Share

Makin Curiga

“Dek, aku minta maaf karena saking sibuknya jadi nggak sempat mengabarimu, Dek. Pekerjaan di luar kota juga akhirnya kubatalkan karena harus datang ke rumah Ibu begini. Kalau nanti kamu sudah mau pulang, aku akan ikut bersamamu.”

Dengan sangat canggung dan raut wajah yang tampak kebingungan, Gifar berusaha keras agar rahasianya tetap tertutup rapat.

Gifar menyadari kalau Khumaira mulai mencurigai keberadaan Sesil di rumah Laela. Kalau keadaan makin memanas, bisa saja semua rahasianya terbongkar detik itu juga.

“Mas, apakah benar, kamu tidak menyembunyikan sesuatu? Memangnya, Ibu baru saja melakukan syukuran untuk apa? Aku baru tahu, seorang pembantu berpakaian yang hampir serasi dengan majikannya. Terutama denganmu, Mas. Apa sesulit itu mengabari acara yang Ibu selenggarakan kepada istrimu sendiri, Mas?”

Pertanyaan demi pertanyaan yang Khumaira sampaikan, membuat Gifar makin kebingungan.

“Apa salahnya kalau Sesil memakai pakaian yang serasi dengan kami. Biar dia terlihat rapi. Memangnya nggak boleh?” Laela yang menimpali.

“Oh, jadi begitu. Pantas sih, kalau Sesil makin berisi setelah bekerja di rumah ini. Ibu pasti sangat baik padanya. Sampai pakaian saja dipersiapkan hanya untuk terlihat rapi padahal Sesil kerjaannya hanya bersih-bersih. Ibu memang sangat baik.”

Meski merasa tidak adil, karena Laela lebih menghormati Sesil yang katanya hanya seorang pembantu dibanding dengan Khumaira yang jelas-jelas menantunya, Khumaira tetap berusaha tegar dan menepis rasa tidak nyaman di dalam hati. Bibirnya masih tersimpul senyuman meski getir.

“Sesil itu cantik, pantas kalau Ibu memperhatikannya agar dia tetap terlihat menarik.”

Perkataan Laela makin terdengar aneh. Kalau memang hanya seorang pembantu, apakah ada majikan yang begitu memperhatikan penampilan seorang pembantunya?

“Ibu! Ibu ngomong apa sih? Jangan berlebihan begitu. Mungkin Sesil memang betah kerja di sini, jadi tubuhnya makin berisi. Ibu nggak pernah memperhatikan Sesil sampai sedetail itu kok. Jangan berlebihan, Bu.”

Gifar sangat cemas kalau Khumaira makin curiga. Ia berusaha keras mengeluarkan argumen agar Khumaira tak semakin dalam untuk mencari tahu kebenaran yang ada.

“Benar apa kata Mas Gifar, Khuma. Aku memang betah kerja di sini. Ibu baik, tapi nggak sampai segitunya kok. Aku kan hanya pembantu. Benar begitu kan, Bu?”

Kalimat terakhir sedikit ditekan oleh Sesil agar Laela mau mengiyakannya untuk mengurangi kecurigaan Khumaira.

Laela menghela napas. Ia tampak enggan untuk ikut dalam sandiwara. Ia menginginkan agar Khumaira tahu yang sesungguhnya dan memamerkan perut yang mulai buncit milik Sesil kepada menantunya itu.

“Iya, benar kata mereka. Ini hanya acara syukuran biasa. Biar terlihat rapi, Ibu sengaja memberikan baju yang pantas untuk dipakai diacara ini.”

Meski telah dijelaskan oleh Laela, Khumaira tetap saja merasa ada yang ditutupi. Apalagi reaksi dan ekspresi wajah Laela yang terlihat masam. Kecurigaan Khumaira malah makin menjadi.

“Ayo, Dek. Kamu belum mencicipi makanannya kan? Kita makan yuk,” ajak Gifar agar Khumaira teralihkan.

Perhatian yang Gifar lakukan, membuat Sesil merasa cemburu. Ditambah dirinya yang sedang hamil, emosionalnya tidak stabil. Gifar pun tak pernah perhatian sedikit pun padanya, meski ada buah hati di dalam rahimnya.

“Saya permisi juga mau ke belakang,” ucap Sesil. Ia ingin menjauhi pemandangan romantis yang Gifar lakukan kepada Khumaira.

Gifar tak peduli tentang Sesil. Ia hanya tertuju pada Khumaira. Ia tak mau istri tercintanya itu tersakiti karena ulah ibunya sendiri. Meski pada kenyataannya memang sudah ada calon luka yang akan menganga.

Khumaira diam dengan seribu tanda tanya. Ia hanya mengikuti keinginan Gifar untuk memakan sajian yang telah terhidang, tetapi pikirannya terfokus pada hal lain.

Sesil bukan gini orangnya. Dia sangat memperhatikan penampilan. Meski jadi pembantu sekalipun, dia pasti tidak ingin merusak tubuh idealnya. Dia nggak pernah segemuk ini. Apakah mungkin dia punya hubungan khusus dengan Mas Gifar? Aku harap, prasangka burukku ini nggak pernah terjadi. Mas Gifar laki-laki yang sangat setia.

Sambil menyuapkan nasi beserta daging ayam ke dalam mulut, Khumaira menerka-nerka apa yang sesungguhnya sedang terjadi. Dadanya terasa nyeri kala memikirkan kemungkinan buruk yang terlintas di kepalanya.

