Meskipun sudah berteriak keras, tak ada sahutan dari Dendaka. Tempat tersebut tampak sunyi, seakan-akan hanya Ramandika saja yang berada di tempat itu.
'Apa maksud Dendaka meninggalkan aku di tempat ini? Apakah mungkin, Dendaka berniat jahat terhadapku?' Ramandika bertanya-tanya dalam hati.
"Dendaka, di mana kau?" teriak Ramandika semakin penasaran, dua bola matanya terus bergulir mengamati sekitaran tempat tersebut.
Namun, tak ada seorang pun yang menyahut teriakan Ramandika. Hingga pada akhirnya, Ramandika pun merasa lelah dan memutuskan untuk kembali ke padepokan.
"Rupanya Dendaka sengaja menipu dan mempermainkan aku," gumam Ramandika kesal. Kemudian, ia langsung melangkah hendak kembali ke padepokan.
Namun, baru beberapa langkah saja Ramandika berjalan. Tiba-tiba datang serangan tak terduga, Ramandika jatuh tersungkur ketika kepalanya dihantam sebuah pukulan keras dari arah belakang.
Seiring demikian, terdengar suara Somala dan Dendaka tertawa keras, "Hahaha ...!" Seakan-akan, mereka merasa senang melihat Ramandika jatuh tersungkur.
'Dugaanku memang benar, mereka sudah bersekongkol untuk mencelakai aku,' kata Ramandika dalam hati.
Setelah itu, ia bangkit dan langsung bertanya kepada Somala dan Dendaka yang sudah berdiri di dekatnya.
"Apa maksud kalian berbuat seperti ini? Apa salahku?"
"Kami tidak perlu menjelaskan tentang kesalahanmu, karena itu tidak penting," jawab Dendaka sambil tertawa-tawa.
Sikapnya sungguh beda dari sebelumnya, sudah jelas bahwa dirinya memang sengaja mengatur siasat dengan menjebak Ramandika agar dirinya dan Somala lebih mudah melancarkan aksi jahat mereka terhadap Ramandika.
"Benar, kami sengaja menjebakmu. Karena kami akan menyingkirkanmu untuk selama-lamanya," timpal Somala maju dua langkah mendekat ke arah Ramandika.
"Apa alasannya?" tanya Ramandika sedikit membentak.
"Kurang ajar, sudah kubilang, bahwa kami tidak akan menjelaskan alasannya!" Somala balas membentak sambil melakukan pergerakan cepat.
Kali ini, Ramandika tampak siap dalam mengantisipasi serangan dari Somala. Ia berhasil mengelak ketika Somala coba melancarkan pukulan ke arah kepalanya.
Namun naas, serangan berikutnya datang sangat cepat yang dilancarkan oleh Dendaka. Sehingga Ramandika kembali jatuh tersungkur oleh hantaman keras tangan Dendaka.
Ramandika cepat bangkit dan langsung melakukan perlawanan terhadap kedua pemuda jahat itu. Namun, kemampuan yang dimilikinya tidak sebanding dengan kemampuan Dendaka dan Somala.
Pukulan keras berikutnya kembali menghantam kepalanya, hingga Ramandika kembali jatuh tersungkur.
"Hahaha ... mampus kau!" bentak Dendaka merasa puas karena sudah berhasil memukul telak Ramandika.
Tak puas sampai di situ saja, Dendaka dan Somala secara bersamaan langsung memukuli dan menendang Ramandika yang sudah tidak berdaya. Hal tersebut, menyebabkan Ramandika hilang kesadaran.
"Apakah kita akan membunuhnya?" tanya Somala mengarah kepada Dendaka.
"Tidak perlu. Kita lempar saja tubuhnya ke sungai, aku yakin dia akan menjadi santapan buaya-buaya sungai ini," jawab Dendaka.
"Baiklah."
Tanpa berpikir panjang lagi, mereka langsung menyeret tubuh Ramandika. Kemudian langsung melemparkannya ke dalam sungai. Setelah itu, kedua pemuda tersebut langsung kembali ke padepokan tanpa merasa bersalah sedikit pun.
