“Mengapa rumahku hancur terbakar? Di mana keluargaku?” desis seorang pemuda berdiri menatap sebuah rumah yang sudah hancur sisa terbakar.
Rumah tersebut tinggallah sebuah reruntuhan, atapnya yang terbuat dari ilalang sudah hancur menjadi debu. Sementara tiang-tiang penyangganya sudah rapuh menjadi arang.
Pemuda tersebut adalah Ramandika, ia baru saja pulang setelah berbulan-bulan meninggalkan kampung halamannya. Ramandika tidak mengetahui jika sudah terjadi peristiwa mengenaskan terhadap keluarganya.
Tiba-tiba saja, Ramandika melihat dua orang warga melintas tidak jauh dari darinya, ia bangkit dan langsung berlari kecil mengejar dua orang itu. Ramandika hendak meminta keterangan terkait keluarganya.
“Tunggu, Ki!” teriak Ramandika.
Mendengar teriakan Ramandika, dua orang tersebut langsung menghentikan langkah mereka, kemudian berpaling ke arah Ramandika.
"Ya Dewata agung! Ternyata Ramandika sudah pulang," desis salah seorang dari mereka, "apa yang harus kita katakan kepada Ramandika, jika dia bertanya tentang keluarganya?"
"Sebaiknya kita diam saja! Aku khawatir dia akan menyalahkan kita," sahut kawannya pelan.
“Mohon maaf, Ki Sanak. Apakah kalian mengetahui di mana keberadaan keluargaku?” tanya Ramandika setelah berada di hadapan dua orang pria yang merupakan warga desa tersebut.
Mereka saling berpandangan, kedua pria itu hanya diam saja ketika Ramandika bertanya seperti itu. Mereka tidak mau mengatakan peristiwa yang sudah menimpa keluarga Ramandika, karena takut disalahkan oleh pemuda tersebut.
“Kenapa kalian diam? Apa yang terjadi dengan keluargaku?” tanya Ramandika lagi sedikit membentak.
Satu pun di antara mereka tidak ada yang berani menjawab pertanyaan tersebut. Mereka hanya bergeming, tertunduk di hadapan Ramandika.
Sikap mereka membuat Ramandika naik darah. “Apakah kalian tuli?” bentak Ramandika, "di mana keluargaku? Apa yang terjadi dengan mereka?” desak Ramandika.
"Kami tidak tahu, Ramandika."
"Jangan bohong kalian! Katakan yang sejujurnya, di mana keluargaku? Apa yang sudah terjadi pada mereka?"
Karena terus didesak oleh Ramandika, maka salah seorang dari mereka langsung menjawab pertanyaan Ramandika.
“Kedua orang tuamu dan juga adikmu sudah tewas, Ramandika. Mereka sudah dimakamkan tiga hari yang lalu."
"Mereka telah tewas?"
"Iya, Ramandika ."
"Lantas, siapa orang yang sudah tega membinasakan keluargaku?" tanya Ramandika lagi penuh rasa penasaran.
Namun, kedua orang pria itu tidak menjawab pertanyaan tersebut. Mereka tampak takut jika harus mengatakan hal yang sebenarnya terkait para pelaku yang sudah membinasakan keluarga Ramandika.
Seketika itu, Ramandika merasa lemas. Dunia seakan-akan berubah gelap, kedua kakinya bergetar hebat.
Ramandika menjatuhkan diri, ia berlutut di atas tanah menghadap ke arah reruntuhan rumahnya yang sudah menjadi arang dan debu. Ramandika menangis sejadi-jadinya.
“Tidak ...!" jerit Ramandika penuh kepiluan, "kalian tidak boleh meninggalkan aku ...!” teriaknya keras sambil menangis.
Melihat kondisi Ramandika seperti itu, dua orang pria tersebut hanya diam saja. Mereka berdiri terpaku di belakang Ramandika yang tengah larut dalam kedukaan.
‘Jangan-jangan ada dalang di balik kematian keluargaku? Tidak mungkin ini terjadi tanpa ada tokoh utamanya,’ batin Ramandika menduga-duga.
Beberapa saat kemudian, Ramandika berpaling ke arah dua orang pria yang masih berdiri di belakangnya.
“Apakah kalian tahu, siapakah dalang di balik peristiwa kematian keluargaku?” tanya Ramandika.
Tidak ada satu pun di antara mereka yang berani memberitahukan tentang pelaku pembunuhan tersebut. Mereka takut jika mereka akan terlibat dalam persoalan itu, sehingga mereka hnya tutup mulut ketika Ramandika bertanya tentang pelaku yang sudah membinasakan keluarganya.
“Katakanlah! Siapa orang yang sudah tega membinasakan keluargaku?” bentak Ramandika.
