Home / Horor / SANTET / Bab 9

Share

Bab 9

Author: Nana Shamsy
last update Last Updated: 2023-12-06 22:46:29

SANTET  CE  LA  NA  DALAM  9

"Masih jauh, Ga?" tanya Galih kerena sudah tak sabar ingin bertemu dengan keluarga Ambar. Gadis yang katanya menjadi korban Mbah Harjo. Lima tahun silam.

"Nggak, tuh, udah kelihatan atap rumahnya yang gentengnya berwarna merah itu," tunjuk Raga.

"Oh." Mereka masih harus melewati area persawanan. Meskipun begitu deretan rumah penduduk sudah kelihatan.

Akhirnya Raga dan Galih sampai juga di depan rumah Ambar. Namun, keadaan rumahnya begitu sepi.

"Semoga mereka ada di rumah," gumam Galih. Setelah memarkirkan motornya di samping rumah tersebut. Galih merapikan bajunya, kemudian mengambil napas dalam-dalam sebelum akhirnya mengetuk pintu ber-cat cokelat tersebut.

Tok! Tok! Tok!

"Assalamualaikum."

Tok! Tok! Tok!

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam," sahut seseorang dari dalam. Galih pun menunggu sampai pintu rumah itu terbuka.

"Ya, mau cari siapa, ya?" tanya wanita berkerudung navy tersebut.

"Maaf, apa benar ini rumah Ambarwati?" tanya Galih.

Wajah Lidra seketika berubah, ia menengok ke dalam rumah seakan memastikan semuanya aman. "Iya, saya kakaknya. Dari mana kalian bisa tahu tentang adik saya, Ambar?" tanya Lidra dengan suara kecil.

"Em, boleh nggak kita ngobrolnya di dalam," usul Raga.

Setelah berpikir sejenak, Lidra pun mempersilakan ke dua tamunya itu untuk masuk. "Mari silakan," ajaknya. Ia buka daun pintu sedikit lebar lalu mempersilakan ke dua tamunya untuk duduk.

Mata Galih langsung menelisik ke seluruh ruangan yang tidak terlalu luas itu. Memperhatikan foto keluarga yang dipajang di atas dinding satu persatu. Tampak foto seorang gadis ayu yang wajahnya begitu mirip dengan wanita yang duduk di sebelah kanannya hanya saja berbeda umur.

"Apa itu foto  Ambar?" tanya Galih.

Lidra pun melongok, melirik foto adiknya."Benar, itu foto Ambar.  Sebenarnya kalian ini siapa? Dan bagaimana kalian bisa tahu tentang Ambar?" selidik Lidra.

"Maaf sebelumnya Mbak. Perkenalkan nama saya Raga, adik dari Mas Rendra--suami Mbak Widya dari kampung sebelah dan ini teman saya Galih."

"Oh, kamu adik iparnya Widya? Widya anak Pak Sandi bukan?" tebaknya.

"Benar Mbak. Maaf nama Mbak, siapa?"

"Lidra," jawabnya cepat.

"Alhamdulillah Mbak Lidra mengenal kakak ipar saya. Jadi begini, maksud kedatangan kami ke sini untuk bertanya tentang Ambar dan Mbah Harjo. Saya pernah dengar bahwa Ambar-"

"Suruh mereka pergi!" Tetiba Galih dan Raga dikejutkan dengan suara perempuan paruh baya yang muncul secara tiba-tiba dari dalam dan langsung mengusir mereka berdua untuk pergi. Wanita itu  mengacungkan tangan kepada Galih dan Raga.

"Untuk apa kalian mencari tahu tentang orang yang sudah mati? Apa keperluan kalian? Kami tidak mau ketenangan anak kami yang sudah tiada diusik kembali. Aku tidak suka! Sebaiknya kalian berdua segera angkat kaki dari sini!" teriak wanita itu dengan mata melotot tajam dan tangan gemetar. Ia menyaut vas bunga di tengah meja dan mengambil ancang-ancang akan melemparkan vas bunga tersebut ke arah Galih dan Raga.

"Bu, Bu, sabar, Bu." Lidra bangkit memeluk erat ibunya. Ia merebut vas bunga itu dari tangannya, lalu membuangnya begitu saja.

"Suruh mereka pergi Lidra, Ibu tidak suka."

"Iya, mereka akan Lidra suruh pergi. Ayo, Ibu masuk dulu. Kalian berdua pergi aja dari sini, tolong!" pinta Lidra. Ia mengelus dada ibunya. Agar ibunya kembali tenang.

"Sebaiknya kalian pergi," ucap Lidra sekali lagi.

"Tapi, kami butuh bantuan, Mbak. Ini demi seseorang." Galih mengiba.

"Kami tak bisa membantu apapun," jawab Lidra.

