“Kenapa belum pulang? keburu macet parah, Dek?” tanya Galuh saat menyambangi ruangan Yudith sebelum pulang.
“Sudah macet kali Bang dari tadi. Nanti dululah mau lempengin punggung,” kekeh Yidith. Punggung kamu kenapa memangnya, bengkok? Atau habis lembur semalam suntuk?” kelakar Galuh. “Tahu saja kamu, Bang.” Yudith sengaja menimpali candaan sepupunya, ia sejujurnya satu minggu ini pulang lebih larut lantaran malas harus bertemu Rajendra di rumah. Sudah satu minggu Rajendra selalu pulang ke rumah selepas bekerja. Setelah masa cuti tiga harinya yang membuat Yudith senewen karena Rajendra berkeliaran di dalam rumah lebih banyak tanpa menggunakan atasan. Lebih sering memakai celana kolor, Yudith sudah pernah menegur untuk memakai setidaknya kaos namun hanya di jawab iya tanpa dilaksanakan. “Aku akan ke rumah sana,” ucap Rajendra pada Yudith yang baru pulang. “Hem,” jawab Yudith. Yudith paham maksud dari rumah sana, rumah tempat istri pertama suaminya yang tengah hamil berada. “Kamu tidak perlu pura-pura lembur setiap hari agar pulang larut karena aku berada di rumah ini.” Perkataan Rajendra diucapkan sambil lalu memasuki mobil hitam besarnya. Yudith menoleh sebentar, rupanya Rajendra mengetahui bahwa lembur hanya alasannya selalu pulang larut malam. Yudith baru meninggalkan ruangannya setelah kantor sudah sangat sepi, dan sampai rumah lebih dari jam sembilan setelah ia mampir beli kopi dan camilan. Yudith mengangkat bahunya acuh dan masuk ke dalam rumah segera, ia sangat capek sesungguhnya dan ingin segera menenggelamkan diri di balik selimut. Gerak tangan yang akan membuka kulkas untuk mengambil air dingin terhenti kala melihat meja makan terdapat beberapa mangkuk dan piring tertutup rapat. “Sudah dibilang jangan pesan makan banyak-banyak yang akhirnya dibuang.” Yudith mendesah saat membuka penutup makanan satu persatu dengan hela nafas panjangnya. “Dia bisa masak nasi ternyata?” Dengus Yudith saat melihat penanak nasinya menyala padahal ia tidak masak nasi saat berangkat bekerja tadi pagi. Yudith sebenarnya sudah membeli beberapa kudapan untuk makan malamnya, namun melihat banyaknya makanan yang dibeli Rajendra ia jadi tidak tega mengabaikan makanan di meja. Mengambil piring bersih, Yudith mengisinya dengan sedikit nasi, udang dan capcai. Biarlah nanti sisanya ia masukkan kulkas. Pukul satu siang usai jam istirahat kantor selesai, Yudith kedatangan kawannya yang beberapa bulan lalu ia temui secara pribadi untuk memeriksakan reproduksinya dan yang memberitahukan bahwa ia belum hamil. “Ganggu enggak, serius aku tanyanya loh.” Wanita muda berkemeja biru muda di hadapan Yudith melayangkan pertanyaan. “Enggak, Luisa. Jangan bilang kamu membolos ya lagi praktik,” kelakar Yudith. Wanita cantik bernama Luisa tersebut melepas tawa dengan melambaikan tangannya akan canda yang dilempar kawannya. “So ... Dokter Luisa yang membolos kerja, ada apa gerangan?” Yudith mengulas senyumnya setelah meneguk minuman yang ia suguhkan untuk tamu. “Iya aku harus bertemu langsung sama kamu ketimbang tanya lewat telepon. Kamu menemui dokter kandungan lain selain aku di rumah sakit tempat aku bekerja?” Luisa bertanya ringan, ia tidak marah atau tersinggung tapi ingin tahu apakah kawannya ini mengalami masalah atau tidak. “Enggak ... aku hanya menemui kamu saja sekali itu. Kenapa, Luisa?” Yudith mengendus ada yang tidak beres. “Lah kemarin aku panggil-panggil pantas enggak menoleh. Aku pikir kalian tidak dengar, lalu siapa yang bersama suami kamu di rumah sakit dan menemui dokter Margareta? Beliau dokter kandungan senior di sana.” Luisa melebarkan mata mendengar jawaban Yudith. “Kemarin? Rajendra?” tegas Yudith. “Aku yakin enggak salah lihat itu suami kamu, yang wanita aku hanya lihat punggungnya saja. Apa suami kamu punya saudara perempuan?” Luisa menanyakan kemungkinan lainnya. “Enggak, Jendra anak tunggal sama seperti aku. Kalau sepupu cewek ada beberapa. Pukul berapa kamu melihatnya? Tanya Yudith.Luisa menghela nafas panjang dan menyandarkan punggungnya. “Masih lumayan pagi, pukul sembilan lebih. Rajendra tidak bilang apa-apa sama kamu?” “Enggak, atau mungkin belum. Dia sangat