SABDA: Putra Sang Jenderal

SABDA: Putra Sang Jenderal

last updateTerakhir Diperbarui : 2025-06-13
Oleh:  WN. NirwanBaru saja diperbarui
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
Belum ada penilaian
9Bab
19Dibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi

Dua tahun yang lalu, terjadi pembantaian para prajurit yang bertugas di sebuah pos jaga pedalaman. Komandan pos, putra seorang jenderal, dituduh menjadi pelakunya meskipun ia juga tewas dalam pembantaian itu. Sang jenderal tidak menerima tuduhan itu. Ia menyewa penyelidik swasta tuna rungu, Rimba, untuk menyelidiki kasus tersebut. Penyelidikan membawa Rimba pada Sakti, seorang perwira super yang selalu sukses dalam menjalankan misi. Rimba mencurigai Sakti sebagai pelaku pembantaian sesungguhnya. Demi kelancaran penyelidikan, Rimba mendekati Widya, adik angkat Sakti yang merupakan seorang polwan. Rimba tidak menyadari bahwa Sakti amat terobsesi pada Widya, sehingga kedekatan Rimba dan Widya membuat Sakti curiga dan mengancam Rimba. Belakangan, penyelidikan kasus pembantaian tersebut malah mengungkap berbagai kasus kematian lainnya yang berkaitan dengan Sakti. Menyadari betapa berbahayanya Sakti, Widya dan Rimba pun akhirnya bergabung untuk menghentikan Sakti. Saat Widya lebih memilih Rimba, Sakti murka hingga mengejar mereka. Menggunakan kekuatan super rahasianya yang mengerikan, Sakti lalu menguasai seluruh pasukan militer dan kepolisian di kota. Pasukan tersebut dikerahkan untuk menangkap Rimba dan Widya agar Sakti dapat menghukum Rimba dan memiliki Widya seutuhnya.

Lihat lebih banyak

Bab 1

Sakti

Dua puluh delapan tahun yang lalu.

          Sambil bersimpuh, Sekar membersihkan mulut Sakti yang kotor oleh cokelat yang dimakan oleh anak itu. Cokelat yang dibelikan oleh Sekar dengan uang yang tersisa di kantong ibu muda itu.

          “Lain kali makannya jangan buru-buru ya, Nak. Biar nggak belepotan begini,” nasihat Sekar. Ia memeriksa sekali lagi wajah putra semata wayangnya tersebut, memastikan tidak ada lagi sisa-sisa cokelat di sana.

          “Iya, Ma,” jawab Sakti ceria. Jelas sekali dia sedang gembira karena setelah sekian lama, diizinkan menikmati cokelat lagi. Sebab sebelumnya, dia hanya bisa makan cokelat yang dibelikan Daud, mantan bos Sekar.

          Sekar menatap putranya lekat-lekat.

          “Jadi, sekarang sudah tahu, Sakti harus ngapain tiap hari?” tanya Sekar dengan suara tercekat.

          “Ngapain apa, Ma?” tanya Sakti, belum menangkap maksud Sekar. Usianya baru empat tahun. Pertanyaan bermakna tersirat seperti itu masih sulit dipahami olehnya.

          “Itu loh, tiap pagi harus gimana,” jawab Sekar memberi petunjuk.

          “Oh, ingat!” seru Sakti. “Bangun tidur, bantal taruh di ujung tempat tidur. Kalau mandi jangan lupa sikat gigi, sabunin badan dan muka. Terus, kalau makan tidak boleh sambil ngomong apalagi berisik. Uhm, apa lagi ya …. Oh, nggak boleh pelit sama teman! Nurut kata Bunda, terus ….”

          Kedua mata Sakti mengarah ke atas, bergerak-gerak. Mengingat-ngingat apa yang telah ibunya ajarkan selama mereka berdua tinggal di tempat ini.

          Sekar tetap menatap putranya. Kali ini dengan mata berkaca-kaca. Dia tidak lagi mendengarkan perkataan Sakti yang terus berusaha mengulangi apa yang telah Sekar ajarkan padanya.

          Hingga pada satu titik, pertahanan Sekar jebol. Ia memeluk erat Sakti hingga anak itu terkejut dan berhenti bersuara.

          “Ma? Mama kenapa?” tanya Sakti bingung.

          Alih-alih mendapatkan jawaban, pertanyaan Sakti dibalas dengan isak tangis ibunya. Mula-mula terdengar lirih. Hingga menjadi lebih nyaring dan mengundang perhatian seorang wanita lain yang jauh lebih tua daripada Sekar. Seseorang yang dipanggil dengan sebutan Bunda.

          “Sekar, ada apa?” tanya Bunda.   Tangisan Sekar pasti terdengar hingga ke luar kamar untuk anak-anak di bawah usia tujuh tahun, sehingga Bunda yang sedianya menunggu di luar, akhirnya memutuskan untuk masuk dan melihat keadaan.

          Sekar menghentikan tangisnya dan menghapus air matanya. Ia hanya menatap Bunda, tidak menjawab sama sekali. Namun raut wajahnya menunjukkan ketidakrelaan.

