Share

Istri Sah Sakit

Author: PutriNaysaa
last update Huling Na-update: 2024-02-12 16:50:12

              “Kamu bisa membantah aku lagi nanti saat sudah enggak sakit, bisa? kepala kamu sakit bukan?” Rajendra mengerang pelan saat tangannya berulang kali disentak kala ia memegang bahu istrinya yang sempoyongan turun dari mobil.

                Yudith tidak menjawab dan terus menangkis tangan Rajendra yang ingin memapahnya. Ia memilih berjalan sendiri menuju kamarnya di balik hela nafas kesal suaminya. Mengunci pintu kamar, Yudith menjatuhkan diri di ranjang. Ia yakin hanya butuh tidur dan akan kembali baik, akan tetapi prediksinya salah besar. Ia bangun setelah tidur panjangnya dengan kepala yang semakin berdenyut-denyut, sakit sekali. Dengan memaksa kaki melangkah keluar, Yudith menuju kotak obat di ruang keluarga.

                “Kamu yakin tidak ingin periksa? sepertinya tidak membaik.” Rajendra membuntuti Yudith yang berjalan pelan menuju dapur setelah mendapatkan sebutir obat sakit kepala di tangan.

                “Enggak.” Yudith menjawab, mengisi gelas dengan air putih serta menenggaknya cepat.

                “Wajah kamu pucat sekali.” Rajendra menyentuh kening Yudith, mengabaikan penolakanya.

                “Apa sih,” tolak Yudith.

                Rajendra menarik pergelangan tangan Yudith untuk ia baringkan di sofa karena ia tahu ia tidak diperbolehkan masuk ke dalam kamar wanita pucat tersebut.

                “Tunggu di sini aku akan kompres. Jangan masuk kamar dan mengunci lagi, kalau kamu pingsan enggak ada yang bisa menolong.” Rajendra memberikan peringatan sebelum meninggalkan Yudith yang berbaring beralaskan bantal sofa.

                Yudith memijat keningnya dengan mata terpejam, ia memang tidak sanggup lagi kembali berjalan ke kamar. Semuanya terasa berputar di kepalanya. Rajendra kembali dengan membawa sebuah mangkuk kaca bening, dan mulai mengompresnya.

                “Kamu sudah makan belum? jangan-jangan minum obat belum makan dari pagi?” terka Rajendra.

                “Iya,” jawab Yudith pelan.

                Rajendra tidak bersuara kembali namun Yudith merasa suaminya belum beranjak dari sana, sampai sebuah suara membuatnya membuka mata.

                “Ma ... cara buat bubur untuk orang sakit bagaimana? iya Yudith panas sekali badannya dan sakit kepala tapi sudah terlanjur minum obat padahal belum makan.” Rajendra rupanya menghubungi mama Yudith.

                “Enggak mau periksa, Ma. Nanti kalau semakin sakit aku akan paksa ke dokter. Enggak usah ma, sudah malam mama enggak usah ke sini. Iya aku pasti akan menjaga Yudith, terima kasih ma.” Rajendra mengakhiri panggilan dan menunggu pesan suara yang akan dikirimkan mama mertuanya mengenai bagaimana cara membuat bubur.

                “Mau pindah kamar? aku akan buatkan bubur dulu, mungkin akan makan waktu karena sebelumnya aku belum pernah buat tapi aku usahakan akan layak makan.” Rajendra bertanya pada Yudith yang wajahnya merah lantaran suhu tubuhnya tinggi.

                “Sini saja,” lirih Yudith.

                Rajendra mengangguk, mengganti kain kompres di kening yang mulai kering pertanya demam Yudith tinggi. Yudith kembali membiarkan suaminya entah melakukan kekacauan apa di dalam dapur sana, ia hanya ingin dentum di dalam kepalanya segera reda.

                Yudith merasa bahunya di guncang perlahan dan suara maskulin membelai telinganya memaksa mata lengketnya untuk segera membuka. Kain di kening sudah tidak ada, kepul asap ia lihat dari dalam mangkuk kecil beraroma gurih.

