"Lancang sekali kau ini, seharusnya kami yang bertanya. Siapa kau ini? Berani sekali menginjakkan kaki di wilayah ini," jawab salah seorang dari kedua pria itu dengan nada tinggi.
Dalam situasi seperti itu, Ramandika paham bahwa kedua pria yang menghadangnya itu tidak punya itikad baik. Sehingga dirinya pun langsung bersiap dalam mengantisipasi kemungkinan yang akan terjadi.
'Mereka bukan orang baik-baik, mau tidak mau aku harus berani menghadapi mereka,' batin Ramandika.
"Mohon maaf, Ki Sanak. Bukankah ini jalan umum?" kata Ramandika balas melontar pertanyaan.
Sontak, sikapnya itu mengundang emosi dari kedua pria tersebut. Sehingga salah seorang dari mereka langsung membentak keras, "Kurang aja sekali kau ini! Apakah kau sudah bosan hidup?"
Meskipun Ramandika tidak memiliki keahlian ilmu bela diri yang mumpuni, dan juga tidak memiliki banyak pengalaman bertarung, namun dirinya sudah siap dalam menghadapi kedua orang itu.
'Aku harus melawan mereka. Jika nanti aku kalah, maka aku harus kabur dari tempat ini,' kata Ramandika dalam hati.
Tanpa diduga, pria yang satunya lagi secara mengejutkan langsung melakukan serangan terhadap Ramandika. Meskipun sudah melakukan persiapan, namun Ramandika masih saja kecolongan.
Satu pukulan keras menghantam wajahnya, sehingga dirinya jatuh tersungkur dengan wajah mengalami luka memar.
Kedua pria itu tertawa lepas melihat Ramandika sudah terpuruk di hadapan mereka, "Hahaha ...."
"Hanya ini kemampuanmu? Ayo bangkit dan lawan kami!"
"Bedebah!" bentak Ramandika berusaha bangkit hendak melanjutkan pertarungannya melawan kedua pria tersebut.
Namun naas baginya, belum sempat berdiri tegak, Ramandika sudah disambut dengan tendangan keras. Tendangan tersebut hinggap di lambungnya, tentu membuat Ramandika kesakitan. Ia memekik dan kembali jatuh tersungkur.
'Mereka sangat kuat, tidak mungkin aku dapat melanjutkan pertarungan ini,' kata Ramandika dalam hati.
"Bangunlah, Anak muda! Ayo, keluarkan jurus andalanmu!" ujar pria yang sudah menjatuhkan Ramandika.
"Baiklah, aku akan melawan kalian secara bersamaan. Tapi ingat, kalian harus bertarung secara sehat!" jawab Ramandika. "Jangan main curang!" sambungnya kembali bangkit.
"Ya, terserah kau saja."
Dengan demikian, Ramandika pun diberi kesempatan untuk bangkit dan mempersiapkan diri dalam menghadapi kedua pria tersebut. Akan tetapi, Ramandika memiliki kecerdikan yang luar biasa.
Sejatinya, ia sudah tidak mampu lagi dalam melanjutkan pertarungan tersebut. Ramandika sengaja mengatur siasat demikian, karena dirinya hendak mencari celah untuk melarikan diri.
"Bernapaslah sepuasnya, karena sebentar lagi kau akan kami bunuh, Anak muda!" kata salah seorang dari kedua pria itu sambil tertawa lepas.
Ramandika hanya tersenyum dengan sikap waspada sembari menunggu kelengahan dua lawannya itu. Karena dirinya sudah berniat hendak kabur menyelamatkan diri.
Beberapa saat kemudian, Ramandika langsung pasang kuda-kuda. Seakan-akan dirinya sudah bersiap hendak melakukan serangan terhadap lawannya. Oleh sebab itu, kedua pria itu pun langsung bersiap pula hendak menyongsong serangan Ramandika.
Namun, Ramandika benar-benar cerdik, di saat dua lawannya sudah pasang kuda-kuda. Tiba-tiba saja, ia menghentakkan kakinya kuat dan langsung melompat masuk ke dalam semak belukar yang ada di pinggir jalan tersebut.
"Kurang ajar!" bentak salah seorang dari kedua pria itu. "Jangan lari kau pengecut!" teriaknya.
"Sudahlah, biarkan saja pemuda itu lari. Suatu saat nanti kita pasti bertemu lagi dengannya," kata kawannya.
****
Ramandika kembali melanjutkan perjalanannya, ia tampak hati-hati sekali dalam melakukan perjalanan tersebut, karena dirinya khawatir bertemu lagi dengan orang jahat.
Tidak terasa, hari sudah mulai gelap. Ramandika saat itu sudah tiba di sebuah sabana yang berada di bawah bukit Sempu.
