Share

Mendiamkan

               “Kenapa kamu ada di rumah?” Yudith mengerutkan kening saat pulang bekerja dan mendapati ada mobil Rajendra serta pemiliknya berada di rumah.

                “Ini rumah aku juga kalau kamu lupa,” acuh Rajendra.

                “Aku tahu ini memang rumah kamu, tapi ini bukan Sabtu sore.” Yudith membuka sepatu dan meletakannya di rak sepatu dan berjalan menuju kamarnya tanpa menunggu jawaban dari Rajendra.

                “Ya memang, harusnya tidak jadi masalah aku mau berada di rumah ini kapan saja. Aku sedang cuti bekerja untuk mengurusi——“

                Rajendra terperangah mendengar sebuah pintu di tutup, Yudith masuk kamar tanpa mendengar ucapannya yang belum selesai. Yudith meletakkan tas dan melepas blazer dan melemparnya ke ranjang sebelum menjatuhkan diri telentang di tengah ranjang rapi berwarna putih. Memandangi langit-langit kamarnya yang polos berwarna coklat muda dengan hela nafas panjang.

                “Sial, ngapain sih pakai tinggal di sini kalau cuti? Urusi saja istri bunting kamu di sana,” gerutu Yudith pada diri sendiri.

                Yudith masih memijat keningnya tanpa mengubah posisinya di atas ranjang.

                “Bodo amatlah mau apa di rumah. Toh ada atau enggak dia di rumah sama saja.” Yudith mengangkat badan dan mulai menanggalkan satu persatu pakaiannya untuk masuk ke kamar mandi dan berendam.

                Yudith bersyukur dalam kamarnya terdapat bathup, rumah yang diberikan Rajendra tidak sebesar rumah orang tua Yudith. Namun cukup fantastis harganya saat Yudith diminta menyimpan sertifikat rumah tersebut, mengejutkan adalah rumah itu atas nama dirinya padahal jelas pernikahan mereka hanya sebuah sandiwara. Rumah dua lantai dengan tiga kamar di lantai bawah dan empat kamar di lantai atas. Yudith menempati kamar di lantai bawah paling depan, berhadapan dengan ruang keluarga. Sementara Rajendra yang hanya ada di rumah saat Sabtu sore hingga minggu sore, lebih sering tidur di kamar atas depan tangga. Rajendra sudah melengkapi seisi rumah hingga peralatan dapur lengkap. Yudith sampai mengerutkan kening dalam saat pindahan, totalitas sekali suami pura-puranya menyiapkan permainan ini.

                “Aku pesan makanan banyak, kamu bisa makan juga.” Rajendra berkata saat melihat Yudith keluar kamar mengenakan celana pendek selutut dengan kaos oblong bergambar menara Pisa.

                Yudith mengangguk saja tanpa suara, menuju dapur. Membuat minuman, ia tidak ... belum lapar, bahkan menjadi malas makan karena melihat suaminya di rumah bukan di hari minggu. Setelah membuat minuman dingin dan mengambil sebuah camilan keju pada stoples kecil yang ia beli saat memenuhi kulkas karena Rajendra bahkan tidak memedulikan apakah ia makan atau tidak selama mereka menikah. Mendengar tawaran makan yang baru saja terlontar dari laki-laki tersebut membuat Yudith ingin tertawa. Apa Rajendra sudah stres sampai menawarinya makan lantaran urusan kehamilan istri pertamanya.

                “Iya itu saja, tolong jangan di siram ya mbak kuahnya pisah saja. Terima kasih.” Rajendra mengakhiri panggilannya di telepon usai memesan makanan.

                “Kamu ingin makan sesuatu? Aku lihat kamu tidak menyentuh makanan yang aku belikan, aku baru saja pesan pizza sama beberapa camilan.” Rajendra bertanya pada Yudith yang baru saja keluar kamar membawa gelas kosongnya dengan cepol rambut tinggi dan berantakan.

                “Enggak usah, aku akan makan saat lapar.” Yudith kembali melewati Rajendra yang duduk menghadap sebuah laptop di karpet lantai ruang keluarga.

                “Ok,” jawab Rajendra.

                Yudith menarik nafas saat berdiri di depan sink, saat ia mengambil air dingin sesungguhnya sudah melihat dan kepalanya panas. Dapur bagai kapal pecah, di sink ada beberapa piring menumpuk bahkan sisa makanan tidak di buang. Ada panci kecil dengan sisa air keruh masih di atas kompor, bungkus mi instan berantakan di samping kompor. Dan beberapa bungkus chips di samping tempat sampai, di lantai, kemungkinan asal lempar dan tidak masuk ke tempat sampah.

                “Tinggalkan saja, nanti aku yang rapikan.” Sebuah suara di belakang Yudith memecah hening.

