Share

2. Ramandika Nekat Mendatangi Markas Anak Buah Kuwu Sangkan

“Maaf, Ramandika. Kami tidak tahu apa-apa,” jawab salah seorang dari kedua pria itu.

Sejatinya, mereka mengetahui siapa pelakunya, karena mereka mendapatkan keterangan dari Sintani—adik Ramandika sebelum dia mengembuskan napas terakhirnya. Namun, mereka tidak berani mengatakan hal yang sebenarnya karena mereka takut terlibat dalam kasus tersebut.

“Jadi, kalian benar-benar tidak mengetahuinya?” tanya Ramandika lagi.

“Tidak Ramandika, kami sungguh tidak mengetahui siapa pelakunya.”

“Lantas, di mana jasad keluargaku dimakamkan?” tanya Ramandika menatap tajam ke arah dua orang yang ada di hadapannya.

“Mereka dimakamkan di kebun milikmu.”

Setelah menjawab pertanyaan Ramandika, dua orang itu kembali melanjutkan langkah mereka berlalu dari hadapan Ramandika.

Beberapa orang penduduk yang kebetulan melintas, tampak tidak peduli melihat Ramandika yang tengah larut dalam kesedihan. Para penduduk itu justru mengabaikannya, mereka tidak mau mendekati Ramandika.

Beberapa saat kemudian ....

Ramandika bangkit, ia melangkah mendekat ke arah rumah yang sudah hancur berantakan. Sejenak , ia memandangi reruntuhan rumahnya. Setelah itu, langsung pergi meninggalkan rumahnya yang sudah habis terbakar.

Ramandika berjalan pelan menyusuri jalan setapak menuju ke arah ladang tempat dimakamkannya jasad keluarganya

Di makam kedua orang tua dan adiknya, Ramandika menangis sambil berdoa.

“Jika saja aku tidak ikut dengan Paman Sonda, mungkin peristiwa ini tidak akan terjadi menimpa keluargaku,” desis Ramandika setelah selesai berdoa.

Tanpa ia sadari, seorang pria paruh baya yang selama ini dekat dengannya, sudah berdiri di belakangnya. Karena rumahnya berada tidak jauh dari lokasi pemakaman tersebut

“Ramandika,” kata pria paruh baya itu lirih.

Mendengar suara tersebut, Ramandika langsung menyeka air matanya. Kemudian berpaling ke arah belakang, ia bangkit dan langsung memeluk erat tubuh pria paruh baya itu sambil terisak.

“Aku sudah kehilangan orang-orang yang aku cintai Paman Ramudya,” kata Ramandika sambil menangis pilu di pelukan Ramudya.

“Ini adalah bagian takdir kehidupan yang harus kau jalani. Maafkan Paman, karena pada saat kejadian, Paman tidak ada di desa ini,” ucap Ramudya mengelus lembut pundak Ramandika.

Ramandika terus menangis, ia sudah tidak dapat berkata apa-apa lagi. Dadanya terasa sesak, pandangannya sudah redup terhalang bulir bening yang terus mengalir dari kelopak matanya.

“Tak ada seorang pun penduduk yang berani buka mulut, Paman sudah bertanya kepada orang-orang yang ada di desa ini, tapi tak ada seorang pun yang memberitahu tentang pelakunya.”

“Ia Paman, aku pun sudah bertanya kepada para penduduk, tapi mereka tidak ada yang mau memberitahuku tentang pelakunya.”

Perlahan, Ramandika melepaskan pelukannya. Ia menarik napas dalam-dalam, dua bola matanya menatap tajam wajah Ramudya.

“Tidak apa-apa, Paman. Aku akan coba mencaritahu sendiri siapa pelakunya,” desis Ramandika lirih. “Maaf, Paman. Aku akan langsung menemui Rawinta, aku ingin bertanya kepada Rawinta tentang peristiwa ini. Semoga saja aja informasi baik darinya,” sambung Ramandika.

“Iya, Ramandika. Tapi ingat, kau harus kembali ke sini,” kata Ramudya lirih.

“Baik, Paman. Aku pasti kembali ke sini setelah selesai menjumpai Rawinta.”

Setelah berkata demikian, Ramandika langsung pamit dan berlalu dari hadapan Ramudya.

Setibanya di kediaman Rawinta, Ramandika langsung mengetuk pintu.

“Rawinta! Apakah kau ada di dalam?” kata Ramandika berdiri di depan pintu kediaman sahabatnya itu.

Kemudian, terdengar suara langkah kaki tergesa-gesa dari dalam rumah tersebut.

“Iya, Ramandika,” sahut Rawinta yang sudah mengenal suara Ramandika.

Ia langsung membuka pintu. Dua bola matanya melebar ketika melihat Ramandika sudah berada di hadapannya.

“Ramandika, kapan kau kembali?” tanya Rawinta setelah membuka pintu.

