“Ikut aku pulang, please.” Aku menyusup dalam pelukan Bram.
Bram mendekapku erat. “Aku pasti pulang, Babe. Tapi belum sekarang, ya. Kamu tau ‘kan kondisi saat ini gimana.”
Aku tahu dia enggan menyebutkan nama Nadhira. “Apa gak bisa dihandle sementara sama Lau aja?”
“Lau juga lagi banyak kerjaan, Babe. Please, mengerti kondisi kita.” Bram mengelus punggungku yang berkeringat setelah beraktivitas menuntaskan hasrat.
Aku mendengkus. Siang atau sore nanti aku pasti akan mengalami hari yang buruk di kantor. Tega sekali dia membiarkan aku sendiri menghadapi semua kekacauan ini.
Bram tiba-tiba bergerak keluar dari selimut untuk menggendongku. “Kita mandi, yuk. Sebelum kamu ke Jakarta harusnya bisa kita manfaatkan satu kali lagi, di kamar mandi.”
Aku meronta. “Gak. Aku gak mau. Kamu egois banget, sih. Gak peduli sama aku. Kamu gak ngerti gimana tertekannya aku tentang hari ini.”
Tatapan Bram mengunciku. “Aku gak tinggal diam, Baby. Aku
Dear Readers Kesayangan, Terima kasih sudah berkenan mengikuti kisah Zeline sampai sejauh ini. Saranghae.
"Hai, Vira. Kangen banget sama kamu," sapaku ketika kaki sudah berada di kantor."Ibu Aline. Maaf, saya mengganggu dengan segala chat dan telepon.""Gak apa-apa, Vira. Toh, gak terbalas juga semua. Jadi, gimana perkembangan kantor? Banyak dokumen penting di meja saya?""Hanya beberapa dokumen pengajuan pengadaan barang yang baru deal tiga hari belakangan, Bu. Sisanya sudah ditangani oleh Ibu Lia.""Great. Saya tinggal, ya." Aku berjalan beberapa langkah, mendadak teringat sesuatu. "Vir, Mami mana?""Saya di sini."Astaga, ternyata sosok perempuan yang coba aku hindari sudah sampai terlebih dahulu di kantor.Aku tersenyum kikuk. "Mami. Maaf, Aline pergi gak pamitan."Mami melangkah ke arahku, tatapannya tajam dan jauh dari kata ramah. Ibarat harimau yang sedang mengunci target buruannya."Vira, jangan biarkan siapa pun mengganggu kami!" titah Mami yang dibalas segera oleh Vi
"Itu lelucon yang sama sekali gak lucu." Aku bersedekap."Kamu 'kan tau, aku jarang melucu. Aku hanya merayu wanita spesial. Kamu." Senyum terlukis sempurna di wajah tanpa cela itu."Udah? Gak ada hal penting lain, kan? Aku balik kerja, ya. Bye."Jeremy mencekal lenganku. "Aku udah nahan rindu sekian lama, kamu malah seketus ini. Gak adil banget.""Lepas!" Aku menyentak lengannya. "Apa aku harus melapor pada Bunda tentang tingkahmu yang melampaui batas?""Lakukan saja. Aku gak peduli. Selagi kalian belum menggelar resepsi pernikahan, aku masih punya peluang untuk merebut kamu kembali.""Oh, really? So sorry, aku gak tertarik! For your information, aku lagi hamil. Kamu gak malu mengejar mantan yang sudah lama move on, bahkan sedang bahagia karena berbadan dua?"Wajah Jeremy berubah. "Kamu ... hamil? Anak Bram?""Oh my God, kamu pikir aku perempuan seperti apa? Aku ini kakak ipar kamu. Te
Moodku berubah menjadi jelek. Tidak mungkin membahas tentang pernikahan dengan kondisi wajah ditekuk parah.Setelah meninggalkan Jeremy sendirian, aku melangkah menuju ruang makan. Tampak Bunda sedang menemani Ayah makan, sambil sesekali bertukar cerita."Bunda, Ayah, Aline pamit, ya. Takut kemalaman di jalan.""Gak jadi nginap?" tanya Bunda."Besok aja Aline mampir lagi. Gak apa-apa ya, Bunda?"Bunda tersenyum. "Iya. Bunda anterin kamu sampe depan, ya?""Eh, gak usah, Bunda. Aline bisa, kok. Pamit ya, Ayah."Ayah mengangguk. Aku sebenarnya ingin bercerita tentang Jeremy, tetapi takut menyinggung perasaan mereka."Kamu mau ke mana?" Jeremy mencegatku di depan ruang tamu."Mau pulang. Aku capek. Malas berdebat sama lelaki egois kayak kamu.""Aku anterin, ya? Aku takut kamu kenapa-kenapa."Aku mendengkus. "Jangan berlagak peduli! Apa kamu lupa, siapa yang sering