"Lidra! Suruh mereka pergi!"

"Kami perlu mencari tahu tentang apa yang dialami Ambar. Jangan sampai ada korban lagi," kata Galih mengugah hati Lidra.

"Kalian tunggu aku di dekat kuburan sana. Nanti aku akan menyusul," ucap Lidra. Galih dan Raga pun mengerti, mereka segera angkat kaki dari rumah itu.

Seperti yang dikatakan oleh Lidra, mereka pun menunggu Lidra di depan area pemakanan, di sana ada pohon besar, di bawahnya ada dipan dari bambu yang cukup lebar. Galih dan Raga menunggu Lidra di sana sambil tiduran melepas penat. Mereka bahkan belum sempat disuguhi minuman. Tenggorokan mereka kering, untung saja suasana di bawah pohon itu begitu sejuk dengan pemandangan hamparan persawahan yang hijau.

"Aku haus, cuk!" ucap Raga sambil menelan ludah.

"Sama, aku juga haus. Mana nggak ada orang jualan minuman lagi."

"Ya, kita tunggu Mbak Lidra, kemudian baru cari minuman."

"Rebahan dulu lah, enak juga di sini." Galih melipat tangannya di belakang kepala. semilir angin hampir saja membawanya ke alam mimpi.

Tak lama kemudian Lidra datang dengan mengendarai sepeda ontel. Galih langsung bangkit lalu, duduk bersila. Pun Juga Raga.

"Mbak."

"Maaf, atas sikap Ibuku, tadi."

"Nggak papa, Mbak." Galih mengeser duduknya. Kemudian mempersilakan Lidra bergabung bersama mereka. Lidra mengambil posisi duduk senyaman mungkin sebelum mulai bercerita.

"Keluarga kami sudah mencoba mengubur dalam-dalam cerita tentang Ambar. Aku sendiri tidak mau menoreh luka di hati Ibu," kata Lidra mengawali ceritanya. Ia menahan napas sebentar, menenangkan diri sebelum mulai bercerita kembali. Galih dan Raga diam, tidak mau memotong cerita Lidra, mereka dengan sabar menunggu wanita itu menceritakan semuanya.

"Adikku ditinggal menikah oleh tunangannya. Sejak saat itu Ambar mulai sering melamun, menangis, kemudian tertawa sendiri. Atas saran tetangga kami membawa Ambar ke rumah Mbah Harjo. Bodohnya, kami tidak membawa Ambar berobat ke rumah sakit. Ambar beberakali dibersihkan jiwanya dengan cara mandi kembang di sana. Singkatnya adikku mulai mual-mual. Kemudian perutnya mulai membesar. Kami sama sekali tidak berpikir kalau Ambar tengah hamil. Kami pun membawa Ambar berobat, setelah itu kami baru tahu kalau ia tengah hamil. Bapak langsung mencurigai Mbah Harjo sebagai pelakunya, karena hanya dialah satu-satunya lelaki yang ditemui Ambar."

"Saat proses mandi kembang kami tidak di perbolehkan menemani Ambar, tetapi ada Bu Sundari-istri dari Mbah Harjo yang menemaninya. Karena itulah kami percaya, Bu Sundari tak mungkin membiarkan suaminya berbuat macam-macam kepada Ambar. Singkat cerita Bapak mengamuk tak terima, Bapak membawa golok dan mau membuat perhitungan dengan dukun itu. Malam setelahnya, Bapak berteriak kesakitan, perutnya kembang kempis, membesar dan mengecil. Bapak berguling-guling menahan sakit. Kami semua panik."

Cerita Lidra terjeda, ia tak kuat mengingat peristiwa menyakitkan itu. Sialnya Galih dan Raga tak membawa tisu, wanita itu mengusap air matanya menggunakan ujung jilbabnya.

"Kami mencari bantuan untuk membawa bapak ke rumah sakit, tetapi di perjalanan tubuh bapak menegang, matanya mendelik sambil mengerang keras seakan menahan sakit yang teramat sangat. Aku masih ingat bagaimana Bapakku tersiksa sebelum akhirnya bapak menghembuskan napas terakhirnya . Bapakku pergi. Ibu menangis histeris memeluk tubuh bapak yang lemas tak bergerak. Perut Ambar semakin hari semakin membesar, kami pun mencoba menerimanya. Menerima kalau Ambar harus hamil di luar nikah. Namun, pagi itu kami dikejutkan dengan tubuh Ambar yang melayang. Kakinya tidak menyentuh lantai, karena tali yang menjerat di lehernya. Lidahnya terjulur dengan bola mata yang hampir keluar. Sedangkan darah segar mengalir dari rahimnya, membasahi bagian bawah rok yang dipakai Ambar. Ia meninggal dalam keadaan yang mengenaskan bersama bayinya." Cerita Lidra membuat dada Galih dan Raga terasa sesak. Tenggorokan mereka tersekat.