                Yudith tidak menanggapi, ia cekatan merapikan semua sampah bungkus makanan dari restoran yang berada di meja dapur serta sampah lainnya. Membersihkan dengan cepat, meskipun ia anak semata wayang dan sangat berkecukupan, sang mama mendidiknya menjadi wanita mandiri dalam segala bidang. Bahkan sang papa yang jauh lebih memperlakukan Yudith bak princess, lemah lembut dan melarang Yudith menyentuh hal yang menurutnya berbahaya. Dapur menurut papanya berbahaya, Yudith tidak diizinkan menyentuh barang dapur hingga usianya remaja. Itu pun karena mamanya yang bersikeras meyakinkan sang papa bahwa Yudith tidak boleh menjadi wanita yang hanya bisa menyuruh dan meminta meskipun orang tuanya sangat bisa memenuhinya.

                “Aku seharian memang tidak produktif dan lapar terus.” Rajendra menjelaskan tanpa di minta.

                “Lain kali setidaknya sampah buang pada tempatnya, meskipun tidak dicuci. Akan banyak lalat dan bau dapurnya kalau sampah berserakan.” Yudith menjawab dengan tangan penuh busa cuci piring, masih membelakangi laki-laki dengan celana pendek bola dan kaos hitam polosnya.

                “Lain kali akan aku ingat-ingat,” pungkas Rajendra.

                Yudith membersihkan dapur dari sisa tumpahan minyak dan lainnya hingga kembali kinclong. Mengeringkan peralatan dapur sebelum beranjak untuk kembali ke kamar. Ia akan mendekam di kamar hingga esok hari. Akan tetapi ia harus keluar teras lantaran sang mama melakukan video call seperti biasanya pada pukul tujuh malam.

                “Mas Rajendra? Ada Ma, tidur di kamar. Kecapaian sepertinya,” ucap Yudith.

                “Mama telepon?” tanya Rajendra.

                Yudith menampakkan wajah kagetnya saat melihat sang suami tahu-tahu berdiri di samping kursinya dan menanyakan panggilan videonya dengan mamanya.

                “Eh ... kok bangun, Mas?” Yudith langsung memasang mode sandiwara.

                “Iya ke bangun.” Rajendra menunduk menempelkan kepalanya pada sisi kepala Yudith untuk melihat layar ponsel istrinya.

                “Mama ... sudah makan malam, Ma?” Rajendra bertanya dengan senyuman lebar.

                Yudith tidak bisa menjauhkan kepalanya yang bersentuhan dengan kepala Rajendra karena mamanya tengah memandangi mereka dengan senyuman hangat. Bahkan Rajendra sudah merangkul bahunya dan membelai lembut di sana, Yudith diam membisu seketika.

                “Sudah, Jendra. Kalian katanya juga sudah makan ya, suruh Yudith makannya tambahin. Pipinya terlihat tirus pasti lembur terus, anak itu memang sangat cinta bekerja tapi jangan lupakan kesehatan juga,” papar mama lembut.

                “Iya Ma, nanti aku akan pastikan Yudith menambah makannya yang sedikit sekali itu. Aku juga sering cemburu Ma sama laptopnya yang selalu Yudith pelototi padahal aku di sampingnya, kekeh Rajendra.

                Yudith mengumpat dalam kepalanya, pintar sekali suaminya bicara manis depan mamanya.

                “Jangan seperti itu dong, Sayang. Kalau di rumah perhatikan suami kamu. Cukup di kantor saja kamu bekerjanya. Buatkan makanan kesukaannya juga biar Jendra tidak kekurangan gizi,” ujar mama.

                Rajendra terkekeh mengecup kepala istrinya dengan sang istri yang kaku dalam rangkulannya.

                “Iya Mama ... Mas Rajendra yang minta aku enggak perlu masak macam-macam karena sudah capai di kantor. Jadi kami seringnya pesan atau makan di luar.” Yudith menimpali peran suaminya dengan senyuman tipis di depan layar ponselnya.

                “Makan masakan istri lebih nikmat, Yudith. Kan kamu pintar masak, enggak harus setiap hari juga. Jika dibiasakan dari awal, lama-lama akan terbiasa kok meskipun kamu bekerja bisa sekalian mengurusi suami kamu.” Mama memberikan nasehatnya dengan lembut.

                Percakapan mereka masih berlangsung lima menit ke depan sampai akhirnya sang mama yang menyudahi dengan dalih akan istirahat. Yudith langsung menggerakkan bahunya, di mana bertengger tangan suaminya.

                “Iya tahu sudah selesai, enggak perlu pasang wajah garang juga.” Rajendra menyindir bangun dari duduk dan melangkah masuk.

                Yudith mengerutkan kening saat ponselnya bergetar dan sebuah pesan masuk dari nomor asing.

                “Rajendra setuju tidak menggugurkan kandungan aku, tapi aku di minta bersembunyi sampai melahirkan .... “

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status