Apa yang terjadi tadi siang di lapangan berumput masih terus menghantui pikiranku. Kesal, marah, jengkel, merasa jijik, dihinakan, semua bercampur dalam dada dan otak. Gara-gara Nicholas si brengsek, aku terpaksa kembali jalan kaki. Belum lagi, sikap kasar dan dinginnya tadi pun masih terpatri di kepala. Dan, meski aku jengkel setengah mati, rasanya di hati masih ada sedikit ruang tersisa untuk perasaan bersalah. Entah mengapa.
Kalau bukan karena ada Theo dan orang tuanya, aku ingin sekali langsung pulang saat ini. Tak mau lagi berada di sini, harus berhadapan lagi dengan Nicholas. Apa lagi kalau harus pulang, aku harus menempuh perjalanan lima jam lagi, huh!
Saat kembali ke peternakan, Theo bertanya kenapa mukaku berlipat-lipat, aku tak mau jujur terbuka kepadanya, lebih baik untuk saat ini dirahasiakan. Akan sangat aneh kalau Theo tahu tadi Nicholas sudah menciumku. Tanpa alasan.
***
Malam tiba, api unggun dinyalakan. Kompor untuk memanggang daging pun
"Hah?! Nggak, kok. Aku udah mau tidur, nih.Bye!"Dengan kikuk, aku berdiri cepat-cepat. Baru selangkah berbalik, pergelangan tanganku ditangkap dan tiba-tiba Nicholas menarikku. Tak cukup menarik tanganku saja, sekarang dia pun membuatku terduduk di atas pangkuannya. Mataku terbelalak lebar."Ih! Apaan, sih?!" pekikku geram sambil berusaha bangkit berdiri, tapi kedua tangan Nicholas menahan perutku."Santai dikit. Kayak mau dibunuh aja," katanya cuek."Ya kamu ngapain! Lepasin aku!""Heh, jangan teriak-teriak. Nanti yang lain bangun."Tangan kiri Nicholas membekap mulutku. Seketika tubuhku mematung lagi. Jarak di antara kami hanya beberapa senti. Berkat cahaya kobaran api unggun, aku bisa melihat sorot matanya yang tajam memandang aku begitu dalam. Pipiku pasti sudah memerah lagi. Saat wajah Nicholas mendekat, aku disergap kepanikan, langsung kubuang mukaku menghadap api unggun.Aku tak mau kejadian gila siang tadi teru
Sepanjang perjalanan pulang, Theo terus bertanya ada apa denganku. Mulutku terkatup. Malas bicara, sedang mataku masih bengkak bekas menangis semalaman.Pagi-pagi sekali, sebelum Om dan Tante Baskoro bangun dari tidur, aku langsung meminta Theo untuk pulang. Kalau dia tidak mau mengantar, maka aku akan pulang sendiri. Tak ada pilihan, Theo terpaksa mengantarku meski yang lain masih terlelap dalam dunia mimpi, termasuk Nicholas."Kamu yakin nggak apa-apa, May?" Theo bertanya terakhir kali saat aku baru akan masuk ke dalam indekost.Tanganku terkepal di kedua sisi. "Kamu pulang aja sekarang. Aku masih ngantuk. Mau lanjut tidur lagi," kataku dingin, tanpa berbalik menghadap dirinya.Aku tahu, kadang-kadang, aku terlalu jahat kepada Theo. Padahal dia tak bersalah sama sekali. Tapi apa lagi yang bisa aku perbuat? Melihatnya sekarang hanya mengingatkanku kepada Nicholas.***Surat pengunduran diri kupegang erat di tangan sembari berjalan menuju ru
Bibirku meliuk-liuk gugup. Kalau memang Cherry hanya teman untuk bersenang-senang, lantas aku akan dijadikan apa? Predikat apa yang akan disematkan Nicholas kepadaku?"Kok bengong? Masih ragu? Kamu pikir aku bohong? Kamu bisa tanya Cherry!" Intonasi Nicholas meninggi.Kepalaku menggeleng pelan. "Bukannya aku ragu, tapi ...""Pokoknya tinggalin Theo! Kamu lepasin dia!" sela Nicholas."Kamu sendiri? Kalau aku lepasin Theo, apa kamu mau lepasin Cherry juga?" tanyaku pelan, arah mataku jatuh ke lantai, agak malu bertanya seperti ini.Jemari lentik Nicholas menyentuh daguku, mengangkat mukaku, mempertemukan mata kami lagi. "Kalau aku udah memiliki kamu, apa lagi alasan dia ada di dekat aku? Aku cuma butuh kamu sekarang."Secara tidak langsung, Nicholas mengatakan kalau aku akan menggantikan posisi Cherry! Itu artinya ... Aku akan ... "Nggak mau! Nggak mau kalau gitu!" Aku langsung menepis tangannya."Nggak mau apa?" Kening Nicholas mengeru
