Rencana Rimba adalah menukar mobil yang ia kendarai agar tidak terlacak. Untuk itu, ia membawa mobil rampasan tersebut ke hotel tempatnya menginap saat pekerjaan aslinya dan Sarah, terungkap oleh Rinto.
Di parkiran, Sarah dan Rimba segera memindahkan senjata dan peralatan rampasan lainnya ke mobil operasional Sarah dan Rimba. Kemudian, tanpa membuang waktu, mereka meninggalkan hotel.
“Kita ke mana? Oh, aku harus mengabari keluarga Bang Rinto ….”
Kalimat Widya menggantung saat menyadari bahwa keluarga Rinto mungkin berada dalam pengawasan. Jika Widya mengontak mereka, bisa jadi justru akan membahayakan keluarga yang tidak tahu apa-apa itu.
Widya juga tidak mungkin kembali ke rumahnya. Orang-orang itu pasti sudah mengantisipasinya. Lebih tidak mungkin lagi pergi ke kontrakan yang sudah ditinggalkan oleh Sarah dan Rimba.
Masih dalam posisi menyetir, Rimba mengeluarkan ponselnya. Ia menghubungi seseorang dan berkata singkat, “s
“Apa ini ada hubungannya denganmu?” sergah Sakti pada Rimba. “Ah, seharusnya aku sudah membunuhmu jauh-jauh hari. Aku tidak peduli lagi jika mentorku itu marah karena tidak mendapatkanmu!”Sebelum Widya dan Andre sempat menjawab, terdengar bunyi ketukan di pintu. Terdengar suara seorang pria meminta izin masuk, yang membuat perhatian Widya dan Andre teralihkan sejenak sehingga mereka lengah.Situasi itu dimanfaatkan oleh Sakti untuk meluncurkan sebuah perintah.[“Diam di tempat!”]Dalam sekejap, Widya kembali terpengaruh. Ia menjadi kaku, seperti patung yang tegak di tempatnya. Andre pun demikian. Setelah merasakan kebebasan walau sejenak, kini ia kembali dikendalikan oleh Sakti.Hanya Rimba yang tidak terpengaruh kekuatan SABDA. Sejenak ia melirik kedua rekan seperjuangannya, lalu beralih pada pintu yang dibuka dari luar.Saat seorang pria—sosok yang membantu Sakti mengendalikan sebagian pasukan&mda
Beberapa saat sebelum Sakti kembali ke ruangannya usai mengurus masalah kelaparan yang dialami oleh pasukannya.Widya tak peduli lagi. Ia akan menembak Sakti seandainya memang pria itu yang hendak memasuki ruangan. Hanya itu satu-satunya kesempatan untuk lolos dari kebiadaban pria itu.Widya menarik napas dalam saat pintu mulai terkuak. Dengan nada menahan kemarahan, ia memerintahkan agar orang yang hendak masuk itu untuk berhenti di tempatnya.“Jangan bergerak! Atau aku tembak!” ancam Widya.Pintu pun perlahan terbuka lebih lebar. Menampakkan sosok Andre dengan tangan terangkat di depan dada dan Rimba yang kedua tangannya berada di balik punggung. Keduanya tampak terkejut melihat Widya menodongkan pistol dengan garang.Untuk sesaat, Widya gembira karena dapat melihat Rimba lagi. Namun saat menyadari bahwa masih ada Andre di sana, ia kembali bersiaga. Mengarahkan senjata pada pria yang beberapa kali dilihatnya bersama dengan Sakti itu.