Mereka tidak peduli dengan kondisi Ramandika, dan mereka pun sangat yakin bahwa Ramandika akan mati disantap buaya. Kedua pemuda itu tampak puas karena sudah berhasil menyingkirkan Ramandika yang mereka anggap sebagai benalu di Padepokan Lembah Naga.
Setelah tiba di padepokan, Dendaka dan Somala bersikap biasa-biasa saja. Seakan-akan mereka tidak merasa sudah berbuat kejahatan, mereka kembali melakukan aktivitas seperti biasa mengumpulkan kayu bakar untuk persediaan masak.
"Sena!" panggil Bisama.
"Iya, Ki," sahut Sena bergegas menghampiri Bisama.
"Ada apa, Ki?" tanya Sena setelah berada di hadapan Bisama.
"Guru meminta agar Ramandika segera menghadap. Lekas cari dia!" jawab Bisama.
"Mohon maaf, Ki. Sedari tadi aku pun sedang mencarinya, tapi Ramandika tidak ada di sini. Entah ke mana perginya, aku pun tidak tahu, Ki."
Mendengar keterangan Sena, Bisama tampak bingung, ia terdiam sejenak. Kemudian pria bertubuh kekar itu menarik napas dalam-dalam, lalu berkata lagi, "Apakah mungkin dia kabur karena merasa tidak betah tinggal di sini?"
"Aku rasa itu tidak mungkin, Ki. Dia datang ke sini penuh perjuangan, tidak mungkin semudah itu dia pergi tanpa berpamitan terlebih dahulu," jawab Sena penuh keyakinan.
"Apa yang kau katakan memang benar, tapi di mana dia sekarang?" desis Bisama. "Ya, sudah. Sekarang kau cari tahu keberadaan Ramandika! Aku khawatir terjadi sesuatu padanya."
"Baik, Ki," jawab Sena menjura hormat.
Setelah itu, Sena langsung pamit kepada Bisama. Dia bersama Braja dan Kolada langsung mencari tahu keberadaan Ramandika dengan bertanya kepada murid-murid yang ada di padepokan tersebut.
"Apakah kalian melihat Ramandika?" tanya Sena kepada kawan-kawannya yang tengah berkumpul di beranda barak.
Salah seorang dari mereka pun menjawab, "Beberapa waktu lalu, aku melihat dia jalan bersama Dendaka menuju ke arah Utara. Entah mau ke mana mereka."
"Dendaka?" desis Sena mengerutkan keningnya.
"Barusan aku bertemu dengannya, dia ada bersama Somala di belakang. Mereka sedang mengumpulkan kayu bakar," sambung Sena merasa bingung.
"Benar Sena, aku tidak bohong. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, Ramandika jalan bersama Dendaka," tandas pemuda itu meyakinkan Sena.
"Ada yang tidak beres ini," bisik Braja mengarah kepada Sena. "Kita harus bertanya langsung kepada Dendaka," lanjutnya.
"Baiklah, kau dan Kolada ikut aku!" ajak Sena langsung melangkah hendak menghampiri Dendaka dan Somala yang sedang mengumpulkan kayu bakar di belakang barak.
Dengan demikian, Braja dan Kolada pun langsung berjalan mengikuti langkah Sena menuju ke arah belakang barak tempat keberadaan Dendaka dan Somala.
Setelah tiba di hadapan Dendaka dan Somala, Sena langsung mempertanyakan keberadaan Ramandika kepada kedua kawan seperguruannya itu. Namun, Dendaka sangat pandai dalam menyembunyikan kesalahannya.
"Iya, beberapa waktu lalu kami memang jalan bersama untuk mencari kayu bakar, tapi tidak jadi. Dan aku langsung kembali ke sini," kata Dendaka.
"Lantas, Ramandika pergi ke mana?" timpal Braja ikut angkat bicara.
"Dia pamit mau ke sungai, katanya ingin melihat-lihat pemandangan di sekitar sungai," jawab Dendaka penuh kebohongan.
Dendaka sangat pandai dalam bersilat lidah. Bahkan sikapnya pun tidak mengundang rasa curiga sedikit pun bagi Sena dan kedua kawannya itu.