Lidra kembali menangis, tetapi ia berusaha melanjutkan ceritanya meski dengan suara terbata-bata. Galih dan Raga sampai tak mampu bicara.

"Ibu sempat terguncang jiwanya, tetapi kini ia sudah bisa ikhlas menerima. Sejak saat itu, kami memutuskan untuk menutup mulut kami rapat-rapat. Kami tak mau lagi mendengar cerita tentang Mbah Harjo. Itulah yang membuat Ibu marah besar saat kalian mengulik hal ini," terang Lidra.

"Ya, Allah. Jadi seperti itu."

"Itu artinya Nining dalam masalah besar. Kita nggak bisa membiarkan Mas Aji terus membawa Nining ke rumah dukun itu. Kita harus memberitahu kepada Mas Aji sebelum Nining mengalami hal yang sama dengan Ambar," kata Galih.

"Siapa Nining?"

"Nining ... Dia itu saudara kami." 

"Selamatkan dia sebelum terlambat, karena dukun itu pun tak segan menyakiti keluarga kalian juga. Aku tahu seseorang yang mungkin bisa menyelamatkan Nining. Namanya Ustad Ilham, kalau kalian mau, kalian bisa ke sana," saran Lidra.

"Boleh," jawab Galih cepat. Lidra pun memberikan alamat Ustad Ilham kepada mereka. Setelah itu Lidra mengajak Galih dan Raga ke makam Ambar dan bapaknya untuk mengirim doa. Setelah itu Galih dan Raga pamit untuk pulang.

                                  

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SANTET    Bab 48

    SANTET CELANA DALAM 48Di dalam mobil, Nining tak henti berdoa agar Galih baik-baik saja. "Tenang Ning. Galih pasti akan baik-baik saja," kata Erna. "Mbak Darsih juga tenang, ya. Sebaiknya kita semua berdoa untuk Galih," ujar Erna lagi. Meski ia juga sangat kawatir akan keadaan Galih, tetapi Erna tetap berusaha tenang.Keluarga Ustad Ilham pun turut serta di belakang mobil Arkan. Sesampainya di rumah sakit, Galih langsung dilarikan ke ruang UGD. Mereka semua menunggu di luar dengan perasaan cemas. Aji sejak tadi mondar-mandir berjalan ke kiri dan ke kanan.Yasmin terus berusaha menenangkan Darsih. Sementara itu, Erna dan Nazwa mengapit Nining yang terus menangis sejak tadi.Begitu pintu ruang UGD dibuka. Darsih segera bangkit dan berlari menghampiri Sang Dokter. "Bagaimana keadaan adik saya, Dok?" "Adik Anda baik-baik saja, tapi ia mengalami luka bakar yang cukup serius. Kemungkinan besar separuh wajah adik Anda akan rusak akibat luka bakar tersebut. Ini saja yang bisa kami sampai

  • SANTET    Bab 47

    Santet Celana dalam 47"Galih?" "Iya," tegas Erna."Kamu jangan bercanda Er. Ini tidak mungkin." "Kalau tidak percaya, kamu bisa lihat sendiri," tentang Erna. Nining pun bangkit dari duduknya. Ia berjalan cepat dan mengintip ke arah ruang tamu. Terlihat Galih duduk di depan Pak Penghulu. Ia menjawab pertanyaan dari Abbah Udin dengan tenang. Namun, tiba-tiba tatapan mata mereka bertemu. "Dia sangat cantik, dia baik, dia tabah menghadapi takdir hidupnya yang pahit. Dia wanita paling kuat dan sederhana yang pernah ku kenal, Bah." "Galih ...." ucap Nining lirih. Di sebelahnya Arkan duduk dengan santainya sambil tersenyum ke arah Nining."Arkan." "Arkan tak mau mengambil kebahagianmu, Ning." Yasmin tiba-tiba muncul di belakang Nining memegang pundak kirinya.."Bagaimana ini bisa terjadi?" "Aku memberitahukan semuanya kepada Bu Aya dan Pak Ismu. Aku memang berjanji tak akan memberitahukan perihal kesalahpahaman itu kepada Galih dan Arkan, tapi aku nggak berjanji untuk diam kepada ke

