Mobil Marissa sampai di halaman keluarga Baruna. Dia merasa jantungnya berdegup kencang, hanya saja dia kemudian teringat apa yang Naren katakan. Dia hanya perlu pulang seperti biasanya layaknya yang Naren katakan sebelum mereka berpisah. "Tenang, Rissa. Semua baik-baik saja," ujarnya dalam hati dan Marissa segera membuka pintu utama rumah itu. "Bagaimana pestamu, Rissa? Apa menyenangkan?" tanya Tristan begitu wanita itu masuk rumah. Marissa terkejut, dia tak menyangka jika suaminya menunggunya di balik pintu. Pertanyaan itu bagai serangan mendadak saat Rissa tak siap. "Sudah pulang, Nak?" sapa Tuan Baruna memecah kecanggungan. "Suamimu mengatakan jika kamu menginap di rumah temanmu untuk merayakan pesta," jelasnya kemudian. "Ah, i-itu. I-iya, Pa. Ada pesta di rumah temanku, teman dekatku," ujarnya ragu dan terbata.Hal itu cukup membuat Tristan terkecoh, dia merasa ada yang Marissa sembunyikan. Sesuatu terasa janggal dan tak bisa diterima oleh nalarnya. "Masuk dan istirahatlah
"Naren!" panggil Marissa. "Bangun, Naren!" ulangnya dengan kemarahan yang sudah diambang batas. Perintah yang terdengar biasa itu memecah keheningan sebuah ruangan yang memiliki dinding begitu dingin. Entah apa yang membuat ruangan yang begitu luas itu terasa menghimpit dada Marissa.Beberapa menit lalu, Marissa terbangun dengan keterkejutan yang tak terbayangkan. Dia membuka mata dan mendapati tubuhnya tengah bersanding dengan pria yang jelas bukan suaminya. Tentu saja itu mengguncang jiwanya dan menciptakan kepanikan yang luar biasa. Marissa yakin benar jika Tristan yang menyentuhnya semalam, tapi aroma alkohol yang samar masih terhirup oleh indera penciumannya membuat Marissa segera sadar jika yang tidur dengannya semalam adalah pria yang kini masih lelap tertidur dalam keadaan telanjang itu."Naren Baruna!" panggilnya dengan penuh penekanan. Walau sedang sangat marah, Marissa masih bisa menahan diri untuk mengontrol volume suaranya agar tak sampai terdengar keluar kamar.Naren ter
"Buka pintunya, Marissa!" panggil Tristan lagi sembari meraih gagang pintu. Dengan sikap tak sabar, Tristan mengedor dan menggerakkan gagang pintu itu dengan sangat kasar. Melihat daun pintu yang sama sekali tak bergeser, Marissa tahu jika itu terkunci. "Akh, terkunci." Marissa sedikit lega. Kepanikan yang terjadi di dalam kamar perlahan mulai memudar. Marissa dan Naren yang mengetahui jika pintu kamar itu terkunci merasa aman. Mereka menarik napas lega walau masih dalam keadaan terhimpit. Kebiasaan Naren mengunci pintu kamar menyelamatkan mereka berdua dari situasi sulit. Marissa mendorong Naren untuk bersembunyi di dalam lemari besar miliknya tanpa pikir panjang. "Diam di sini dan penuhi sumpahmu untuk merahasiakan ini semua dari Tristan," ancam Marissa. Naren tak bisa menolak dan hanya menuruti apa yang Marissa inginkan. "Buka, Marissa! Apa kamu sudah tuli? Teriakan sekeras ini tak kamu pedulikan," sentak Tristan geram. Wanita itu segera menutup kembali pintu lemarinya setelah
"Tuan Muda." Pembantu rumah itu mendapati Naren pingsan di bawah tangga. Rupanya Naren tak bisa sampai kamarnya karena kehabisan tenaga. Berada di dalam lemari Marissa untuk beberapa saat, membuat pria itu kekurangan oksigen sehingga tubuhnya terasa sangat lemah. "Apa yang terjadi, Tuan? Tuan Muda dari mana?" tanya pembantu itu panik sembari cepat-cepat turun dari lantai atas. Dia baru saja selesai membereskan kamar Naren dan tangannya masih membawa kain sprei ranjang putra sulung Keluarga Baruna. Mendengar suara gaduh yang pembantu timbulkan, Tuan Baruna ikut menghampiri. Pria yang sudah menyelesaikan sarapannya itu segera melihat sangat putra yang tergeletak tak sadarkan diri di lantai itu. "Ada apa, Bi? Kenapa dia?" tanya Tuan Baruna. "Saya tidak tahu, Tuan. Saat saya hendak turun, Tuan Muda sudah tergeletak di sini," balas sang pembantu. "Minta bantuan ke penjaga, biar mereka yang bawa Naren naik," perintah Tuan Baruna dengan wajah yang penuh kekhawatiran. Bibi pembantu men