"Seharusnya kau cegah, jangan sampai dia pergi sendirian ke sungai. Kau tahu sendiri, di hutan ini banyak terdapat binatang-binatang buas," kata Sena tampak kesal terhadap Dendaka.
"Aku sudah berusaha melarangnya, tapi dia ngotot," jawab Dendaka membela diri.
"Aku pikir ini semua bukan kesalahan Dendaka," timpal Somala ikut angkat bicara. "Sudah terbukti bahwa murid baru itu memang keras kepala, dia tidak mau mendengar perkataan Dendaka," sambungnya membela kawan baiknya.
Sena hanya menarik napas dalam-dalam, begitu juga dengan Braja dan Kolada. Mereka tampak khawatir jika kawan barunya itu mengalami kesulitan.
Sejatinya, dari awal Sena, Braja dan Kolada, sedikit merasa curiga terhadap Dendaka. Namun karena kepandaian Dendaka dalam menutupi kesalahannya, mereka pun jadi percaya begitu saja.
"Ya, sudah. Sekarang kalian bantu kami untuk mencari Ramandika, aku khawatir dia tersesat," kata Sena lirih.
"Kalian berangkat duluan saja! Setelah pekerjaan kami selesai, kami pasti akan ikut mencari Ramandika," jawab Dendaka."Terserah kalian, yang penting kalian ikut membantu mencari Ramandika!" pungkas Sena langsung berlalu dari hadapan Dendaka dan Somala.
Begitu pula dengan Braja dan Kolada, mereka langsung berjalan mengikuti Sena untuk mencari Ramandika.
"Enak saja mereka menyuruh-nyuruh kita untuk mencari orang yang sudah kita buang ke sungai. Sampai mampus pun Ramandika tidak akan bisa ditemukan," kata Dendaka sambil tertawa-tawa.
Beberapa hari kemudian ....Ramandika dan Senapati Sena langsung kembali ke istana bersama lima ratus prajurit yang baru saja selesai melaksanakan tugas mereka—menumpas kelompok pendekar sayap timur.Setibanya di istana, Ratu Rinjani dan Lasmina menyambut hangat kedatangan Ramandika dan pasukannya."Syukurlah, Kakang bersama para prajurit dalam kondisi baik-baik saja," kata Ratu Rinjani sambil tersenyum lebar.Begitu juga dengan Lasmina, meskipun kapasitas dirinya hanya sebagai istri kedua Ramandika. Namun, Lasmina tak kalah mesra dari sang ratu dalam menyambut kedatangan suaminya itu."Ada kabar baik untuk Kakang," kata Lasmina sambil tersenyum-senyum.Ramandika mengerutkan kening sambil memandangi wajah istri keduanya itu. "Kabar baik apa, Nyimas?" tanya Ramandika penasaran.Lasmina masih tersenyum-senyum, kemudian dia menoleh ke arah Ratu Rinjani. "Kanda Ratu saja yang menyampaikan kabar baik ini!" pinta Lasmina.Ratu Rinjani tersenyum lebar, dia mengatur napas sejenak sebelum meny
Mendengar pertanyaan pendekar itu, Panglima Dumaya tampak geram sekali. "Apakah kau ingin mati konyol? Silakan saja jika kau ingin tetap di sini! Aku dan yang lain akan segera meninggalkan tempat ini," pungkas Panglima Dumaya. Demikian juga dengan para pendekar lainnya, mereka sudah merubah haluan. Mereka sudah jera dan tidak mau lagi bertempur melawan pasukan kerajaan Gurusetra Jaya. Para pendekar itu sadar dengan kondisi kekurangan mereka. "Ayo, mundur!" teriak Panglima Dumaya. Dengan demikian, maka para pendekar itu langsung mundur meninggalkan arena pertempuran. Panglima Dumaya tidak ingin anak buahnya berguguran terlalu banyak, karena dia sadar dengan jumlah pasukannya yang semakin berkurang saja. "Kurang ajar!" geram Silaka, "kalian pengecut!" sambungnya berteriak keras. Namun, Panglima Dumaya dan para pendekar lainnya tidak mengindahkan teriakan Silaka. Demikianlah, maka Silaka langsung memerintahkan anak buahnya yang masih bertahan untuk beralih ke arah timur demi menghin
