“Rajendra belum pulang bertugas juga, Dek?” tanya Galuh. Galuh menyambangi kediaman Yudith tanpa memberitahukan adik sepupunya yang ia dapati hanya mengenakan celana pendek dan kaos polos dengan lambang hati merah di dada kirinya. “Abang kenapa enggak bilang kalau mau ke sini?” Yudith bukan menjawab melainkan melipat tangan di dada dengan tampang kesal. “Memangnya seorang abang harus banget izin kalau mau mengunjungi adiknya?” Galuh melebarkan mata dengan melayangkan sentilan pelan pada kening Yudith. “Iya dong, karena aku sudah berumah tangga.” Yudith mendesah pelan merapikan rambutnya yang ia gelung asal, ia sedang bermalas-malasan di minggu pagi, belum mandi dan sangat tidak layak menerima tamu.“Enggak boleh masuk? Padahal sudah dibawakan bubur ayam mang Hilman.” Galuh mengangkat bungkusan di tangan dan berdecap mendorong bahu Yudith yang masih berdiri di tengah pintu terbuka menghalangi dirinya untuk m
Galuh mendesah. “Kamu mungkin bosan mendengarnya, tapi aku sungguh bisa menjaga cerita seburuk apa pun dan akan selalu berdiri paling depan jika ada yang menyakiti kamu sekalipun itu Rajendra. Mungkin aku enggak bisa memberikan pesan mengenai pernikahan, tapi kamu tahu ke mana harus berlari saat ada yang menyakiti kamu, Dek.” Yudith mengangguk, dadanya terasa amat sesak ingin menjeritkan pada Galuh bahwa ia tidak pernah sekalipun bahagia semenjak wali mengatakan sah saat pernikahannya. “Thanks Abang, Abang pasti yang pertama aku cari kalau aku menghadapi hal buruk. Karena Abang sudah manis sama aku, maka aku rela membuatkan sepiring steak tenderloin lengkap.” Yudith meletakan bantal sofa yang ia peluk dan berdiri untuk menuju dapur. “Enggak jadi deh, kita jalan saja yuk. Sudah lama enggak menonton sama kamu, makan dulu saja baru menonton. Aku traktir tenang saja, aku tahu kamu pelit,” cibir Galuh. “Sialan,” kekeh Yudith p
Galuh mengeratkan pelukan pada Yudith yang telah menyelesaikan cerita panjangnya setelah ia paksa bicara. Makian dan hantaman tinjunya ternyata tidak cukup untuk membayar sakit hati sang adik yang tidak ia ketahui selama enam bulan ke belakang. “Ya Tuhan, Dek ... kegilaan apa yang kalian mainkan ini,” gumam Galuh. Yudith tidak menjawab, entah bagaimana menceritakannya namun ia sungguh sedikit lega setelah menceritakannya. Walaupun Yudith tahu badai menggila siap menghadangnya setelah ini. “Bang Please jangan bilang mama dulu, hanya tiga bulan lagi. Aku akan selesaikan ini secepat mungkin,” pinta Yudith. “Cerai, langsung cerai sekarang tidak perlu menunggu tiga bulan lagi. Perjanjian konyol kalian tidak tertulis hitam di atas putih. Di sini kamu sungguh paling di rugikan. Kenapa kamu bodoh sekali sih Dek terima tawaran gila kunyuk itu? kamu adalah orang paling logis yang aku tahu. Kamu cantik, pintar, mandir
“Sebelum aku jawab masalah perceraian, aku ingin bilang sesuatu dulu.” Rajendra meringis saat nyeri terasa di bibirnya untuk bicara. “Tidak perlu banyak bicara, kamu tidak perlu menjelaskan juga mengapa kamu ada di sana sama Clara. Aku juga tidak menuntut apa-apa dari kamu karena memang aku yang bodoh dari awal, pilihannya apa aku harus menyembunyikan kondisi kamu dari ibu, atau aku kasih tahu ibu untuk merawat kamu. Aku tidak mau merawat kamu soalnya.” Yudith memberikan dua pilihan. “Jangan bilang ibu,” lirih Rajendra. “Ok berarti Clara yang akan menemani kamu,” pungkas Yudith. Yudith mengangkat ponselnya yang bergetar, dari asistennya. Mengangkat sebentar dan mengatakan ia akan segera sampai. Sekali lagi memandang wajah babak belur suaminya, Yudith menghela nafas. “Sory untuk apa yang bang Galuh lakukan, semoga kalian tidak lagi bertemu saat aku enggak ada. Karena aku enggak yakin setelah in
“Tolong rescedule ya, iya saya hari ini enggak bisa masuk. Terima kasih, Risa.” Yudith mematikan panggilan, mengusap wajah. Pagi-pagi sekali ia pergi ke rumah sakit tempat Rajendra dirawat, untuk mengambilkan pakaian dan menyelesaikan urusan di sana agar tidak dilaporkan sebagai pasien hilang. Lalu ia kembali ke rumah mereka untuk mengambil pakaian gantinya, baru kembali ke rumah sakit dan syok dapati Rajendra menggigil kedinginan namun suhu badan begitu tinggi. Ia tidak mungkin meninggalkan suami semarah apa pun, sekali lagi ia menegaskan ia hanya melakukan atas dasar kemanusiaan. “Terima kasih,” ucap Rajendra. Yudith baru saja membantu menggantikan pakaiannya yang basah kuyup karena keringat dingin yang satu jam lalu membuatnya harus mendapatkan sebuah suntikan. “Istirahatlah, kamu bisa mengalami hal seperti tadi kalau kabur lagi,” desah Yudith. “Kamu tidak ingin tahu mengapa Clara kabur?”
