Home / Pendekar / SANG PENDEKAR LEMBAH NAGA / 2. Ramandika Nekat Mendatangi Markas Anak Buah Kuwu Sangkan

Share

2. Ramandika Nekat Mendatangi Markas Anak Buah Kuwu Sangkan

last update Last Updated: 2023-03-22 19:07:39

“Maaf, Ramandika. Kami tidak tahu apa-apa,” jawab salah seorang dari kedua pria itu.

Sejatinya, mereka mengetahui para pelaku yang sudah membinasakan orang tua dan adiknya Ramandika. Informasi tentang pelaku, mereka dapatkan dari keterangan Sintani—adik Ramandika sebelum dia mengembuskan napas terakhirnya. Namun, mereka tidak berani mengatakan apa yang sudah mereka ketahui kepada Ramandika karena mereka takut terlibat dalam kasus tersebut.

Pasalnya, para pelaku itu bukanlah orang sembarangan, tentu mereka takut mendapatkan ancaman jika berani buka mulut di hadapan Ramandika.

“Jadi, kalian benar-benar tidak mengetahuinya?” tanya Ramandika lagi.

“Tidak Ramandika, kami sungguh tidak mengetahui siapa pelakunya.”

Ramandika terdiam sejenak, ia tampak bingung sekali harus mencari informasi kepada siapa agar dirinya segera mengetahui para pelaku yang sudah membunuh kedua orang tua dan adiknya.

Ramandika menghela napas dalam-dalam, pandangannya terarah pada dua orang pria yang ada di hadapannya.

“Lantas, di mana jasad keluargaku dimakamkan?”

“Mereka dimakamkan di kebun milikmu.”

Setelah menjawab pertanyaan Ramandika, dua orang tersebut langsung pamit dan berlalu dari hadapan Ramandika.

Beberapa orang penduduk yang kebetulan melintas, tampak tidak peduli melihat Ramandika yang tengah larut dalam kesedihan. Para penduduk itu justru mengabaikannya, mereka tidak mau mendekati Ramandika.

Beberapa saat kemudian ....

Ramandika bangkit, ia melangkah mendekat ke arah rumah yang sudah hancur berantakan. Sejenak ia memandangi reruntuhan rumahnya. Setelah itu langsung pergi meninggalkan tempat tersebut.

Ramandika berjalan pelan menyusuri jalan setapak menuju ke arah ladang tempat dimakamkan jasad ayah dan adiknya.

Di makam kedua orang tua dan adiknya, Ramandika menangis sambil berdoa.

“Jika saja aku tidak ikut dengan Paman Sonda, mungkin peristiwa ini tidak akan terjadi menimpa keluargaku. Aku pasti mampu melawan para penjahat itu," kata Ramandika setelah selesai berdoa.

Tanpa ia sadari, seorang pria paruh baya yang selama ini dekat dengannya sudah berdiri di belakangnya.

“Ramandika,” kata pria paruh baya itu lirih.

Mendengar suara tersebut, Ramandika langsung menyeka air matanya. Kemudian berpaling ke arah belakang.

"Paman Ramudya."

Ramandika bangkit dan langsung memeluk erat tubuh pria paruh baya itu sambil terisak.

“Aku sudah kehilangan orang-orang yang aku cintai Paman,” kata Ramandika sambil menangis pilu di pelukan Ramudya.

“Ini adalah bagian takdir kehidupan yang harus kau jalani. Maafkan Paman, karena pada saat kejadian, Paman tidak ada di desa ini,” ucap Ramudya mengelus lembut pundak Ramandika. "Paman tidak bisa menolong mereka."

Ramandika terus menangis, ia sudah tidak dapat berkata apa-apa lagi. Dadanya terasa sesak, pandangannya sudah redup terhalang bulir bening yang terus mengalir dari kelopak matanya.

“Tak ada seorang pun penduduk yang berani buka mulut, Paman sudah bertanya kepada orang-orang yang ada di desa ini, tapi tak ada seorang pun yang mau memberitahu tentang pelakunya.”

“Ia Paman, aku pun sudah bertanya kepada para penduduk, tapi mereka tidak ada yang mau memberitahuku tentang pelakunya.”

"Maafkan Paman, Ramandika."

Perlahan, Ramandika melepaskan pelukannya. Ia menarik napas dalam-dalam, dua bola matanya menatap tajam wajah pria paruh baya yang selama ini sangat menyayanginya.

“Tidak apa-apa, Paman. Aku akan mencaritahu sendiri siapa pelakunya,” desis Ramandika.

"Apakah kau sudah bertemu dengan Rawinta?"

"Belum Paman."

"Cobalah kau datangi dia, barangkali dia mau tahu semuanya!"

