Sebelumnya, saat Sakti membuka mulut sebelum menancapkan pecahan kaca ke mata Rimba, Rimba dengan cepat menarik lidah Sakti. Akibatnya, Sakti tersentak ke bawah. Pecahan kaca yang dipegangnya malah menusuk pundak Rimba.
Kemudian, dengan tangannya yang memegang pisau, Rimba menusuk bagian tengah lidah Sakti hingga putus! Tusukan itu sangat dalam, hingga menembus dagu Sakti.
Sakti kini tak berdaya dengan bahu dan mulut yang berlumuran darah. Setelah terbatuk dua kali, ia memuntahkan darah dalam jumlah yang cukup banyak. Kemudian, tubuhnya terhuyung dan terkapar di lantai. Pingsan.
Rimba hanya menatap tubuh tentara yang pernah digadang-gadang menjadi pengganti panglima militer saat ini tersebut. Ia hendak berjalan ke luar ruangan, namun langkahnya terasa berat. Rasanya lelah sekali. Bagaimana pun, luka-luka di tubuhnya dan pertarungan dengan Sakti telah menguras tenaganya. Juga darahnya.
Bagaimana selanjutnya? Apakah rencana mereka berhasil? Apakah setelah k
Namun Prakasa tetap bersikap tenang. Dengan santai ia melepaskan cengkeraman Sakti yang lemah.“Aku lega karena Daud dan orang-orangnya tidak mencurigaiku. Selain karena kasus penguasaan kota ini, kau mungkin akan diburu karena kasus pembantaian dua tahun lalu itu. Terima kasih, anakku. Kau sudah menutupi apa yang sudah aku lakukan terhadap putra Daud itu,” lanjut Prakasa. Ia mencium kening Sakti dengan lembut.“Kau pasti paham, mengapa aku membantai prajurit-prajurit muda itu dan memfitnah Rizwan. Setelah nama Daud tercoreng karena kasus itu, aku bisa melesat sendirian dan mendapatkan posisi puncak ini. Yah, walaupun kelihatannya, aku akan kesulitan mempertahankannya setelah kegagalanmu yang memalukan ini.”Sakti terperangah. Merintih, mencoba untuk berbicara pada Prakasa yang hendak meninggalkan kamar tempatnya dirawat.Sebelum membuka pintu, Prakasa berbalik untuk mengucapkan satu lagi pengakuan yang membuat Sakti terbelalak tak
Prakasa mengembuskan napas kasar saat melihat keadaan Sakti. Luka-lukanya membuat perwira super itu harus tergolek lemah di ranjang. Luka di lidah, dagu dan bahunya telah diobati, namun mentalnya tidak akan terobati secepat itu.Prakasa kembali mengembuskan napas kasar saat melihat tatapan dan ekspresi Sakti. Bola mata yang membesar dengan otot-otot wajah yang menegang menunjukkan betapa terguncangnya pemuda itu.Yah, kekalahan memang sulit diterima jika kau terbiasa menjadi yang terbaik. Prakasa lupa mengajarkan hal itu, hingga Sakti harus mendapatkannya dengan cara yang tak hanya sangat keras, tetapi juga kejam.“Kau ingat,” ujar Prakasa sambil mendudukkan diri di tepi ranjang, “saat kita pertama kali bertemu. Setelah kau membantai keluarga perempuan yang hatinya tidak bisa kau taklukkan itu? Aku membungkam mulutmu, ‘kan?”Sakti yang belum dapat mengeluarkan sepatah kata pun, hanya melirik sekilas. Ia hanya bisa menunggu ke