“Kenapa kamu terus ingin bicara sama aku? aku sudah serahkan Rajendra sama kamu. Sana diurus, jangan hanya sehatnya, sakitnya juga di urus,” desah Yudith lelah. Lagi dan lagi Clara meminta bertemu dan bicara, Yudith terpaksa menemui karena Clara berkata akan ke kantornya jika Yudith tidak menemui. “Tentu saja aku akan mengurusinya, walau dia pernah meminta aku menggugurkan anaknya. Aku tetap mencintai dia,” gusar Clara. “Lalu mau apa menemui aku?” tanya Yudith malas mendengarkan pengakuan cinta wanita di depannya. “Aku akan menuntut kakak kamu atas penyerangan pada Rajendra, dia juga tidak beritikad baik meminta maaf atau bertanggung jawab atas perbuatannya,” terang Clara. “Galuh tidak akan minta maaf, dia akan melayani jika kamu melaporkannya. Justru kalian yang akan celaka kalau sampai Galuh menceritakan semuanya. Jika sudah siap celaka ... silakan kirimkan laporan. Kamu butuh nama lengkap
“Mama dan ibu menghubungi aku, katanya nomor kamu enggak bisa dihubungi. Aku terpaksa bilang kamu lagi dirawat, pada mau ke sini. Jadi aku ke sini dulu sebelum mama sama ibu datang, runyam nanti urusannya lihat keadaan kamu tapi aku enggak ada di sini.” Yudith menjawab dengan rangkaian kebohongan, mama dan ibu mereka tidak atau belum tahu keadaan Rajendra sekarang. “Ponsel aku lowbet, kamu tadi bawa-bawa amplop. Hasil periksa aku atau apa?” Rajendra bertanya dengan menyandarkan kepala pada kepala ranjang yang sudah dinaikkan oleh perawat. “Oh itu ... bukti pelunasan, istri kamu ke mana? dia belum melunasi pembayaran rumah sakit kamu?” tanya Yudith balik. “Masa? aku sudah minta dia selesaikan? mana coba aku lihat,” pinta Rajendra.Yudith melambaikan tangan. “Sudah aku selesaikan, memang harusnya abang yang tanggung jawab karena membantai kamu kan? kamu belum makan? kok masih utuh makanannya?” “Belum lapar,” d
“Aku akan mengurus Bang, please jangan bilang sama mama dulu. Aku menerima pernikahan ini dan aku juga yang akan menyelesaikannya.” Yudith berkata pelan pada Galuh yang berdiri di ambang pintu ruang kamar rawat Rajendra. Setelah menjalani sepuluh hari perawatan di rumah sakit, Rajendra diperbolehkan pulang. Mama dan ibu mereka begitu marah dan terus bertanya apakah pelaku sudah ditangkap atau belum. Rajendra mengatakan jika ia sudah melaporkan dan sedang di cari. Di hari kepulangan, Galuh ikut datang karena diminta mama Yudith membantu Rajendra. “Iya iya ... kamu memang sudah dewasa.” Galuh mengacak rambut Yudith di bawah tatap Rajendra yang sedari tadi memperhatikan mereka. “Kamu harus langsung bilang aku kalau kupret itu bertingkah, ok?” Galuh mengatakannya berbisik, namun Rajendra masih dapat mendengar dengan jelas. Yudith mencubit lengan sepupunya yang tertawa akan ucapannya. Mereka pulang dengan diantar