“Itu suara orang muntah kan, Mas? Sesil yang muntah kan? Aku dengar Ibu barusan ngomong walau samar. Sesil kenapa? Sakit? Aku pikir, tadi dia baik-baik saja kan, Mas?”
Khumaira hendak bangkit meninggalkan piring yang isinya masih ada. Namun, spontan Gifar memegang lengannya.Sorot mata yang tadinya tertuju ke ruangan yang ada di belakang, mengetahui tangannya ada yang memegang, Khumaira melihat ke arah Gifar.Lelaki itu tampak pucat. Kekhawatiran di wajahnya sulit disembunyikan. Apalagi gelagatnya begitu aneh, hingga Khumaira mengernyitkan kening bertambah curiga.“Kenapa, Mas? Kenapa tanganku kamu pegang? Aku mau melihat keadaan Sesil. Apa kamu tahu sesuatu, Mas? Apa benar, Sesil sedang sakit?”Untuk mengurangi rasa curiga, pertanyaan demi pertanyaan terlontar. Khumaira bukan sekadar mengkhawatirkan kondisi Sesil, tetapi lebih takut lagi kalau dugaan yang tadi disampaikan kepada Gifar menjadi kenyataan.Gifar perlahan mengalihkan sorot matanya. Tangan yang mencegah kepergian istrinya juga pelan-pelan dilepas. Namun, mulutnya tak berbicara apa-apa.Denyutan rasa nyeri terasa di dalam dada. Lelaki itu semakin merasa bersalah. Juga, takut akan reaksi Khumaira nantinya akan seperti apa kalau mengetahui kenyataan yang sesungguhnya.“Mas, kamu kenapa sih? Aku tanya kok malah diam? Kalau memang kamu nggak tahu tentang keadaan Sesil, ayo, kita ke sana. Kita lihat apa yang sebenarnya terjadi.”Bak bunga yang layu, Gifar seakan pasrah pada keadaan. Namun, takut pula kalau Khumaira mengetahui Sesil nyatanya sedang hamil. Ya, artinya kebohongannya akan terbongkar.Gifar hanya membuang napas. Ia bangkit dari kursi tanpa berucap sepatah kata pun. Mau mencegah lagi, Khumaira pasti akan semakin curiga.Bener-bener aneh. Kenapa juga Mas Gifar malah termenung dan wajahnya khawatir gitu. Apa memang di antara mereka ada hubungannya? Apakah Sesil sedang hamil? Tapi, bagaimana bisa?Mereka berjalan bersama. Namun, Khumaira berbisik di dalam hati. Dugaan demi dugaan terus bergulir di benaknya. Apalagi sikap Gifar menambah Khumaira berpikir keras.Apakah semuanya akan berakhir seperti ini? Khumaira bakal mengetahui kehamilan Sesil karena kami memang sudah menikah? Bagaimana perasaannya? Bukankah pasti merasa sakit dan hancur berkeping-keping. Suami macam apa aku ini? Pengecut dan nggak punya ketegasan sama sekali. Hanya ingin yang terbaik, tapi aku malah menyakiti istriku sendiri.Penyesalan memang datang di akhir. Rasa bersalah pun semakin terasa. Gifar bergumul dengan perasaan yang membuatnya makin tak berdaya. Meski begitu, ia malah memilih bungkam.Dua orang yang telah terikat oleh tali pernikahan itu nyatanya saling memendam perasaan masing-masing. Khumaira yang banyak pertanya, tak membuat Gifar mampu berkata-kata tentang perbuatannya selama ini. Komunikasi yang tidak baik semakin membuat hubungan memburuk.Gifar memang diliputi oleh perasaan bersalah. Namun, ia juga belum ingin mengungkap kenyataan pahit yang sesungguhnya. Meski kini merasa pasrah karena Khumaira mendengar Sesil yang muntah, Gifar yang bimbang tetap terdiam dalam rahasia besarnya dan masih berharap pernikahannya dengan Sesil tidak diketahui Khumaira.“Aku hanya belajar untuk tidak cengeng, Bu,” jawab Sesil.“Iya! Tapi kan, kamu ini sedang ....”