Panglima Birnaka dan para prajuritnya hanya mengangguk sambil menjura hormat kepada sang perdana menteri."Nanti aku dan Senapati Sena akan menyusul kalian," kata Ramandika, "aku sarankan, kalian jangan melakukan serangan hari ini. Lebih baik lakukan serangan besok saja, untuk hari ini kalian cukup memantau pergerakan mereka," sambungnya."Baik, Gusti," jawab Panglima Birnaka menjura kepada sang perdana menteri."Setelah kalian tiba di tengah hutan Jati, kalian harus mencari tempat yang aman untuk mendirikan perkemahan. Pastikan tempat tersebut aman dan jauh dari markas para pendekar dari kelompok sayap timur!" kata Ramandika."Hamba akan menyampaikan saran ini kepada semua prajurit." Panglima Birnaka berkata sambil menjura penuh rasa hormat kepada sang perdana menteri Setelah mendapatkan pencerahan dari Ramandika, Panglima Birnaka dan pasukannya langsung bergerak memasuki hutan Jati yang menjadi sarang para pendekar dari kelompok sayap timur.Pasukan yang dipimpin oleh Panglima Birn
Pagi harinya, di beberapa desa yang ada di wilayah kepatihan Putra Jaya, tampak geger dengan hilangnya beberapa orang tokoh masyarakat dan para pemuda.Orang-orang yang merasa kehilangan anggota keluarganya langsung mendatangi para prajurit yang bertugas di wilayah kademangan Jati Darma. Mereka melaporkan bahwa anggota keluarga mereka sudah hilang secara misterius.Tentu, kejadian tersebut kembali menghebohkan dan merubah suasana dan kondisi yang semula aman menjadi kembali genting. Para penduduk pun mulai takut keluar rumah pada malam hari, bahkan di siang hari pun aktivitas penduduk mulai surut, mereka tak lagi pergi ke ladang atau ke tempat-tempat lain yang jauh dari pemukiman, karena mereka takut sesuatu yang tidak diinginkan terjadi pada mereka.Senapati Sena tampak geram sekali dengan peristiwa tersebut, ia sudah menduga bahwa itu murni perbuatan kelompok pendekar sayap timur pimpinan Panglima Dumaya. Namun, semua harus dilakukan penyelidikan terlebih dahulu sebelum mengambil ke
Para penduduk itu terus berbincang-bincang sambil menikmati waktu, hingga pada akhirnya perbincangan mereka bergeser ke hal lain yang bersangkutan dengan kelompok pendekar sayap timur."Apakah kalian percaya jika Panglima Amerya dari kelompok pendekar sayap timur itu sudah tewas?" timpal seorang pria paruh baya bertanya kepada semua yang ada di tempat tersebut.Seorang pria yang mengenakan ikat kepala merah segera menjawab pertanyaan pria paruh baya itu, "Menurut kabar yang aku dengar dari ki kuwu, kabar kematian Panglima Amerya itu memang benar. Dia sudah tewas di tangan Panglima Gurma.""Baguslah kalau memang kabar itu benar, itu tandanya kita akan aman. Walau bagaimanapun, Panglima Amerya adalah otak di balik semua kekacauan di wilayah ini."Beberapa tanggapan telah muncul di antara para penduduk kadipaten Dembaga Pura dan juga dari pihak kelompok pendekar sayap timur. Ada yang percaya bahwa Panglima Gurma telah membunuh Panglima Amerya, adapula yang beranggapan bahwa Panglima Amer
Beberapa orang dari kelompok pendekar sayap timur, saat itu sudah berada di dalam hutan yang ada di pinggiran desa Sengkolo di wilayah kadipaten Dembaga Pura—kepatihan Putra Jaya.Para sandera yang beberapa hari terakhir mereka tawan, hari itu sudah mereka lepaskan. Namun, mereka masih menahan belasan orang yang merupakan para pejabat penting dari beberapa kademangan yang ada di wilayah kadipaten Dembaga Pura.Setibanya di kepatihan Putra Jaya, Perdana Menteri Ramandika bersama para prajuritnya langsung bergabung dengan pasukan yang sudah lebih dulu tiba di wilayah tersebut.Kehadiran sang perdana menteri tentu disambut hangat oleh rakyat yang ada di daerah tersebut, bahkan sang patih pun turut menyambut kedatangan Perdana Menteri Ramandika bersama pasukannya."Aku tidak melihat para pejabat kadipaten Dembaga Pura, di mana mereka?" tanya Ramandika kepada Patih Karmala."Mohon maaf, Gusti Perdana Menteri. Hamba belum mengetahui informasi lebih lanjut tentang keberadaan Adipati Tunaraka