Ramandika tidak menjawab pertanyaan sahabatnya itu, ia hanya tersenyum tipis dengan dua bola mata yang berkaca-kaca.

Rawinta paham dengan kondisi yang tengah dialami sahabatnya itu. Tanpa banyak bicara lagi, ia langsung mempersilakan Ramandika duduk, “Silakan duduk, Ramandika!”

Ramandika mengangguk dan langsung melangkah menuju sebuah kursi yang ada di teras rumah tersebut.

Setelah duduk, tanpa banyak basa-basi lagi, Ramandika langsung bertanya kepada Rawinta tentang pelaku pembunuhan kedua orang tuanya dan juga Sintani—adik kandungnya.

“Sebenarnya aku tidak berani mengatakan hal ini. Tapi ... ini semua harus aku katakan kepadamu, Ramandika,” kata Rawinta dengan suara rendah. “Kau adalah sahabat baikku, tidak sepantasnya jika aku merahasiakan ini semua,” sambungnya.

“Katakan saja, Rawinta! Siapa pelakunya?”

Rawinta terdiam sejenak, dua bola matanya memandang ke sekitar halaman rumahnya. Seakan-akan dirinya tengah memastikan bahwa tidak ada orang lain di tempat itu, selain dirinya dan Ramandika. Rawinta khawatir jika ada orang lain yang akan menguping pembicaraannya dengan Ramandika.

Setelah merasa aman, barulah ia menjawab, "Pelakunya adalah Ki Bargowi dan beberapa orang anak buahnya. Aku tahu semua dari keterangan Sintani sebelum dia meninggal, bahkan sebagian warga pun mengetahuinya," bisik Rawinta.

Ramandika tampak kaget, dirinya tercengang ketika mendengar keterangan dari sahabatnya itu.

"Ki Bargowi?" tanya Ramandika menatap tajam wajah Rawinta.

"Ya, Ki Bargowi. Dia dan anak buahnya diperintahkan langsung oleh Kuwu Sangkan untuk membinasakan keluargamu," jawab Rawinta.

Ramandika menarik napas dalam-dalam sembari mengepalkan telapak tangannya kuat-kuat, kemudian memukul meja yang ada di hadapannya.

"Bedebah! Aku harus membalas dendam kepada mereka malam ini juga," kata Ramandika penuh kegusaran.

"Jangan, Ramandika!" cegah Rawinta. "Mereka bukan orang-orang biasa, mereka adalah para pendekar yang memiliki ilmu kanuragan tinggi," sambungnya.

Rawinta tampak khawatir jika terjadi sesuatu pada diri Ramandika jika dia nekat melakukan tindakan balas dendam terhadap pihak Kuwu Sangkan.

"Kau jangan khawatir, Rawinta! Aku pasti bisa menghadapi mereka!" tegas Ramandika penuh keyakinan, meskipun pada kenyataannya dia tidak memiliki kemampuan bela diri yang mumpuni.

Rawinta menarik napas dalam-dalam, lalu berkata lagi, "Kalau memang seperti itu, aku ikut."

"Tidak usah, Rawinta! Biarkan aku sendiri saja, aku tidak ingin melibatkanmu dalam persoalan ini," kata Ramandika langsung bangkit. "Aku harus menemui Ki Bargowi saat ini juga," sambungnya.

"Besok saja, Ramandika. Kau harus istirahat, sebentar lagi malam."

"Tidak apa-apa, justru malam hari adalah langkah yang tepat untuk menemui mereka," pungkas Ramandika langsung berlalu dari hadapan Rawinta

Melihat sikap sahabatnya tengah dalam kegusaran, Rawinta tidak banyak bicara lagi, dia paham dengan apa yang sedang dirasakan oleh Ramandika. Tentu akan menimbulkan masalah jika dirinya memaksa untuk ikut.

"Semoga tidak terjadi apa-apa pada Ramandika," desis Rawinta, kemudian menghela napas dalam-dalam.

Dengan penuh kegusaran, Ramandika terus melangkah menyusuri jalan setapak hendak menuju ke sebuah rumah yang menjadi tempat tinggal Bargowi dan beberapa orang anak buahnya.

Setibanya di tempat tujuan, Ramandika langsung menghentikan langkah. Ia berdiri tegak di depan rumah yang merupakan markas orang-orang kepercayaan Kuwu Sangkan. Rumah tersebut berada di pinggir perkebunan tebu milik Kuwu Sangkan.

"Bargowi, keluar kau!" teriak Ramandika.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
CahyaGumilar79
Mohon maaf Kak, terima kasih informasinya. Cerita ini tidak ada sangkut pautnya dengan kisah sejarah nyata, ini hanya fiktif karangan belaka, jika ada kemiripan nama dan karakter itu hanya kebetulan saja
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status