Sementara itu, Sandika masih berdiri di pinggir arena, karena Ramandika melarangnya untuk ikut bertarung.Ketika berhadap-hadapan dengan dua siluman itu, Ramandika berkata dalam hati, 'Sepertinya mereka ini bukan siluman sembarangan. aku harus berhati-hati.'Beberapa saat kemudian, terdengar suara bisikan gaib ke telinga Ramandika, "Hunus pedangmu! Niscaya mereka akan ketakutan." Demikianlah suara tanpa wujud itu terdengar jelas di telinga Ramandika.Ramandika menarik napas dalam-dalam, kemudian langsung menghunus pedangnya, dan mengarahkan pedang tersebut kepada dua sosok siluman itu."Majulah kalian!" tantang Ramandika.Dua sosok siluman itu tampak takut ketika melihat ketajaman pedang tersebut. Selain itu, pedang dalam genggaman tangan Ramandika mengeluarkan sinar yang tentu sangat menyilaukan pandangan mereka, ada kekuatan besar dari pedang itu yang tak bisa mereka lawan.Ramandika mengayunkan pedangnya hendak menyabetkan pedang tersebut ke arah dua siluman yang ada di hadapannya.
Ketika matahari mulai naik, Ramandika dan kedua kawannya kembali melanjutkan perjalanan mereka menuju ke barat."Berapa hari kita akan sampai di tempat tujuan?" tanya Kuntala mengarah kepada Ramandika."Perjalanan menuju ke tempat tujuan, memerlukan waktu sekitar dua hari dua malam," jawab Ramandika."Ternyata jauh juga yah? Aku pikir sore ini kita akan tiba di sana," kata Sandika lirih."Ya memang seperti ini jika ditempuh hanya dengan berjalan kaki. Tapi, jika menggunakan kuda kemungkinan tidak akan memakan waktu begitu lama," jelas Ramandika sambil terus berjalan diikuti oleh Sandika dan Kuntala.Dalam perjalanan tersebut, beberapa kali mereka melakukan istirahat. Tanpa bekal makanan atau uang sepeser pun, untuk makan dan minum saja, mereka hanya mengandalkan sesuatu yang mereka temui di hutan dan kebun yang mereka lalui. Apa saja sekiranya bisa mereka makan dan minum.Singkat cerita ....Dua hari kemudian, ketika menjelang sore hari, Ramandika dan kedua kawannya sudah tiba di desa
Kemudian, Ki Durga menjawab pertanyaan Ramandika, "Sugri adalah ketua kelompok pengacau keamanan di wilayah ini. Dia dan anak buahnya selalu membuat resah warga, setiap hari selalu meminta jatah kepada para penduduk. Di balik aksinya itu, ada sosok yang selama ini selalu melindunginya, dia adalah Kuwu Sangkan."Belum sempat Ramandika berkata lagi, seorang gadis cantik datang menghampiri. Gadis itu membawa makanan dan minuman untuk disuguhkan kepada Ramandika dan kedua orang kawannya.Gadis tersebut meletakkan nampan yang berisi makanan dan minuman tepat di atas meja di hadapan Ramandika dan kedua kawannya."Silakan, Kakang!" ucap gadis itu sambil tersenyum manis mengarah kepada Ramandika dan kedua kawannya."Terima kasih, Rasmi," jawab Ramandika balas tersenyum.Rasmi hanya tersenyum sambil mengangguk pelan, kemudian ia langsung kembali melangkah ke ruang dapur.Ki Durga menarik napas dalam-dalam. "Sebaiknya kalian nikmati dulu makanan dan minumannya. Setelah itu, kita lanjutkan kemba
Dengan demikian, Ramandika dan kedua kawannya langsung bangkit dan segera melangkah ke arah dapur untuk keluar dari rumah tersebut melalui pintu belakang.Sementara itu, Ki Durga langsung menyambut kedatangan orang kepercayaan Kuwu Sangkan yang sudah menunggu di beranda kediamannya.Setelah membuka pintu, Ki Durga langsung menyambut tamunya itu dengan sikap ramah, "Ki Ronggo! Silakan duduk, Ki!" ucap Ki Durga sambil tersenyum lebar."Tidak perlu!" jawab pria paruh baya itu dengan sikap angkuhnya. "Apakah kau sudah mendapat kabar dari Ki Sugri?" sambungnya.Ki Durga mengerutkan keningnya, ia tidak paham dengan apa yang dikatakan oleh pria angkuh itu. 'Maksud Ki Ronggo apa? Apakah akan ada kabar merugikan lagi?' batin Ki Durga.Meskipun demikian, Ki Durga tetap bersikap biasa-biasa saja dan tidak menampakkan keheranannya di hadapan Ki Ronggo."Mohon maaf, Ki. Kabar tentang apa?""Oh ... berarti Ki Sugri belum datang ke sini?" jawab Ki Ronggo balas bertanya."Belum, Ki." Ki Durga menjawa