  • SANTET    Bab 46

    SANTET CELANA DALAM 46"Mas. Kita harus bicara," kata Yasmin setelah keluarga Arkan pergi dan Budenya pulang. "Mbak Yas, sudah nggak papa," ucap Nining. Ia menarik lengan tangan kakaknya mengiba. "Ning.""Mbak Yas, sudahlah." "Ada apa?" tanya Aji tak mengerti melihat sikap adik dan istrinya. Yasmin melihat ke arah luar. Mobil Arkan sudah melaju pergi. "Mas, sebenarnya apa yang terjadi. Mas bilang sudah mendengar semua percakapanku dengan Nining. Kenapa Mas bisa salah begini?" protes Yasmin."Salah? Apanya yang salah?""Nining memilih Galih, bukan Arkan." Akhirnya Yasmin mengatakannya juga. Nining memejamkan matanya mencoba mengambil napas dalam-dalam lalu ia hembuskan perlahan. Nining takut akan terjadi masalah besar. "Bukankah kamu bilang kalau Arkan pasti akan senang dengan keputusan Nining. Dia sudah lama menunggu jawaban ini dari Nining?" ungkap Aji. "Iya, memang benar Arkan sudah menunggu lama jawaban dari Nining. Tapi apa Mas tahu apa jawaban Nining?!" "Arkan, kan?" "B

  • SANTET    Bab 45

    SANTET CELANA DALAM PART 45"Galih." "Galih?" "Iya, Galih. Menurutku ... dia yang lebih pantas menjadi ayahnya Gilang. Galih tanpa pamrih menjagaku selama ini meskipun aku pernah menolaknya. Ia juga tak pernah memaksakan kehendaknya padaku. Aku rasa, tak ada kata yang bisa kuungkapkan untuk mengambarkan bagaimana kebaikan Galih dan selain itu juga aku punya alasan lain." Nining pun tertunduk malu. "Apa itu?" "Kurasa ... aku mencintai Galih, Mbak," ucap Nining kemudian. Yasmin pun tersenyum, kemudian memeluk adik iparnya itu dengan gemas. "Mbak Bahagia banget mendengar keputusanmu ini, Ning. Aku yakin kamu akan bahagia bersamanya." "Benarkah, Mbak?" "Ya, Arkan pasti akan senang dengan keputusanmu ini. Mbak bahagia akhirnya kamu mau menikah juga. Dia sudah tak sabar menunggu jawaban darimu," ucap Yasmin. Di saat itulah secara tak sengaja Aji mendengar ucapan Yasmin ketika hendak kembali ke belakang usai mengambil dedak di samping rumah untuk campuran minum ternak kambing merek

  • SANTET    Bab 44

    SANTET CELANA DALAM PART 44Nining dirujuk ke rumah sakit bersama dengan bayinya. Hari bahagia itu seketika menjadi petaka. Entah apa yang terjadi mereka belum tahu pasti. Yang jelas detak jantung Nining semakin lemah. Sudah hampir satu jam Nining berada di dalam ruangan UGD. Yasmin menggendong putra Nining yang bahkan belum memiliki nama. Mereka semua menunggu kabar dari dokter dengan cemas. Begitu pintu dibuka. Aji langsung menghampiri Sang Dokter."Bagaimana keadaan adik saya, Dok?" "Maaf, kami sudah berusaha." "Apa?! Apa maksud dokter dengan meminta maaf?" bentak Aji."Pasien sudah tiada, kami sudah melakukan segala upaya, tapi Tuhan berkehendak lain." Bagai disambar petir. Aji terpaku di depan ruang UGD. Ia berjalan pelan menuju pintu, lalu melonggok ke dalam. Kain putih sudah menutupi seluruh tubuh Nining. Yasmin membekab mulutnya. Ia menangis tanpa suara. Bayi yang ada dalam gendongannya pun menangis, seakan ia ikut merasakan apa yang terjadi. Betapa malang nasibnya, ia

  • SANTET    Bab 43

    SANTET CELANA DALAM PART 43Tak mendapatkan jawaban yang pasti dari Nining, Arkan pun tak ingin memaksanya. Dari tempat Dokter, Nining diajak Arkan ke baby shop. Begitu masuk, mereka disuguhkan berbagai macam keperluan bayi.. Mulai dari baju, sepatu, sampai acsesoris. Nining berjalan ke deratan baju-baju bayi bermotif otomotif, lalu mengambil setelan baju anak bergambar pesawat terbang berwarna biru. "Lucu, ya?" tanyanya pada Arkan."Ya." Nining pun memasukannya ke dalam keranjang belanja. Pertama satu, hingga tanpa sadar keranjang belanja itu mulai penuh. "Ini bagus, ya?" "Iya," jawab Arkan. Ia terus memandangi Nining dan buru-buru memalingkan wajah ketika Nining memandangnya. Seperti pasangan suami istri, Arkan dengan sabar menemaninya. Sepatu-sepatu lucu turut masuk ke dalam keranjang, topi, kaos kaki, sampai mainan. "Total semuanya empat juta tiga ratus enam puluh dua, Mas," kata Mbak Kasir. "Hah, yang benar? Coba hitung lagi, Mbak. Siapa tahu salah," ucap Nining kaget

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status