Share

6. Perjalanan Menuju ke Selatan

"Lancang sekali kau ini, seharusnya kami yang bertanya. Siapa kau ini? Berani sekali menginjakkan kaki di wilayah ini," jawab salah seorang dari kedua pria itu dengan nada tinggi.

Dalam situasi seperti itu, Ramandika paham bahwa kedua pria yang menghadangnya itu tidak punya itikad baik. Sehingga dirinya pun langsung bersiap dalam mengantisipasi kemungkinan yang akan terjadi.

'Mereka bukan orang baik-baik, mau tidak mau aku harus berani menghadapi mereka,' batin Ramandika.

"Mohon maaf, Ki Sanak. Bukankah ini jalan umum?" kata Ramandika balas melontar pertanyaan.

Sontak, sikapnya itu mengundang emosi dari kedua pria tersebut. Sehingga salah seorang dari mereka langsung membentak keras, "Kurang aja sekali kau ini! Apakah kau sudah bosan hidup?"

Meskipun Ramandika tidak memiliki keahlian ilmu bela diri yang mumpuni, dan juga tidak memiliki banyak pengalaman bertarung, namun dirinya sudah siap dalam menghadapi kedua orang itu.

'Aku harus melawan mereka. Jika nanti aku kalah, maka aku harus kabur dari tempat ini,' kata Ramandika dalam hati.

Tanpa diduga, pria yang satunya lagi secara mengejutkan langsung melakukan serangan terhadap Ramandika. Meskipun sudah melakukan persiapan, namun Ramandika masih saja kecolongan.

Satu pukulan keras menghantam wajahnya, sehingga dirinya jatuh tersungkur dengan wajah mengalami luka memar.

Kedua pria itu tertawa lepas melihat Ramandika sudah terpuruk di hadapan mereka, "Hahaha ...."

"Hanya ini kemampuanmu? Ayo bangkit dan lawan kami!"

"Bedebah!" bentak Ramandika berusaha bangkit hendak melanjutkan pertarungannya melawan kedua pria tersebut.

Namun naas baginya, belum sempat berdiri tegak, Ramandika sudah disambut dengan tendangan keras. Tendangan tersebut hinggap di lambungnya, tentu membuat Ramandika kesakitan. Ia memekik dan kembali jatuh tersungkur.

'Mereka sangat kuat, tidak mungkin aku dapat melanjutkan pertarungan ini,' kata Ramandika dalam hati.

"Bangunlah, Anak muda! Ayo, keluarkan jurus andalanmu!" ujar pria yang sudah menjatuhkan Ramandika.

"Baiklah, aku akan melawan kalian secara bersamaan. Tapi ingat, kalian harus bertarung secara sehat!" jawab Ramandika. "Jangan main curang!" sambungnya kembali bangkit.

"Ya, terserah kau saja."

Dengan demikian, Ramandika pun diberi kesempatan untuk bangkit dan mempersiapkan diri dalam menghadapi kedua pria tersebut. Akan tetapi, Ramandika memiliki kecerdikan yang luar biasa.

Sejatinya, ia sudah tidak mampu lagi dalam melanjutkan pertarungan tersebut. Ramandika sengaja mengatur siasat demikian, karena dirinya hendak mencari celah untuk melarikan diri.

"Bernapaslah sepuasnya, karena sebentar lagi kau akan kami bunuh, Anak muda!" kata salah seorang dari kedua pria itu sambil tertawa lepas.

Ramandika hanya tersenyum dengan sikap waspada sembari menunggu kelengahan dua lawannya itu. Karena dirinya sudah berniat hendak kabur menyelamatkan diri.

Beberapa saat kemudian, Ramandika langsung pasang kuda-kuda. Seakan-akan dirinya sudah bersiap hendak melakukan serangan terhadap lawannya. Oleh sebab itu, kedua pria itu pun langsung bersiap pula hendak menyongsong serangan Ramandika.

Namun, Ramandika benar-benar cerdik, di saat dua lawannya sudah pasang kuda-kuda. Tiba-tiba saja, ia menghentakkan kakinya kuat dan langsung melompat masuk ke dalam semak belukar yang ada di pinggir jalan tersebut.

"Kurang ajar!" bentak salah seorang dari kedua pria itu. "Jangan lari kau pengecut!" teriaknya.

"Sudahlah, biarkan saja pemuda itu lari. Suatu saat nanti kita pasti bertemu lagi dengannya," kata kawannya.

****

Ramandika kembali melanjutkan perjalanannya, ia tampak hati-hati sekali dalam melakukan perjalanan tersebut, karena dirinya khawatir bertemu lagi dengan orang jahat.