sibuk dengan proyek barunya.” Yudith cepat memberi alasan agar tidak sampai dicurigai oleh Luisa. “Aku pikir kamu mencari opsi lain untuk memeriksa, aku merasa di khianati,” kekeh Luisa. “Tentu saja enggak, aku bahkan minta konsultasi kamu saat cek up. Nanti aku tanya sama Rajendra, kemungkinan sepupunya mungkin ya. Ada yang baru menikah juga soalnya.” Yudith kembali menyesap minumannya dengan mengukir senyuman hangat. Yudith berupaya keras agar Luisa menerima tanpa curiga alasannya. Ia tidak ingin siapa pun mengendus rumah tangganya berada dalam masalah besar. “Syukurlah kalau begitu, kamu enggak cek lagi? atau masih menikmati masa bermesraan berdua suami?” Luisa melempar guyonan kecil pada temannya.Yudit melepas tawa dan mengangguk. “Iya, kami menikmati waktu kebersamaan kami dulu, kalaupun memang nanti hamil, bersyukur. Kalaupun belum hamil kami tidak masalah.” “Iya bagus seperti itu, rileks tidak terlalu terbebani. Nikmati saja pacaran sambil menikah, jalan-jalan berdua. Bagaimana kabar tante? duh lama enggak main ke rumah kamu.” Luisa membelokkan obrolan ke hal lain setelah memastikan kawannya baik-baik saja. Yudith menghela nafas panjang, mengirimkan sebuah pesan pada Rajendra usai Luisa meninggalkan kantornya. Meminta Rajendra pindah lokasi rumah sakit dan dokter jika memeriksakan Clara karena Luisa mencurigai mereka. Melempar ponsel ke meja ruang kerja di kantornya, Yudith tidak menggubris balasan yang masuk ke ponselnya. Yudith melangkah lunglai menuju mobilnya, ia akan pulang setelah melewati meeting alot dengan beberapa klien. Kepalanya berdenyut kencang, ia memijat sebentar dengan mata terpejam sebelum menyalakan mobilnya. Tersentak kaget saat kaca mobilnya di ketuk dua kali. “Apa?” Yudith bertanya setelah menurunkan kaca mobil putihnya. “Kamu pindah ke samping, aku yang bawa mobilnya.” Rajendra dengan pakaian kantornya membuka pintu kemudi untuk meminta istrinya pindah duduk. Yudith yang tengah sakit kepala tidak punya keinginan mendebat segera turun untuk berpindah duduk ke kursi samping kemudi. Mobil melaju perlahan meninggalkan pelataran parkir kantor Yudith. “Aku lupa kalau dokter kamu bekerja di sana. Apa saja yang dia katakan?” tanya Rajendra. “Enggak banyak, hanya tanya kenapa aku periksa ke dokter lain. Saat aku bilang bukan aku, dia jadi banyak tanya siapa-siapanya. Lain kali hati-hatilah, kamu bebas ke mana saja nanti saat kita bercerai. Pakai topeng saja sekalian biar enggak ada yang kenali kamu,” dengus Yudith. “Teman kamu enggak bocor kan?” tanya Rajendra. “Kenapa kamu cemaskan teman aku bocor apa enggak? yang harus kamu lakukan adalah berhati-hati memainkan sandiwara kita ini. Jika tidak ingin kolega kaku maupun kamu sampai tahu dan kamu tahu sendiri akibatnya bagaimana di dunia bisnis.” Yudith kembali menerocos panjang dengan satu tangan memijat keningnya yang semakin berdenyut. “Kamu sakit?” Rajendra bukan menanggapi perkataan Yudith melainkan malah bertanya kondisinya.“Ada acara dansanya,” bisik Rajendra usai menemui pemilik acara dan mengucapkan selamat, mereka duduk di salah satu kursi tamu-tamu. “Oh ya?” tanya Yudith.Rajendra mengangguk. “Mau turun nanti?” Yudith memicingkan mata dengan mengulum senyum, mengendus maksud tersembunyi laki-laki di sebelahnya. “Aku enggak mau terjadi tragedi gaun atau kaki terinjak dan jatuh di atas pasir.” Yudith menjawab dengan masih menahan senyum pada bibir merahnya.Rajendra berdecap. “Kamu pikir aku seamatir itu? jadi mau ya, indah sekali sunsetnya pasti romantis deh. Ini semacam acara pernikahan dari pada acara peresmian perusahaan ekspor.” “Antimainstream pemiliknya,” jawab Yudith lugas. “Rajendra .... “ “Iya.” Rajendra menoleh ke arah wanitanya ketika mendengar panggilan. “Aku yang enggak bisa dance,” kekeh Yudith. Rajendra meraih tangan Yudith, menggenggam lembut
