Share

8. Dendaka dan Somala Membuat Siasat Jahat untuk Ramandika

Ki Ageng Penggir tersenyum lebar mendengar pertanyaan Ramandika, sejenak ia terdiam. Sikapnya itu, tentu membuat Ramandika penasaran saja.

"Kenapa, Aki tidak menjawab pertanyaanku? Apakah aku ini tidak layak menjadi muridmu?" tanya Ramandika menatap wajah pria paruh baya sang pemimpin padepokan tersebut.

"Siapa pun yang datang ke padepokan ini dengan niat sungguh-sungguh ingin belajar, aku pasti akan menerima dengan baik. Tapi ingat, kau harus bersungguh-sungguh dalam mempelajari ilmu kanuragan yang akan aku ajarkan kepadamu!"

Mendengar jawaban pria paruh baya itu, Ramandika tampak senang dan begitu bahagia. Ternyata perjuangannya yang rumit selama ini telah dibayar lunas dengan sikap baik Ki Ageng Penggir.

"Terima kasih banyak, Ki," ucap Ramandika sambil menjura hormat. "Mulai hari ini, aku akan memanggilmu guru," sambungnya penuh kebahagiaan.

"Ya sudah. Mulai besok, kau bisa langsung bergabung dengan murid-murid lainnya untuk berlatih," kata Ki Ageng Penggir tersenyum lebar. "Untuk jurus dasar, kau akan dilatih oleh Bisama. Dia adalah murid paling senior di padepokan ini," lanjutnya.

"Baik, Guru."

"Dan satu lagi, kau harus mentaati peraturan di sini!"

"Iya, Guru. Aku akan mengikuti dan taat pada aturan yang sudah Guru tetapkan di padepokan ini," kata Ramandika lirih.

Ki Ageng Penggir tersenyum lalu bangkit dan langsung berlalu dari hadapan Ramandika.

"Ya, Dewata agung. Terima kasih banyak atas anugerah yang telah kau berikan," ucap Ramandika lirih.

"Akhirnya, kau diterima menjadi murid di padepokan ini," desis Sena tersenyum lebar menatap wajah Ramandika.

"Ini semua berkat kalian," kata Ramandika mengarah kepada Sena, Braja, dan Kolada.

****

Keesokan harinya ....

Ramandika sudah mulai berlatih bersama para murid lainnya yang jumlahnya tidak lebih dari 50 orang.

Kehadiran Ramandika, tidak mendapatkan respon baik dari keseluruhan murid yang ada di padepokan itu. Hanya Sena, Braja, dan Kolada saja yang bersikap baik terhadap Ramandika, sementara yang lain tampak acuh dan terkesan iri kepada Ramandika yang baru datang akan tetapi sudah terlihat akrab dengan Ki Ageng Penggir.

"Anak muda, kemarilah!" panggil Bisama sang pelatih ilmu kanuragan di padepokan tersebut.

"Iya, Ki," sahut Ramandika yang baru saja selesai berlatih bersama murid-murid lainnya.

"Siapa namamu?" tanya Bisama menatap tajam wajah Ramandika.

"Namaku Ramandika," jawab Ramandika lirih sambil membungkukkan badan penuh hormat.

"Meskipun belum sempurna, tapi pergerakanmu dalam berlatih sangat bagus," puji Bisama sambil meletakkan tangannya di atas pundak Ramandika. "Apakah sebelumnya kau ini sudah pernah belajar silat?" lanjut pria bertubuh kekar itu.

"Pernah, Ki. Tapi, aku belum mahir dalam menguasai jurus-jurus yang diajarkan oleh pamanku."

"Percayalah, di sini kau akan menguasai semua jurus-jurus yang aku ajarkan. Asalkan kau bersungguh-sungguh dalam mengikuti latihan," kata Bisama. "Setelah itu kau akan diajarkan langsung jurus-jurus kunci dan ilmu tenaga dalam oleh guru sepuh," sambungnya.

"Baik, Ki. Mudah-mudahan saja semua bisa terwujud," ujar Ramandika.

"Ya, sudah. Sekarang kau istirahat saja!" pungkas Bisama menepuk pelan pundak Ramandika, kemudian berlalu dari hadapan murid barunya itu.

"Dia sangat pandai mencari muka," bisik Somala—seorang pemuda yang sudah lama menjadi murid di padepokan tersebut.

"Apakah kau tahu, siapakah sebenarnya anak baru itu?" tanya Dendaka.