Seusai meeting, Mami memintaku untuk pulang bersamanya ke rumah. Aku tak berani menolak. Apalagi Mami langsung mengultimatum aku untuk menyelesaikan masalah bersama Zanna dan Arkana. Rasanya seperti digiring paksa menuju tiang gantungan.Aku menyelinap masuk ke kamar mandi untuk mengetik pesan berisi permintaan maaf kepada Bunda karena batal berkunjung. Untungnya Bunda juga sedang ada urusan di luar bersama Ayah.Aku menyetir persis di belakang mobil Mami. Tidak ada gaya menyetir ugal-ugalan, tetapi jika ingin melihat nyonya cantik itu murka, silakan saja. Namun, aku tak punya cukup nyali.Semakin dekat dengan rumah, degup jantung seolah-olah tak terkendali. Apalagi ketika memasuki areal parkir, sudah ada mobil Arkana di sana.Habislah aku kali ini. Tidak ada kesempatan untuk mundur dan lagi aku menghadapi ini ... sendirian. Ada rasa perih yang tanpa sungkan menganga begitu saja.Berulang kali aku menarik hembus napas setela
"Aku berangkat kerja dulu, ya." Zanna tersenyum lalu menunjuk paper bag. "Aku siapin kotak bekal. Jangan lupa dibawa." "Pasti enak. Makasih ya, Nya." Aku menenteng paper bag dan tas kerja lalu berjalan keluar dari ruang makan. "Aline, Mami hari ini gak ke kantor. Ada urusan tiga hari ke Surabaya. Kamu jangan buat masalah, ya!" Aku tergemap. Kenapa Mami selalu melekatkan kata 'masalah' setiap kali memandangku? Harusnya aku sudah kebal dengan sindiran pedas yang selalu dilontarkan oleh Mami. Namun sayang, selalu ada tambahan luka baru yang membuat parut masih berdarah. "Kalau hanya untuk melontarkan kebencian, lebih baik Mami buang muka aja tiap ketemu Aline." "Jangan karena kamu dilindungi oleh Papi, lantas besar kepala, ya! Kesalahan kamu itu cukup banyak dan gak akan bisa Mami tolerir!" "Terserah, Mami. Aline pamit." Rasanya lebih baik aku berselimutkan kesepian di ranjang dala
"Masih kram perutnya?" Bunda memandangku cemas.Segelas air jahe hangat yang dibuatkan oleh Bunda rasanya cukup membantu. "Sudah mendingan, Bunda. Tapi Aline pengen rebahan.""Di kamar Bram aja, ya. Ayo Bunda anterin.""Tapi ... Jerry, Bun, dia--""Nanti biar Ayah yang marahi dia kalau berani macam-macam." Bunda langsung meyakinkan aku.Senyumku mengembang. Baguslah. Rasanya tidak ingin menambah deretan kesal seharian ini. Bunda melingkarkan tangan di pinggangku."Bun, kalau Aline ternyata belum hamil, gimana?""Ya gak apa-apa. Nikah juga baru. Pacaran aja dulu puas-puasin. Selama ini Bram itu walau sempat punya pacar tapi tetap aja gila kerja. Mana pacarnya matre semua." Bunda langsung manyun."Aline juga matre, Bun." Aku tertawa kecil."Gak. Bunda tau kok, nominal tiap bulan yang ditransfer Bram ke rekening kamu."Langkahku langsung terhenti. "Aline aja gak tau. Gak pernah cek."
“Ini semua brosur dan penawaran untuk paket pernikahan. Aline boleh pilih mau yang mana. Nanti kita bisa survey langsung dan test food juga.” Bunda mneyodorkan beberapa lembar brosur.Setelah selesai makan, Ayah menggiring Jeremy ke ruang kerja, sementara Bunda membawaku ke ruang keluarga.Sebenarnya aku suka sama wedding organizer yang kemarin dipakai untuk acara pernikahan Zanna. Namun, aku tidak ingin menambah keruwetan dengan menjelaskan tentang pertukaran pengantin. Enggan membahas hal yang bisa membuat poinku berkurang di mata Ayah dan Bunda.Masih banyak penyedia jasa wedding organizer lain. Aku mulai membaca satu persatu brosur. “Bunda, kita cek ketersediaan gedung dulu sepertinya. Aline takut gedungnya terlanjur penuh atau wajib booking berapa lama sebelum hari H gitu.”“Kamu pengen di gedung apa?”“Gedung Astoria yang terkenal itu kayaknya sulit ya, Bunda. Pasti pada rebutan kepengen di situ. Hmm
"Pagi, Al. Maaf, aku datang lagi."Jika ada hal yang bisa aku sesali pagi ini adalah melewatkan niat mampir ke kantor Papi. Niat itu berganti dengan keinginan makan siang bersama. Aku berjalan masuk menuju meja lalu duduk. Posisi kami lumayan berjarak."Mau apa?""Aku ... Anya sakit.""Lalu? Kenapa kamu malah ke sini? Harusnya kamu merawat Anya.""Kami bertengkar parah semalam ... karena membahas kamu."Aku bersedekap. "Kamu lagi-lagi menyakiti hati Anya. Udah aku bilang, lupain aku, Kan. Aku sudah punya kehidupan rumah tangga sendiri. Kamu juga gitu. Please.""Aku belum bisa, Al. Kenapa kamu gak bisa ngertiin, sih? Gak semudah itu mengalihkan perasaan, Al. Ini hati, bukan terminal tempat singgah!"Rusak sudah hari bahagia yang aku bawa dari rumah."Aku harus apa, Al? Bagaimana bisa aku mengalihkan perasaan kalau wajahnya persis sama seperti kamu?""Kamu lucu.