“Ehem! Ehem!”Suara deheman yang Gifar lakukan, menghentikan kalimat yang akan terucap. Laela dan Sesil menoleh. Juga, Khumaira ikut menoleh. Ia heran dengan sikap Gifar. Buat apa melakukan deheman di sela-sela ucapan Laela yang telah membuat rasa ingin tahu Khumaira lebih besar?Apa yang Mas Gifar lakukan sih? Ibu mau ngomong apa tadi? Sesil sedang apa?Tatapan sengit ditujukan kepada Gifar. Khumaira merasa sangat kecewa, tetapi tak bisa diungkapkan. Bisa saja Gifar akan mengelak dan memberikan alasan lain. Kalau saja Laela tadi menyelesaikan kata-katanya sebelum deheman itu dilakukan, Khumaira tidak akan merasa kesal kepada suaminya sendiri.“Maaf, Dek. Tenggorokanku gatal,” ujar Gifar ketika melihat sorot mata istrinya tampak ingin menerkamnya.Khumaira berdecap. Ia kembali beralih melihat Sesil dan ibu mertuanya tanpa menanggapi perkataan dari suaminya. Sudah terlanjur ucapan itu terpotong dan terhenti, mau melakukan apa lagi.“Ada apa, Sil? Kenapa kamu muntah? Kamu sakit? Tapi, kelihatannya kamu baik-baik saja kok. Terus, ada apa dengan sabun itu? Ingin muntah gara-gara cium bau sabun? Kenapa aneh ya?”Pertanyaan yang terucap bagai bulir hujan yang berjatuhan dari langit. Begitu banyak dan membuat mereka kalang kabut. Terlihat kalau Sesil yang masih mual, tetapi harus menahannya agar terlihat baik-baik saja. Sedangkan Laela, ia mencemaskan Sesil, tetapi bingung harus melakukan apa karena ada Khumaira.Belum bisa menjawab semua pertanyaan itu, Sesil kembali muntah di kamar mandi. Ia tak bisa menahannya lagi meski ada Khumaira di depannya. Laela semakin cemas dan menjauhkan sumber bau yang membuat Sesil makin lemas nantinya.Khumaira yang didiamkan, melihat Gifar lagi. Lelaki itu berwajah pucat dan sulit kalau harus beradu pandangan dengan istrinya. Dengan terang-terangan, Sesil malah muntah di kamar mandi tak jauh dari Khumaira berdiri. Tentu saja, gemuruh hebat terjadi di benak lelaki beristri dua itu.“Apa ini, Mas? Apa yang sebenarnya terjadi? Sesil muntahnya kayak orang hamil begitu. Ibu juga menjauhkan sabun yang mungkin membuat Sesil jadi muntah. Apa yang terjadi sebenarnya, Mas?”Tangan Khumaira menggenggam lengan Gifar dengan erat. Ia kesal karena tidak mendapatkan jawaban secara pasti. Ia malah ditinggal oleh mertuanya yang lebih sibuk mengurus Sesil yang katanya pembantu ketimbang menjawab pertanyaan dari menantunya.Khumaira makin geram ketika melihat Laela yang sangat perhatian kepada Sesil. Dia yang menantunya, malah bersikap lembut kepada sang sahabat yang menurut Laela bekerja sebagai pembantu di rumahnya.Gifar kesulitan menjawab pertanyaan dari Khumaira sampai Sesil telah kembali dengan digandeng Laela. Tampaknya ia lebih baik dari sebelumnya karena sabun itu sudah dijauhkan oleh Laela.“Aku masuk angin, Khuma. Ibu jadi perhatian karena nggak mau aku sakit. Nanti siapa yang bakal beberes rumah kalau aku sakitnya menjadi. Kamu jangan salah paham ya?” ujar Sesil berusaha tersenyum meski wajahnya tambak kehilangan tenaga gara-gara muntah beberapa kali.“Sil,” kata Laela pelan. Ia tak setuju kalau menantu yang kini sedang mengandung cucunya harus terus berbohong. Ia ingin pamer kepada Khumaira agar wanita itu lebih tahu diri.Mendengarnya, Sesil menyentuh punggung tangan Laela yang menggandeng lengannya. Itu dilakukan agar Laela setuju dengan perkataannya.