Sebulan setelah berdirinya kerajaan Gurusetra Jaya. Tiba-tiba saja, penduduk yang ada di perbatasan wilayah kerajaan Gurusetra Jaya diserang oleh sekelompok orang tak dikenal.Mereka adalah kelompok pendekar sayap timur yang masih bertahan di wilayah tersebut, dan mereka masih loyal terhadap pihak pemerintah kerajaan Gurusetra pimpinan Prabu Mahesa.Meski posisi mereka sudah terhimpit oleh pasukan kerajaan Gurusetra Jaya, namun mereka masih berusaha menganggu dan memberikan teror-teror terhadap pihak kerajaan Gurusetra Jaya dan rakyat kerajaan tersebut.Ada banyak penduduk di wilayah tersebut yang dibantai dan diculik oleh para pendekar jahat dari kelompok sayap timur. Bahkan, mereka disiksa habis-habisan oleh para pendekar itu. Hanya sedikit orang yang berhasil kabur menyelamatkan diri.Radisa dan Janeja merasa kecolongan dengan adanya peristiwa tersebut. Mereka baru mengetahuinya setelah mendapat kabar dari salah seorang penduduk yang berhasil lolos dari cengkraman para pendekar say
Keesokan harinya ....Ramandika sudah memerintahkan beberapa orang prajurit untuk menjemput kedua istrinya. Lasmina yang berada di desa Singkur dan Rinjani di bukit Sancang."Semua anggota kelompok kita harus semuanya ikut ke sini! Mulai hari ini kita akan membangun wilayah kepatihan ini secara mandiri, karena wilayah ini secara resmi sudah terpisah dari wilayah Gurusetra," kata Ramandika di sela pembicaraannya dengan Radisa dan Janeja yang ia beri tugas untuk menjemput kedua istrinya dan juga semua anggota kelompok Halimun yang masih ada di desa Singkur dan bukit Sancang."Baik, Ketua. Kami akan segera bersiap untuk berangkat ke sana," kata Radisa sambil merangkapkan kedua telapak tangannya. Begitu juga yang dilakukan oleh Janeja, bersikap penuh hormat terhadap Ramandika.Setelah itu, mereka bangkit dan bersiap untuk segera berangkat ke desa Singkur dan bukit Sancang. Radisa dan Janeja langsung berbagi tugas."Aku dan para prajuritku akan menjemput Nyimas Raden Rinjani, dan kau bersa
Dengan penuh rasa percaya diri, Panglima Darsaka dan ratusan prajurit yang masih bertahan, langsung melangkah mendekati pasukan Halimun, mereka kembali melakukan perlawanan. Sudah tidak ada pilihan lain lagi, selain melawan untuk mempertahankan diri.Para prajurit kelompok Halimun telah menggenggam senjata mereka masing-masing, dan bersiap menyambut serangan dari pasukan kerajaan Gurusetra yang jumlahnya sudah semakin berkurang.Pada saat itu, Ramandika terpaksa harus membunuh Patih Amukaraga, karena dia tak mau bertekuk lutut. Sejatinya, Ramandika tak berniat melakukan tindakan seperti itu, namun Patih Amukaraga yang terus melakukan serangan berbahaya terhadap dirinya, sehingga Ramandika memutuskan untuk membinasakan sang patih.Sorak sorai para prajurit Halimun terdengar bergemuruh, mereka merayakan kemenangan. Seiring dengan tewasnya Patih Amukaraga di tangan Ramandika—pemimpin mereka. Selain itu, Panglima Darsaka dan para prajuritnya pun sudah berhasil ditangkap dalam keadaan hidu