Kilatan petir dan suara gemuruh angin mulai mewarnai perjalanan Ramandika. Langit terlihat mendung, seakan-akan hujan akan segera turun ke bumi.
"Ya, Dewata agung. Semoga saja hujan tidak turun sekarang," desis Ramandika.
Namun, apa yang diharapkan oleh Ramandika tak senada dengan alam. Hujan pun turun begitu deras disertai petir dan gemuruh angin.
"Aku harus segera tiba di tempat tujuan," desis Ramandika sambil berjalan di kegelapan malam dan guyuran hujan lebat.
Meskipun sudah terlihat lelah, namun pemuda itu terus memaksakan diri untuk melanjutkan perjalanan, walau dirinya sudah kehabisan tenaga. Dia sudah dalam kondisi letih, wajahnya tampak pucat dan kusam. Tubuhnya pun menggigil kedinginan.
"Semoga aku diberikan kekuatan untuk melanjutkan perjalanan ini," desis pemuda itu menggigil kedinginan.
Mataya terlihat sayu memandang ke arah jalan yang hendak dilaluinya. Jalan yang gelap dan sunyi, seakan-akan tak berujung.
Dia menghela napas dalam-dalam, tangannya meraih batang bambu yang menjadi wadah air minumnya selama dalam perjalanan tersebut. Kemudian Ramandika langsung meminum air dalam wadah tersebut. Akan tetapi, air itu tak dapat menghilangkan rasa hausnya.
Demikianlah, maka dirinya langsung menengadahkan wajah sambil membuka mulut lebar-lebar, berharap derasnya air hujan dapat menghilangkan rasa hausnya.
"Meskipun hanya dengan air hujan, akhirnya hausku hilang," kaya Ramandika.
Di waktu hujan deras seperti itu, tidak mungkin ada orang yang mau melakukan perjalanan tanpa menggunakan pelindung diri dari guyuran air yang seakan-akan ditumpahkan dari langit.
Tentu akan merasa takut jika harus berjalan di antara kilatan petir yang tak henti-hentinya. Namun, hal itu tidak berlaku bagi Ramandika. Dia terus berjalan menyusuri gelapnya malam dengan kondisi pakaian yang sudah basah kuyup.
Dia tidak mau menyerah, meskipun harus jatuh bangun. Ia terus memaksakan diri menempuh perjalanan, walau guyuran hujan dan sambaran petir terus membayangi perjalanannya.
"Ya, Dewata agung! Kuatkanlah hambamu ini," desis Ramandika sambil berjalan tertatih-tatih menyusuri kegelapan malam. Wajahnya semakin pucat saja, seakan-akan memancarkan kedukaan.
Tiba-tiba saja, Ramandika terjatuh. Kakinya tersandung batu hingga menyebabkan tangannya terluka akibat jatuh mengenai batu padas yang ada di tempat tersebut.
"Kapan aku akan tiba di tempat tujuan?" gumamnya sambil meringis-ringis menahan pedih, karena lengan kirinya mengalami luka yang lumayan dalam.
Dalam situasi seperti itu, mulutnya tak pernah berhenti mengucapkan kalimat-kalimat doa sesuai keyakinan yang dimilikinya.
Lantas, ia kembali bangkit memanfaatkan tenaga yang masih tersisa dan mengabaikan luka di dengkul dan lengannya. Seketika itu, hujan pun mulai reda dan petir pun sudah tidak terdengar lagi.
Baru beberapa langkah saja, Ramandika melihat penampakkan sebuah desa kecil di ujung padang rumput perbukitan yang sedang ia lalui itu.
"Ternyata di wilayah terpencil ini ada sebuah desa. Aku harus segera ke sana untuk beristirahat sejenak."
Demikianlah, Ramandika kembali mengerahkan tenaga untuk terus berjalan, meskipun tubuhnya sudah terasa lelah dan sudah tak kuasa lagi untuk melangkahkan kakinya. Akan tetapi pemuda itu tak lantas menyerah dengan keadaan seperti itu.
Beberapa saat kemudian, Ramandika sudah tiba di ujung desa. " Siapakah mereka?" Ramandika bertanya-tanya sendiri, ketika melihat sekelompok orang yang keluar dari dalam hutan. Mereka berjalan hendak menghampirinya.
"Apakah mereka itu benar-benar perwujudan manusia atau sebaliknya?"