“Iyakah? Aku sangsi dengan pengakuanmu itu, Sil. Kita pernah tinggal bareng dan aku paham bagaimana kondisimu di saat masuk angin. Kamu jarang muntah, Sil. Apalagi ini dilakukan bukan hanya sekali. Apa yang sebenarnya terjadi padamu, Sil? Muntahmu terlihat seperti sedang hamil, bukan karena sakit. Tubuhmu juga jadi berisi. Bukankah sejak dulu kamu mati-matian menjaga bentuk badanmu agar terlihat langsing? Sekitar empat bulan yang lalu, sebelum kamu pergi berpamitan untuk kerja dan ternyata kamu mengaku kerja di sini, badanmu masih langsing, bukan seperti sekarang, Sil. Apa kamu sudah menikah dan sekarang hamil? Tapi, kenapa masih bekerja di sini, Sil? Siapa suamimu?”Gerak-gerik yang dilakukan oleh mertua dan sahabatnya itu makin terasa janggal. Khumaira tak tahan lagi untuk melontarkan dugaan-dugaan yang kini menari-nari di kepala. Apalagi, Gifar pun hanya diam dengan raut wajah cemas. Semua pertanyaan yang membuat Khumaira penasaran dan merasa dikhianati belum terjawab secara pasti. Semua diam atau hanya berdalih yang membuat Khumaira makin mencurigai.“Sudah siap, Sayang?” tanya Akmal kepada Khumaira. “Ayo. Akra juga sudah tampan nih. Setampan ayahnya,” celetuk wanita itu membuat bibir suaminya melengkung indah. “Besok kita akan punya anak secantik kamu kok, Sayang. Biar adil.” “Nggak, kalau dalam waktu dekat,” bantah Khumaira dengan wajah serius. Akmal hanya tersenyum. Wajahnya makin tampan meski ada bekas luka di pelipis. Penganiayaan yang dialami memang meninggalkan bekas di fisik. Kejadian penculikan juga menjadi pelajaran berharga agar ke depannya bisa lebih berhati-hati. Masalah Riko pun sudah bisa dikendalikan. Khumaira berhasil menasihati lelaki itu dan tak lagi menghubungi walau berasalan ingin memesan kue. Yang diharapkan untuk selanjutnya, hidup mereka akan tenang dan penuh kebahagiaan. “Alhamdulillah ya, Mas. Semua masalah kita yang terasa pelik bisa diselesaikan. Semoga saja, orang-orang yang dulu menzalimi kita, bisa benar-benar sadar dan nggak me
“Iya, Lid. Mbak Khuma sudah ngomong sama aku kemarin. Dia menyuruhku untuk menghentikan perasaanku yang mungkin melebihi seorang teman. Dia mengatakannya dengan sangat tegas. Aku dibuang olehnya. Aku dilarang untuk menghubunginya, Lid. Hatiku sakit, tapi semua itu keinginan dari Khumaira.” Riko mengatakan dengan nada tinggi. Emosinya terpancing mengingat perasaan yang disebut dengan cinta itu datang sendiri tanpa diundang dan telah mengisi semua ruangan di dalam dada. “Baguslah, kalau Mbak Khuma sudah mengatakannya dengan tegas kepadamu. Kamu berhak bahagia dengan pilihan yang lebih tepat, Ko. Bukan Mbak Khuma.” Embusan napas lagi-lagi dilakukan oleh Riko hanya untuk melegakan perasaan. “Iya, Lid, iya. Kamu nggak usah menambah rasa sakit hatiku.” “Ya sudah, aku mau istirahat. Kamu harus mendengarkan apa kata Mbak Khuma, Ko. Kamu juga istirahat. Aku matikan.” “Iya, Lid.” Riko meletakkan ponsel di meja. Ia berusaha
Kedua mata Laela berkaca-kaca ketika Gifar bisa mendatanginya lagi setelah berurusan dengan polisi. “Iya, Bu. Ini aku.” Senyuman dengan kedua ujung yang terasa kaku tetap dilukiskan di bibir. Meski begitu, tetap ada yang nyeri di dalam dada. Pikirannya juga sedang berusaha merangkai kalimat yang nantinya harus dikatakan di hadapan Laela. “Kamu dibebaskan kan, Gi? Kamu nggak bersalah?” Laela melebarkan kedua tangannya mengharapkan pelukan hangat dari anaknya. Ia tak bisa mengayunkan kaki seperti dulu. Jadi, hanya bisa menanti. Gifar tak menjawabnya. Ia langsung memeluk Laela berharap pula rasa sedihnya bisa sedikit memudar. Matanya juga sudah terasa panas. Ingin sekali mengeluarkan cairan bening. “Gi, kamu nggak ada masalah lain kan? Kamu bisa ke sini, artinya, kamu dibebaskan dan nggak bersalah kan?” Naluri seorang ibu begitu kuat. Laela menangkap guratan kepedihan yang mungkin sedang dirasakan oleh Gifar. Napasny