"Sepertinya aku terlambat," kata Marissa sembari mempercepat langkah kakinya. Selang beberapa saat, pintu lift terbuka dan Marissa bergegas menuju ruang meeting perusahaan milik mertuanya itu. Tuan Baruna mengundang Marissa untuk mengikuti sebuah pertemuan pemilahan proposal proyek."Selamat datang, Marissa." Tuan Baruna menyambut menantunya dengan hangat.Diantara semua orang, Tristan adalah orang yang paling terkejut. Setengah tak percaya, pria itu hanya mematung dan fokus pada pandangan matanya kepada Marissa. "Apa ini? Kenapa dia di sini?" Tristan bertanya dalam hati. "Hari ini, Marissa akan menjadi salah satu dari tim ini. Kalian semua tentu tidak asing dengannya, wanita muda yang sukses membawa perusahaannya menjadi perusahaan yang besar dan memiliki keuntungan yang terus meningkat setiap bulannya." Kalimat penuh sanjungan itu diutarakan Tuan Baruna dengan sangat bangga. Tepuk tangan mengema mengiringi rasa bangga Tuan Baruna. Tanpa disadari, hal itu sangat melukai harga diri
Dari sela pintu kamar mandi yang tak tertutup sempurna, bibi pembantu melihat Marissa membersihkan luka di tepi matanya dengan kesakitan. Dia juga melihat wanita itu menangis sedu. Tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi, bibi pembantu ingin sekali melakukan sesuatu. Namun niatnya kembali menciut tatkala melihat Tristan keluar dari kamarnya dan menuju ke arahnya."Di mana Marissa?" tanyanya."Nyo ... Nyonya Mu ... Muda di kamar mandi, Tuan," balas bibi terbata. Terlihat sekali wanita paruh baya itu ketakutan. Tristan tak lagi menanggapi dan menunggu Marissa keluar dari kamar mandi, sementara bibi pembantu melipir pergi dengan alasan akan ke kamar tamu menyiapkan kotak obat untuk Marissa.Setelah beberapa saat, Marissa keluar dan tanpa mengindahkan Tristan yang berdiri diambang pintu. Wanita itu melangkah ke arah kamar tamu berasa tanpa kata dan tanpa melihat wajah Tristan. Marissa terlalu hancur bahkan untuk sekedar melihat wajah sang suami."Tunggu," kata Tristan. Nada suaranya terden
"Besok adalah hari pemakaman, habiskan malammu dengan baik, Rissa," ujar Naren. "Aku mengerti, jawabnmu tadi sudah cukup membuat aku tahu apa yang harus aku lakukan," balas Marissa dengan senyum tipis. Naren yang melihat senyum di bibir adik iparnya itu, turut mengulas senyum. Matanya menangkap lebam yang mulai memudar di sudut mata Marissa. Hatinya sedikit lega karena luka itu sudah hampir menghilang. Walau Naren yakin jika luka hati Marissa tak akan pernah hilang. "Jangan pikirkan apa pun malam ini selain nenekmu. Aku pulang sekarang," pamit Naren setelah menyelesaikan makan malam. "Hm," jawab Marissa disertai anggukkan kepala. Mereka berdua keluar dari ruang makan dan segera berpisah. Marissa menuju tempat dimana jasad neneknya di semayamkan, sedangkan Naren bergerak menuju tempat parkir mobilnya. Hari ini terasa berbeda karena jarak yang keduanya ciptakan selama ini mulai mendekat. Marissa juga nampak jauh lebih baik dibanding ha
Mobil memasuki gerbang rumah kediaman Keluarga Baruna. Setelah memarkirkan mobil dengan rapi, keduanya segera turun. Baru saja mereka hendak masuk rumah, sebuah mobil nampak masuk juga. "Tristan," batin Marissa yang mengetahui jika itu adalah mobil suaminya. Naren berjalan masuk meninggalkan Marissa yang berdiri di koridor antara pintu rumah dan juga garasi. Kaki wanita itu tiba-tiba saja begitu berat, dia merasa tak bisa bergerak hingga akhirnya Tristan berjalan ke arahnya. "Baru pulang?" tanya Tristan. "Nenek baru saja selesai dimakamkan," jawab Marissa. "Aku turut berduka, Rissa. Aku tidak bisa datang karena banyak pekerjaan," ujar suaminya dengan tak masuk akal. "Sesibuk apa dirimu? Sampai-sampai nenek dari istrimu meninggal tidak bisa meluangkan waktu semenitpun untuk melihatnya." Marissa mulai tersulut. Alih-alih menjawab pertanyaan istrinya, Tristan justru berlalu meninggalkan Marissa tanpa peduli. Dia tak