P.O.V Metta
Entah apakah aku ini adalah istri yang begitu menyedihkan atau keterlaluan jika ternyata aku baru mengetahui bahwa selama 3 tahun lebih aku telah diduakan oleh suami yang selama ini kukenal baik dan sangat setia.
Kaget? Tentu saja. Tapi apa aku harus langsung melabrak wanita kedua suamiku itu, sedangkan aku sendiri saja masih sangat bergantung hidup padanya? Akhirnya aku memilih diam untuk sementara waktu, sambil memikirkan apa saja yang akan kulakukan untuk membuat semua orang yang mengkhianatiku itu menyesal. Aku mengetahui pengkhianatan suamiku pertama kalinya saat siang itu tiba-tiba aku ingin sekali menemui mas Bimo di toko. Ada hal yang ingin kubicarakan segera dengannya mengenai masalah Ibas di sekolah. Biasanya aku tak pernah mengganggunya dengan datang mendadak ke toko tanpa pemberitahuan. Tapi entahlah hari itu, mungkin memang sudah saatnya Tuhan menunjukkan semuanya padaku. "Bapak lagi keluar, Bu," kata salah seorang karyawan kami. "Kemana?" Dahiku sedikit berkerut mendengar itu. "Wah, kurang tau tuh, Bu. Mungkin bertemu teman atau teman barangkali." "Tadi bapak bilang mau balik ke sini lagi jam berapa nggak?" tanyaku lagi. "Enggak bilang, Bu. Tapi biasanya bapak kalau keluar nanti baliknya sore, pas toko udah mau tutup gitu," jelas karyawan itu. Aku tersentak. Jadi selama ini ternyata mas Bimo sering meninggalkan toko seharian penuh? Aku kira dia tak pernah absen menjaga tokonya. "Memangnya bapak sering keluar ketemu teman ya?" Aku masih diliputi penasaran yang tinggi. "Ya lumayan sih, Bu. Seminggu bisa dua atau tiga kali." Nampaknya karyawan itu tak terlalu curiga dengan pertanyaan-pertanyaan menyelidiku. Ini adalah berita yang sangat mengejutkanku. Hatiku sontak jadi penuh kecurigaan karenanya. Berbekal itu, aku pun memanggil Ira, salah satu karyawan senior yang paling kami percaya di toko. Dia sudah bekerja di toko sejak mas Bimo baru mulai merintis usahanya itu dan lumayan dekat dengan keluarga kami. "Saya benar-benar nggak tau apa-apa, Bu." Awalnya wanita usia hampir 30 tahunan itu tidak mau mengaku. Namun setelah kuberi pengertian sebagai sesama wanita dan sedikit ancaman untuk mengeluarkannya dari pekerjaannya, Ira pun berubah jadi informan tetapku sejak saat itu. "Jadi bapak sering meninggalkan toko selama ini?" tanyaku mengulangi. "Iya, Bu. Biasanya saya yang disuruh menghandle pekerjaan beliau," katanya. "Kata bapak dia pergi kemana?" "Nggak ada yang tahu. Bapak hanya bilang ketemu teman saja, Bu." Untuk pernyataan ini aku mempercayainya. Nampaknya memang karyawan kami tidak ada yang tahu mengenai apa yang dilakukan mas Bimo di luar toko. Hingga kemudian kuputuskan untuk menjadikan Ira sebagai mata-mataku di toko suamiku sendiri. ... Suatu hari, Ira mengabariku bahwa mas Bimo pamit keluar. Lalu aku pun segera memerintahkannya membututi suamiku, dengan menyuruhnya ijin pulang lebih awal. Dan dari Ira lah akhirnya aku tahu, kemana sebenarnya mas Bimo pergi selama ini. Dia menuju ke sebuah kompleks perumahan yang masih tergolong baru. Dan Ira berhasil mengambil foto maa Bimo bersama seorang wanita dan anak perempuannya yang berusia sekitar 3 tahunan. Wajah wanita itu tentu aku tak mungkin lupa. Dia adalah istri dari mendiang adik mas Bimo yang bernama Seno yang meninggal karena kecelakaan 4 tahun yang lalu. Namun yang mengherankanku, kenapa sekarang suamiku yang bertanggung jawab dengan kehidupan wanita itu? Apakah mereka berdua telah menikah?... Setelah beberapa kali penyelidikan dibantu oleh Ira, akhirnya aku pun tahu bahwa mas Bimo dan Linda memang telah berstatus suami istri, menurut warga sekitar. Dan Linda telah menghuni rumah itu beberapa bulan setelah kematian adik mas Bimo. Benar-benar kenyataan yang menyesakkan dada dan pengkhianatan yang sangat sempurna. Karena kemudian semakin ke sini aku semakin curiga bahwa ibu mertuaku dan kakak-kakak iparku juga turut andil dalam pengkhianatan mas Bimo padaku.Hari itu rumah pengusaha Fabian Wiguno terlihat sangat ramai. Pesta kecil sengaja digelar khusus untuk menyambut kedatangan saudara perempuan serta dua anaknya yang rencananya akan kembali dari Amerika untuk berlibur.Amanda Wiguna dengan dua anaknya, Darryl dan Hannah memang telah lama menetap di America. Anak-anak Amanda meminta untuk dipindahkan sekolahnya ke luar negeri setelah ketok palu pengadilan memutuskan hukuman untuk ayah mereka. Amanda sendiri awalnya hanya bermaksud menemani dua buah hatinya menimba ilmu sekaligus ingin melupakan segala permasalahan yang terjadi di masa lalu mereka. Namun rupanya Amanda terlanjur nyaman berada di negeri paman Sam itu.Metta yang melakukan semua persiapan untuk menyambut kedatangan saudara perempuan suaminya. Dia sendiri juga begitu rindu ingin bertemu dengan sang ipar. Tak lupa, Metta juga mengundang ke empat sahabat mereka; Devita, Ayu, Rani, dan Revi. Bagi Metta, kepulangan Amanda kali in