Tidak terasa, hari sudah mulai gelap. Ramandika saat itu sudah tiba di sebuah sabana yang berada di bawah bukit Sempu.

Kilatan petir dan suara gemuruh angin mulai mewarnai perjalanan Ramandika. Langit terlihat mendung, seakan-akan hujan akan segera turun ke bumi.

"Ya, Dewata agung. Semoga saja hujan tidak turun sekarang," desis Ramandika.

Namun, apa yang diharapkan oleh Ramandika tak senada dengan alam. Hujan pun turun begitu deras disertai petir dan gemuruh angin.

"Aku harus segera tiba di tempat tujuan," desis Ramandika sambil berjalan di kegelapan malam dan guyuran hujan lebat.

Meskipun sudah terlihat lelah, namun pemuda itu terus memaksakan diri untuk melanjutkan perjalanan, walau dirinya sudah kehabisan tenaga. Dia sudah dalam kondisi letih, wajahnya tampak pucat dan kusam. Tubuhnya pun menggigil kedinginan.

"Semoga aku diberikan kekuatan untuk melanjutkan perjalanan ini," desis pemuda itu menggigil kedinginan.

Mataya terlihat sayu memandang ke arah jalan yang hendak dilaluinya. Jalan yang gelap dan sunyi, seakan-akan tak berujung.

Dia menghela napas dalam-dalam, tangannya meraih batang bambu yang menjadi wadah air minumnya selama dalam perjalanan tersebut. Kemudian Ramandika langsung meminum air dalam wadah tersebut. Akan tetapi, air itu tak dapat menghilangkan rasa hausnya.

Demikianlah, maka dirinya langsung menengadahkan wajah sambil membuka mulut lebar-lebar, berharap derasnya air hujan dapat menghilangkan rasa hausnya.

"Meskipun hanya dengan air hujan, akhirnya hausku hilang," kaya Ramandika.

Di waktu hujan deras seperti itu, tidak mungkin ada orang yang mau melakukan perjalanan tanpa menggunakan pelindung diri dari guyuran air yang seakan-akan ditumpahkan dari langit.

Tentu akan merasa takut jika harus berjalan di antara kilatan petir yang tak henti-hentinya. Namun, hal itu tidak berlaku bagi Ramandika. Dia terus berjalan menyusuri gelapnya malam dengan kondisi pakaian yang sudah basah kuyup.

Dia tidak mau menyerah, meskipun harus jatuh bangun. Ia terus memaksakan diri menempuh perjalanan, walau guyuran hujan dan sambaran petir terus membayangi perjalanannya.

"Ya, Dewata agung! Kuatkanlah hambamu ini," desis Ramandika sambil berjalan tertatih-tatih menyusuri kegelapan malam. Wajahnya semakin pucat saja, seakan-akan memancarkan kedukaan.

Tiba-tiba saja, Ramandika terjatuh. Kakinya tersandung batu hingga menyebabkan tangannya terluka akibat jatuh mengenai batu padas yang ada di tempat tersebut.

"Kapan aku akan tiba di tempat tujuan?" gumamnya sambil meringis-ringis menahan pedih, karena lengan kirinya mengalami luka yang lumayan dalam.

Dalam situasi seperti itu, mulutnya tak pernah berhenti mengucapkan kalimat-kalimat doa sesuai keyakinan yang dimilikinya.

Lantas, ia kembali bangkit memanfaatkan tenaga yang masih tersisa dan mengabaikan luka di dengkul dan lengannya. Seketika itu, hujan pun mulai reda dan petir pun sudah tidak terdengar lagi.

Baru beberapa langkah saja, Ramandika melihat penampakkan sebuah desa kecil di ujung padang rumput perbukitan yang sedang ia lalui itu.

"Ternyata di wilayah terpencil ini ada sebuah desa. Aku harus segera ke sana untuk beristirahat sejenak."

Demikianlah, Ramandika kembali mengerahkan tenaga untuk terus berjalan, meskipun tubuhnya sudah terasa lelah dan sudah tak kuasa lagi untuk melangkahkan kakinya. Akan tetapi pemuda itu tak lantas menyerah dengan keadaan seperti itu.

Beberapa saat kemudian, Ramandika sudah tiba di ujung desa. " Siapakah mereka?" Ramandika bertanya-tanya sendiri, ketika melihat sekelompok orang yang keluar dari dalam hutan. Mereka berjalan hendak menghampirinya.

"Apakah mereka itu benar-benar perwujudan manusia atau sebaliknya?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status