          Bunda tampak mengerti dan berkata, “belum terlambat untuk mengubah keputusanmu.”

          Sekar menggeleng lemah dan akhirnya membalas, “tapi, hanya panti asuhan ini yang mau menerima Sakti dengan tangan terbuka. Selebihnya ….”

          Sekar terisak lagi. Ia tidak mampu membesarkan Sakti dalam keadaan dirinya yang sekarang ini. Setelah ditinggalkan oleh ayah Sakti, Sekar sendirian dan tidak bisa menghadapi Sakti yang terus berkembang. Menitipkan Sakti pada panti asuhan menjadi jalan yang Sekar pilih.

          Bunda menghela napas berat.

          “Kalau begitu, sudah waktunya. Setelah hatimu mantap memilih jalan ini, jangan menengok lagi,” kata kepala panti asuhan tersebut, yang disambut dengan anggukan Sekar.

          Sakti memandang ibunya dan Bunda bergantian. Kebingungan. Ia jelas tidak memahami percakapan di depannya. Anak laki-laki itu hendak bertanya, namun Bunda sudah menggendongnya.

          “Kita antar Mama, yuk,” kata Bunda lembut.

          Sakti menyahut, “antar? Memangnya Mama mau ke mana?”

          Tidak ada yang menjawab. Sekar membiarkan Bunda menggendong putranya. Mengikuti kepala panti asuhan tersebut menuju ke halaman depan sambil sesekali mencium wajah Sakti yang air mukanya mulai berubah.

          Kebingungan Sakti berubah menjadi kecurigaan saat ia menyadari bahwa ibunya tengah membawa ransel di punggungnya. Ransel berwarna cokelat yang warnanya sudah memudar. Ransel yang dipakai untuk menyimpan pakaian Sakti dan ibunya saat mereka pertama kali tiba di panti asuhan ini ….

          “Mama?! Mama mau ke mana? Ikut!” teriak Sakti pa nik.

          Tangan Sakti menggapai-gapai, hendak meraih ibunya. Namun, Sekar menjauh. Dengan berurai air mata, ia menatap Sakti yang memberontak dalam gendongan Bunda.

          Bunda sendiri hanya diam. Tidak membujuk Sakti, apalagi menurunkan anak itu dari gendongannya. Ia menatap Sekar, mengisyaratkan agar Sekar mengambil keputusan sekarang. Tetap tinggal di sini, atau pergi tanpa membawa Sakti.

          Sekar memilih yang kedua.

          “Maafkan Mama, Nak,” ucap Sekar dengan suara parau. Ia berbalik, lalu meninggalkan halaman panti asuhan dengan langkah tergesa. Tak menghiraukan panggilan Sakti yang kini menangis.

          Bunda pun masih diam. Membiarkan Sakti melepaskan emosinya yang melihat ibunya menjauh. Permintaan Sakti untuk mengikuti ibunya, diabaikan sepenuhnya. Sakti tetap terjebak dalam gendongan wanita bertubuh tinggi besar itu. Sementara Sekar kini telah tiba di tepi jalan, hendak menyeberang.

          Sakti yang frustrasi karena diabaikan, akhirnya mengucapkan kata-kata yang membuat Bunda terkejut. Ia pun segera menegur anak itu, menasihati agar tidak berbicara sembarangan.

          Sementara itu, Sekar sudah menginjak aspal jalan. Jalanan itu sendiri adalah jalan yang sepi, sehingga terbilang aman bagi anak-anak penghuni panti asuhan seandainya mereka berada di luar. Sepanjang hari, jumlah kendaraan yang melintas bisa dihitung dengan jari, karena daerah itu memang sunyi.

          Namun, saat itu ada yang berbeda. Sesaat setelah Sekar tiba di tengah jalan, deru mesin mobil yang melaju kencang, terdengar dari arah kiri. Sekar menoleh dan melihat sebuah minibus mendekat dengan pengemudi yang berwajah pa nik karena tak bisa mengendalikan kecepatan mobilnya.

          Sekar mencoba berlari untuk menghindar. Namun entah mengapa, ia justru hanya bisa mematung di tempatnya.

          Terdengar bunyi mobil menabrak, diikuti dengan decit ban yang tengah dihentikan. Bunyi tubuh yang terhempas di aspal pun mengakhiri rangkaian insiden yang mengerikan itu.

          Dari balik pagar besi panti asuhan, Bunda terperangah menyaksikan kejadian yang tidak terduga itu. Ia membeku sesaat, sebelum akhirnya bisa menurunkan Sakti dan bergegas menghampiri Sekar sambil berteriak-teriak mengundang perhatian orang-orang di panti asuhan dan para tetangga.

          Sementara itu, Sakti masih terdiam tanpa berkedip. Memandang sosok ibunya yang kini tergeletak di aspal.

Tampilkan Lebih Banyak
Bab Selanjutnya
Unduh

Bab terbaru

Bab Lainnya

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

Tidak ada komentar
9 Bab
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status