"Sudah siap?" Fabian melongok dari arah pintu kamar.Metta yang sedang menyelesaikan dandanannya di deoan meja rias pun menoleh."Bentar lagi, Mas. Sini deh, Mas." Dilambaikannya jari-jari lentiknya ke arah sang suami."Kenapa, Sayang?""Sebenarnya mas mau ajak aku kemana sih? Dati kemarin nggak mau cerita ih." Metta membalikkan badan menghadap sang suami. Namun Fabian hanya tersenyum penuh misteri, seolah membiarkan istrinya dihantui rasa penasarannya sendiri.Semalam tiba-tiba saja Fabian mengatakan ingin mengajak Metta ke suatu tempat. Anehnya lelaki itu tidak mau mengatakan akan kemana."Kalau kukasih tahu jadinya nggak surprise dong," selalu begitu jawab suaminya."Hmmm baiklah. Daripada penasaran, kita berangkat sekarang aja kalau gitu."Dengan raut pura-pura kesal, Metta pun bangkit dan berjalan ke luar kamar sembari menggandeng
Berhari-hari Bimo selalu teringat pertemuannya dengan Linda di penjara. Tentang bagaimana nampak tertekannya wanita itu, juga pertanyaan Linda tentang pernikahan.Di banding kondisi Linda sekarang, Bimo merasa jauh lebih beruntung. Linda memang telah salah langkah. Terpuruknya kehidupan mereka di masa lalu tak membuat Linda jadi insyaf dan mengambil hikmah dari semua itu. Justru wanita itu semakin gila dengan harta dan kemewahan.Seandainya saja dulu Linda tidak meninggalkannya untuk lelaki kaya bernama Rexiano itu karena silau dengan hartanya, mungkin saat ini mereka berdua masih menjadi sepasang suami istri meskipun hidup dalam kesederhanaan.Tapi nasi memang telah menjadi bubur. Semua yang telah dilakukan Linda harus dipertanggung jawabkan di dalam penjara.Entah kenapa, pertanyaan Linda tentang apakah dia sudah menikah adalah yang paling membekas di hati Bimo beberapa hari terakhir. Seolah i
"Papa pulang!" teriak Tiara seperti biasa saat melihat Bimo datang dengan menggunakan ojek online. Lelaki itu memang sengaja pergi dan pulang kantor menggunakan transportasi umum agar sepeda motornya tetap bisa dipakai oleh kakaknya berjualan.Norma yang sedang menyuapi Tiara sore itu pun ikut girang. Sudah dua bulan ini Bimo bekerja di kantor Wiguna Group dengan gaji yang lumayan menurut mereka."Kok sore gini udah pulang, Bim?" tanyanya seketika setelah melirik jam di dinding yang baru menunjuk pukul 4 sore."Iya, Mbak. Kebetulan hari ini kerjaannya yidak begitu banyak. Tapi mungkin besok malah lembur sampai malam.""Oooh gitu. Ya sudah sana bersihin badan kamu dulu. Habis itu makanlah, aku sudah masak tadi.""Pa, Tiara boleh minta sesuatu nggak?" Tiara yang melihat Bimo akan beranjak, tiba-tiba langsung meraih tangannya lelaki itu."Boleh dong. Tiara mau minta ap
"Kamu serius, Bim?" Norma membelalakkan mata usai mendengar cerita adiknya."Serius, Mbak. Aku juga kaget tadi waktu dia mengatakan itu."Norma menggeleng-gelangkan kepalanya dan berkali-kali berdecak."Kok ada ya Bim, orang sebaik pak Fabian itu. Metta benar-benar wanita yang sangat beruntung bisa jadi istri lelaki seperti itu. Trus ... trus, kamu jawab apa waktu dia nawarin itu? Kamu menerimanya kan?""Aku belum mengatakan apa-apa, Mbak. Aku masih bingung. Aku sudah lama sekali nggak kerja kantoran. Aku nggak yakin aku masih bisa.""Jadi kamu nolak tawaran pak Fabian? Ya ampun Bimoooo. Kamu itu gimana sih?""Belum, Mbak. Aku belum bilang menolak. Aku bilang masih bingung. Tapi besok kalau aku bersedia, aku disuruh datang langsung ke kantornya."
"Titip Ibas ya, Mas. Minggu siang nanti kita jemput," ucap Metta saat akhirnya dia dan suaminya berpamitan pada Bimo."Jangan siang, Ma. Sore aja," sahut Ibas. Metta agak melebarkan mata pada anak lelakinya mendengar itu. Namun bibirnya tetap saja harus menampakkan senyum."Kalau Ibas pulangnya kesorean nanti gak cukup istirahatnya, Sayang. Kan senin sudah harus masuk sekolah lagi. Mama jemput siang aja ya?""Iya deh kalau gitu, Ma.""Jangan khawatir, Met. Bimo nggak akan pergi kemana-mana kok hari ini. Nanti biar aku sendiri aja yang jualan. Biar Ibas bisa puas maen sama papanya." Norma seolah tahu kekhawatiran Metta."Iya, Met. Jangan khawatir. Ibas akan baik-baik saja di sini," lanjut Bimo."Ya udah. Makasih ya, mbak Norma, Mas Bimo. Kami pamit dulu kalau gitu. Ibas baik-baik ya. Jangan rewel dan ngrepoti