                “Bangun dulu makan terus minum obat, nanti pindah kamar saja istirahat lagi.” Rajendra membantu Yudith duduk, melepas ikat rambut berantakannya dan merapikan kembali.

                Yudith menolak kala akan di suapi, ia hanya demam, bukan cedera tangannya. Hela nafas  panjang Rajendra diabaikan, ia hanya perlu mengisi perut kosongnya yang sekarang bahkan terasa melilit karena belum ia berikan makan seharian.

                “Kamu sakit gara-gara Luisa bilang lihat aku di rumah sakit?” tanya Rajendra.

                “Enggak, memang dari pagi sudah kurang enak badan,” jawab Yudith.

                “Habiskan buburnya saja dulu,” desah Rajendra.

                “Kamu tanya ke dokter bagaimana cara menggugurkan janin?” Yudith bertanya dengan tangan sibuk menyendoki bubur yang lumayan layak di makan.

                “Enggak, aku sudah bilang kan kalau aku enggak akan menggugurkannya. Kamu bilang aku pembunuh waktu itu,” jawab Yudith.

                “Memang, hanya pembunuh yang keji ayah gugurkan anaknya,” sarkas Yudith.

Rajendra menyandarkan punggungnya. “Aku tahu kebencian kamu pasti sangat besar, tapi kamu tidak bisa melabeli seseorang seperti itu. Kamu tidak tahu alasan aku mengapa sampai berpikir ke sana, bukan hanya takut kelak anak itu kena buli. Tapi aku juga enggak mau ibu aku berpikir – “

Yudith menyeringai penuh sindir. “Sekali pengecut tetap pengecut, right.”

                “Terserahlah apa kamu bilang, untuk urusan Luisa yang melihat, aku akan pindahkan pemeriksaan selanjutnya ke tempat yang lain. Kamu tidak perlu mencemaskan itu lagi,” pungkas Rajendra.

                “Di mana kamu sembunyikan Clara?” Yudith mengangkat pandangan tepat ke manik mata suaminya yang ia sadari sedari tadi memperhatikannya.

                Rajendra mengerutkan kening mendengarkan pertanyaan Yudith.

                “Aku tidak menyembunyikannya, dia tetap berada di rumahnya,” tegas Rajendra.

                “Terserah kalianlah, aku enggak peduli. Aku sudah berupaya menyembunyikannya, jika kalian sendiri yang selebor sampai ada yang tahu, maka aku enggak segan buka semuanya. Aku tidak ingin menjadi yang paling diprihatinkan sama orang jika sampai ketahuan.” Yudith meletakan mangkuk yang sudah kosong, meminum air di gelas dan menyandarkan punggungnya.

                “Kamu hanya perlu berada di tempat kamu, tidak perlu mengurusi yang lainnya.” Rajendra memutus pandangan mereka.

                “Tentu saja aku akan seperti itu jika kalian tidak mendatangi aku dan tanya di mana dokter yang bisa menggugurkan janin,” dengus Yudith.

                Hening, tidak ada lagi sahutan dari Rajendra dan Yudith pun tidak ingin memperpanjang percakapan menjengkelkan tersebut.

                “Terima kasih bubur, kompres dan minumannya. Aku akan kembali ke kamar, jika besok tidak keluar kamu bisa dobrak pintunya. Siapa tahu aku mati.” Yudith mengangkat nampan kecil bekas makannya untuk ia cuci segera.

                “Kalau kamu mati habis makan bubur buatan aku, sudah pasti mama kamu akan langsung membunuh aku,” seru Rajendra yang kembali tidak dihiraukan istrinya.

                Rupanya sampai pukul sepuluh malam, demam Yudith tidak kunjung turun. Bahkan bertambah menjadi menggigil saat Rajendra mengeceknya ke dalam kamar. Segera Rajendra mengangkat tubuh lemah sang istri ke mobil untuk membawanya ke rumah sakit terdekat.

                Yudith terkena masalah pencernaan dan memiliki tekanan darah tinggi, malam itu dokter memutuskan Yudith harus menginap untuk mendapatkan perawatan intensif. Yudith beberapa kali sampai mengigau saking tingginya demam. Pagi hari saat ia membuka mata, keningnya berkerut dapati tangannya digenggam oleh Rajendra yang tertidur di kursi dengan kepala pada tepi ranjangnya.