“Baik, Paman. Aku akan langsung menemui Rawinta. Semoga saja Rawinta mengetahui para pelakunya."

“Iya, Ramandika. Tapi ingat, kau harus kembali ke sini!” kata Ramudya.

“Iya, Paman. Aku pasti kembali ke sini setelah bertemu dengan Rawinta.”

Setelah berkata demikian, Ramandika langsung pamit dan berlalu dari hadapan Ramudya.

Setibanya di kediaman Rawinta, Ramandika langsung mengetuk pintu, "Tok! Tok! Tok!"

“Rawinta! Apakah kau ada di dalam?” kata Ramandika berdiri di depan pintu rumah sederhana milik sahabatnya.

Rawinta yang kebetulan baru pulang dan sedang beristirahat di ruang tengah kediamannya, langsung menyahut, “Iya, Tunggu sebentar!"

Rawinta bangkit dari duduknya dan langsung melangkah ke arah pintu. Kemudian langsung membuka pintu kediamannya.

"Ramandika!" Dua bola matanya melebar ketika melihat Ramandika sudah berada di hadapannya. "Sejak kapan kau kembali?”

Ramandika tidak menjawab pertanyaan sahabatnya itu, ia hanya tersenyum tipis dengan dua bola mata yang berkaca-kaca.

Rawinta paham dengan kondisi yang tengah dialami sahabatnya itu. Tanpa banyak bicara lagi, ia langsung mempersilakan Ramandika duduk, “Silakan duduk, Ramandika!”

Ramandika mengangguk dan langsung melangkah menuju sebuah kursi yang ada di beranda rumah tersebut. Setelah duduk, tanpa banyak basa-basi lagi, Ramandika langsung bertanya kepada Rawinta tentang pelaku pembunuhan kedua orang tuanya dan juga Sintani—adik kandungnya.

“Sebenarnya aku tidak berani mengatakan hal ini. Tapi ... ini semua harus aku katakan kepadamu, Ramandika,” kata Rawinta dengan suara rendah. “Kau adalah sahabat baikku, tidak mungkin aku merahasiakan ini semua,” sambungnya.

“Katakan saja, Rawinta! Siapa pelakunya?”

Rawinta terdiam sejenak, dua bola matanya memandang ke sekitar halaman rumahnya. Seakan-akan dirinya tengah memastikan bahwa tidak ada orang lain di tempat itu selain dirinya dan Ramandika. Rawinta khawatir jika ada orang lain yang akan menguping pembicaraannya dengan Ramandika.

Setelah merasa aman, barulah ia menjawab, "Pelakunya adalah Ki Bargowi dan beberapa orang anak buahnya. Aku tahu semua dari keterangan Sintani sebelum dia meninggal, bahkan sebagian warga pun mengetahuinya," bisik Rawinta.

Ramandika tampak kaget, dirinya tercengang ketika mendengar keterangan dari sahabatnya itu.

"Ki Bargowi?" tanya Ramandika menatap tajam wajah Rawinta.

"Ya, Ki Bargowi. Dia dan anak buahnya diperintahkan langsung oleh Kuwu Sangkan untuk membinasakan keluargamu," jawab Rawinta.

Ramandika menarik napas dalam-dalam sembari mengepalkan telapak tangannya, kemudian memukul meja yang ada di hadapannya.

"Bedebah! Aku harus membalas dendam kepada mereka malam ini juga," kata Ramandika penuh kegusaran.

"Jangan, Ramandika!" cegah Rawinta. "Mereka bukan orang-orang sembarangan, mereka adalah para pendekar yang memiliki ilmu kanuragan tinggi," sambungnya.

Rawinta tampak khawatir jika terjadi sesuatu pada diri Ramandika jika nekat melakukan tindakan balas dendam terhadap pihak Kuwu Sangkan.

"Kau jangan khawatir, Rawinta! Aku pasti bisa menghadapi mereka!" tegas Ramandika penuh keyakinan, meskipun pada kenyataannya dia tidak memiliki kemampuan bela diri yang mumpuni.

Rawinta menarik napas dalam-dalam, lalu berkata lagi, "Kalau memang seperti itu, aku ikut."

"Tidak perlu, Rawinta! Biarkan aku sendiri saja, aku tidak ingin melibatkanmu dalam persoalan ini," kata Ramandika langsung bangkit. "Aku harus menemui Ki Bargowi saat ini juga," sambungnya.

"Besok saja, Ramandika. Kau harus istirahat, sebentar lagi malam."

"Tidak apa-apa, justru malam hari adalah langkah yang tepat untuk menemui mereka," pungkas Ramandika langsung berlalu dari hadapan Rawinta.