Dua hari kemudian ....Ramandika dan kedua kawannya sudah pergi meninggalkan desa Singkur. Ki Durga dan warga desa lainnya banyak memberikan perbekalan kepada Ramandika, berupa makanan dan minuman dan bahkan sebagian dari mereka ada yang memberikan uang kepada Ramandika.Ketika matahari sudah berada di atas kepala, Ramandika dan kedua kawannya sudah berada di sebuah desa. Mereka tengah beristirahat di sebuah warung makan. Mereka baru saja selesai makan siang, dan saat itu tengah menikmati waktu istirahat, duduk-duduk santai di beranda warung sambil berbincang-bincang santai."Apakah kita akan melanjutkan perjalanan ini hingga larut malam?" tanya Kuntala mengarahkan pandangannya ke wajah Ramandika."Tidak Kuntala, kita akan bermalam di suatu tempat dalam perjalanan jika hari sudah gelap," jawab Ramandika lirih, "Besok pagi barulah kita lanjutkan perjalanan ini. Kita akan berjalan ke selatan, melewati hutan Kalen," sambungnya."Maksudmu, hutan yang ada di ujung perbatasan?" tanya Kuntal
Ramandika menarik napas sejenak, lalu menjawab lirih, "Kalau berbahaya sebaiknya kita cari cara lain agar mereka bisa memberikan jalan. Terkecuali jika terpaksa mengharuskan kita untuk bertindak, maka bertindaklah!"Sandika dan Kuntala hanya mengangguk-angguk saja mendengarkan penuturan Ramandika sebagai tanda bahwa mereka mengerti dengan apa yang dikatakan oleh kawan mereka itu."Tapi ingat, kita melawan hanya untuk mengelabui mereka saja, setelah ada celah untuk kabur, maka kita harus lari menghindari mereka. Karena tidak mungkin kita terus melawan mereka yang berjumlah banyak," kata Ramandika melanjutkan perkataannya."Kenapa harus kabur? Apakah kau tidak yakin dengan khodam yang ada dalam pedang pusakamu itu?" tanya Sandika menatap wajah Ramandika."Bukan masalah percaya atau tidaknya akan kekuatan gaib yang ada di dalam pedangku. Seperti yang aku ketahui bahwa khodam pedang ini hanya akan keluar jika aku menderita saja, dia akan menolong di waktu-waktu tertentu saja," jawab Raman
Mendengar seruan Ki Jenang, Sonda dan Karba langsung menghentikan serangannya. Mereka mundur beberapa langkah ke belakang, demikian juga dengan Ramandika.Ki Jenang yang sudah berada di tengah-tengah kedua belah pihak langsung memarahi Sonda dan Karba."Sikap kalian sungguh tidak terpuji, apa salah mereka melewati jalur ini?" "Mohon maaf, Ki. Kami rasa ... mereka ini adalah para pencuri yang sengaja memasuki perkebunan ini," jawab Sonda tetap teguh dengan dugaannya."Apakah kau yakin dan sudah memiliki bukti atas tuduhanmu itu?" tanya Ki Jenang.Sonda dan Karba hanya terdiam saja, mereka tidak berani menjawab pertanyaan pria paruh baya itu. Apa yang dikatakan oleh Ki Jenang memang benar bahwa mereka tidak memiliki bukti kuat menuduh Ramandika dan kedua kawannya sebagai pencuri.Melihat sikap kedua anak buahnya yang diam saja, Ki Jenang hanya tersenyum saja. Lalu berpaling ke arah Ramandika dan kedua kawannya.Bertanyalah ia, "Tolong jelaskan apa maksud kalian memasuki perkebunan ini?
Ketiga pemuda itu kembali melanjutkan perjalanan mereka memasuki sebuah desa kecil yang ada di ujung timur wilayah kerajaan Dongkala.Mereka hanya beristirahat sebentar saja di desa tersebut. Mereka khawatir ada prajurit yang menghampiri mereka, karena pada saat itu, di desa tersebut tengah berlangsung pesta rakyat yang dikawal ketat oleh para prajurit dari kademangan."Kenapa kita tidak beristirahat di desa yang tadi, Ramandika?" tanya Kuntala dengan bercucuran peluh di keningnya."Kau tidak melihat di sana banyak prajurit kerajaan Dongkala?" Ramandika balas bertanya sambil menatap wajah Kuntala yang sudah duduk bersandar pada pohon besar yang ada di pinggir jalan tersebut. "Mereka akan mencurigai kita jika kita berhenti di desa itu," sambung Ramandika."Lantas, apakah tempat yang kita tuju masih jauh?" tanya Kuntala lagi."Kau lihat itu!" desis Ramandika menudingkan jari telunjuknya ke arah bukit yang ada di sebelah selatan dari posisinya berdiri."Bukit apa itu Ramandika? Indah sek