                “Rajendra ... bangun.” Yudith menyentuh bahu suaminya agar bangun.

                “Hem?” Rajendra membuka mata, mengangkat kepalanya dan mengucek mata sebelum menyentuh kening istri mengecek suhu tubuhnya.

                “Sudah turun syukurlah, semalam kamu sampai mengigau. Kamu mau minum?” tanya Yudith.

                “Awas ... aku mau ke kamar mandi,” ujar Yudith.

                “Oh.” Rajendra menyingkir dari samping Yudith dan memegangi lengannya yang hendak turun dari ranjang.

                “Aku bisa sendiri,” tolak Yudith.

                “Aku enggak akan mengintip, hanya antar sampai kamar mandi.” Rajendra bersikeras membantu.

                Yudith tidak memperpanjangnya karena panggilan ke kamar mandi lebih besar dari pada mendebat suaminya yang keras kepala.

                “Kenapa kamu membantu aku?” Yudith bertanya begitu keluar dari kamar mandi.

 

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Rupanya Aku Istri Kedua   Paripurna Sempurna

    “Ada acara dansanya,” bisik Rajendra usai menemui pemilik acara dan mengucapkan selamat, mereka duduk di salah satu kursi tamu-tamu. “Oh ya?” tanya Yudith.Rajendra mengangguk. “Mau turun nanti?” Yudith memicingkan mata dengan mengulum senyum, mengendus maksud tersembunyi laki-laki di sebelahnya. “Aku enggak mau terjadi tragedi gaun atau kaki terinjak dan jatuh di atas pasir.” Yudith menjawab dengan masih menahan senyum pada bibir merahnya.Rajendra berdecap. “Kamu pikir aku seamatir itu? jadi mau ya, indah sekali sunsetnya pasti romantis deh. Ini semacam acara pernikahan dari pada acara peresmian perusahaan ekspor.” “Antimainstream pemiliknya,” jawab Yudith lugas. “Rajendra .... “ “Iya.” Rajendra menoleh ke arah wanitanya ketika mendengar panggilan. “Aku yang enggak bisa dance,” kekeh Yudith. Rajendra meraih tangan Yudith, menggenggam lembut

  • Rupanya Aku Istri Kedua   Gaun Merah

    “Besok kita belanja saja kebutuhan mandi kamu, menumpang mandi kok setiap hari. Harum badan kamu jadi kaya aku karena pakai sabun aku.” Yudith membawa hair dryer karena melihat rambut basah dengan harum sampo miliknya yang dipakai Rajendra. Rajendra melepas tawa, pindah duduk ke bawah sofa bersandar kaki sofa. Membiarkan rambutnya dikeringkan oleh Yudith yang duduk di sofa. “Aku seperti cium diri sendiri,” canda Yudith. “Sabun sampo kamu enak segar harumnya, jadi enggak masalah aku wangi sabun kamu. Besok pulang kerja saja ya beli sabunnya, eh tapi besok aku ada tender di Senopati pasti sampai malam. Kamu belikan saja bagaimana?” Rajendra memejamkan mata saat bisingnya hair dryer menyeruak di antara mereka. “Mana uangnya?” tanya Yudith iseng. Rajendra membalikkan badan, kembali memejamkan mata dengan melingkarkan kedua lengan pada kaki Yudith sementara sang wanita mengeringkan rambut depann

  • Rupanya Aku Istri Kedua   Kemesraan Hangat

    “Yudith ... sudah jam satu, aku pulang ya.” Rajendra membelai kepala Yudith dalam pelukan, keduanya meringkuk dalam kamar sang wanita yang sudah berubah warna menjadi coklat muda. Yudith tidak menjawab namun mengeratkan pelukannya, berhimpitan meringkuk di balik selimut tebal. “Besok Subuh saja pulangnya,” lirih Yudith. “Boleh memangnya menginap di sini?” Pertanyaan Rajendra dijawab anggukan dengan mata terpejamnya. “Nanti digerebek enggak? aku takut dipenggal Galuh,” tukas Rajendra. “Enggak akan, diamlah ... aku mengantuk.” Yudith menggesekkan hidung pada dada bidang Rajendra. “Baiklah ... mari tidur, benar-benar tidur.” Rajendra daratkan kecupan pada kepala Yudith sebelum turut memejamkan matanya. Yudith terlelap dengan cepat, setelah beberapa hari ia mengalami kesulitan tidur, malam ini ia benar-benar pulas bahkan tidak terbangun sekalipun hingga pagi tiba

