"Entahlah, aku tidak mengenalinya, dan aku baru melihatnya," jawab Kuntala pelan."Sepertinya, nenek tua itu seorang pengelana," timpal Sandika.Perempuan berusia senja itu terus melangkah semakin mendekati Ramandika dan kedua kawannya."Sampurasun," ucapnya lirih."Rampes," jawab Ramandika dan kedua kawannya serentak.Dua bola matanya bergulir ke arah Ramandika, lalu berkata lirih. "Kau memiliki tameng yang sangat luar biasa, dan kau akan menjadi seorang kesatria pilih tanding!"Ketiga pemuda itu tampak terkejut mendengar pernyataan perempuan tua tersebut. "Kesatria?!" Ramandika terkejut mendengar kalimat yang diucapkan oleh perempuan berusia senja itu. "Apakah Nenek mengetahui apa yang ada dalam tubuhku?" tanya Ramandika menambahkan."Aku tidak mungkin bicara kalau aku tidak tahu apa-apa tentang dirimu," jawabnya. "Kakek buyutmu di masa lampau adalah seorang pendekar sakti. Jadi, kau memiliki garis keturunan dari para pendekar masa lalu," pungkasnya langsung melangkah berlalu dari
Dua hari berikutnya ....Ramandika, Sandika, dan Kuntala sudah berangkat meninggalkan desa Yowa. Pagi itu, mereka berjalan menyusuri jalan setapak memasuki hutan belantara hendak menuju wilayah perbatasan.Ketiga pemuda itu mengambil jalur pintas sesuai saran Ki Warmala, karena mereka khawatir mendapatkan penghadangan dari para prajurit kerajaan Dongkala jika menempuh jalur utama.Menjelang tengah hari, mereka telah sampai di perbatasan. Namun, mereka tampak bingung melihat kondisi sungai yang hendak mereka sebrangi. Sungai tersebut memiliki arus yang sangat deras, sudah dapat dipastikan mereka akan kesulitan jika harus menyebrangi sungai itu."Arus sungai ini deras sekali, bagaimana caranya kita bisa menyebrangi sungai ini?" desis Ramandika tampak bingung."Sepertinya di pegunungan Sanca yang merupakan hulu sungai ini, sedang berlangsung hujan lebat, sehingga arus sungai ini begitu deras," jawab Sandika."Lantas, apa yang harus kita lakukan agar bisa menyebrangi sungai ini?" timpal K
Ramandika dan Sandika tampak ragu untuk menepikan rakit tersebut, karena mereka takut jika orang tua itu adalah jelmaan siluman atau bangsa jin yang menguasai hutan tersebut.Karena menurut rumor yang beredar bahwa di hutan tersebut terdapat markas siluman api yang selama ini selalu menghantui para penduduk yang ada di sekitar wilayah tersebut."Hai, kemarilah! Kalian jangan takut, aku tidak akan jahat terhadap kalian!" seru orang tua itu, "Jika kalian ingin segera menemukan kawan kalian, maka mendekatlah! Aku akan memberitahu di mana kawan kalian berada."Ramandika dan Sandika saling berpandangan, mereka masih belum percaya dengan kalimat-kalimat yang diucapkan oleh sosok orang tua tersebut."Apakah kau percaya dengan ucapan orang tua itu?" bisik Sandika kepada Ramandika."Sebenarnya aku ragu, tapi kita coba saja. Mudah-mudahan, dia bukan sosok makhluk yang jahat yang akan mencelakai kita," jawab Ramandika."Baiklah," desis Sandika segera menepikan rakit tersebut."Naiklah ke sini!"
Dengan demikian, Ramandika dan Sandika langsung mengikuti saran orang tua misterius itu. Mereka berjalan naik ke puncak bukit berharap dapat menemukan Kuntala.Apa yang dikatakan oleh orang tua misterius itu memang benar, di puncak bukit tersebut berdiri sebuah gubuk kecil yang tampak samar hanya diterangi sinar bulan yang tidak terlalu terang karena terhalang gumpalan awan."Sepertinya itu gubuk yang dimaksud oleh orang tua aneh tadi," desis Ramandika berpaling ke arah Sandika."Benar Ramandika, aku rasa memang itu tempatnya. Tidak ada gubuk lain di puncak bukit ini selain gubuk itu.""Baiklah, kita ke sana sekarang! Tapi ingat, kita harus waspada!" kata Ramandika lirih, "Walau bagaimanapun makhluk yang akan kita hadapi bukanlah dari kalangan manusia. Mereka adalah siluman yang memiliki tipu muslihat," sambungnya.Lalu, keduanya melangkah mendekati gubuk tersebut. Mereka berjalan sangat berhati-hati penuh kewaspadaan.Setelah dekat, tepat berada di depan gubuk kecil itu. Mereka terke
Sementara itu, Sandika masih berdiri di pinggir arena, karena Ramandika melarangnya untuk ikut bertarung.Ketika berhadap-hadapan dengan dua siluman itu, Ramandika berkata dalam hati, 'Sepertinya mereka ini bukan siluman sembarangan. aku harus berhati-hati.'Beberapa saat kemudian, terdengar suara bisikan gaib ke telinga Ramandika, "Hunus pedangmu! Niscaya mereka akan ketakutan." Demikianlah suara tanpa wujud itu terdengar jelas di telinga Ramandika.Ramandika menarik napas dalam-dalam, kemudian langsung menghunus pedangnya, dan mengarahkan pedang tersebut kepada dua sosok siluman itu."Majulah kalian!" tantang Ramandika.Dua sosok siluman itu tampak takut ketika melihat ketajaman pedang tersebut. Selain itu, pedang dalam genggaman tangan Ramandika mengeluarkan sinar yang tentu sangat menyilaukan pandangan mereka, ada kekuatan besar dari pedang itu yang tak bisa mereka lawan.Ramandika mengayunkan pedangnya hendak menyabetkan pedang tersebut ke arah dua siluman yang ada di hadapannya.