Seketika itu, Ramandika merasa cemas dengan kehadiran orang-orang tersebut. Ramandika curiga jika orang-orang tersebut bukanlah manusia biasa.Apa yang dia cemaskan memang benar-benar terbukti, hanya dalam sekejap mata saja, orang-orang tersebut sudah hilang dari pandangannya.Seketika itu, Ramandika baru sadar, ternyata ia sudah berada di tengah hutan yang rimbun dengan pepohonan. Tidak terlihat lagi rumah-rumah penduduk seperti yang ia lihat beberapa menit lalu. Bahkan sabana hijau yang sebelumnya ia lihat pun sudah tak ada lagi.Tempat itu hanya sebuah hutan belantara yang ditumbuhi banyak pepohonan besar. Walaupun demikian, sinar rembulan masih mampu menerobos dedaunan, sehingga Ramandika masih mampu melihat keadaan di sekitar hutan itu, meskipun samar-samar."Dugaanku ternyata memang benar, mereka tadi adalah bangsa jin. Semoga mereka tidak menggangguku," gumam Ramandika sambil mengusap wajah dengan telapak tangan kosong.Di hutan yang sepi dan sunyi seperti itu, orang-orang bias
Ki Ageng Penggir tersenyum lebar mendengar pertanyaan Ramandika, sejenak ia terdiam. Sikapnya itu, tentu membuat Ramandika penasaran saja."Kenapa, Aki tidak menjawab pertanyaanku? Apakah aku ini tidak layak menjadi muridmu?" tanya Ramandika menatap wajah pria paruh baya sang pemimpin padepokan tersebut."Siapa pun yang datang ke padepokan ini dengan niat sungguh-sungguh ingin belajar, aku pasti akan menerima dengan baik. Tapi ingat, kau harus bersungguh-sungguh dalam mempelajari ilmu kanuragan yang akan aku ajarkan kepadamu!"Mendengar jawaban pria paruh baya itu, Ramandika tampak senang dan begitu bahagia. Ternyata perjuangannya yang rumit selama ini telah dibayar lunas dengan sikap baik Ki Ageng Penggir."Terima kasih banyak, Ki," ucap Ramandika sambil menjura hormat. "Mulai hari ini, aku akan memanggilmu guru," sambungnya penuh kebahagiaan."Ya sudah. Mulai besok, kau bisa langsung bergabung dengan murid-murid lainnya untuk berlatih," kata Ki Ageng Penggir tersenyum lebar. "Untuk
Meskipun sudah berteriak keras, tak ada sahutan dari Dendaka. Tempat tersebut tampak sunyi, seakan-akan hanya Ramandika saja yang berada di tempat itu.'Apa maksud Dendaka meninggalkan aku di tempat ini? Apakah mungkin, Dendaka berniat jahat terhadapku?' Ramandika bertanya-tanya dalam hati."Dendaka, di mana kau?" teriak Ramandika semakin penasaran, dua bola matanya terus bergulir mengamati sekitaran tempat tersebut.Namun, tak ada seorang pun yang menyahut teriakan Ramandika. Hingga pada akhirnya, Ramandika pun merasa lelah dan memutuskan untuk kembali ke padepokan."Rupanya Dendaka sengaja menipu dan mempermainkan aku," gumam Ramandika kesal. Kemudian, ia langsung melangkah hendak kembali ke padepokan.Namun, baru beberapa langkah saja Ramandika berjalan. Tiba-tiba datang serangan tak terduga, Ramandika jatuh tersungkur ketika kepalanya dihantam sebuah pukulan keras dari arah belakang.Seiring demikian, terdengar suara Somala dan Dendaka tertawa keras, "Hahaha ...!" Seakan-akan, mer
Sementara itu, Ramandika masih dalam keadaan tak sadarkan diri. Ia terombang-ambing arus sungai yang lumayan deras. Namun setelah beberapa lamanya terbawa arus, tubuh Ramandika akhirnya tersangkut di sebatang kayu. Kemudian, ia ditemukan oleh seorang pria paruh baya yang kebetulan tengah mencari ikan di sungai tersebut.Pria paruh baya itu adalah Ki Warmala—seorang pendekar yang sudah lama mengasingkan diri bersama putranya di hutan itu. Kemudian, pria paruh baya itu langsung mengangkat tubuh Ramandika dan membawanya ke gubuk tempat tinggalnya yang tidak jauh dari sungai tersebut."Jayamanik!" teriak Ki Warmala setelah tiba di gubuknya."Iya, Rama," sahut Jayamanik bergegas keluar menghampiri ayahnya. "Siapa orang ini, Rama?" tanya Jayamanik setelah berada di hadapan ayahnya."Entahlah, Rama menemukan pemuda ini di sungai. Kemungkinan besar dia kebawa arus dari Pancara," jawab Ki Warmala. "Tolong bersihkan tubuh pemuda ini, dan ganti pakaiannya!" sambungnya memerintahkan putranya."Ba