“Maaf, Ramandika. Kami tidak tahu apa-apa,” jawab salah seorang dari kedua pria itu.Sejatinya, mereka mengetahui siapa pelakunya, karena mereka mendapatkan keterangan dari Sintani—adik Ramandika sebelum dia mengembuskan napas terakhirnya. Namun, mereka tidak berani mengatakan hal yang sebenarnya karena mereka takut terlibat dalam kasus tersebut.“Jadi, kalian benar-benar tidak mengetahuinya?” tanya Ramandika lagi.“Tidak Ramandika, kami sungguh tidak mengetahui siapa pelakunya.”“Lantas, di mana jasad keluargaku dimakamkan?” tanya Ramandika menatap tajam ke arah dua orang yang ada di hadapannya.“Mereka dimakamkan di kebun milikmu.”Setelah menjawab pertanyaan Ramandika, dua orang itu kembali melanjutkan langkah mereka berlalu dari hadapan Ramandika.Beberapa orang penduduk yang kebetulan melintas, tampak tidak peduli melihat Ramandika yang tengah larut dalam kesedihan. Para penduduk itu justru mengabaikannya, mereka tidak mau mendekati Ramandika.Beberapa saat kemudian ....Ramandik
Salah seorang anak buah Bargowi yang pada saat itu tengah berada di beranda rumah tersebut, tampak kaget melihat kedatangan Ramandika."Siapa pemuda itu?" desis pria tersebut, sama sekali dia tidak mengenal tamu tak diundang itu.Pria itu adalah Wikara yang kebetulan sedang bertugas menjaga perkebunan milik majikannya. Wikara sudah paham bahwa pemuda yang berdiri di hadapannya itu sedang dalam kondisi marah, sehingga dirinya lekas bangkit dan langsung menghampiri Ramandika."Siapa kau, Anak muda? Ada keperluan apa kau datang ke tempat ini ?" tanya Wikara bernada tinggi."Di mana pimpinanmu?" jawab Ramandika balas melontar pertanyaan. Suaranya terdengar keras menyulut amarah Wikara."Untuk apa kau mencari pemimpinku?""Jangan banyak tanya! Katakan saja, di mana Bargowi?" bentak Ramandika.Entah apa yang merasuk dalam jiwa Ramandika? Pada saat itu sikapnya benar-benar berubah, ia tampak garang dan sangat berani sekali tandang ke markas orang-orang kepercayaan Kuwu Sangkan yang terkenal
Bargowi berpaling ke arah Wikara, ia tersenyum lebar lalu menjawab pertanyaan anak buahnya itu, "Ya, aku tahu."Dengan demikian, Bargowi langsung merancang siasat bersama anak buahnya. Dia memberikan tugas kepada Wikara dan kawan-kawannya untuk mendatangi kediaman Sondaka dan juga Ramudya, karena dirinya sangat yakin bahwa mereka mengetahui keberadaan Ramandika."Kita bergerak esok pagi, pastikan bahwa Ramandika tidak lepas dari buruan kita!" ujar Bargowi di sela perbincangannya dengan Wikara dan anak buahnya yang lain."Baik, Ki," jawab Wikara bersikap penuh rasa hormat terhadap pimpinannya itu.Keesokan harinya ....Menjelang matahari terbit, Ramandika sudah berada di beranda rumah bersama Ramudya. Pada saat itu, mereka sedang berbincang santai sembari menikmati minuman rempah-rempah khas desa tersebut."Kau sudah tidak aman lagi jika harus tetap berada di desa ini, sebaiknya esok hari kau harus segera meninggalkan desa ini," saran Ramudya di sela perbincangannya dengan Ramandika.R
Ramudya sudah pasrah dengan keadaan, ia sudah tidak mampu lagi untuk melanjutkan pertarungannya dengan Bargowi.'Ya, Dewata Agung! Jika aku harus mati hari ini. Aku ikhlas, yang penting Ramandika dan Rawinta selamat dari buruan orang-orang ini,' kata Ramudya dalam hati.Ramudya menarik napas dalam-dalam, kemudian meluruskan pandangannya ke wajah Bargowi.Bargowi kemudian melangkah mendekat ke arah Ramudya sambil mengayun-ayunkan goloknya yang tajam. Kemudian berkata, "Aku akan mengurungkan niatku untuk membinasakanmu. Tapi dengan satu syarat, kau harus mengatakan di mana Ramandika berada?""Bunuh saja aku! Jika itu yang kau inginkan, aku tidak akan pernah tunduk kepadamu!" tegas Ramudya bersikeras tidak mau mengatakan tentang keberadaan Ramandika."Kurang ajar kau!" bentak Bargowi.Tanpa banyak bicara lagi, ia langsung mengayunkan goloknya dan langsung menebas leher Ramudya hingga hampir putus. Seketika itu, Ramudya pun langsung tewas dengan luka yang sangat lebar di lehernya.Setelah