Melihat sikap sahabatnya tengah dalam kegusaran, Rawinta tidak banyak bicara lagi, dia paham dengan apa yang sedang dirasakan oleh Ramandika. Tentu akan menimbulkan masalah jika dirinya memaksa untuk ikut atau berusaha mencegahnya.

"Semoga tidak terjadi apa-apa pada Ramandika," desis Rawinta, kemudian menghela napas dalam-dalam.

Dengan penuh kegusaran, Ramandika terus melangkah menyusuri jalan setapak hendak menuju ke sebuah rumah yang menjadi tempat tinggal Bargowi dan beberapa orang anak buahnya.

Saat tiba di tempat tujuan, hari pun sudah mulai gelap. Karena perjalanan dari kediaman Rawinta ke tempat tersebut jaraknya lumayan jauh. Tempat tersebut berada di ujung desa yang jauh dari pemukiman penduduk.

Ramandika langsung menghentikan langkahnya, ia berdiri tegak di depan rumah yang merupakan markas orang-orang kepercayaan Kuwu Sangkan. Rumah tersebut berada di pinggir perkebunan tebu milik Kuwu Sangkan.

"Bargowi, keluar kau!" teriak Ramandika.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
CahyaGumilar79
Mohon maaf Kak, terima kasih informasinya. Cerita ini tidak ada sangkut pautnya dengan kisah sejarah nyata, ini hanya fiktif karangan belaka, jika ada kemiripan nama dan karakter itu hanya kebetulan saja
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • SANG PENDEKAR LEMBAH NAGA    162. Menyatukan Tanah Gurusetra

    Beberapa hari kemudian ....Ramandika dan Senapati Sena langsung kembali ke istana bersama lima ratus prajurit yang baru saja selesai melaksanakan tugas mereka—menumpas kelompok pendekar sayap timur.Setibanya di istana, Ratu Rinjani dan Lasmina menyambut hangat kedatangan Ramandika dan pasukannya."Syukurlah, Kakang bersama para prajurit dalam kondisi baik-baik saja," kata Ratu Rinjani sambil tersenyum lebar.Begitu juga dengan Lasmina, meskipun kapasitas dirinya hanya sebagai istri kedua Ramandika. Namun, Lasmina tak kalah mesra dari sang ratu dalam menyambut kedatangan suaminya itu."Ada kabar baik untuk Kakang," kata Lasmina sambil tersenyum-senyum.Ramandika mengerutkan kening sambil memandangi wajah istri keduanya itu. "Kabar baik apa, Nyimas?" tanya Ramandika penasaran.Lasmina masih tersenyum-senyum, kemudian dia menoleh ke arah Ratu Rinjani. "Kanda Ratu saja yang menyampaikan kabar baik ini!" pinta Lasmina.Ratu Rinjani tersenyum lebar, dia mengatur napas sejenak sebelum meny

  • SANG PENDEKAR LEMBAH NAGA    161. Kekalahan Pasukan Sayap Timur

    Mendengar pertanyaan pendekar itu, Panglima Dumaya tampak geram sekali. "Apakah kau ingin mati konyol? Silakan saja jika kau ingin tetap di sini! Aku dan yang lain akan segera meninggalkan tempat ini," pungkas Panglima Dumaya. Demikian juga dengan para pendekar lainnya, mereka sudah merubah haluan. Mereka sudah jera dan tidak mau lagi bertempur melawan pasukan kerajaan Gurusetra Jaya. Para pendekar itu sadar dengan kondisi kekurangan mereka. "Ayo, mundur!" teriak Panglima Dumaya. Dengan demikian, maka para pendekar itu langsung mundur meninggalkan arena pertempuran. Panglima Dumaya tidak ingin anak buahnya berguguran terlalu banyak, karena dia sadar dengan jumlah pasukannya yang semakin berkurang saja. "Kurang ajar!" geram Silaka, "kalian pengecut!" sambungnya berteriak keras. Namun, Panglima Dumaya dan para pendekar lainnya tidak mengindahkan teriakan Silaka. Demikianlah, maka Silaka langsung memerintahkan anak buahnya yang masih bertahan untuk beralih ke arah timur demi menghin