Sebelumnya, saat Sakti membuka mulut sebelum menancapkan pecahan kaca ke mata Rimba, Rimba dengan cepat menarik lidah Sakti. Akibatnya, Sakti tersentak ke bawah. Pecahan kaca yang dipegangnya malah menusuk pundak Rimba.Kemudian, dengan tangannya yang memegang pisau, Rimba menusuk bagian tengah lidah Sakti hingga putus! Tusukan itu sangat dalam, hingga menembus dagu Sakti.Sakti kini tak berdaya dengan bahu dan mulut yang berlumuran darah. Setelah terbatuk dua kali, ia memuntahkan darah dalam jumlah yang cukup banyak. Kemudian, tubuhnya terhuyung dan terkapar di lantai. Pingsan.Rimba hanya menatap tubuh tentara yang pernah digadang-gadang menjadi pengganti panglima militer saat ini tersebut. Ia hendak berjalan ke luar ruangan, namun langkahnya terasa berat. Rasanya lelah sekali. Bagaimana pun, luka-luka di tubuhnya dan pertarungan dengan Sakti telah menguras tenaganya. Juga darahnya.Bagaimana selanjutnya? Apakah rencana mereka berhasil? Apakah setelah k
Andre membawa Widya menemui dua orang tahanan yang telah meledakkan berbagai fasilitas di markas. Dalam perjalanan, mereka sempat bertemu dengan dua orang anak buah Sakti yang tampaknya hendak menuju ke ruangan tempat Sakti berada.Dengan sigap, Andre melumpuhkan salah seorang dari mereka dengan meninju ulu hati, dilanjutkan dengan menyikut dagunya. Sementara Widya? Ia menembak kaki lawannya dan membuatnya pingsan dengan memukul kepalanya.Andre melongo sejenak karena merasa penembakan itu tidak perlu. Namun Widya hanya mendengus, lalu meninggalkan Andre begitu saja. Barangkali ia masih kesal karena tidak tuntas membalas dendam pada Sakti.“Cewek yang mengerikan,” gumam Andre sebelum mengikuti Widya yang sudah menjauh.Di luar gedung, Andre dan Widya langsung mencari dua orang tahanan yang menunggu di gudang senjata. Mereka menyelinap melalui hiruk-pikuk akibat kekacauan usai ledakan demi ledakan di markas.“Kalau Sukri berhasil,
Rimba, yang tampaknya sudah lelah dengan drama di antara dua orang mantan penghuni panti asuhan tersebut, mengisyaratkan agar Andre membawa Widya pergi, sesuai rencana awal mereka. Ia tidak bisa menunggu lagi.Andre paham maksud Rimba, lalu segera menarik Widya agar keluar dari ruangan. Namun Widya berontak, masih ingin membuat perhitungan dengan Sakti. Tampaknya, ia melupakan rencana awal mereka karena dendam yang timbul usai mendengar pengakuan Sakti.Rimba menepuk bahu Widya. Polwan itu menoleh dan melihat Rimba menggeleng lemah.“Biar aku saja,” kata Rimba, membujuk Widya.“Kamu terluka dan babak belur begitu. Apa yakin bisa melawan orang jahat itu?” sergah Widya pada Rimba.“Dia juga terluka. Jadi imbang,” jawab Rimba kalem.Widya mendengus kesal. Ia menoleh pada Sakti yang masih menekan bahunya untuk mengurangi pendarahan.“Kalau kita tidak butuh dia hidup-hidup, aku sudah menembak kepal
Sakti menarik pelatuk pistolnya untuk membunuh Rimba. Ia tak peduli lagi dengan keinginan Prakasa agar Rimba dibawa ke hadapan orang nomor satu militer itu.Rimba sudah terlalu mengganggu. Mulai dari ‘merebut’ Widya hingga melawannya terang-terangan. Juga, Rimba tidak hanya kebal terhadap kekuatan SABDA, tetapi juga ternyata dapat memerintah orang lain. Sakti curiga, pemuda itu juga memiliki kekuatan seperti SABDA.Lagipula, Sakti sudah pernah menghancurkan hati Prakasa dengan membunuh Baswara. Jadi, apa bedanya jika saat ini ia mengabaikan keinginan sang mentor yang telah berbesar hati menerima kematian Baswara?Bahkan, sang jenderal mengangkat Sakti sebagai murid dan berperan besar dalam karier militer Sakti. Pengganti Baswara, putra satu-satunya. Seolah-olah apa yang telah Sakti perbuat, bukanlah dosa besar!Namun, alangkah terkejutnya Sakti saat pistol itu tak memuntahkan sebutir peluru pun. Hingga tiga kali ia menarik pelatuk, yang terden