Jayamanik merangkapkan kedua telapak tangannya seraya berkata, "Baik, Guru. Apa yang Guru perintahkan akan aku laksanakan dengan baik."Tanpa berlama-lama lagi, Jayamanik langsung pamit kepada Ki Ageng Penggir, saat itu juga dirinya langsung menemui Bisama, Sena, dan kedua kawan baiknya yakni Braja dan Kolada.Mereka langsung mengadakan pembicaraan penting terkait rencana mereka yang akan segera mengusir Dendaka dan juga Somala."Bedebah! Ternyata, merekalah yang menjadi dalang di balik hilangnya Ramandika," geram Bisama."Sedari awal, aku sudah merasa curiga dengan sikap yang ditunjukkan oleh Dendaka dan Somala terhadap Ramandika. Ternyata memang benar, dugaanku tidak meleset," desis Braja."Kita harus segera meminta keterangan lebih jelas dari Dendaka dan Somala terkait kejahatan yang sudah mereka lakukan terhadap Ramandika. Aku ingin mengetahui apa sebenarnya yang menjadi alasan mereka, sehingga mereka tega membuat Ramandika menderita," ujar Bisama dengan raut wajah penuh amarah.H
Setelah kedua pemuda itu pergi dari Padepokan Lembah Naga, Ki Ageng Penggir langsung memerintahkan kepada Sena dan Braja, supaya besok ikut bersama Jayamanik menjemput Ramandika yang ada di kediaman Jayamanik."Kau dan Braja, besok pagi harus ikut dengan Jayamanik untuk menjemput Ramandika, karena aku khawatir dengan keselamatan Ramandika," ujar Ki Ageng Penggir di sela perbincangannya dengan murid-murid seniornya."Baik, Guru." Sena dan Braja menjawab serentak sambil menjura hormat kepada sang guru."Kita harus melindungi Ramandika! Dia masih lemah dan masih belum memiliki keahlian ilmu bela diri, keselamatannya sewaktu-waktu bisa saja terancam," kata Ki Ageng Penggir.'Apakah ada yang spesial di dalam diri Ramandika, sehingga guru sangat perhatian terhadap Ramandika?' batin Sena tampak bingung melihat sikap gurunya yang begitu perhatian terhadap Ramandika.Meskipun demikian, Sena tidak merasa iri. Dia justru sangat menyukai Ramandika yang selama kenal dengan dirinya memiliki sikap b
Malam harinya ....Ramandika langsung menemui Sena, untuk membicarakan terkait rencananya yang akan pulang ke kampung halamannya."Sena, buka pintunya!" kata Ramandika ketika sudah berada di depan pintu kamar kawannya itu."Iya, tunggu sebentar!" sahut Sena bergegas bangkit dan langsung membuka pintu kamarnya."Ada apa, Ramandika?" tanya Sena memandang wajah Ramandika."Aku ingin membicarakan sesuatu kepadamu," jawab Ramandika lirih. "Tapi, hanya kau saja yang boleh tahu," sambungnya."Baiklah, di sini hanya ada kita saja berdua, tidak ada siapa-siapa lagi."Sena pun langsung mempersilakan Ramandika untuk duduk di kursi yang ada di beranda kamarnya."Duduklah!""Iya, Sena." Ramandika duduk berhadap-hadapan dengan pemuda yang selama ini sudah baik terhadap dirinya dan juga banyak membantu ketika dirinya dalam kesulitan.Setelah duduk, Ramandika langsung membicarakan terkait rencana dirinya yang akan pulang ke kampung halamannya malam itu."Apakah kau sudah izin kepada guru?" tanya Sena
Ki Ageng Penggir menghentikan langkahnya, lalu berpaling ke arah Sena yang sudah ada di belakangnya."Ada apa, Sena?" tanya Ki Ageng Penggir."Mohon maaf, Guru. Apakah Guru mencari Ramandika?" jawab Sena balas bertanya."Iya, tapi dia sudah tidak ada di kamarnya.""Mohon maaf, Guru. Sebenarnya Ramandika itu sudah berangkat ke Gurusetra, tapi hanya untuk beberapa hari saja," kata Sena setelah berada di hadapan sang guru. "Tadi malam dia pamit kepadaku," sambungnya lirih dengan sikap penuh hormat."Ya, aku sudah tahu," jawab Ki Ageng Penggir. Setelah itu, ia langsung berlalu dari hadapan Sena."Ya, Dewata agung! Ternyata guru sudah mengetahuinya," desis Seba memandang ke arah pria paruh baya yang sudah berlalu dari hadapannya. "Tapi, kenapa guru tidak marah?" sambung Sena tampak bingung.***Siang itu, Ramandika sudah tiba di perbatasan wilayah kerajaan Dongkala dengan wilayah kerajaan Gurusetra.Karena merasa lelah, maka Ramandika langsung istirahat sejenak di tepi sungai yang berbatas