Ketika matahari mulai naik, Ramandika dan kedua kawannya kembali melanjutkan perjalanan mereka menuju ke barat."Berapa hari kita akan sampai di tempat tujuan?" tanya Kuntala mengarah kepada Ramandika."Perjalanan menuju ke tempat tujuan, memerlukan waktu sekitar dua hari dua malam," jawab Ramandika."Ternyata jauh juga yah? Aku pikir sore ini kita akan tiba di sana," kata Sandika lirih."Ya memang seperti ini jika ditempuh hanya dengan berjalan kaki. Tapi, jika menggunakan kuda kemungkinan tidak akan memakan waktu begitu lama," jelas Ramandika sambil terus berjalan diikuti oleh Sandika dan Kuntala.Dalam perjalanan tersebut, beberapa kali mereka melakukan istirahat. Tanpa bekal makanan atau uang sepeser pun, untuk makan dan minum saja, mereka hanya mengandalkan sesuatu yang mereka temui di hutan dan kebun yang mereka lalui. Apa saja sekiranya bisa mereka makan dan minum.Singkat cerita ....Dua hari kemudian, ketika menjelang sore hari, Ramandika dan kedua kawannya sudah tiba di desa
Kemudian, Ki Durga menjawab pertanyaan Ramandika, "Sugri adalah ketua kelompok pengacau keamanan di wilayah ini. Dia dan anak buahnya selalu membuat resah warga, setiap hari selalu meminta jatah kepada para penduduk. Di balik aksinya itu, ada sosok yang selama ini selalu melindunginya, dia adalah Kuwu Sangkan."Belum sempat Ramandika berkata lagi, seorang gadis cantik datang menghampiri. Gadis itu membawa makanan dan minuman untuk disuguhkan kepada Ramandika dan kedua orang kawannya.Gadis tersebut meletakkan nampan yang berisi makanan dan minuman tepat di atas meja di hadapan Ramandika dan kedua kawannya."Silakan, Kakang!" ucap gadis itu sambil tersenyum manis mengarah kepada Ramandika dan kedua kawannya."Terima kasih, Rasmi," jawab Ramandika balas tersenyum.Rasmi hanya tersenyum sambil mengangguk pelan, kemudian ia langsung kembali melangkah ke ruang dapur.Ki Durga menarik napas dalam-dalam. "Sebaiknya kalian nikmati dulu makanan dan minumannya. Setelah itu, kita lanjutkan kemba
Dengan demikian, Ramandika dan kedua kawannya langsung bangkit dan segera melangkah ke arah dapur untuk keluar dari rumah tersebut melalui pintu belakang.Sementara itu, Ki Durga langsung menyambut kedatangan orang kepercayaan Kuwu Sangkan yang sudah menunggu di beranda kediamannya.Setelah membuka pintu, Ki Durga langsung menyambut tamunya itu dengan sikap ramah, "Ki Ronggo! Silakan duduk, Ki!" ucap Ki Durga sambil tersenyum lebar."Tidak perlu!" jawab pria paruh baya itu dengan sikap angkuhnya. "Apakah kau sudah mendapat kabar dari Ki Sugri?" sambungnya.Ki Durga mengerutkan keningnya, ia tidak paham dengan apa yang dikatakan oleh pria angkuh itu. 'Maksud Ki Ronggo apa? Apakah akan ada kabar merugikan lagi?' batin Ki Durga.Meskipun demikian, Ki Durga tetap bersikap biasa-biasa saja dan tidak menampakkan keheranannya di hadapan Ki Ronggo."Mohon maaf, Ki. Kabar tentang apa?""Oh ... berarti Ki Sugri belum datang ke sini?" jawab Ki Ronggo balas bertanya."Belum, Ki." Ki Durga menjawa