan itu memang didasari karena cinta.Sandrina selalu mengeluh kalau ada di rumah. Setiap kali beres-beres dia akan mengomel karena merasa tenaganya diforsir. Sandrina merasa posisinya setara dengan suami, sama-sama mencari nafkah, tapi Sandrina punya tanggung jawab lebih yaitu mengurus rumah. Apa lagi setelah hamil dan melahirkan, Sandrina sem
Minggu berikutnya. Aku kembali menunggu Ana di depan masjid. Aku tak yakin dia akan kembali. Tapi usaha saja.Ana ternyata datang. Aku segera menghampirinya. Menangkap tangan wanita yang buru-buru mau kabur ini."Tunggu, Ana!""Ada apa lagi sih, Mas. Mau pamer kebahagiaan lagi?"“Ayo kita pulang!”“Pulang? Sejak kapan aku punya tempat di rumah itu?”“Mas minta maaf, Ana. Mas hanya emosi malam itu.” Aku tidak mengerti perasaanku, tapi rumah itu harus diisi kembali oleh Ana. Rumahku terlalu sepi tanpa Ana.“Tapi perbuatan Mas Adrian membuat aku mengerti kalau Mas Adrian tidak akan pernah mencintaiku dan bayi yang aku kandung.” Ana selalu bilang ‘Ana’ pada dirinya sendiri. Sekarang dia menyebut ‘aku’ seolah menunjukkan kalau aku bukan orang terdekatnya lagi.“Itu tidak benar, Ana.”“Itu artinya Mas mencintaiku?”Aku terdiam. Bimbang.“Aku tahu jawabannya. Mas Adrian hanya minta aku kembali untuk Ibu kan? Agar aku bisa menemani Ibunya Mas Adrian. Maaf, Mas. Aku tidak bisa.” Ana kembali be