Puspa tergopoh-gopoh menghampiri Dinar yang masih duduk sendiri. Wanita yang usianya tak muda lagi itu, seketika memeluk anak gadisnya. “Din, apa yang terjadi? Kenapa kamu ada di sini? Ada apa, Din?” Pertanyaan yang sama dilontarkan kembali. Puspa melepas pelukannya dan berusaha menatap kedua mata anak tersayangnya. “Dia melakukan kejahatan, Bu. Dia memfitnahku dan memfitnah atasannya sendiri. Dia menculik anak dari atasannya hanya gara-gara rasa cintanya yang masih tertinggal.” Gifar telah berdiri di dekat dua wanita yang belum lama ini menjadi bagian dari keluarganya. Namun, setelah ini, Gifar akan melupakan semuanya dan menyudahi pernikahan yang belum genap berusia satu minggu. Puspa mendongak ke arah suara. Kemudian, ia bangkit sebelum menanggapi perkataan yang dilontarkan oleh lelaki yang masih berstatus sebagai menantunya. Sedangkan Dinar, hanya membisu dan bergeming di kursi yang sama. Perasaan di dalam dada begitu b
“Mbak Dinar serta Bu Puspa, terima kasih sebelumnya karena sudah mau berkunjung ke rumah saya.” Akmal menghentikan ucapannya. Diam-diam, ia menghela napas. Sedangkan orang-orang yang diajak bicara, melukis senyuman yang manis seraya menganggukkan kepala perlahan. Wajah-wajah penuh harapan besar tergambar begitu jelas di sana. Akmal merasa kesulitan untuk berkata-kata, tetapi semua harus dijelaskan secara tegas. “Untuk semua perkataan yang telah Bu Puspa sampaikan mengenai perasaannya Mbak Dinar, saya merasa sangat terhormat karena saya mendapatkan perasaan yang istimewa dari salah satu manajer terbaik di perusahaan yang saya miliki.” Akmal tak bisa mengatakan dengan cepat. Apalagi ketika melihat ekspresi yang dilakukan oleh dua orang tamunya. Dinar tampak makin merona, begitu pula dengan Puspa sangat terlihat mengharapkan jawaban persetujuan. “Sebenarnya, sudah ada beberapa orang meminta ta’aruf dengan saya akhir-akhir ini. Ada saja yang menjo
Akmal melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan. Janji yang sudah dibuat, tentu tak mungkin diingkari. Apalagi, rasa penasaran telah menemani lelaki itu. Ia tak sabar untuk mengungkap apa sebenarnya tujuan Dinar dan orang tuanya sampai mau datang ke rumahnya. “Dugaanku mengatakan, kalau Dinar menyukaiku. Mungkinkah dia datang ke sini untuk menyampaikan perasaannya? Kalau memang begitu, dia benar-benar berani dan mau menyingkirkan rasa gengsinya. Tapi, tetap saja, hatiku sudah diisi oleh seseorang.” Sorot mata yang sendu menatap salah satu sudut ruangan. Embusan pelan juga dilakukan. Lelaki itu kembali mengingat kalau wanita yang telah mengisi relung hati terdalamnya telah dinikahi oleh lelaki lain. Akmal menyenderkan punggungnya pada sofa yang lembut agar bisa merasa lebih santai. Ia memajamkan mata untuk menghilangkan rasa lelah yang mendadak datang. Namun, bukannya hilang, malah gambaran wajah wanita yang disukainya itu muncul dalam kegelapan.