"Tidak! Aku tidak mengenalinya, dia ditemukan di hutan oleh Sena, Braja, dan Kolada dalam keadaan pingsan. Kemudian dibawa ke sini," jawab Somala. "Sebaiknya kita beri pelajaran saja anak baru itu, supaya dia tidak bersikap cari muka di hadapan Ki Bisama dan guru sepuh," sambungnya berbisik pelan mengenai daun telinga kawannya.

"Apa yang akan kita lakukan kepada anak baru itu?" tanya Dendaka mengerutkan keningnya.

"Kau ajak dia ke sungai! Aku akan menunggu di sungai, setelah berada di sungai kita beri pelajaran dia," bisik Somala menjawab pertanyaan kawannya.

"Baiklah, sekarang kau berangkat saja duluan! Aku akan membujuk anak baru itu agar ikut denganku ke sungai," bisik Dendaka.

"Ya, sudah. Aku ke sungai duluan. Tapi ingat, jangan sampai Sena dan dua sahabat baiknya itu ikut ke sungai!"

"Iya, kau tenang saja! Akan aku atur semuanya."

Setelah berkata demikian, Dendaka langsung berjalan menuju barak, dan Somala pun langsung berjalan menuju sungai yang jaraknya lumayan jauh dari padepokan tersebut.

Setibanya di hadapan Ramandika, Dendaka mulai bersikap baik. Dia langsung berbicara basa-basi, kemudian berkenalan dengan Ramandika.

"Senang bisa berkenalan denganmu Dendaka," ucap Ramandika lirih.

"Aku pun demikian. Kalau ada apa-apa, aku pasti akan membantumu," kata Dendaka dengan sikap ramah.

Mereka terus berbincang santai, hingga pada akhirnya, Dendaka langsung mengajak Ramandika untuk pergi ke sungai.

"Aku akan pergi ke sungai, jika kau mau kau boleh ikut. Di sana kau akan takjub melihat pemandangan sungai yang sangat indah dan tak akan pernah kau lihat di tempat mana pun," kata Dendaka di sela perbincangannya dengan Ramandika.

"Apakah jaraknya jauh dari padepokan ini?" tanya Ramandika menatap wajah Dendaka.

"Lumayan jauh," jawab Dendaka.

"Aku jadi penasaran, seperti apa pemandangan di sungai itu?" desis Ramandika.

"Ya, sudah. Kau ikut saja, Ramandika!" ajak Dendaka.

Ramandika menghela napas dalam-dalam, kemudian berkata lagi, "Baiklah, aku ikut denganmu. Aku penasaran ingin melihat keindahan alam yang ada di sekitar sungai itu."

Tanpa banyak bicara lagi, Dendaka bangkit dan langsung mengajak Ramandika untuk segera berangkat menuju sungai yang dimaksud.

Ramandika pun bangkit dan langsung berjalan mengikuti langkah Dendaka.

Sedikit pun tak ada rasa curiga dalam pikiran Ramandika terhadap Dendaka, ia mengira bahwa kawan barunya itu benar-benar tulus ingin bersahabat dengan dirinya.

'Akhirnya kau ikut juga Ramandika, aku dan Somala akan memberikan pelajaran kepadamu,' kata Dendaka dalam hati.

Beberapa saat kemudian ....

Mereka sudah hampir tiba di tempat yang mereka tuju. Namun, tiba-tiba saja, Dendaka meminta agar Ramandika berjalan di depan. Entah apa maksudnya? Tanpa rasa curiga sedikit pun, Ramandika mengikuti permintaan pemuda tersebut.

"Sebaiknya kau berjalan di depan saja, Ramandika! Biarkan aku di belakang mengikutimu."

"Tapi, aku tidak tahu jalan ke arah sungai, Dendaka."

"Kau tinggal ikuti jalan ini saja! Tak ada jalur lain, selain jalur ini."

Dengan demikian, Ramandika menuruti apa yang dikatakan oleh Dendaka. Ia langsung berjalan dimuka menyusur jalan setapak menuju ke arah sungai yang dituju.

Akan tetapi, ketika sudah tiba di tempat tujuan. Tiba-tiba saja Dendaka menghilang, entah ke mana perginya? Ramandika tampak bingung, namun Ramandika beranggapan bahwa kawan barunya itu hanya bercanda dan mempermainkan dirinya yang baru menginjakkan kaki di tempat tersebut.

"Dendaka! Kau di mana?" teriak Ramandika ketika mengetahui bahwa Dendaka sudah tak ada di belakangnya. "Jangan becanda, Dendaka!" teriaknya lagi.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ananda Ziyan
bagus novelnya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status