“Besok kita belanja saja kebutuhan mandi kamu, menumpang mandi kok setiap hari. Harum badan kamu jadi kaya aku karena pakai sabun aku.” Yudith membawa hair dryer karena melihat rambut basah dengan harum sampo miliknya yang dipakai Rajendra. Rajendra melepas tawa, pindah duduk ke bawah sofa bersandar kaki sofa. Membiarkan rambutnya dikeringkan oleh Yudith yang duduk di sofa. “Aku seperti cium diri sendiri,” canda Yudith. “Sabun sampo kamu enak segar harumnya, jadi enggak masalah aku wangi sabun kamu. Besok pulang kerja saja ya beli sabunnya, eh tapi besok aku ada tender di Senopati pasti sampai malam. Kamu belikan saja bagaimana?” Rajendra memejamkan mata saat bisingnya hair dryer menyeruak di antara mereka. “Mana uangnya?” tanya Yudith iseng. Rajendra membalikkan badan, kembali memejamkan mata dengan melingkarkan kedua lengan pada kaki Yudith sementara sang wanita mengeringkan rambut depann
“Yudith ... sudah jam satu, aku pulang ya.” Rajendra membelai kepala Yudith dalam pelukan, keduanya meringkuk dalam kamar sang wanita yang sudah berubah warna menjadi coklat muda. Yudith tidak menjawab namun mengeratkan pelukannya, berhimpitan meringkuk di balik selimut tebal. “Besok Subuh saja pulangnya,” lirih Yudith. “Boleh memangnya menginap di sini?” Pertanyaan Rajendra dijawab anggukan dengan mata terpejamnya. “Nanti digerebek enggak? aku takut dipenggal Galuh,” tukas Rajendra. “Enggak akan, diamlah ... aku mengantuk.” Yudith menggesekkan hidung pada dada bidang Rajendra. “Baiklah ... mari tidur, benar-benar tidur.” Rajendra daratkan kecupan pada kepala Yudith sebelum turut memejamkan matanya. Yudith terlelap dengan cepat, setelah beberapa hari ia mengalami kesulitan tidur, malam ini ia benar-benar pulas bahkan tidak terbangun sekalipun hingga pagi tiba
“Berhenti melihat aku begitu, Sayang. Nanti kamu menyesal,” kekeh Rajendra.Yudith melepas tawa kecil. “Ok ... aku memilih mengizinkan kamu memanggil sayang dari pada aku nanti menyesal.” “Kenapa sih enggak mau sekali dipanggil sayang? maunya apa memang? baby? Honey? Sweety?” tanya Rajendra. “Entahlah enggak ada alasan spesifik.” Yudith menaikkan kedua bahunya acuh. “Teringat aku memanggil wanita lain ya?” terka Rajendra. Yudith menarik kedua sudut bibirnya samar, namun dapat tertangkap indra mata Rajendra dari balik kemudi. “Ya sudah aku panggil Yudith saja biar kamu enggak ingat-ingat lagi.“ Rajendra memanjangkan tangannya membelai pipi kanan Yudith dengan punggung tangannya. Yudith menahan tangan hangat tersebut, mengaitkannya sesaat sebelum ia tepuk punggung tangan Rajendra dua kali. “Ke rumah?” Tawaran Yudith yang sangat amat jarang terlepas dari bibirny
“Masa iya Bu Yudith mau ya sama laki-laki doyan sama banyak wanita begitu? cantikan juga ibu Yudith, sudah pasti kaya tujuh turunan juga.” Ucap seorang wanita berpakaian rapi dengan sepatu merah pada sudut lobi kantor. “Mungkin sudah cinta mati? Atau jangan-jangan bu Yudith kena guna-guna?” timpal wanita lainnya di depan si sepatu merah. “Ah jaman seperti sekarang masih ada guna-guna? Enggak mempan ah, apa mungkin alasan mereka dulu bercerai karena suaminya banyak wanita lain ya? tapi kalau iya, masa mau diulang sama laki-laki seperti itu?” jawab wanita sepatu merah. Yudith berdehem sekali, kedua wanita di sana langsung menoleh ke belakang punggung mereka. Mata mereka melebar sempurna dan keduanya langsung menganggukkan kepala dengan wajah pucat pasi melihat wajah dingin atasan yang mereka gunjingkan sedari tadi. “Eh selamat siang Ibu Yudith,” sapa si sepatu merah terbata-bata. “Kalian suda
“Dek ikut aku.” Galuh menarik tangan Yudith saat berpapasan di depan resepsionis untuk segera menaiki lift khusus pemilik perusahaan. “Ada apa astaga pelan-pelan Abang, sepatu aku hari ini tujuh senti,” gerundel Yudith. Galuh tetap menarik Yudith hingga pintu lift tertutup, membuka ponselnya dan memperlihatkan sebuah gambar pada sang adik sepupu. Mata Yudith melebar saat melihat sebuah foto. Foto Rajendra tengah berbaring dengan badan atas tanpa pakaian dan selimut hanya menutupi sampai pinggang. Bukan perkara tidurnya yang menjadi masalah melainkan siapa wanita di samping Rajendra, Clara. Bukan hanya satu foto itu, melainkan ada satu lagi foto lainnya. Posisi duduk namun Rajendra tengah memeluk leher wanita di sampingnya dengan pipi di cium, Reina. “Kok bisa ada foto itu di hp Abang?” desah Yudith. “Ini dari grup kantor, Dek,” geram Galuh. “Hah? bagaimana? grup kantor yang mana? siapa yang