  • SANG PENDEKAR LEMBAH NAGA    160. Pasukan Sayap Timur Mulai Terdesak

    Panglima Birnaka dan para prajuritnya hanya mengangguk sambil menjura hormat kepada sang perdana menteri."Nanti aku dan Senapati Sena akan menyusul kalian," kata Ramandika, "aku sarankan, kalian jangan melakukan serangan hari ini. Lebih baik lakukan serangan besok saja, untuk hari ini kalian cukup memantau pergerakan mereka," sambungnya."Baik, Gusti," jawab Panglima Birnaka menjura kepada sang perdana menteri."Setelah kalian tiba di tengah hutan Jati, kalian harus mencari tempat yang aman untuk mendirikan perkemahan. Pastikan tempat tersebut aman dan jauh dari markas para pendekar dari kelompok sayap timur!" kata Ramandika."Hamba akan menyampaikan saran ini kepada semua prajurit." Panglima Birnaka berkata sambil menjura penuh rasa hormat kepada sang perdana menteri Setelah mendapatkan pencerahan dari Ramandika, Panglima Birnaka dan pasukannya langsung bergerak memasuki hutan Jati yang menjadi sarang para pendekar dari kelompok sayap timur.Pasukan yang dipimpin oleh Panglima Birn

  • SANG PENDEKAR LEMBAH NAGA    159. Ramandika dan Pasukannya Sudah Siap Berperang

    Pagi harinya, di beberapa desa yang ada di wilayah kepatihan Putra Jaya, tampak geger dengan hilangnya beberapa orang tokoh masyarakat dan para pemuda.Orang-orang yang merasa kehilangan anggota keluarganya langsung mendatangi para prajurit yang bertugas di wilayah kademangan Jati Darma. Mereka melaporkan bahwa anggota keluarga mereka sudah hilang secara misterius.Tentu, kejadian tersebut kembali menghebohkan dan merubah suasana dan kondisi yang semula aman menjadi kembali genting. Para penduduk pun mulai takut keluar rumah pada malam hari, bahkan di siang hari pun aktivitas penduduk mulai surut, mereka tak lagi pergi ke ladang atau ke tempat-tempat lain yang jauh dari pemukiman, karena mereka takut sesuatu yang tidak diinginkan terjadi pada mereka.Senapati Sena tampak geram sekali dengan peristiwa tersebut, ia sudah menduga bahwa itu murni perbuatan kelompok pendekar sayap timur pimpinan Panglima Dumaya. Namun, semua harus dilakukan penyelidikan terlebih dahulu sebelum mengambil ke

  • SANG PENDEKAR LEMBAH NAGA    158 Kelompok Sayap Timur Berhasil Melakukan Penculikan

    Para penduduk itu terus berbincang-bincang sambil menikmati waktu, hingga pada akhirnya perbincangan mereka bergeser ke hal lain yang bersangkutan dengan kelompok pendekar sayap timur."Apakah kalian percaya jika Panglima Amerya dari kelompok pendekar sayap timur itu sudah tewas?" timpal seorang pria paruh baya bertanya kepada semua yang ada di tempat tersebut.Seorang pria yang mengenakan ikat kepala merah segera menjawab pertanyaan pria paruh baya itu, "Menurut kabar yang aku dengar dari ki kuwu, kabar kematian Panglima Amerya itu memang benar. Dia sudah tewas di tangan Panglima Gurma.""Baguslah kalau memang kabar itu benar, itu tandanya kita akan aman. Walau bagaimanapun, Panglima Amerya adalah otak di balik semua kekacauan di wilayah ini."Beberapa tanggapan telah muncul di antara para penduduk kadipaten Dembaga Pura dan juga dari pihak kelompok pendekar sayap timur. Ada yang percaya bahwa Panglima Gurma telah membunuh Panglima Amerya, adapula yang beranggapan bahwa Panglima Amer

  • SANG PENDEKAR LEMBAH NAGA    157. Ramandika Tiba di Kadipaten Dembaga Pura

    Beberapa orang dari kelompok pendekar sayap timur, saat itu sudah berada di dalam hutan yang ada di pinggiran desa Sengkolo di wilayah kadipaten Dembaga Pura—kepatihan Putra Jaya.Para sandera yang beberapa hari terakhir mereka tawan, hari itu sudah mereka lepaskan. Namun, mereka masih menahan belasan orang yang merupakan para pejabat penting dari beberapa kademangan yang ada di wilayah kadipaten Dembaga Pura.Setibanya di kepatihan Putra Jaya, Perdana Menteri Ramandika bersama para prajuritnya langsung bergabung dengan pasukan yang sudah lebih dulu tiba di wilayah tersebut.Kehadiran sang perdana menteri tentu disambut hangat oleh rakyat yang ada di daerah tersebut, bahkan sang patih pun turut menyambut kedatangan Perdana Menteri Ramandika bersama pasukannya."Aku tidak melihat para pejabat kadipaten Dembaga Pura, di mana mereka?" tanya Ramandika kepada Patih Karmala."Mohon maaf, Gusti Perdana Menteri. Hamba belum mengetahui informasi lebih lanjut tentang keberadaan Adipati Tunaraka

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status