"Kebetulan atau apa, nih? Ketemu sejoli lagi pacaran juga di sini." Cherry tanpa basa-basi langsung duduk di meja kami.Aku dan Theo saling melempar pandang, mata kami kompak sepakat mengatakan kalau Cherry tak semestinya ada di sini. Sementara itu, Cherry nampak cuek saja, memanggil pelayan untuk memesan makanan. Diliriknya Nicholas yang masih bimbang untuk duduk atau tidak."Kamu ngapain tegak di situ? Bengong aja, kayak penagih utang. Ayo duduk, Yang!" panggil Cherry.Sekilas Nicholas mendecakkan lidah sebal, tapi akhirnya ikut duduk juga, di samping kiriku, di hadapan Cherry. Selama lebih dari lima menit kami semua diam. Untunglah makanan Theo sudah habis dia santap."Ayo pulang, Theo. Kamu udah kelar makan, kan?" Aku berniat untuk berdiri dari kursi.Tiada angin, tiada hujan, Nicholas tiba-tiba memegang punggung tanganku yang berada di atas meja. Mata kami bertabrakan. "Ngapain buru-buru? Aku traktir. Pesan aja lagi, minimal minuman." Suaranya
Di dalam kamar mandi, aku menunggu dengan harap-harap cemas. Semoga tak ada yang direncanakan oleh Nicholas. Semoga aku lolos malam ini. Hatiku terus merapal segala mantra."Nih, handuknya ..."Pintu kamar mandi diketuk pelan. "Jangan liat ke sini! Arahkan aja tangan kamu ke dekat pintu!" pintaku sebelum perlahan membuka pintu kamar mandi."Ya, bawel! Buruan! Nih, aku udah ada di depan kamar mandi!"Kutilik sesaat keluar, ada tangan Nicholas memegang handuk. Pelan-pelan aku keluarkan tanganku pula, menarik handuk itu. Syukurlah sampai aku tutup kembali pintu kamar mandi, dia tak mengulah."Kamu jangan liat ke arah aku, ya! Aku keluar cuma buat ambil baju aku aja!" kataku memberi peringatan usai melilitkan handuk menutupi dada sampai setengah paha."Hm! Udah sana buruan, jangan kelamaan."Kaki kananku akhirnya melangkah keluar, tujuanku adalah lemari pakaian. Sehabis mengambil piyama tidur, aku mesti kembali ke kamar mandi untuk mengen
Di dalam kamar mandi, aku menunggu dengan harap-harap cemas. Semoga tak ada yang direncanakan oleh Nicholas. Semoga aku lolos malam ini. Hatiku terus merapal segala mantra. "Nih, handuknya ..." Pintu kamar mandi diketuk pelan. "Jangan liat ke sini! Arahkan aja tangan kamu ke dekat pintu!" pintaku sebelum perlahan membuka pintu kamar mandi. "Ya, bawel! Buruan! Nih, aku udah ada di depan kamar mandi!" Kutilik sesaat keluar, ada tangan Nicholas memegang handuk. Pelan-pelan aku keluarkan tanganku pula, menarik handuk itu. Syukurlah sampai aku tutup kembali pintu kamar mandi, dia tak mengulah. "Kamu jangan liat ke arah aku, ya! Aku keluar cuma buat ambil baju aku aja!" kataku memberi peringatan usai melilitkan handuk menutupi dada sampai setengah paha. "Hm! Udah sana buruan, jangan kelamaan." Kaki kananku akhirnya melangkah keluar, tujuanku adalah lemari pakaian. Sehabis mengambil piyama tidur, aku mesti kembali ke kamar mandi untuk
Ribuan kupu-kupu seolah sedang berenang di dalam perutku saat aku mendengar suara ikat pinggang dibuka. Mataku sudah terpejam kuat, kedua tangan terkepal di depan muka. Aku belum siap. Aku belum siap. Kalimat itu terus kurapalkan bagai mantra dalam dada.Ikat pinggang telah lepas dari celana Nicholas. Sekarang yang lebih membuat aku gugup, aku mendengar suara resleting celana yang diturunkan. Darah di tubuhku mengalir deras layaknya air terjun. Dari ujung kepala sampai ujung kaki.Kepala Nicholas turun, memberi satu ciuman mesra di atas perutku, tepat di atas pusarku. Duniaku berputar, melayang, telinga serasa berdenging. Celananya telah dia lepaskan, aku bisa mendengar dan merasakannya.Kedua kakiku masih terbuka, Nicholas terasa kian dekat, dan sepertinya akan mencapai tujuannya. Mataku masih tertutup rapat. Baiklah, ini adalah penentuannya. Aku harus melakukan sesuatu kalau mau selamat."Aku masukin sekarang ya, Sa--"Belum selesai mulut Nichola
Setelah sedikit cekcok di depan ruang kerja Nicholas, aku tak tahu bahwa ternyata saat itu juga Theo naik ke lantai atas untuk menemui ayahnya. Tanpa memberi salam, Theo membuka pintu ruang kerja CEO, Om Baskoro."Papa sibuk?" Theo menyapa.Om Baskoro yang sedang mengecek beberapa berkas langsung menoleh ke sumber suara. "O ... hei, Theo. Udah adtang kamu? Gimana kerja hari pertama di sini? Nyaman?" tanya Om Baskoro tanpa beralih dari pekerjaannya."Sebetulnya ada sesuatu yang mau aku minta, Pa." Theo duduk di hadapan ayahnya."Minta apa lagi? Mau ruang kerja baru? Ngomong sama staf aja, Theo.""Bukan itu. Ini soal Bang Nicholas."Jemari Om Baskoro langsung berhenti bergerak, kepalanya tegak kembali menatap putera bungsunya. "Kenapa sama abang kamu? Kalian ada masalah lagi?""Kalau aku bisa minta sama Papa, apa bisa Papa pindahkan Bang Nicho ke ... cabang yang lain? Ke Jepang mungkin? Atau ke perusahaan punya Opa di Amerika. Nggak usa