Dua puluh delapan tahun yang lalu. Sambil bersimpuh, Sekar membersihkan mulut Sakti yang kotor oleh cokelat yang dimakan oleh anak itu. Cokelat yang dibelikan oleh Sekar dengan uang yang tersisa di kantong ibu muda itu. “Lain kali makannya jangan buru-buru ya, Nak. Biar nggak belepotan begini,” nasihat Sekar. Ia memeriksa sekali lagi wajah putra semata wayangnya tersebut, memastikan tidak ada lagi sisa-sisa cokelat di sana. “Iya, Ma,” jawab Sakti ceria. Jelas sekali dia sedang gembira karena setelah sekian lama, diizinkan menikmati cokelat lagi. Sebab sebelumnya, dia hanya bisa makan cokelat yang dibelikan Daud, mantan bos Sekar. Sekar menatap putranya lekat-lekat. “Jadi, sekarang sudah tahu, Sakti harus ngapain tiap hari?” tanya Sekar dengan suara tercekat. “Ngapain apa, Ma?” tanya Sakti, belum menangkap maksud Sekar. Usianya baru empat tahun. Pertanyaan bermakna tersirat seperti itu masih sulit dipahami olehnya. “
Terakhir Diperbarui : 2025-06-10 Baca selengkapnya