Dalam hal ini, level seorang jenderal tentu jauh berbeda dengan level perwira menengah seperti Sakti. Jenderal seperti Prakasa tentunya sudah menyusun taktik dan strategi dengan matang sebelum turun ke lapangan. Bahkan hal yang tampak ‘remeh’ seperti sekadar mengisi perut pun, harus direncanakan dan dilaksanakan dengan matang.Sakti merasa dirinya sangat bodoh karena sempat berpikir untuk menyingkirkan sang mentor menggunakan kekuatan SABDA-nya. Padahal, masih banyak yang harus ia pelajari dari panglima tertinggi angkatan bersenjata di negara ini. Sementara SABDA tidak mengajarkan apa-apa padanya, kecuali menjadi alat untuk mendapatkan kekuasaan.Setelah memastikan para bawahannya akan mendapatkan makan malam, Sakti kembali ke ruangannya. Masih ada Widya yang menunggu di sana. Tapi, Sakti sudah tak berminat lagi untuk memuaskan dirinya. Ia hanya ingin memastikan agar keadaan pasukannya aman sentosa sebelum ia melepaskan ‘kekuasaan sementara’ ini
Di blok penjara tempat Rimba ditahan, pada saat yang bersamaan dengan saat Sakti hendak mengambil kesempatan dari Widya.Melihat Rimba sudah melepaskan borgol yang membelenggunya, Andre bergegas menghampirinya. Dengan kasar ia mencengkeram kerah kaus Rimba.“Kau bisa meloloskan diri dari borgol? Kau anggota pasukan khusus juga? Katakan, kau dari kesatuan mana?!” bentak Andre.Namun Rimba menepis tangan Andre dengan tak kalah kasarnya. Ia segera menjauh dari Andre, tapi matanya menatap tajam.Dengan menggunakan kunci yang ada pada dirinya, Andre hendak membuka sel Rimba. Satu tangannya menempel gagang pistol yang masih ia sarungkan. Waspada.“Kau juga kacung tentara jahat itu, ‘kan? Berhentilah menuruti perintah Sakti!” bentak Rimba yang bersiaga karena bisa saja Andre membolongi tubuhnya dengan peluru.Tiba-tiba, Andre yang sedang mendorong pintu jeruji, membeku di tempatnya. Ia terbelalak sangat lebar hingga se
Dengan tubuh masih gemetaran karena harus menahan diri agar tampak masih terhipnotis, Widya berjalan menuju dispenser air minum. Ia menenggak air dua gelas, lalu membuka sebuah kulkas mini. Selain air mineral botolan, hanya ada buah-buahan yang tersimpan di sana. Pemilik asli ruang kerja ini pasti seseorang yang bergaya hidup sehat.Dengan rakus, Widya melahap apel dan pisang yang tersedia di dalam kulkas. Seperti pasukan Sakti, dia lapar sekali. Saat tiba di pulau kelapa, ia tidak sempat makan dan langsung tidur karena kelelahan. Hingga Widya dibawa ke markas ini oleh Sakti, Widya hanya makan gabin yang diberikan oleh Rimba saat masih berada di kapal kecil siang tadi!Widya tertegun sejenak saat mengingat Rimba. Bagaimana kabar pemuda itu sekarang? Apa yang telah Sakti perbuat padanya? Apakah dia baik-baik saja, atau telah ….Widya menggeleng cepat. Mengusir jauh-jauh bayangan buruk itu. Setelah kehilangan Bunda dan Rinto, Widya merasa, dia tidak akan sanggup m
Sakti melepaskan hijab yang melindungi kepala Widya. Ia tersenyum saat memandang rambut hitam yang ternyata mencapai pundak itu. Sudah lama sekali ia tidak melihat rambut itu. Semenjak Widya memutuskan untuk mengenakan hijab saat duduk di bangku kelas tiga SMP, Sakti tidak dapat lagi melihat salah satu sumber kecantikan Widya itu.“Kamu memang cantik. Jenderal Prakasa pasti akan marah jika aku sampai mengkhianati keponakannya demi kamu, Widya. Aku akui, aku salah. Tapi, dengan kekuatan SABDA-ku, aku akan membungkam tua bangka itu,” ujar Sakti sambil membelai lembut pipi Widya.Di ruang kerja Sakti—yang sebenarnya adalah ruang kerja pimpinan tertinggi markas yang Sakti duduki, memang hanya ada Sakti dan Widya. Hal itu membuat Sakti bebas melakukan apa saja yang ia inginkan terhadap Widya. Apa pun. Termasuk menikmati kebersamaan yang dahulu tak berani Sakti raih saat Widya belum berlabuh ke hati Rinto.Namun, sekarang, tidak ada orang yang dapat menghentikan keing