“Dek, aku minta maaf. Aku nggak bermaksud bohongin kamu. Ini semua mendadak. Aku harus datang ke sini dan menggagalkan pertemuan bisnis di luar kota. Aku salah karena lupa tidak mengabarimu, Dek.”

Gifar berusaha agar Khumaira meyakini semua tindakannya sesuai dengan alasan yang telah terlontar dari lisannya. Di hati Gifar hanya berharap kalau Khumaira jangan dulu mengetahui kenyataan yang telah terjadi dalam hidup mereka.

“Jujur saja aku memang kecewa, Mas. Masa kamu lupa sama aku. Kalau seandainya aku nggak datang ke sini, apa kamu akan tetap menyembunyikannya? Nggak kasih kabar ke aku?”

Khumaira sejenak menatap suaminya. Jemarinya sambil memainkan sendok untuk mengumpulkan bulir nasi dan lauknya.

“Te—tentu saja aku kabarin kamu, Dek. Tadi memang repot, jadi aku belum sempat aja, Dek. Maafkan aku, Dek.”

Meski tergagap, Gifar terus mencoba untuk meyakinkan Khumaira. Matanya pun sayu sebagai tanda kalau dia begitu menyesal akan sikapnya itu.

Sebelum menyuapkan sendok ke mulutnya, Khumaira membuang napasnya cukup kuat. Bagaimanapun, prasangka buruk telah mengendap di pikirannya. Dugaan terburuk adalah tentang pengkhianatan yang Gifar lakukan meski bagi Khumaira kemungkinannya begitu kecil karena selama menjadi istrinya, Gifar sangat menjaga pandangannya dari wanita lain.

“Kamu tahu, Mas. Apa yang sedang aku pikirkan sekarang?” tanya Khumaira, kemudian menyuapkan nasi ke mulutnya.

Gifar menggeleng. Degupan jantungnya kian terpacu. Khumaira memang wanita peka dalam berbagai hal. Bisa jadi, yang dipikirkan memang ketakutan yang Gifar ingin hindari.

“Kamu memikirkan kesalahanku kan, Dek? Aku yang tidak mengabarimu karena sudah datang ke rumah Ibu?” jawab Gifar berpura-pura tidak tahu apa yang Khumaira maksud sesungguhnya demi menjaga rahasianya.

Khumaira belum berbicara lagi. Ia mengunyah makanannya seraya menata hatinya lagi. Apa yang akan dikatakan nanti memang menyinggung tentang posisi Sesil sesungguhnya di rumah mertuanya ini.

Gifar setia menunggu istrinya yang sedang makan. Meski tak dimungkiri, perasaannya kian tak menentu.

“Mas, apa benar, Sesil di sini hanya pembantu? Setahuku, dia itu suka menjaga penampilan. Nggak mungkin sekarang jadi gemuk begitu, Mas. Atau jangan-jangan, dia ada hubungannya denganmu? Aku melihat Sesil seperti orang yang lagi hamil, Mas.”

Setelah makanan yang dikunyah masuk ke dalam perut, Khumaira kembali berbicara dan mengatakan semua yang terlintas di kepalanya.

Detik yang sama, gelagat Gifar tak bisa ditutupi kalau dirinya sedang kebingungan. Seakan pencuri yang tertangkap basah. Wajah Gifar pun memucat.

“Ma—mana mungkin, Dek. Dia hanya pembantu kok. Kalau masalah hamil, aku nggak tahu. Statusnya aja aku nggak tahu, Dek. Itu nggak penting kan? Aku nggak tahu juga tentang cara pikir wanita itu. Bisa saja dia sudah tidak seperti dulu waktu masih sering bertemu denganmu, Dek. Maksudnya, sudah tidak terlalu mementingkan penampilannya, Dek. Masalah hamil atau apa, aku nggak tahu, Dek.”

Gifar berusaha untuk tersenyum meski kedua ujung bibirnya tampak kaku. Bicaranya pun gelagapan seperti orang yang sedang menyembunyikan sesuatu.

Kening Khumaira mengerut. Dia sudah sangat paham tentang perangai Sesil seperti apa. Ditambah sikap Gifar yang tampak tak tenang, kecurigaan Khumaira makin mengental.

“Aku yang sahabatnya loh, Mas. Dia bukan orang yang begitu. Dia selalu menginginkan sesuatu yang sempurna dalam dirinya. Termasuk penampilan, Mas. Makanya, aku ngomong kayak gini sama kamu. Mungkin saja kamu tahu sesuatu. Aku harap sih, kamu memang jujur tentang semua yang kamu sampaikan tadi.”

Khumaira yang sudah dipenuhi oleh prasangka-prasangka buruk, masih mencoba untuk bersabar. Harapannya tentu saja Gifar memang tidak pernah membohonginya karena memang dia istrinya.

Hoek! Hoek! Hoek!

“Ya ampun, Sesil! Sudah dibilangi kan, jangan dekat-dekat sama sabun yang bikin kamu jadi mual! Ibu nggak ingin melihatmu jadi lemas karena muntah, Sil!”

Meski samar, Khumaira masih bisa menangkap perkataan yang Laela sampaikan untuk Sesil yang sepertinya sedang muntah. Suara itu terdengar dari ruangan belakang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status