"Lancang sekali kau ini, seharusnya kami yang bertanya. Siapa kau ini? Berani sekali menginjakkan kaki di wilayah ini," jawab salah seorang dari kedua pria itu dengan nada tinggi.Dalam situasi seperti itu, Ramandika paham bahwa kedua pria yang menghadangnya itu tidak punya itikad baik. Sehingga dirinya pun langsung bersiap dalam mengantisipasi kemungkinan yang akan terjadi.'Mereka bukan orang baik-baik, mau tidak mau aku harus berani menghadapi mereka,' batin Ramandika."Mohon maaf, Ki Sanak. Bukankah ini jalan umum?" kata Ramandika balas melontar pertanyaan.Sontak, sikapnya itu mengundang emosi dari kedua pria tersebut. Sehingga salah seorang dari mereka langsung membentak keras, "Kurang aja sekali kau ini! Apakah kau sudah bosan hidup?"Meskipun Ramandika tidak memiliki keahlian ilmu bela diri yang mumpuni, dan juga tidak memiliki banyak pengalaman bertarung, namun dirinya sudah siap dalam menghadapi kedua orang itu.'Aku harus melawan mereka. Jika nanti aku kalah, maka aku harus
Seketika itu, Ramandika merasa cemas dengan kehadiran orang-orang tersebut. Ramandika curiga jika orang-orang tersebut bukanlah manusia biasa.Apa yang dia cemaskan memang benar-benar terbukti, hanya dalam sekejap mata saja, orang-orang tersebut sudah hilang dari pandangannya.Seketika itu, Ramandika baru sadar, ternyata ia sudah berada di tengah hutan yang rimbun dengan pepohonan. Tidak terlihat lagi rumah-rumah penduduk seperti yang ia lihat beberapa menit lalu. Bahkan sabana hijau yang sebelumnya ia lihat pun sudah tak ada lagi.Tempat itu hanya sebuah hutan belantara yang ditumbuhi banyak pepohonan besar. Walaupun demikian, sinar rembulan masih mampu menerobos dedaunan, sehingga Ramandika masih mampu melihat keadaan di sekitar hutan itu, meskipun samar-samar."Dugaanku ternyata memang benar, mereka tadi adalah bangsa jin. Semoga mereka tidak menggangguku," gumam Ramandika sambil mengusap wajah dengan telapak tangan kosong.Di hutan yang sepi dan sunyi seperti itu, orang-orang bias
Ki Ageng Penggir tersenyum lebar mendengar pertanyaan Ramandika, sejenak ia terdiam. Sikapnya itu, tentu membuat Ramandika penasaran saja."Kenapa, Aki tidak menjawab pertanyaanku? Apakah aku ini tidak layak menjadi muridmu?" tanya Ramandika menatap wajah pria paruh baya sang pemimpin padepokan tersebut."Siapa pun yang datang ke padepokan ini dengan niat sungguh-sungguh ingin belajar, aku pasti akan menerima dengan baik. Tapi ingat, kau harus bersungguh-sungguh dalam mempelajari ilmu kanuragan yang akan aku ajarkan kepadamu!"Mendengar jawaban pria paruh baya itu, Ramandika tampak senang dan begitu bahagia. Ternyata perjuangannya yang rumit selama ini telah dibayar lunas dengan sikap baik Ki Ageng Penggir."Terima kasih banyak, Ki," ucap Ramandika sambil menjura hormat. "Mulai hari ini, aku akan memanggilmu guru," sambungnya penuh kebahagiaan."Ya sudah. Mulai besok, kau bisa langsung bergabung dengan murid-murid lainnya untuk berlatih," kata Ki Ageng Penggir tersenyum lebar. "Untuk
Meskipun sudah berteriak keras, tak ada sahutan dari Dendaka. Tempat tersebut tampak sunyi, seakan-akan hanya Ramandika saja yang berada di tempat itu.'Apa maksud Dendaka meninggalkan aku di tempat ini? Apakah mungkin, Dendaka berniat jahat terhadapku?' Ramandika bertanya-tanya dalam hati."Dendaka, di mana kau?" teriak Ramandika semakin penasaran, dua bola matanya terus bergulir mengamati sekitaran tempat tersebut.Namun, tak ada seorang pun yang menyahut teriakan Ramandika. Hingga pada akhirnya, Ramandika pun merasa lelah dan memutuskan untuk kembali ke padepokan."Rupanya Dendaka sengaja menipu dan mempermainkan aku," gumam Ramandika kesal. Kemudian, ia langsung melangkah hendak kembali ke padepokan.Namun, baru beberapa langkah saja Ramandika berjalan. Tiba-tiba datang serangan tak terduga, Ramandika jatuh tersungkur ketika kepalanya dihantam sebuah pukulan keras dari arah belakang.Seiring demikian, terdengar suara Somala dan Dendaka tertawa keras, "Hahaha ...!" Seakan-akan, mer