  • Rupanya Aku Istri Kedua   Kilat Cemburu

    “Berhenti melihat aku begitu, Sayang. Nanti kamu menyesal,” kekeh Rajendra.Yudith melepas tawa kecil. “Ok ... aku memilih mengizinkan kamu memanggil sayang dari pada aku nanti menyesal.” “Kenapa sih enggak mau sekali dipanggil sayang? maunya apa memang? baby? Honey? Sweety?” tanya Rajendra. “Entahlah enggak ada alasan spesifik.” Yudith menaikkan kedua bahunya acuh. “Teringat aku memanggil wanita lain ya?” terka Rajendra. Yudith menarik kedua sudut bibirnya samar, namun dapat tertangkap indra mata Rajendra dari balik kemudi. “Ya sudah aku panggil Yudith saja biar kamu enggak ingat-ingat lagi.“ Rajendra memanjangkan tangannya membelai pipi kanan Yudith dengan punggung tangannya. Yudith menahan tangan hangat tersebut, mengaitkannya sesaat sebelum ia tepuk punggung tangan Rajendra dua kali. “Ke rumah?” Tawaran Yudith yang sangat amat jarang terlepas dari bibirny

  • Rupanya Aku Istri Kedua   Angker

    “Masa iya Bu Yudith mau ya sama laki-laki doyan sama banyak wanita begitu? cantikan juga ibu Yudith, sudah pasti kaya tujuh turunan juga.” Ucap seorang wanita berpakaian rapi dengan sepatu merah pada sudut lobi kantor. “Mungkin sudah cinta mati? Atau jangan-jangan bu Yudith kena guna-guna?” timpal wanita lainnya di depan si sepatu merah. “Ah jaman seperti sekarang masih ada guna-guna? Enggak mempan ah, apa mungkin alasan mereka dulu bercerai karena suaminya banyak wanita lain ya? tapi kalau iya, masa mau diulang sama laki-laki seperti itu?” jawab wanita sepatu merah. Yudith berdehem sekali, kedua wanita di sana langsung menoleh ke belakang punggung mereka. Mata mereka melebar sempurna dan keduanya langsung menganggukkan kepala dengan wajah pucat pasi melihat wajah dingin atasan yang mereka gunjingkan sedari tadi. “Eh selamat siang Ibu Yudith,” sapa si sepatu merah terbata-bata. “Kalian suda

  • Rupanya Aku Istri Kedua   Serangan Lanjutan

    “Dek ikut aku.” Galuh menarik tangan Yudith saat berpapasan di depan resepsionis untuk segera menaiki lift khusus pemilik perusahaan. “Ada apa astaga pelan-pelan Abang, sepatu aku hari ini tujuh senti,” gerundel Yudith. Galuh tetap menarik Yudith hingga pintu lift tertutup, membuka ponselnya dan memperlihatkan sebuah gambar pada sang adik sepupu. Mata Yudith melebar saat melihat sebuah foto. Foto Rajendra tengah berbaring dengan badan atas tanpa pakaian dan selimut hanya menutupi sampai pinggang. Bukan perkara tidurnya yang menjadi masalah melainkan siapa wanita di samping Rajendra, Clara. Bukan hanya satu foto itu, melainkan ada satu lagi foto lainnya. Posisi duduk namun Rajendra tengah memeluk leher wanita di sampingnya dengan pipi di cium, Reina. “Kok bisa ada foto itu di hp Abang?” desah Yudith. “Ini dari grup kantor, Dek,” geram Galuh. “Hah? bagaimana? grup kantor yang mana? siapa yang

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status